- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Waras (untold story)
...
TS
irulfm24
Cerita Waras (untold story)
Setelah sekian lama vakum dalam dunia perceritaan, aku kembali terniat ingin berbagi cerita dan kisah hidupku.
Sebenarnya sebelum ini aku sudah pernah membuat sebuah cerita di sini. Tapi sepertinya aku tidak bisa untuk melanjutkan cerita tersebut. Maaf ya.
Jika seandainya tulisanku ini kurang menarik. Harap maklum ya gan, aku cuma lulusan TSM (teknik sepeda motor).
Tapi aku akan mencoba menyampaikan kisah ini semaksimal mungkin.
Jangan berharap ada hal menarik dari kisah ini, karena ini hanya perjalanan hidupku. Aku hanya menceritakan apa adanya saja.
Status : On going

Sebenarnya sebelum ini aku sudah pernah membuat sebuah cerita di sini. Tapi sepertinya aku tidak bisa untuk melanjutkan cerita tersebut. Maaf ya.
Jika seandainya tulisanku ini kurang menarik. Harap maklum ya gan, aku cuma lulusan TSM (teknik sepeda motor).
Tapi aku akan mencoba menyampaikan kisah ini semaksimal mungkin.
Jangan berharap ada hal menarik dari kisah ini, karena ini hanya perjalanan hidupku. Aku hanya menceritakan apa adanya saja.
Status : On going

Quote:
Spoiler for Q&A:
Spoiler for INDEX:
Quote:
Quote:
Diubah oleh irulfm24 11-07-2022 08:19
wong.tanpo.aran dan 10 lainnya memberi reputasi
9
16.7K
243
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
irulfm24
#44
Chapter 40 : Kamu Cantik
Entah kenapa malam ini, udara begitu panas. Aku sampai menyalakan kipas angin helikopter, dan melepas baju kaos namun tetap saja. Keringat di tubuhku terus mengalir. Aku tidak bisa tidur, fikiranku tidak menentu. Aku seperti diselimuti rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang sudah aku lakukan. Kepalaku pusing, sangat pusing. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menyalahkan diri sendiri dan menerima kenyataan. Seandainya apa yang aku fikirkan itu benar-benar terjadi.
Aku pun memaksakan diri untuk tidur, ku rebahkan tubuhku, lengan kananku, ku taruh di atas kening, sedikit menutupi mata agar bisa terpejam. Ku atur nafas untuk menenangkan diri, perlahan akhirnya aku terlelap juga.
Kami berdua duduk di kursi dengan meja bundar yang ada di halaman depan Wisma, sambil menunggu taxi datang. Barang-barangku sudah aku taruh di luar semua. Begitu juga dengan barang-barang Febri.
Sambil menunggu, aku pun menyalakan sebatang rokok, menghisapnya perlahan dan menghembuskan asap putih ke udara. Asap itu perlahan menghilang terbawa angin, seperti rasa gelisah ku yang perlahan mulai membaik. Hari ini aku mendapat kabar, bahwa Ayunda sudah sadarkan diri. Ternyata dia hanya mengalami deman dan kurang tekanan darah. Memang, dia ini tidak bisa terlalu lelah, waktu masih sekolah juga sering mengalami pingsan. Namun, kali ini adalah yang terparah. Sudah aku sarankan untuk tidak mengambil shifmalam. Tapi dia tidak menghiraukan, dengan alasan toko tempat dia bekerja kekurangan karyawan.
"Rul, itu taxinya udah di depan" Suara Febri memecah lamunanku. Aku menoleh ke depan, ternyata benar sudah ada satu mobil yang berhenti di sisi jalan.
"Yang itu ya taxinya" aku memastikan sambil menunjuk ke arah mobil itu.
"Iya, yuk jalan" ajak Febri sambil beranjak dari duduknya dan berjalan le arah mobil. Aku pun ikut membereskan barang-barangku yang lumayan banyak, satu tas berisi pakaian di punggung, satu tas lagi yang berisi sepatu dan hadiah ku tenteng dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananku memeluk piala. Tak lupa, helm ku juga kembali aku bawa. Benar-benar bikin repot.
"Abang mau diantar sampai mana?" tanya supir taxi, sambil memasukkan barang bawaanku ke dalam bagasi, kecuali piala. Karna takut rusak.
"Kalau sampai dermaga Tanjung bisa engga bang" tanyaku balik.
"Wah, ga kekejar sama waktu bang. Soalnya sore saya mau jemput tumpangan lagi" kata dia.
Aku sedikit kecewa, tapi sopir itu lanjut berbicara lagi.
"Nanti abang saya antar sampai terminal Singkawang aja, di sana saya bakal bantu nyariin tumpangan" kata dia lagi. Tanpa berfikir panjang, aku pun langsung meng-iyakan. Singkat cerita akhirnya kami pun meninggalkan kota itu bersama kenangan yang sampai hari ini masih tidak bisa aku lupakan.
Di perjalanan, aku menelpon Bos dan memberi tau kalau aku nanti hanya diantar sampai terminal Singkawang saja. Ternyata, beliau juga secara kebetulan ada acara di kota T*bas, yang jaraknya tidak begitu jauh dari kota Singkawang.
Tiga jam perjalanan, akhirnya aku sampai di terminal dan tanpa menunggu lama, aku langsung dipindahkan ke angkot. Suasana dingin ber-AC, seketika berubah menjadi pengap dan penuh sesak. Aroma asap dari oli yang terbakar dan bau bensin membuat kepalaku pusing. Tapi tak apa. Yang penting aku bisa pulang.
"Bawa apa bang, banyak banget?" tanya salah satu penumpang angkot yang duduk di sebelahku.
"bawa piala sama hadiah dan barang pakaian pak" jawabku, sambil menoleh sedikit ke arah dia. Seorang bapak-bapak berkumis. Entah kenapa aku sebel liat mukanya yang kaya polisi India.
"Abang ikut lomba apa kok bisa dapat piala" Sekarang yang bertanya adalah si supir angkot sambil menoleh sedikit ke belakang, ke arahku. Aku pun menjawab seperlunya saja.
"Dapat uang berapa bang?" Tanya seseorang lagi di belakang ku.
"Ga dapat uang, cuma piala, hadiah sama sertifikat aja" Mereka terus menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan ga penting menurutku. Aku tambah kesel ditanya-tanya mulu.
"Nanti mau turunnya di mana Bang" supir angkot balik bertanya.
"Sampai S*huri Berlian motor T*bas aja pak. Nanti ada Bos aku yang jemput di sana" jawabku, setelah itu aku hanya memandang ke luar kaca yang ga ada kacanya. Sambil memeluk tasku dan pura-pura tidur.
Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di kota T*bas, angkot berhenti di depan S*huri motor dan di sana sudah ada Bos ku yang menunggu.
"Wah banyak bener bawaan mu. Berangkat bawa satu tas. Pulang bawa dua tas. Gimana mau narohnya?" ujar dia sambil memandang sepeda motornya yang ga ada gantungan, karna motornya motor sport.
"Gpp Bos, biar aku pegang aja" jawabku pasrah.
Akhirnya, di perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 2 jam itu. Aku terus memegangi barang bawaanku. Cape engga? Jelas. Mau gimana lagi. Masa ditinggal.
Sore itu, aku berencana untuk segera menemui Ayunda. Tak lupa, aku membawakan oleh-oleh yang aku beli, yaitu sebuah kalung liontin dengan permata berwarna biru. Aku menyalakan motor matic ku dan langsung berangkat. Ternyata sore itu juga dia sudah diperbolehkan pulang.
Karna jarak antar puskesmas dan rumahnya tidak terlalu jauh, jadi saat aku tiba, dia sudah ada di rumah. Terbaring di kamarnya.
Aku dipersilahkan masuk oleh ibunya dan melihat ke dalam kamar. Di sana, Ayunda sedang terbaring. Di sebelahnya ada Ananda yang sepertinya sadar akan kehadiran ku.
Aku mendekat, ikut duduk di sebelah Ananda, sambil terus memandangi wajah mereka berdua yang benar-benar sama persis. Namun kali ini, wajah Ayunda terlihat lebih cantik. Entah kenapa, satu minggu tidak bertemu, rasanya seperti sebulan. Apakah ini artinya aku benar-benar jatuh cinta sama Ayunda? Entahlah, yang pasti tidak ada alasan juga bagiku untuk menyia-nyiakan rasa ini. Biarkan saja rasa ini, tumbuh dan mekar dengan sendirinya.
"yank, kok bengong?" suara Ayunda yang lemah namun terdengar lembut, membuatku tersadar dari lamunan.
"Eh, engga. Kamu makin cantik ya" jawabku mencoba menggodanya. Dia hanya tersenyum, manis. Sangat manis. Sampai-sampai aku lupa kalau di sebelahku masih ada Ananda yang memperhatikan kami berdua.
"Gw tinggal dulu ya" Suara Ananda menyadarkan ku untuk kedua kali. Aku hanya menoleh ke arahnya yang tersenyum dan berjalan perlahan ke luar dari kamar. Terlihat dari belakang, body Ananda juga benar-benar sama persis seperti Ananda. Namanya juga anak kembar.
"Yank, coba lihat ini" Aku mengeluarkan kalung dari saku celanaku. Dia perlahan mencoba bangkit dari posisi rebahan, aku pun meraih punggungnya mencoba membantu.
"Itu kamu beli harganya berapa?" tanya dia, matanya memandang ke arah kalung itu sebentar lalu menoleh ke arahku.
"Ga usah ditanya harganya. Ini aku ikhlas beli khusus buat kamu" jawabku sambil melepas pengunci dari kalung itu, dan mencoba memasangkan di lehernya.
Dia hanya terdiam, melihatku memasangkan kalung itu di lehernya. Aku menggeser rambutnya yang panjang ke belakang dan membetulkan posisi kalungnya, lalu ku pandangi lagi wajahnya. Kali ini, dia tambah semakin cantik di mataku.
Bersambung...
Aku pun memaksakan diri untuk tidur, ku rebahkan tubuhku, lengan kananku, ku taruh di atas kening, sedikit menutupi mata agar bisa terpejam. Ku atur nafas untuk menenangkan diri, perlahan akhirnya aku terlelap juga.
***
Minggu, 29 September 2012, 08.30 AM
Minggu, 29 September 2012, 08.30 AM
Kami berdua duduk di kursi dengan meja bundar yang ada di halaman depan Wisma, sambil menunggu taxi datang. Barang-barangku sudah aku taruh di luar semua. Begitu juga dengan barang-barang Febri.
Sambil menunggu, aku pun menyalakan sebatang rokok, menghisapnya perlahan dan menghembuskan asap putih ke udara. Asap itu perlahan menghilang terbawa angin, seperti rasa gelisah ku yang perlahan mulai membaik. Hari ini aku mendapat kabar, bahwa Ayunda sudah sadarkan diri. Ternyata dia hanya mengalami deman dan kurang tekanan darah. Memang, dia ini tidak bisa terlalu lelah, waktu masih sekolah juga sering mengalami pingsan. Namun, kali ini adalah yang terparah. Sudah aku sarankan untuk tidak mengambil shifmalam. Tapi dia tidak menghiraukan, dengan alasan toko tempat dia bekerja kekurangan karyawan.
"Rul, itu taxinya udah di depan" Suara Febri memecah lamunanku. Aku menoleh ke depan, ternyata benar sudah ada satu mobil yang berhenti di sisi jalan.
"Yang itu ya taxinya" aku memastikan sambil menunjuk ke arah mobil itu.
"Iya, yuk jalan" ajak Febri sambil beranjak dari duduknya dan berjalan le arah mobil. Aku pun ikut membereskan barang-barangku yang lumayan banyak, satu tas berisi pakaian di punggung, satu tas lagi yang berisi sepatu dan hadiah ku tenteng dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananku memeluk piala. Tak lupa, helm ku juga kembali aku bawa. Benar-benar bikin repot.
"Abang mau diantar sampai mana?" tanya supir taxi, sambil memasukkan barang bawaanku ke dalam bagasi, kecuali piala. Karna takut rusak.
"Kalau sampai dermaga Tanjung bisa engga bang" tanyaku balik.
"Wah, ga kekejar sama waktu bang. Soalnya sore saya mau jemput tumpangan lagi" kata dia.
Aku sedikit kecewa, tapi sopir itu lanjut berbicara lagi.
"Nanti abang saya antar sampai terminal Singkawang aja, di sana saya bakal bantu nyariin tumpangan" kata dia lagi. Tanpa berfikir panjang, aku pun langsung meng-iyakan. Singkat cerita akhirnya kami pun meninggalkan kota itu bersama kenangan yang sampai hari ini masih tidak bisa aku lupakan.
***
Di perjalanan, aku menelpon Bos dan memberi tau kalau aku nanti hanya diantar sampai terminal Singkawang saja. Ternyata, beliau juga secara kebetulan ada acara di kota T*bas, yang jaraknya tidak begitu jauh dari kota Singkawang.
Tiga jam perjalanan, akhirnya aku sampai di terminal dan tanpa menunggu lama, aku langsung dipindahkan ke angkot. Suasana dingin ber-AC, seketika berubah menjadi pengap dan penuh sesak. Aroma asap dari oli yang terbakar dan bau bensin membuat kepalaku pusing. Tapi tak apa. Yang penting aku bisa pulang.
"Bawa apa bang, banyak banget?" tanya salah satu penumpang angkot yang duduk di sebelahku.
"bawa piala sama hadiah dan barang pakaian pak" jawabku, sambil menoleh sedikit ke arah dia. Seorang bapak-bapak berkumis. Entah kenapa aku sebel liat mukanya yang kaya polisi India.
"Abang ikut lomba apa kok bisa dapat piala" Sekarang yang bertanya adalah si supir angkot sambil menoleh sedikit ke belakang, ke arahku. Aku pun menjawab seperlunya saja.
"Dapat uang berapa bang?" Tanya seseorang lagi di belakang ku.
"Ga dapat uang, cuma piala, hadiah sama sertifikat aja" Mereka terus menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan ga penting menurutku. Aku tambah kesel ditanya-tanya mulu.
"Nanti mau turunnya di mana Bang" supir angkot balik bertanya.
"Sampai S*huri Berlian motor T*bas aja pak. Nanti ada Bos aku yang jemput di sana" jawabku, setelah itu aku hanya memandang ke luar kaca yang ga ada kacanya. Sambil memeluk tasku dan pura-pura tidur.
Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di kota T*bas, angkot berhenti di depan S*huri motor dan di sana sudah ada Bos ku yang menunggu.
"Wah banyak bener bawaan mu. Berangkat bawa satu tas. Pulang bawa dua tas. Gimana mau narohnya?" ujar dia sambil memandang sepeda motornya yang ga ada gantungan, karna motornya motor sport.
"Gpp Bos, biar aku pegang aja" jawabku pasrah.
Akhirnya, di perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 2 jam itu. Aku terus memegangi barang bawaanku. Cape engga? Jelas. Mau gimana lagi. Masa ditinggal.
***
Sore itu, aku berencana untuk segera menemui Ayunda. Tak lupa, aku membawakan oleh-oleh yang aku beli, yaitu sebuah kalung liontin dengan permata berwarna biru. Aku menyalakan motor matic ku dan langsung berangkat. Ternyata sore itu juga dia sudah diperbolehkan pulang.
Karna jarak antar puskesmas dan rumahnya tidak terlalu jauh, jadi saat aku tiba, dia sudah ada di rumah. Terbaring di kamarnya.
Aku dipersilahkan masuk oleh ibunya dan melihat ke dalam kamar. Di sana, Ayunda sedang terbaring. Di sebelahnya ada Ananda yang sepertinya sadar akan kehadiran ku.
Aku mendekat, ikut duduk di sebelah Ananda, sambil terus memandangi wajah mereka berdua yang benar-benar sama persis. Namun kali ini, wajah Ayunda terlihat lebih cantik. Entah kenapa, satu minggu tidak bertemu, rasanya seperti sebulan. Apakah ini artinya aku benar-benar jatuh cinta sama Ayunda? Entahlah, yang pasti tidak ada alasan juga bagiku untuk menyia-nyiakan rasa ini. Biarkan saja rasa ini, tumbuh dan mekar dengan sendirinya.
"yank, kok bengong?" suara Ayunda yang lemah namun terdengar lembut, membuatku tersadar dari lamunan.
"Eh, engga. Kamu makin cantik ya" jawabku mencoba menggodanya. Dia hanya tersenyum, manis. Sangat manis. Sampai-sampai aku lupa kalau di sebelahku masih ada Ananda yang memperhatikan kami berdua.
"Gw tinggal dulu ya" Suara Ananda menyadarkan ku untuk kedua kali. Aku hanya menoleh ke arahnya yang tersenyum dan berjalan perlahan ke luar dari kamar. Terlihat dari belakang, body Ananda juga benar-benar sama persis seperti Ananda. Namanya juga anak kembar.
"Yank, coba lihat ini" Aku mengeluarkan kalung dari saku celanaku. Dia perlahan mencoba bangkit dari posisi rebahan, aku pun meraih punggungnya mencoba membantu.
"Itu kamu beli harganya berapa?" tanya dia, matanya memandang ke arah kalung itu sebentar lalu menoleh ke arahku.
"Ga usah ditanya harganya. Ini aku ikhlas beli khusus buat kamu" jawabku sambil melepas pengunci dari kalung itu, dan mencoba memasangkan di lehernya.
Dia hanya terdiam, melihatku memasangkan kalung itu di lehernya. Aku menggeser rambutnya yang panjang ke belakang dan membetulkan posisi kalungnya, lalu ku pandangi lagi wajahnya. Kali ini, dia tambah semakin cantik di mataku.
Bersambung...
Diubah oleh irulfm24 23-06-2021 17:23
Menthog dan 2 lainnya memberi reputasi
3













