Kaskus

Story

irulfm24Avatar border
TS
irulfm24
Cerita Waras (untold story)
Setelah sekian lama vakum dalam dunia perceritaan, aku kembali terniat ingin berbagi cerita dan kisah hidupku.

Sebenarnya sebelum ini aku sudah pernah membuat sebuah cerita di sini. Tapi sepertinya aku tidak bisa untuk melanjutkan cerita tersebut. Maaf ya.

Jika seandainya tulisanku ini kurang menarik. Harap maklum ya gan, aku cuma lulusan TSM (teknik sepeda motor).

Tapi aku akan mencoba menyampaikan kisah ini semaksimal mungkin.

Jangan berharap ada hal menarik dari kisah ini, karena ini hanya perjalanan hidupku. Aku hanya menceritakan apa adanya saja.

Status : On going
Cerita Waras (untold story)


Quote:


Spoiler for Q&A:


Spoiler for INDEX:


Quote:

Quote:
Diubah oleh irulfm24 11-07-2022 08:19
aryanti.storyAvatar border
MenthogAvatar border
wong.tanpo.aranAvatar border
wong.tanpo.aran dan 10 lainnya memberi reputasi
9
16.7K
243
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
irulfm24Avatar border
TS
irulfm24
#81
Chapter 57 : Kegelapan Malam
 Hari ini, pertama kali aku menapakkan kaki di tengah perkebunan sawit yang lokasinya jauh di pelosok negeri. Awal mula aku memasuki lorong perkebunan itu, aku melihat banyak sekali perumahan-perumahan khusus yang menjadi tempat tinggal para pekerja di sana. Beberapa sudah sangat modern dengan dinding bata dan semen, bahkan sudah ada yang memiliki TV sendiri di sana, mirip seperti sebuah pemukiman kecil dengan penduduk yang hidup damai di dalamnya. Namun, semakin jauh ke dalam, jalanan semakin sempit. Pepohonan sawit yang awalnya bersih dan lapang, seketika berubah menjadi deretan hutan dan semak-semak. Ya, perkebunan sawit yang kudengar sudah 4 tahun tidak dirawat itu, kini telah menjadi hutan rimbun. Bahkan tumbuhan-tumbuhan liar itu merambat dan membungkus pohon sawit sampai ke pucuknya.

 Pelepah-pelepah sawit yang kering masih melekat di pohonnya, bukan hanya satu dua saja, tapi hampir delapan lingkaran pelepah di sekeliling pohon itu masih melekat seperti sisik mahkluk menyeramkan yang sudah lama hidup bersemedi di tengah hutan. Ekspektasiku semakin berubah 180 derajat, setelah tau kalau rumah yang akan aku tinggali nanti hanya terbuat dari dinding papan yang beberapa kayunya sudah lapuk. Bahkan atap daun yang menutupinya juga sudah berlubang-lubang. Dan hal yang paling menyeramkan adalah, tidak ada listrik di sana.

***

 Sore itu, kami mengobrol sebentar di teras rumah, ada beberapa orang di sana.

"Besok pagi, Office akan mengantar bahan bangunan ke sini. Untuk kalian merehap kembali pondok kalian nanti" Ujar Om ku. Sebut saja namanya Om Salin. Dia adalah Agen yang mengantar kami ke sini dan mengurus semua administrasi kami. Namun, passport kami sementara di pegang olehnya, karna belum lunas dan harus diangsur setelah gajian nanti.

 "Alhamdulillah, syukurlah kalau sudah mau direhap. Kasian kami tidur kalau malam kedinginan, kalau hujan kebasahan" Ujar Om Wahyu yang saat itu tengah duduk di muka pintu. Dia adalah bapaknya Ridwan.

 "Kamu nanti mau kerja apa?" Om Salin berbalik menatapku. Aku bingung mau jawab apa, karna aku juga belum pernah kerja di perkebunan sawit.

 "Slasingada, pruning juga ada. Kalau nyeprai sama ambil buah belum ada. Mupuk juga belum" Ujarnya lagi.

 "Slasing dan pruning itu apa om?" Tanyaku bingung.

 "Slasing itu potong anak kayu dan rumput semak-semak pakai parang. Kalau pruning itu potong pelepah menggunakan dodos atau sabit kalau untuk yang pohonnya tinggi" Terang dia.

 Aku masih bingung mau jawab apa, namun Bapakku tiba-tiba ikut berbicara.

 "Kamu ikut bapak saja Rul, kerja Pruning"

 Aku menoleh ke arah Bapak, kemudian kembali menoleh ke arah Om Salin lagi.

 "Iya Om, aku kerja pruning saja" jawabku dengan yakin.

 "Ya sudah, berarti besok sama peralatan ya, diantar ke sini. Kamu mau pakai Dodos ukuran berapa inci?" Tanya Om Salin lagi.

 "Enaknya yang ukuran berapa om?"

 "Enaknya sih, ukuran 5 Inci, kalau 3 Inci bisa juga, lebih enak kalau sekalian ambil buah"

 Aku berfikir sejenak, mungkin dengan ukuran 5 Inci, aku tidak perlu kerepotan buat memotong pelepah. Fikirku waktu itu.

 "Yang 5 Inci saja Om" Akhinya aku memutuskan untuk memesan ukuran yang paling besar saat itu.

***

 Hari semakin sore, orang-orang yang tadinya berkumpul sudah kembali dengan kesibukan masing-masing. Om Salin juga sudah pulang. Karna tugasnya mengantarkan kami telah selesai. Aku ingat di rumah itu hanya ada beberapa orang saja. Rumah kecil yang lebih pantas disebuk gubuk itu, ada dua buah pintu dengan teras yang saling terhubung. Ukurannya tidak terlalu besar, kurang lebih hanya 10 x 15 meter. Dengan dinding triplek dan lantai yang terbuat dari papan, serta atapnya masih menggunakan atap daun. Sangat berbeda jauh dari pemukiman kecil yang aku lewati saat memasuki perkebunan ini tadi siang.

 Di ruangan yang aku tempati, dihuni oleh 5 orang. Aku dan bapakku, Ridwan dan bapaknya, serta satu lagi anggota keluarga jauh kami, sebut saja namanya Bang Dikin. Sedangkan di ruangan sebelah sudah ditinggali beberapa orang juga. Bahkan lebih ramai dari jumlah kami. Kurang lebih 6 orang, yang aku tidak satupun mengenali mereka. Yang aku tau, mereka juga berasal dari kota yang sama denganku.

 Aku masih duduk termenung, memandang langit kala itu. Cahaya matahari semakin redup, udara semakin dingin. Ingin kuarahkan pandangan jauh ke langit yang memerah di ujung barat, namun terhalang oleh lebatnya pepohonan sawit yang berdiri kokoh nan rindang di hadapanku.

 Kualihkan pandanganku sedikit lebih turun. Ke arah jalanan pasir putih yang membentang di depan rumah. Tak ada hal menarik dari jalanan selebar kurang lebih 4 meter itu. Hanya hamparan pasir bercampur batu-batu kecil dan rerumputan kering di sepanjang sisinya. Jalanan di depanku itu, adalah pertigaan. Satu arah lurus di depan, di mana itu adalah jalan utama, jalan itu berbelok ke arah kiri, sedangkan ke kanan, seperti jalan buntu. Jalan itu semakin ke ujung semakin kecil dan berakhir di sebuah tebing sungai. Di sungai kecil itu ada sebuah jembatan dari balok kayu yang terlihat sudah roboh dan tak layak lagi untuk dilewati kendaraan.

 "Sedang apa ya Ayunda saat ini?" Aku berbicara dalam hati.

 Semenjak di perbatasan, aku terakhir memberinya kabar. Itupun sudah hampir dua hari yang lalu. Wajahku sedih ketika ku lihat layar HP, tidak ada sinyal sama sekali. Dadaku mendadak terasa sesak saat tau tidak ada listrik di sini.

 Bagaimana ini?

 Apa yang harus aku lakukan?

 Aku bingung memikirkan nasibku ke depannya nanti.

 Bagaimana jika ini selamanya?

 Apakah Ayunda akan melupakanku nanti?

 Bayangan itu semakin memenuhi seisi kepala. Sampai tiba-tiba tangan seseorang menepuk pundakku.

 "Rul, ayo mandi"

 Aku menoleh ke belakang, Ridwan sedang berdiri di situ. Dengan selembar handuk yang dililitkan di pinggang dan tangan kanannya meneteng sebuah ember kecil berisi sabun dan peralatan mandi lainnya.

 "Eh, iya.. Tunggu bentar. Aku ambil handuk dulu" Ujarku, sembari beranjak ke dalam kamar dan mengeluarkan handukku dari dalam tas.

 Aku berjalan mengikuti di belakang Ridwan. Langkahnya pelan, kemudian berbelok ke arah belakang rumah. Di sana ada sebuah jalanan kecil hanya selebar badan saja, dengan rerumputan liar yang tumbuh rimbun di sekelilingnya. Tak jauh di depan, aku bisa melihat sebuah sungai kecil. Airnya jernih, sungai itu dangkal, bahkan aku bisa melihat dengan jelas bebatuan yang ada di dasarnya. Suara gemercik air yang mengalir di antara celah bebatuan, bercampur dan menyatu dengan suara hewan-hewan yang bersautan di hutan yang ada di seberang sungai. Seperti inikah rasanya menyatu dengan alam? Batinku.

 Aku masih memandangi lebatnya hutan yang ada di depanku. Hutan itu menyelimuti bukit nan tinggi yang ada di sana. Di depanku adalah sebuah tebing, tebing gunung yang sangat tinggi. Bahkan pepohonan yang tampak di ujungnya, terlihat sangat kecil saking tingginya tebing itu.

 Langit terlihat semakin gelap. Pemandangan yang tadinya tampak indah, seketika menyeramkan. Aku pun segera mandi dengan cepat dan kembali lagi ke rumah.

***

 Cahaya kecil dari pelita, menerangi sudut ruangan. Malam itu semakin gelap, dingin, dan sepi. Setelah makan malam, kami hanya mengobrol-ngobrol sebentar di temani kopi hitam dan rokok. Aku sudah memutuskan untuk berhenti merokok, karna ingin memulai hidup hemat. Jadi aku hanya meminum kopi saja.

 Di tengah kegelapan malam yang sepi, rasanya benar-benar hampa. Mengobrol sekejap saja, rasanya malam sudah sangat larut. Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Merebahkan diri, dan mencoba memeriksa kembali HPku.

 Masih tidak ada sinyal. Untung saja baterainya masih ada, karna saat di terminal kemarin sudah sempat aku charge. Tapi untuk berapa lama? Entahlah. Aku semakin galau, fikiranku tidak tenang. Rasanya aku ingin menangis saja.

 "Ayunda, maafkan aku tidak bisa memberimu kabar. Semoga kamu di sana, tetap sabar menanti kabar dariku" ucapku dalam hati.

 Perlahan kupejamkan mata, mencoba untuk tidur. Semoga hari esok akan lebih baik. Dengan suasana hati pilu, aku terlelap di tengah-tengah kegelapan malam yang sepi dan dingin itu. Tak ada satupun yang ku inginkan saat ini, kecuali Kedamaian Hati.


Quote:

Bersambung...
Diubah oleh irulfm24 11-07-2021 22:20
limdarmawan
pulaukapok
Menthog
Menthog dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.