TS
Ariel.Matsuyama
[FanFic] Kamen Rider Blitzer
![[FanFic] Kamen Rider Blitzer](https://dl.kaskus.id/ic.pics.livejournal.com/arielmatsuyama/83052924/5659/5659_900.png)
Kamen Rider Blitzer (仮面ライダー ブリッツァー)
Genre:Action | Drama | Adventure
Quote:
ATTENTION:
Meski tokoh utama dalam cerita ini adalah "Kamen Rider Blitzer", tapi ceritanya hampir sama seperti manga "Kamen Rider Spirits", bedanya disini semua Kamen Rider dari era Showa sampai yang terbaru satu dunia.
Meski tokoh utama dalam cerita ini adalah "Kamen Rider Blitzer", tapi ceritanya hampir sama seperti manga "Kamen Rider Spirits", bedanya disini semua Kamen Rider dari era Showa sampai yang terbaru satu dunia.
Spoiler for List Episode:
Episode 1: Hobi Membunuh
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 2: Gerombolan Raja Minyak
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 3: Gerombolan Raja Minyak Part 2
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 4: Rival
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 5: Dendam VS Dendam (Ide by: Dhodo Rukanda)
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 6: Jalan Kegelapan
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 7: Game Kematian
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 8: Belalang Hitam
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 9: MECHA - MONSTER
[Act 1] [Act 2] [Act 3] [Act 4 (End)]
Episode 10: NEGA
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 11: Inilah Diriku!
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 12: Darker
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 13: Kapsul Penyelesai Masalah
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 14: Kasus Kematian Aneh
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 15: Pencuri Kekuatan
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 16: Yami Rider
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 17: Meringkus Yami RiderNEW!!
[Act 1] [Act 2 (End)]
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 2: Gerombolan Raja Minyak
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 3: Gerombolan Raja Minyak Part 2
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 4: Rival
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 5: Dendam VS Dendam (Ide by: Dhodo Rukanda)
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 6: Jalan Kegelapan
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 7: Game Kematian
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 8: Belalang Hitam
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 9: MECHA - MONSTER
[Act 1] [Act 2] [Act 3] [Act 4 (End)]
Episode 10: NEGA
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 11: Inilah Diriku!
[Act 1] [Act 2] [Act 3 (End)]
Episode 12: Darker
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 13: Kapsul Penyelesai Masalah
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 14: Kasus Kematian Aneh
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 15: Pencuri Kekuatan
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 16: Yami Rider
[Act 1] [Act 2 (End)]
Episode 17: Meringkus Yami RiderNEW!!
[Act 1] [Act 2 (End)]
Spoiler for Realms:
*Theme Song
*Main Character
*Main Character 2 (In Process)
*Supporting Character (In Process)
*Villain NEW!!
*Main Character
*Main Character 2 (In Process)
*Supporting Character (In Process)
*Villain NEW!!
Quote:
Cerita ini juga diterbitkan di: WATTPAD
Diubah oleh Ariel.Matsuyama 08-02-2020 18:50
0
12.1K
Kutip
52
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
Ariel.Matsuyama
#7
Spoiler for Episode 1: Hobi Membunuh:
Kota Zippon - Jepang, Kamis 09 Januari 2020, pukul 23:32.
Di sebuah gubuk kecil dekat jalan raya yang sepi serta berpenerangan minim, dua orang pria nampak sedang asyik bermain catur. Yang satu rambutnya gondrong dan brewokan, serta berbadan besar, ia mengenakan kaos putih bergambar tengkorak dengan balutan rompi berwarna hitam, celana jeans sobek-sobek warna putih, serta sepatu 'pantovel' hitam bertali hitam. Sedangkan yang satu lagi berbadan kurus dan rambutnya punk, setelan pakaian yang dia kenakan ialah kaos hitam yang ditiban dengan jaket berwarna putih, celana panjang hitam, dan sepatu pantovel yang mirip dengan pantovel si gondrong.
“Skak!” seru si kurus berambut punk seraya menempelkan salah satu bidak catur berwarna hitam pada salah satu kolom putih di papan catur.
Ekspresi si rambut gondrong langsung terkejut kala ia tahu kalau dirinya sudah mati langkah dalam permainan tersebut. “Salut aku dengan orang yang bernama Masato ini! Hampir setiap kali tanding catur denganmu, aku kalah terus,” ujarnya.
Masato terkekeh. “Kazuki... Kazuki. Aku gitu loh! Di kampung halamanku, tidak ada yang bisa mengalahkanku main catur!”
“Sombong kau!” balas Kazuki si rambut gondrong.
“Oh iya, perasaan daritadi jalanan ini sepi sekali,” ucap Masato seraya menengok ke kiri, ke arah jalan raya kecil yang terletak tak jauh dari gubuk tempat dia main catur.
Kazuki menoleh ke arah yang sama. “Iya! Kalau seperti ini kita tidak akan memegang uang besok.”
Masato menghela nafas, lalu menyandarkan tubuhnya di tembok gubuk dengan kedua tangan melipat di belakang kepala.
“Coba kita tunggu dulu saja sampai jam dua belas. Lewat dari itu, kalau tidak ada sama sekali orang yang lewat sini, kita pulang!”
“Oke deh,” balas Kazuki. Namun, tiba-tiba, ia tersentak. Ia yang seperti mendengar suara laju motor menuju ke arah gubuk yang ia tempati lalu menoleh ke arah belakang gubuk.
Ternyata dugaan Kazuki tak meleset. Dari kejauhan, ia melihat sepeda motor matic berwarna pink yang dikendarai oleh seorang wanita berkulit cokelat, berkacamata kotak, berambut hitam dikepang satu dan pakaian 'kantoran' serba pink berjalan menuju ke arah gubuk yang ia tempati.
Betapa senangnya hati Kazuki. Senyum lebar mengembang di bibirnya. “Masato! Ada mangsa!” ucapnya seraya menoleh ke arah Masato.
Masato yang hampir saja tertidur pun terkejut. “Mana mana??”
“Itu!” Kazuki menunjuk ke arah motor yang dilihatnya tadi.
Masato yang melihat ke arah motor yang ditunjuk Kazuki pun langsung tersenyum lebar dengan mata berbinar.
“Ayolah! Mangsa tuh!” ujar Kazuki sembari berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arah motor bebek hitam yang terparkir tak jauh dari gubuk.
Masato pun mengikuti Kazuki, kemudian duduk di jok belakang motor bebek tersebut saat Kazuki sudah menaikinya lebih dulu di jok depan.
Begitu sepeda motor pink yang ditunggangi oleh wanita itu melewati gubuk, Kazuki langsung memacu motornya untuk mengejar wanita itu.
Dalam waktu yang tidak lama, motor yang dinaiki Kazuki dan juga Masato berhasil menyalip motor mangsanya.
Kazuki pun segera menghentikan motornya di depan motor mangsanya tersebut. Begitu motor wanita yang menjadi mangsa mereka berhenti, Kazuki dan Masato segera turun dari motor. Tak lupa, mereka mengeluarkan 'golok' dari saku jaket mereka masing-masing. Setelah itu, mereka menghampiri mangsa mereka tersebut.
“Heh! Cepat kau serahkan harta dan motormu kalau kau mau selamat!” gertak Kazuki seraya mengancamkan goloknya pada wanita berbaju kantoran tersebut.
Si wanita hanya diam.
“Heh! Cepat!” Masato ikut mengancamkan goloknya pada wanita itu.
Kali ini, wanita itu tersenyum sinis. Secara spontan, mulutnya mengeluarkan dua buah sulur besi tebal berwarna perak dengan garis-garis hitam. Satu sulur langsung membelit leher Kazuki, sementara yang satunya lagi membelit pinggang laki-laki itu.
Golok di genggaman tangan kanan Kazuki terjatuh. Ia berusaha sekuat tenaga melepaskan sulur yang membelit leher dan pinggangnya. Namun, usahanya percuma. Sementara Masato terkejut melihatnya.
Aliran listrik biru tiba-tiba muncul dan mengaliri sulur tersebut mulai dari sulur bagian mulut wanita itu, sampai ke sulur yang membelit leher dan pinggang Kazuki.
Kazuki berteriak kesakitan persis ketika aliran listrik tersebut mengalir di sulur-sulur yang membelit bagian-bagian tubuhnya.
Ekspresi Masato langsung berubah cemas melihat hal tersebut. Golok yang dipegangnya pun terjatuh. Tubuhnya terasa kaku melihat pemandangan dihadapannya. Sementara tubuh Kazuki berangsur-angsur lemas dan akhirnya meregang nyawa.
Kemudian wanita itu melepaskan belitan sulurnya dari tubuh Kazuki. Jasad si pria gondrong tersebut ke jatuh ke tanah.
Tatapan si wanita lalu berubah ke arah Masato. Dan tanpa basa-basi, wanita itu mengarahkan sulur di mulutnya pada leher dan pinggang Masato, kemudian melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Kazuki hingga tubuh Masato terkulai lemas dan tewas di tempat.
Setelah tubuh Masato jatuh ke tanah, sulur milik wanita tersebut kembali masuk ke dalam mulutnya, lalu menggas motornya dan pergi dari tempat itu.
Komplek Perumahan Hanabi, Zippon - Jepang, Jum'at 10 Januari 2020, pukul 08:00.
Di salah satu rumah yang ada di perumahan itu, seorang 'ibu-ibu' gemuk berambut ikal dan berkulit putih berumur kurang lebih empat puluh tahunan dengan kaos warna merah bercorak bunga-bunga serta celana pendek hitam tengah berjalan menaiki tangga keramik warna putih bersih dengan hati-hati karena ia membawa nampan berisi segelas susu serta roti panggang isi daging dan sayuran di dalam sebuah piring putih ceper.
Setelah menaiki tangga tersebut satu persatu, akhirnya ibu-ibu itu sampai di lantai dua. Sesampainya disana, ia kemudian berjalan menuju sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan 'Izumi Yamada' yang menempel di pintunya. Selain tulisan, manik-manik bunga dari plastik dan beberapa boneka teddy berukuran kecil tak ketinggalan menghiasi pintu tersebut.
Tok tok tok!
Ibu-ibu itu mengetuk pintu ruangan tersebut sebanyak tiga kali persis ketika ia sampai di depannya. “Izumi... Izumi...,” ucap ibu-ibu itu, nada lembut keluar dari bibirnya yang tipis. Kemudian ia kembali mengetuk pintu beberapa kali dengan lengan kirinya, sementara lengan kanannya memegang nampan.
Namun, tidak ada jawaban dari dalam.
Ibu-ibu berambut lurus itu kembali mengetuk-ngetuk pintu sambil berkata, “Izumi... Izumi sayang... Sarapan dulu, nak!”
Tapi tetap tidak ada jawaban.
Meski begitu, ibu-ibu tersebut mengetuk pintu itu lagi. Kali ini air mata menetes di kedua pelupuk mata sipitnya. “Nak... Izumi... Sarapan dulu, nak. Sudah berapa hari kau tidak makan. Ibu takut kamu kenapa-napa.”
“PERGI!!” Akhirnya ada juga jawaban dari dalam, walaupun itu sebuah bentakan keras seorang perempuan yang membuat si ibu-ibu terkejut. “PERGI KAU! KAU BUKAN ARAI! PERGIII!!!” Suara bentakan kembali terdengar dari dalam.
“Nak, kamu harus makan, nak... Walau sedikit, kamu harus makan... Ibu tidak mau kamu sakit,” ucap ibu-ibu itu sambil menangis.
“PERGI KAU! PERGIII!!!” bentak suara dari dalam, kali ini terdengar lebih keras dan sangat marah.
Ibu-ibu itu menghela nafas panjang. Sambil masih berlinang air mata ia berkata, “Oke, ibu pergi. Tapi kalau kamu berubah pikiran, kamu ke bawah saja ya, nak....” Sebelum akhirnya berlalu meninggalkan tempat itu dan turun ke lantai bawah. Sementara itu, di dalam ruangan tadi, tepatnya kamar gadis bernama Izumi, gadis itu terlihat tengah duduk diatas kasur bersprei kuning dengan gambar boneka beruang sembari memandangi foto seorang pria berkaos biru dengan balutan jaket putih bergaris biru di beberapa bagiannya, serta celana jeans berwarna serupa dengan jaketnya. Alisnya tebal, tatapan matanya cukup tajam, berhidung mancung, berdaun telinga yang tidak besar namun juga tidak kecil, berdagu lancip, dan berkulit bersih, rambutnya disisir ke belakang serta terlihat licin, ia memiliki tahi lalat di atas dagu sebelah kanan tepatnya di pertengahan antara dagu dan bibir serta di dahi sebelah kanan. Senyuman manis yang mengembang di wajahnya, membuat pria itu terlihat tampan dan juga keren di dalam foto berbingkai besar warna hitam.
“Arai...,” ucap gadis bernama Izumi itu sambil mengusap wajah orang di dalam foto tersebut. Air mata yang tak berhenti menetes membuat matanya yang cukup besar itu sembab. Izumi memiliki fisik sempurna dan sangat cantik. Kulitnya putih bersih dan mulus, tubuhnya sintal, wajahnya oval, rambutnya hitam lurus sepunggung menutupi telinganya dengan poni tebal menutupi alisnya yang agak tebal, bulu matanya lentik, hidungnya kecil, bibir bawahnya agak tebal dan bibir atasnya tipis, giginya rapih dan putih seputih mutiara. Saat ini, ia mengenakan setelan kaos warna kuning yang dipadu dengan celana hotpants putih.
“Kenapa? Kenapa kau harus pergi secepat ini meninggalkanku? Kenapa???” Izumi meracau. Air matanya makin banyak, penglihatannya jadi buram. “Aku ingin kau tahu, kalau rasa cintaku padamu tidak akan pernah hilang sampai kapanpun!” Izumi terus fokus memandangi wajah pria di foto itu sampai akhirnya fikirannya melayang memikirkan kenangan-kenangan manisnya bersama Arai yang telah pergi untuk selama-lamanya. Izumi masih sangat ingat hari terakhirnya memeluk Arai meski saat itu pria tersebut telah terbujur kaku. Arai meninggal karena kecelakaan lalu lintas selepas pulang membeli cincin untuk melamar Izumi.
Itulah pengalaman terpahit yang pernah terjadi dalam hidup Izumi. Orang yang selama ini membuat hidupnya putih bercahaya dan secerah langit biru, kini telah tiada. Hal itu membuat cahaya di hati gadis tersebut meredup hingga saat ini. Namun, jika Tuhan sudah berkehendak, apa mau dikata? Meski begitu, Izumi masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Arai. Dari sejak kematian pemuda itu hingga sekarang, Izumi kehilangan semangat hidupnya. Nafsu makannya hilang, dan ia kehilangan minat untuk melakukan apapun kecuali memikirkan Arai, seperti yang sekarang sedang ia lakukan.
“Arai ... Sudah kucoba mengikhlaskan kepergianmu, tapi tidak bisa. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa kamu. Sungguh tak bisa!” Izumi menangis tersedu-sedu sembari memandangi foto Arai, sebelum akhirnya memeluk foto tersebut.
Singkat cerita, Izumi menuruni anak yang tak jauh kamarnya tangga secara perlahan dan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang dapat memancing seseorang untuk menyadari keberadaannya.
Setelah tiba di lantai bawah, gadis itu melihat suasana sangat sepi. Dengan langkah hati-hati seperti sebelumnya, ia segera berjalan menuju sebuah pintu warna hitam yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri.
Begitu ia sudah menyentuh gagang pintu tersebut, ia cepat-cepat membukanya.
Pintu itu membawanya ke sebuah ruangan yang penuh dengan barang-barang yang terlihat usang dan berdebu.
Gadis itu menoleh kesana kemari, sampai akhirnya tatapannya tertuju pada tali tambang yang menggantung di sebuah kayu panjang. Dengan cepat ia berjalan kesana lalu mengambil tambang tersebut dan menyangkutkannya di pundak sebelah kanannya. Ia juga mengambil bangku plastik berwarna hijau yang letaknya tidak jauh dari sana dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang foto Arai. Setelah itu, ia langsung keluar dari sana.
Segera...
Izumi yang berhasil keluar dari rumah tanpa diketahui oleh orangtuanya langsung berjalan masuk menuju sebuah hutan sepi dengan banyak pepohonan rimbun.
Begitu ia melihat pohon besar bercabang banyak lagi kokoh, ia segera menghentikan langkahnya dekat pohon tersebut, kemudian menaruh bangku yang ia bawa persis dibawah salah satu cabang pohon itu yang ia anggap lebih rendah lalu berdiri diatas bangku tersebut. Setelah itu ia menyangkutkan tambang yang dibawanya di cabang pohon tersebut dan mengikatnya sedemikian rupa. Ia juga membuat simpul berbentuk lobang dan memasukkan kepalanya ke dalam lobang tali itu hingga tali tersebut melingkari kepalanya. Merasa semua persiapan selesai, foto Arai yang sebelumnya ia gigit--karena sibuk membuat simpul tadi--langsung ia pegang dengan kedua tangannya. Dan dengan penuh perasaan, ia menatap foto itu.
Air mata gadis itu menetes. Ia lalu berkata, “Arai ... Sekarang, aku ingin menyusulmu. Kau tunggu aku ya disana.” Dibalik kesedihannya, ia tersenyum. “Tapi, aku tak mau merepotkan siapapun dan tak mau siapapun tahu, kecuali kau ... Dan aku. I will always love you.”
“Tunggu!!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita yang membuat Izumi terkejut dan menoleh ke kanan, ke arah dimana suara itu berasal.
Suara itu milik seorang wanita berkulit cokelat, berambut panjang dikepang satu, berkacamata kotak, berjas putih dengan rok pendek berwarna senada yang berdiri tidak jauh dari Izumi. Dia adalah wanita yang semalam membunuh Masato dan Kazuki.
“Siapa kau? Kenapa kau bisa ada disini?” tanya Izumi dengan nada membentak.
“Jangan marah dulu,” balas wanita itu.
“Bagaimana aku tidak marah, kau menggangguku!” Izumi makin kesal.
“Aku tak ada niat menganggumu. Oh iya, namaku Orpharer. Aku kesini hanya ingin membantumu.”
“Bantu??” Izumi mengernyitkan dahinya. “Bantu apa??”
“Ku lihat, kau ingin mengakhiri hidupmu. Aku memang tidak tahu alasannya, tapi bukan begitu cara mengakhiri hidup yang baik.”
“Maksud anda??” tanya Izumi.
“Daripada kau mati sia-sia begitu, lebih baik buat kematianmu lebih berarti.”
“Caranya?”
“Kau korbankan nyawamu padaku. Biar aku yang membunuhmu!”
Izumi tersentak. “A-apa??”
“Ya. Aku punya hobi membunuh. Jika kau membiarkanku membunuhmu, itu sama juga kau beramal padaku. Dan beramal akan membuat kematianmu lebih berarti,” kata Orpharer.
Izumi pun berpikir. Apa yang dikatakan Orpharer ada benarnya. Ia terlalu frustasi sampai tidak berfikir kesana. Meski sebenarnya itu persepsi yang salah, namun rasa cinta Izumi yang begitu besar pada Arai, membuatnya menyetujui perkataan Orpharer.
“Oke. Aku setuju!” ujar Izumi.
“Bagus!” Orpharer tersenyum miring. “Sekarang, kemarilah!”
Izumi mengangguk, lalu mulai melangkahkan kakinya, berjalan menuju Orpharer. Ia berjalan sembari membayangkan wajah Arai yang tersenyum dengan senyuman termanisnya. Ia berjalan secara perlahan sembari menghayati imajinya.
“Ayo... Ayo gadis manis. Mendekatlah... Kemarilah...,” ucap Orpharer pelan, seirama dengan langkah kaki Izumi yang berjalan perlahan menuju ke arahnya.
Akan tetapi...
BRUMM!
DUAKK!!
“Uwakhh!!!” Orpharer terlontar beberapa meter dari tempatnya berpijak begitu sebuah 'motor sport' warna merah menabrak punggungnya 'secara cepat' dari balik semak-semak yang ada dibelakangnya. Selain terlontar, ia juga terguling-guling dan akhirnya tengkurap di tanah.
Di waktu yang hampir bersamaan, CKIITT!! Ban motor sport merah itu mendecit di tanah persis ketika remnya ditekan oleh pengendaranya. Warna kedua ban motor tersebut hitam ber-pelk putih, mesin-mesin dan knalpotnya berwarna perak, joknya hitam, speedo meter-nya berwarna biru dengan jarum penunjuk dan angka-angka warna hitam, tepi luar speedo meter itu warna hitam serta bagian lain di dekatnya berwarna sama. Pengendara motor tersebut berbaju kaos merah berbalut jaket kulit hitam dengan kerah berdiri serta bercorak merah di bagian lengan kirinya dan di atas saku sebelah kanannya. Kedua lengan jaket pengendara itu digulung sampai ke siku, lengkap dengan celana panjang hitam bergaris di bagian tengah kanan dan kirinya. Di pinggang bagian kanan depan celana pengendara itu, ada besi bulat menggantung yang bagian besi bawahnya menyambung dengan tali kain sampai ke bagian pinggang belakangnya yang menempel pada besi (yang sama seperti bagian depan) yang menggantung di belakang kanan pinggangnya. Sepasang sarung tangan hitam terlihat melapisi kedua tangannya. Bagian punggung tangan sarung tangan tersebut bolong berbentuk persegi, dan bagian jari-jarinya juga bolong separuh sehingga setengah jari si pengendara nampak jelas keluar dari bolongan tersebut. Kalung bertali perak panjang dan berbandul perak kotak dengan 'simbol' berwarna merah (simbolnya adalah gabungan motif bundar, garis miring (di kanan dan kiri) serta garis melengkung agak ke atas di tengah bawah kedua garis miring) pada permukaan tengahnya nampak menghiasi leher pengendara itu. Kaki si pengendara dibungkus oleh sepatu 'kets' hitam bertali merah dengan kaos kaki hitam pendek. Kepalanya berlapis helm berwarna sama seperti motornya.
Izumi pun terkejut melihat hal tak terduga tersebut.
Pengendara motor sport itu membuka helmnya dan menaruhnya di atas motor.
Mata Izumi langsung membelalak begitu melihat wajah si pengendara motor, terkejut untuk kedua kalinya. “A-A-Arai??” ucapnya terbata. Ia mematung untuk beberapa saat, tak percaya pada apa yang baru saja dilihatnya.
“Pergi!” perintah si pengendara motor itu dengan nada dingin dan suara yang cukup 'bariton'. Wajahnya 'sangat mirip' dengan Arai. Yang membedakan cuma gaya poninya yang disisir ke samping serta ekspresi wajah yang dingin dan tidak seramah Arai.
Izumi masih mematung tak percaya menatap wajah pemuda yang betul-betul mirip dengan kekasih hatinya yang sudah meninggal.
“Cepat pergi dari sini! Orang itu berbahaya,” perintah pemuda berjaket hitam corak merah itu.
Izumi yang pikirannya bercampur aduk mengangguk. Entah kenapa ia berpikir harus mengikuti ucapan si pengendara motor tersebut. Ia pun segera beranjak dari tempat itu.
Kini, hanya tinggal si pengendara motor dan Orpharer.
"Kau ..." Orpharer yang tersungkur berusaha bangun. "Siapa kau??" tanyanya setelah berdiri dengan sempurna.
"Ariel. Ariel Matsuyama," jawab pengendara motor itu dengan nada datar setelah turun dari motor.
"Oke, siapapun kamu, lebih baik jangan menggangguku!" balas Orpharer.
"Menggangu? Tidak, aku ingin memusnahkanmu," ujar Ariel dengan nada datar seperti sebelumnya.
"Hrrrhh... Apa???"
"Itu adalah takdir,' jawab Ariel dengan ekspresi tenang.
"ITU BUKAN JAWABAN!!!" teriak Orpharer seraya berlari ke arah Ariel sembari mengepal kedua tangannya kuat-kuat.
Ariel hanya berdiri dengan tenang, menatap wanita itu dengan tatapan datar dan dingin, tanpa bergeser sedikitpun dari tempatnya berpijak.
Begitu Orpharer sudah sampai beberapa senti dihadapan Ariel, ia langsung melayangkan tinju tangan kanannya persis di wajah pemuda itu.
Namun, Ariel hanya mengelak tipis ke samping kiri dengan tenang, kemudian menyikut wajah Orpharer dengan lengan kirinya.
Begitu Orpharer terhuyung karena sikutannya, Ariel segera mendaratkan kaki kanannya di perut Orpharer hingga wanita itu terlempar beberapa langkah ke belakang.
"Sial!" keluh Orpharer. Dengan cepat ia bangkit dan meloncat ke arah Ariel.
Begitu tiba di hadapan Ariel, Orpharer langsung mengayunkan tangan kanan lalu tangan kirinya untuk meninju Ariel berulang kali. Namun, serangan demi serangan yang ia lancarkan dapat dengan mudah ditepis oleh Ariel hingga membuat Orpharer kesal dan mengubah serangannya dari pukulan menjadi tendangan beberapa kali ke arah Ariel. Tapi tetap saja dapat dihindari dan ditangkis oleh Ariel.
Ariel yang melihat celah pada pertahanan Orpharer kemudian membalas serangan Orpharer dengan memukul perut wanita itu bertubi-tubi dan dilanjutkan dengan menendang keras bagian dadanya. Hal itu membuat Orpharer terlempar jauh ke belakang.
Di sebuah gubuk kecil dekat jalan raya yang sepi serta berpenerangan minim, dua orang pria nampak sedang asyik bermain catur. Yang satu rambutnya gondrong dan brewokan, serta berbadan besar, ia mengenakan kaos putih bergambar tengkorak dengan balutan rompi berwarna hitam, celana jeans sobek-sobek warna putih, serta sepatu 'pantovel' hitam bertali hitam. Sedangkan yang satu lagi berbadan kurus dan rambutnya punk, setelan pakaian yang dia kenakan ialah kaos hitam yang ditiban dengan jaket berwarna putih, celana panjang hitam, dan sepatu pantovel yang mirip dengan pantovel si gondrong.
“Skak!” seru si kurus berambut punk seraya menempelkan salah satu bidak catur berwarna hitam pada salah satu kolom putih di papan catur.
Ekspresi si rambut gondrong langsung terkejut kala ia tahu kalau dirinya sudah mati langkah dalam permainan tersebut. “Salut aku dengan orang yang bernama Masato ini! Hampir setiap kali tanding catur denganmu, aku kalah terus,” ujarnya.
Masato terkekeh. “Kazuki... Kazuki. Aku gitu loh! Di kampung halamanku, tidak ada yang bisa mengalahkanku main catur!”
“Sombong kau!” balas Kazuki si rambut gondrong.
“Oh iya, perasaan daritadi jalanan ini sepi sekali,” ucap Masato seraya menengok ke kiri, ke arah jalan raya kecil yang terletak tak jauh dari gubuk tempat dia main catur.
Kazuki menoleh ke arah yang sama. “Iya! Kalau seperti ini kita tidak akan memegang uang besok.”
Masato menghela nafas, lalu menyandarkan tubuhnya di tembok gubuk dengan kedua tangan melipat di belakang kepala.
“Coba kita tunggu dulu saja sampai jam dua belas. Lewat dari itu, kalau tidak ada sama sekali orang yang lewat sini, kita pulang!”
“Oke deh,” balas Kazuki. Namun, tiba-tiba, ia tersentak. Ia yang seperti mendengar suara laju motor menuju ke arah gubuk yang ia tempati lalu menoleh ke arah belakang gubuk.
Ternyata dugaan Kazuki tak meleset. Dari kejauhan, ia melihat sepeda motor matic berwarna pink yang dikendarai oleh seorang wanita berkulit cokelat, berkacamata kotak, berambut hitam dikepang satu dan pakaian 'kantoran' serba pink berjalan menuju ke arah gubuk yang ia tempati.
Betapa senangnya hati Kazuki. Senyum lebar mengembang di bibirnya. “Masato! Ada mangsa!” ucapnya seraya menoleh ke arah Masato.
Masato yang hampir saja tertidur pun terkejut. “Mana mana??”
“Itu!” Kazuki menunjuk ke arah motor yang dilihatnya tadi.
Masato yang melihat ke arah motor yang ditunjuk Kazuki pun langsung tersenyum lebar dengan mata berbinar.
“Ayolah! Mangsa tuh!” ujar Kazuki sembari berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arah motor bebek hitam yang terparkir tak jauh dari gubuk.
Masato pun mengikuti Kazuki, kemudian duduk di jok belakang motor bebek tersebut saat Kazuki sudah menaikinya lebih dulu di jok depan.
Begitu sepeda motor pink yang ditunggangi oleh wanita itu melewati gubuk, Kazuki langsung memacu motornya untuk mengejar wanita itu.
Dalam waktu yang tidak lama, motor yang dinaiki Kazuki dan juga Masato berhasil menyalip motor mangsanya.
Kazuki pun segera menghentikan motornya di depan motor mangsanya tersebut. Begitu motor wanita yang menjadi mangsa mereka berhenti, Kazuki dan Masato segera turun dari motor. Tak lupa, mereka mengeluarkan 'golok' dari saku jaket mereka masing-masing. Setelah itu, mereka menghampiri mangsa mereka tersebut.
“Heh! Cepat kau serahkan harta dan motormu kalau kau mau selamat!” gertak Kazuki seraya mengancamkan goloknya pada wanita berbaju kantoran tersebut.
Si wanita hanya diam.
“Heh! Cepat!” Masato ikut mengancamkan goloknya pada wanita itu.
Kali ini, wanita itu tersenyum sinis. Secara spontan, mulutnya mengeluarkan dua buah sulur besi tebal berwarna perak dengan garis-garis hitam. Satu sulur langsung membelit leher Kazuki, sementara yang satunya lagi membelit pinggang laki-laki itu.
Golok di genggaman tangan kanan Kazuki terjatuh. Ia berusaha sekuat tenaga melepaskan sulur yang membelit leher dan pinggangnya. Namun, usahanya percuma. Sementara Masato terkejut melihatnya.
Aliran listrik biru tiba-tiba muncul dan mengaliri sulur tersebut mulai dari sulur bagian mulut wanita itu, sampai ke sulur yang membelit leher dan pinggang Kazuki.
Kazuki berteriak kesakitan persis ketika aliran listrik tersebut mengalir di sulur-sulur yang membelit bagian-bagian tubuhnya.
Ekspresi Masato langsung berubah cemas melihat hal tersebut. Golok yang dipegangnya pun terjatuh. Tubuhnya terasa kaku melihat pemandangan dihadapannya. Sementara tubuh Kazuki berangsur-angsur lemas dan akhirnya meregang nyawa.
Kemudian wanita itu melepaskan belitan sulurnya dari tubuh Kazuki. Jasad si pria gondrong tersebut ke jatuh ke tanah.
Tatapan si wanita lalu berubah ke arah Masato. Dan tanpa basa-basi, wanita itu mengarahkan sulur di mulutnya pada leher dan pinggang Masato, kemudian melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Kazuki hingga tubuh Masato terkulai lemas dan tewas di tempat.
Setelah tubuh Masato jatuh ke tanah, sulur milik wanita tersebut kembali masuk ke dalam mulutnya, lalu menggas motornya dan pergi dari tempat itu.
Komplek Perumahan Hanabi, Zippon - Jepang, Jum'at 10 Januari 2020, pukul 08:00.
Di salah satu rumah yang ada di perumahan itu, seorang 'ibu-ibu' gemuk berambut ikal dan berkulit putih berumur kurang lebih empat puluh tahunan dengan kaos warna merah bercorak bunga-bunga serta celana pendek hitam tengah berjalan menaiki tangga keramik warna putih bersih dengan hati-hati karena ia membawa nampan berisi segelas susu serta roti panggang isi daging dan sayuran di dalam sebuah piring putih ceper.
Setelah menaiki tangga tersebut satu persatu, akhirnya ibu-ibu itu sampai di lantai dua. Sesampainya disana, ia kemudian berjalan menuju sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan 'Izumi Yamada' yang menempel di pintunya. Selain tulisan, manik-manik bunga dari plastik dan beberapa boneka teddy berukuran kecil tak ketinggalan menghiasi pintu tersebut.
Tok tok tok!
Ibu-ibu itu mengetuk pintu ruangan tersebut sebanyak tiga kali persis ketika ia sampai di depannya. “Izumi... Izumi...,” ucap ibu-ibu itu, nada lembut keluar dari bibirnya yang tipis. Kemudian ia kembali mengetuk pintu beberapa kali dengan lengan kirinya, sementara lengan kanannya memegang nampan.
Namun, tidak ada jawaban dari dalam.
Ibu-ibu berambut lurus itu kembali mengetuk-ngetuk pintu sambil berkata, “Izumi... Izumi sayang... Sarapan dulu, nak!”
Tapi tetap tidak ada jawaban.
Meski begitu, ibu-ibu tersebut mengetuk pintu itu lagi. Kali ini air mata menetes di kedua pelupuk mata sipitnya. “Nak... Izumi... Sarapan dulu, nak. Sudah berapa hari kau tidak makan. Ibu takut kamu kenapa-napa.”
“PERGI!!” Akhirnya ada juga jawaban dari dalam, walaupun itu sebuah bentakan keras seorang perempuan yang membuat si ibu-ibu terkejut. “PERGI KAU! KAU BUKAN ARAI! PERGIII!!!” Suara bentakan kembali terdengar dari dalam.
“Nak, kamu harus makan, nak... Walau sedikit, kamu harus makan... Ibu tidak mau kamu sakit,” ucap ibu-ibu itu sambil menangis.
“PERGI KAU! PERGIII!!!” bentak suara dari dalam, kali ini terdengar lebih keras dan sangat marah.
Ibu-ibu itu menghela nafas panjang. Sambil masih berlinang air mata ia berkata, “Oke, ibu pergi. Tapi kalau kamu berubah pikiran, kamu ke bawah saja ya, nak....” Sebelum akhirnya berlalu meninggalkan tempat itu dan turun ke lantai bawah. Sementara itu, di dalam ruangan tadi, tepatnya kamar gadis bernama Izumi, gadis itu terlihat tengah duduk diatas kasur bersprei kuning dengan gambar boneka beruang sembari memandangi foto seorang pria berkaos biru dengan balutan jaket putih bergaris biru di beberapa bagiannya, serta celana jeans berwarna serupa dengan jaketnya. Alisnya tebal, tatapan matanya cukup tajam, berhidung mancung, berdaun telinga yang tidak besar namun juga tidak kecil, berdagu lancip, dan berkulit bersih, rambutnya disisir ke belakang serta terlihat licin, ia memiliki tahi lalat di atas dagu sebelah kanan tepatnya di pertengahan antara dagu dan bibir serta di dahi sebelah kanan. Senyuman manis yang mengembang di wajahnya, membuat pria itu terlihat tampan dan juga keren di dalam foto berbingkai besar warna hitam.
“Arai...,” ucap gadis bernama Izumi itu sambil mengusap wajah orang di dalam foto tersebut. Air mata yang tak berhenti menetes membuat matanya yang cukup besar itu sembab. Izumi memiliki fisik sempurna dan sangat cantik. Kulitnya putih bersih dan mulus, tubuhnya sintal, wajahnya oval, rambutnya hitam lurus sepunggung menutupi telinganya dengan poni tebal menutupi alisnya yang agak tebal, bulu matanya lentik, hidungnya kecil, bibir bawahnya agak tebal dan bibir atasnya tipis, giginya rapih dan putih seputih mutiara. Saat ini, ia mengenakan setelan kaos warna kuning yang dipadu dengan celana hotpants putih.
“Kenapa? Kenapa kau harus pergi secepat ini meninggalkanku? Kenapa???” Izumi meracau. Air matanya makin banyak, penglihatannya jadi buram. “Aku ingin kau tahu, kalau rasa cintaku padamu tidak akan pernah hilang sampai kapanpun!” Izumi terus fokus memandangi wajah pria di foto itu sampai akhirnya fikirannya melayang memikirkan kenangan-kenangan manisnya bersama Arai yang telah pergi untuk selama-lamanya. Izumi masih sangat ingat hari terakhirnya memeluk Arai meski saat itu pria tersebut telah terbujur kaku. Arai meninggal karena kecelakaan lalu lintas selepas pulang membeli cincin untuk melamar Izumi.
Itulah pengalaman terpahit yang pernah terjadi dalam hidup Izumi. Orang yang selama ini membuat hidupnya putih bercahaya dan secerah langit biru, kini telah tiada. Hal itu membuat cahaya di hati gadis tersebut meredup hingga saat ini. Namun, jika Tuhan sudah berkehendak, apa mau dikata? Meski begitu, Izumi masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Arai. Dari sejak kematian pemuda itu hingga sekarang, Izumi kehilangan semangat hidupnya. Nafsu makannya hilang, dan ia kehilangan minat untuk melakukan apapun kecuali memikirkan Arai, seperti yang sekarang sedang ia lakukan.
“Arai ... Sudah kucoba mengikhlaskan kepergianmu, tapi tidak bisa. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa kamu. Sungguh tak bisa!” Izumi menangis tersedu-sedu sembari memandangi foto Arai, sebelum akhirnya memeluk foto tersebut.
Singkat cerita, Izumi menuruni anak yang tak jauh kamarnya tangga secara perlahan dan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang dapat memancing seseorang untuk menyadari keberadaannya.
Setelah tiba di lantai bawah, gadis itu melihat suasana sangat sepi. Dengan langkah hati-hati seperti sebelumnya, ia segera berjalan menuju sebuah pintu warna hitam yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri.
Begitu ia sudah menyentuh gagang pintu tersebut, ia cepat-cepat membukanya.
Pintu itu membawanya ke sebuah ruangan yang penuh dengan barang-barang yang terlihat usang dan berdebu.
Gadis itu menoleh kesana kemari, sampai akhirnya tatapannya tertuju pada tali tambang yang menggantung di sebuah kayu panjang. Dengan cepat ia berjalan kesana lalu mengambil tambang tersebut dan menyangkutkannya di pundak sebelah kanannya. Ia juga mengambil bangku plastik berwarna hijau yang letaknya tidak jauh dari sana dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang foto Arai. Setelah itu, ia langsung keluar dari sana.
Segera...
Izumi yang berhasil keluar dari rumah tanpa diketahui oleh orangtuanya langsung berjalan masuk menuju sebuah hutan sepi dengan banyak pepohonan rimbun.
Begitu ia melihat pohon besar bercabang banyak lagi kokoh, ia segera menghentikan langkahnya dekat pohon tersebut, kemudian menaruh bangku yang ia bawa persis dibawah salah satu cabang pohon itu yang ia anggap lebih rendah lalu berdiri diatas bangku tersebut. Setelah itu ia menyangkutkan tambang yang dibawanya di cabang pohon tersebut dan mengikatnya sedemikian rupa. Ia juga membuat simpul berbentuk lobang dan memasukkan kepalanya ke dalam lobang tali itu hingga tali tersebut melingkari kepalanya. Merasa semua persiapan selesai, foto Arai yang sebelumnya ia gigit--karena sibuk membuat simpul tadi--langsung ia pegang dengan kedua tangannya. Dan dengan penuh perasaan, ia menatap foto itu.
Air mata gadis itu menetes. Ia lalu berkata, “Arai ... Sekarang, aku ingin menyusulmu. Kau tunggu aku ya disana.” Dibalik kesedihannya, ia tersenyum. “Tapi, aku tak mau merepotkan siapapun dan tak mau siapapun tahu, kecuali kau ... Dan aku. I will always love you.”
“Tunggu!!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita yang membuat Izumi terkejut dan menoleh ke kanan, ke arah dimana suara itu berasal.
Suara itu milik seorang wanita berkulit cokelat, berambut panjang dikepang satu, berkacamata kotak, berjas putih dengan rok pendek berwarna senada yang berdiri tidak jauh dari Izumi. Dia adalah wanita yang semalam membunuh Masato dan Kazuki.
“Siapa kau? Kenapa kau bisa ada disini?” tanya Izumi dengan nada membentak.
“Jangan marah dulu,” balas wanita itu.
“Bagaimana aku tidak marah, kau menggangguku!” Izumi makin kesal.
“Aku tak ada niat menganggumu. Oh iya, namaku Orpharer. Aku kesini hanya ingin membantumu.”
“Bantu??” Izumi mengernyitkan dahinya. “Bantu apa??”
“Ku lihat, kau ingin mengakhiri hidupmu. Aku memang tidak tahu alasannya, tapi bukan begitu cara mengakhiri hidup yang baik.”
“Maksud anda??” tanya Izumi.
“Daripada kau mati sia-sia begitu, lebih baik buat kematianmu lebih berarti.”
“Caranya?”
“Kau korbankan nyawamu padaku. Biar aku yang membunuhmu!”
Izumi tersentak. “A-apa??”
“Ya. Aku punya hobi membunuh. Jika kau membiarkanku membunuhmu, itu sama juga kau beramal padaku. Dan beramal akan membuat kematianmu lebih berarti,” kata Orpharer.
Izumi pun berpikir. Apa yang dikatakan Orpharer ada benarnya. Ia terlalu frustasi sampai tidak berfikir kesana. Meski sebenarnya itu persepsi yang salah, namun rasa cinta Izumi yang begitu besar pada Arai, membuatnya menyetujui perkataan Orpharer.
“Oke. Aku setuju!” ujar Izumi.
“Bagus!” Orpharer tersenyum miring. “Sekarang, kemarilah!”
Izumi mengangguk, lalu mulai melangkahkan kakinya, berjalan menuju Orpharer. Ia berjalan sembari membayangkan wajah Arai yang tersenyum dengan senyuman termanisnya. Ia berjalan secara perlahan sembari menghayati imajinya.
“Ayo... Ayo gadis manis. Mendekatlah... Kemarilah...,” ucap Orpharer pelan, seirama dengan langkah kaki Izumi yang berjalan perlahan menuju ke arahnya.
Akan tetapi...
BRUMM!
DUAKK!!
“Uwakhh!!!” Orpharer terlontar beberapa meter dari tempatnya berpijak begitu sebuah 'motor sport' warna merah menabrak punggungnya 'secara cepat' dari balik semak-semak yang ada dibelakangnya. Selain terlontar, ia juga terguling-guling dan akhirnya tengkurap di tanah.
Di waktu yang hampir bersamaan, CKIITT!! Ban motor sport merah itu mendecit di tanah persis ketika remnya ditekan oleh pengendaranya. Warna kedua ban motor tersebut hitam ber-pelk putih, mesin-mesin dan knalpotnya berwarna perak, joknya hitam, speedo meter-nya berwarna biru dengan jarum penunjuk dan angka-angka warna hitam, tepi luar speedo meter itu warna hitam serta bagian lain di dekatnya berwarna sama. Pengendara motor tersebut berbaju kaos merah berbalut jaket kulit hitam dengan kerah berdiri serta bercorak merah di bagian lengan kirinya dan di atas saku sebelah kanannya. Kedua lengan jaket pengendara itu digulung sampai ke siku, lengkap dengan celana panjang hitam bergaris di bagian tengah kanan dan kirinya. Di pinggang bagian kanan depan celana pengendara itu, ada besi bulat menggantung yang bagian besi bawahnya menyambung dengan tali kain sampai ke bagian pinggang belakangnya yang menempel pada besi (yang sama seperti bagian depan) yang menggantung di belakang kanan pinggangnya. Sepasang sarung tangan hitam terlihat melapisi kedua tangannya. Bagian punggung tangan sarung tangan tersebut bolong berbentuk persegi, dan bagian jari-jarinya juga bolong separuh sehingga setengah jari si pengendara nampak jelas keluar dari bolongan tersebut. Kalung bertali perak panjang dan berbandul perak kotak dengan 'simbol' berwarna merah (simbolnya adalah gabungan motif bundar, garis miring (di kanan dan kiri) serta garis melengkung agak ke atas di tengah bawah kedua garis miring) pada permukaan tengahnya nampak menghiasi leher pengendara itu. Kaki si pengendara dibungkus oleh sepatu 'kets' hitam bertali merah dengan kaos kaki hitam pendek. Kepalanya berlapis helm berwarna sama seperti motornya.
Izumi pun terkejut melihat hal tak terduga tersebut.
Pengendara motor sport itu membuka helmnya dan menaruhnya di atas motor.
Mata Izumi langsung membelalak begitu melihat wajah si pengendara motor, terkejut untuk kedua kalinya. “A-A-Arai??” ucapnya terbata. Ia mematung untuk beberapa saat, tak percaya pada apa yang baru saja dilihatnya.
“Pergi!” perintah si pengendara motor itu dengan nada dingin dan suara yang cukup 'bariton'. Wajahnya 'sangat mirip' dengan Arai. Yang membedakan cuma gaya poninya yang disisir ke samping serta ekspresi wajah yang dingin dan tidak seramah Arai.
Izumi masih mematung tak percaya menatap wajah pemuda yang betul-betul mirip dengan kekasih hatinya yang sudah meninggal.
“Cepat pergi dari sini! Orang itu berbahaya,” perintah pemuda berjaket hitam corak merah itu.
Izumi yang pikirannya bercampur aduk mengangguk. Entah kenapa ia berpikir harus mengikuti ucapan si pengendara motor tersebut. Ia pun segera beranjak dari tempat itu.
Kini, hanya tinggal si pengendara motor dan Orpharer.
"Kau ..." Orpharer yang tersungkur berusaha bangun. "Siapa kau??" tanyanya setelah berdiri dengan sempurna.
"Ariel. Ariel Matsuyama," jawab pengendara motor itu dengan nada datar setelah turun dari motor.
"Oke, siapapun kamu, lebih baik jangan menggangguku!" balas Orpharer.
"Menggangu? Tidak, aku ingin memusnahkanmu," ujar Ariel dengan nada datar seperti sebelumnya.
"Hrrrhh... Apa???"
"Itu adalah takdir,' jawab Ariel dengan ekspresi tenang.
"ITU BUKAN JAWABAN!!!" teriak Orpharer seraya berlari ke arah Ariel sembari mengepal kedua tangannya kuat-kuat.
Ariel hanya berdiri dengan tenang, menatap wanita itu dengan tatapan datar dan dingin, tanpa bergeser sedikitpun dari tempatnya berpijak.
Begitu Orpharer sudah sampai beberapa senti dihadapan Ariel, ia langsung melayangkan tinju tangan kanannya persis di wajah pemuda itu.
Namun, Ariel hanya mengelak tipis ke samping kiri dengan tenang, kemudian menyikut wajah Orpharer dengan lengan kirinya.
Begitu Orpharer terhuyung karena sikutannya, Ariel segera mendaratkan kaki kanannya di perut Orpharer hingga wanita itu terlempar beberapa langkah ke belakang.
"Sial!" keluh Orpharer. Dengan cepat ia bangkit dan meloncat ke arah Ariel.
Begitu tiba di hadapan Ariel, Orpharer langsung mengayunkan tangan kanan lalu tangan kirinya untuk meninju Ariel berulang kali. Namun, serangan demi serangan yang ia lancarkan dapat dengan mudah ditepis oleh Ariel hingga membuat Orpharer kesal dan mengubah serangannya dari pukulan menjadi tendangan beberapa kali ke arah Ariel. Tapi tetap saja dapat dihindari dan ditangkis oleh Ariel.
Ariel yang melihat celah pada pertahanan Orpharer kemudian membalas serangan Orpharer dengan memukul perut wanita itu bertubi-tubi dan dilanjutkan dengan menendang keras bagian dadanya. Hal itu membuat Orpharer terlempar jauh ke belakang.
Diubah oleh Ariel.Matsuyama 21-01-2020 19:30
0
Kutip
Balas