- Beranda
- Stories from the Heart
Ngalor-Ngetan
...
TS
Visiliya123
Ngalor-Ngetan

NGALOR-NGETAN
Horor Story
Desa Danyang Pitu
Hai, semua. Hai masyarakat indonesia, khususnya warga Puwodadi yang tentunya tidak asing dengan larangan pernikahan ngalor ngetan :v . Siapa yang tidak kesal, ketika cinta kita gagal, bukan karena bertepuk sebelah tangan atau terhalang restu orang tua, melainkan terhalang adat istiadat yang ada.
Kalian akan semakin kesal tentunya ketika membaca cerita ini
. Namun, untuk diketahui, bahwa apapun yang tertulis dalam cerita ini hanyalah fiktif. Tetapi jika kalian merasa kisah ini persis dengan yang kalian alami, itu adalah mungkin sebuah kebetulan. So, selamat membaca 
Sebuah sepeda motor terlihat melaju menembus kabut tipis, dengan cahaya lampu depannya yang meredup. Suara mesin dari roda dua terdengar di telinga, diiringi suara klakson yang terus saja dibunyikan si pengendara di sepanjang perjalanan. Hal itu membuat siapa saja geram, termasuk seorang gadis yang duduk di jok belakang motor.
"Bisakah Bapak berhenti membunyikan klakson?" tanya gadis itu sedikit berteriak, takut si pengendara tak mendengar. Sebab angin yang bertiup sangat kencang kala itu bisa saja membawa suaranya pergi. Sore hari itu tidak seperti biasanya, awan menggelap menutupi sang surya yang hampir tenggelam sempurna, menyingkirkan semburat jingga yang selalu terlihat menghiasi cakrawala.
"Maaf, ndak bisa, Mbak. Ini untuk jaga-jaga, takut nabrak," jawab pengendara itu. Gadis itu hanya mengernyitkan kening, menyibak rambutnya ke samping yang menutupi mata.
"Takut nabrak apa, Pak? Di sini gak ada orang maupun binatang?" tanya gadis itu kembali. Tukang ojek di depannya ini memang sudah tidak waras, pikirnya saat itu. Jalanan ini sepi, hanya mereka yang melintas di sini. Lalu, apa yang mau ditabrak?
"Bukan itu, Mbak."
"Lalu apa? Setan?" Tepat setelah gadis itu berbicara, suara anjing yang menggonggong terdengar jelas di telinga. Kemudian disusul suara ayam jantan yang berkokok. Terasa janggal. Untuk apa ayam berkokok sore hari?
"Jangan bicara aneh-aneh, Mbak!" peringati bapak itu, sang gadis hanya tertawa kecil mendengarnya.
"Saya asli sini, Pak. Gak akan terjadi apa-apa," ucap gadis itu percaya diri. Sang tukang ojek hanya diam, tak berniat melanjutkan pembicaraan. Kendaraan beroda dua itu berhenti, tepat di ujung jembatan. Sang gadis yang merasa ada yang tidak beres, segera turun dari motor.
"Kenapa, Pak? Motornya mogok?" tanyanya sambil membenarkan posisi tas di punggung yang terlihat besar.
"Bukan, Mbak. Tapi ...," jawab tukang ojek itu menggantung, wajahnya terlihat pucat pasi. Dia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.
"Tapi, apa, Pak? Saya sudah tidak punya banyak waktu, sebentar lagi magrib."
"Saya ndak bisa ngantar sampai rumah, Mbak. Saya ... saya takut, ndak bisa balik lagi setelah melewati jembatan ini," jelas sang bapak yang membuat gadis itu melongo tidak percaya.
"Bapak bercanda?" ujar sang gadis diakhiri dengan kekehan. Tukang ojek di depannya memang semakin aneh saja. Mana ada orang hilang setelah melewati jembatan ini.
"Saya ndak bercanda, Mbak. Katanya ada orang yang lewat jembatan itu menjelang petang dan ndak balik-balik, karena bukan penduduk desa sana." Gadis itu mengatupkan bibir tipisnya, mencoba menahan tawa. Tapi, mulutnya tak bisa dikontrol hingga tawa itu keluar, terdengar kencang dari sebelumnya. Sedangkan sang bapak tukang ojek hanya diam, memperhatikan penumpangnya itu.
"Aduh perut saya sakit karena tertawa. Bapak percaya saja, itu hanya mitos, Pak. Saya asli warga desa sana, selama saya tinggal di sana gak ada tuh kejadian kayak gitu." Setidaknya itu yang gadis berambut sebahu itu tahu sepuluh tahun yang lalu. "Sudah, Pak. Jangan takut, aman mah kalau sama saya," ujar sang gadis meyakinkan.
Bapak tukang ojek itu terdiam, dia masih terlihat ragu. Pasalnya berita hilangnya orang setelah melewati jembatan itu, tersebar dan banyak yang membenarkannya.
"Saya bayar tiga kali lipat, deh," tawar gadis itu. Terdiam menatap depan, sang tukang ojek menimang-nimang tawaran menggiurkan itu.
"Ya sudah, kalau Mbaknya memaksa." Sang gadis hanya memutar bola mata malas.
"Bilang aja mau uang tambahan, kan gak usah debat dari tadi, Pak," ujarnya kesal. Lalu kembali naik ke atas motor, sambil membenarkan letak tas punggungnya. Sang tukang ojek hanya meringis tanpa dosa, memeperlihatkan deretan gigi yang beberapa telah copot dari tempatnya.
Motor melaju dengan pelan, suara papan yang bertubrukan dengan ban motor kini terdengar keras di kesunyian kala itu. Sang gadis merapatkan jaketnya, angin berembus semakin kencang, hingga membuat jembatan gantung bergoyang ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama angin.
Gadis itu menatap ke bawah, aliran air tenang, namun terlihat menyeramkan kini terlihat di sana. Ia bergedik ngeri, membayangkan apabila dirinya jatuh ke sungai yang dalam itu. Pandangannya beralih ke depan, siluet putih tiba-tiba terlihat melintas di depan kendaraan yang mereka tumpangi.
"Awas, Pak!" teriak gadis itu, refleks sang bapak tukang ojek menarik rem. Ban berdecit hingga menimbulkan suara, motor oleng karena diberhentikan mendadak. Keduanya jatuh, kaki mereka terjebak tertimpa kendaraan besi itu.
"Bapak tidak papa?" tanya gadis itu khawatir. Keduanya berupaya mengangkat motor yang menimpa tubuh mereka, hingga motor kini kembali berdiri tegak.
"Mereka marah, mereka marah," racau bapak itu.
"Berhenti berpikiran seperti itu, Pak! Mungkin saja itu hanya orang yang sedang lewat, atau cahaya lampu." elaknya. Tak bisa dipungkiri, bahwa gadis itu saat ini tengah takut juga. Mata cokelat gelapnya menatap ke sekeliling, gelap mulai mendominasi. Hanya ada cahaya yang berasal dari motor butut yang ia tumpangi tadi.
"Mana ada orang menyebrang, ini jembatan, Mbak. Hanya ada satu arah dan tidak mungkin cahaya lampu, ndak ada orang di sini selain kita. Saya yakin itu penunggu jembatan ini."
Gadis itu menelan ludah dengan susah payah ketika mendengarnya. Hawa dingin kini menusuk, menembus jaket bahkan terasa sampai ke tulang. Gadis itu merapatkan jaketnya, bulu kuduknya kini meremang. Namun, ia tetap memasang wajah tenang, seolah-olah perkataan itu tak berpengaruh padanya. Benar-benar pintar bersandiwara.
"Ah, mana mungkin?" elaknya kembali. Bapak itu hanya diam, seperti sedang berpikir. Tidak ada gunanya juga menjelaskan panjang lebar pada gadis di depannya.
Gadis berambut sebahu itu mulai khawatir. Pemikiran bahwa tukang ojek yang bersamanya akan kembali pulang dan meninggalkannya sendiri kini bersemanyam di dalam pikiran. Tidak, sebelum hal itu terjadi dia harus mencari alternatif lain. Sepertinya dia harus menghubungi keluarganya agar dijemput.
Sang gadis merogohnya saku celana, mengambil sebuah benda tipis berwarna hitam, menghidupkan benda itu hingga cahaya terpancar dari layarnya.
"Akh, sial. Gak ada sinyal lagi," umpat gadis itu kesal. Ia sibuk menggerak-gerakkan ponselnya ke segala arah, berharap mendapatkan sinyal dengan melakukan itu. Gerakannya terhenti, ketika telinga mendengar suara azan magrib dari desa seberang.
"Sudah azan magrib, saya harus segera pulang."
Damn it, yang gadis itu khawatirkan sekarang terjadi juga. Dia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, menatap si tukang ojek dengan raut wajah tak percaya.
"Bapak bercanda? Tega Bapak ninggalin saya sendiri di sini? Lagipula saya bayar Bapak tiga kali lipat, lho," ujar gadis itu. Jika saja tukang ojek itu tidak lebih tua darinya, bisa dipastikan gadis itu akan memukul kepalanya dengan keras. Agar bisa berpikir dan tak bertindak seenak jidatnya.
"Maaf, mbak, ndak usah bayar, saya ikhlas. Saya harus pergi." Tukang ojek itu memutar arah motornya ke belakang. Mesin motornya tiba-tiba mati, hingga cahaya lampunya ikut padam. Kini semua terasa gelap, sangat gelap. Gadis itu kesal sekaligus ingin tertawa, melihat bapak ojek yang sibuk berusaha menghidupkan motornya kembali.
"Motor Bapak aja gak mau diajak pulang. Udah, lebih baik—“ Tiba-tiba motor kembali menyala, hingga membuat sang gadis berhenti bicara, tidak melanjutkan kalimatnya. Ia melongo, menatap tak percaya pada orang yang duduk di atas motor tengah tersenyum tipis ke arahnya.
"Maaf, Mbak." Tanpa mendengar jawaban dari sang gadis terlebih dahulu, tukang ojek itu langsung melaju pergi.
“Hai, Pak, setidaknya tunggu sampai bapak saya datang,” teriak gadis itu, tapi si tukang ojek tetap saja tak mau berhenti. Gadis itu kembali mengumpat, sekarang bagaimana dia pulang? Rumahnya masih jauh dan juga dia agak takut jalan sendirian.
Tak lama kemudian, sebuah cahaya menyorot dari arah dia datang. Ia menutup kedua mata dengan tangan karena cahaya itu menyilaukan. Suara kendaraan terdengar semakin mendekat. Dalam hati gadis itu bersorak senang, berpikir bahwa tukang ojek tadi berubah pikiran dan kembali untuk mengantarnya pulang sampai tujuan.
Saat ia membuka tangannya yang menutupi mata. Sebuah sepeda motor astrea kini terpakir indah di depannya, dengan cahaya lampu yang masih menyala. Refleks ia melangkah mundur, ada motor tapi tidak ada si pengendara. Apa mungkin motor itu jalan sendiri? Bulu kuduk kini meremang, tangan refleks memegang tengkuk. Ia menelan ludah, tubuhnya sudah panas dingin sekarang ini. Bau melati kini menguar di udara, membuat siapa saja bergedik ngeri menciumnya. Semakin kuat, seakan bau itu mendekat ke arahnya, bukan hanya sekedar terbawa oleh embusan angin saja.
"Aaaa!" jeritnya, ketika sebuah tangan menepuk pundaknya dari belakang.
"Kamu tidak papa?" Bukannya menjawab, gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah. Netranya menangkap siluet putih tadi di ujung jembatan. Entah orang atau bukan, tapi siluet itu terjun ke bawah jembatan. Gadis itu bahkan sampai menengok ke arah bawah, tepat di mana aliran air tenang berada untuk melihatnya. Ia menghela napas lega, bersandar pada batas jembatan, ketika mengetahui apa yang ia lihat tadi hanya ilusi semata. Mungkin.
"Kamu tidak papa?" Sang gadis terdiam, menatap pemuda di depannya. Pandangan beralih pada kaki pemuda itu yang tersorot cahaya lampu motor, ia kembali menghela napas lega mengetahui kaki pemuda di depannya menapak di alas jembatan.
"Saya tidak papa," jawabnya singkat.
"Mau saya antar?" tawar pemuda itu. Sang gadis terdiam, tapi karena tak memiliki pilihan lain akhirnya ia mengangguk.
Gemerlap cahaya redup kini mulai terlihat di beberapa titik, menyinari jalanan yang sepi di ujung jembatan sana. Bau kemenyan tiba-tiba tercium, setelah motor melewati jembatan. Menghela napas, sang gadis menutup hidungnya karena tak tahan dengan aroma kuat itu. Ini adalah salah satu alasan kenapa dia tidak mau kembali ke desa ini lagi.
Desa Danyang Pitu, begitulah warga desa sekitar menyebutnya. Danyang adalah sebutan untuk seorang penjaga, sedangkan pitu adalah tujuh. Seperti namanya, desa ini dijaga oleh tujuh Danyang yang tersebar di berbagai titik dan titik itu disebut dengan nama petilasan, tempat suci di mana dilaksanakannya kegiatan yang berhubungan dengan adat-istiadat dan hal-hal gaib. Maka tak ayal, jika banyak orang dari desa tetangga yang datang untuk berdoa, mengharap banyak hal di sana, termasuk kekayaan, meskipun mereka tahu itu syirik.
Dari kaca spion gadis itu dapat melihat dengan jelas, bahwa pemuda di depannya tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan datar. Karena merasa tak nyaman, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mencoba tak menatap mata pemuda itu yang terkesan dingin.
"Kemarin ada yang jatuh," jelas pemuda itu tanpa ada yang bertanya. Gadis itu mengalihkan pandangan, menatap pemuda di depannya lewat spion dalam diam, kemudian menganggukkan kepala. Meski sudah lama, ia masih ingat tradisi warga desa sini. Mereka selalu meletakkan sesaji berupa beras kuning yang dicampur dengan bunga mawar dan uang koin. Tak lupa juga dengan kemenyan yang dibakar di ujung jembatan, ketika ada orang yang jatuh dari sana. Mereka percaya, dengan melakukan itu maka penunggu tempat mereka jatuh tidak akan mengusik dan memperburuk keadaan korban yang jatuh.
Desa ini tak berubah sedikit pun, masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Rumah warga desa tertutup rapat, jalan terlihat redup karena hanya diterangi dengan bohlam kecil berwarna kuning. Penduduk desa masih percaya dengan adanya mitos yang dibawa oleh nenek moyang mereka, meski zaman sudah modern. Itulah mengapa, desa ini dianggap kental dengan hal-hal yang berbau mistis.
Motor yang mereka tumpangi kini berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terlihat lebih luas dari rumah lainnya. Pintunya menjulang tinggi dengan ukiran berbentuk bunga yang memanjang di setiap sudutnya. Mengernyit bingung, gadis itu turun dari motor. Aneh, seingatnya ia belum mengatakan tempat yang ingin dia tuju. Tapi mengapa pemuda ini mengantarnya di tempat yang tepat, bagaimana dia bisa tahu?
Baru saja ia ingin membuka mulut, suara pintu yang terbuka menghentikannya. Seorang pria paruh baya bertubuh besar dan tinggi melangkah mendekat. Kumis tebal menambah kesan garang pada wajahnya, hingga membuat sang gadis menunduk takut.
"Masuk!" perintahnya tegas. Gadis itu mendongak, tatapannya beralih ke samping, tempat pemuda tadi. Kerutan semakin terlihat jelas di keningnya, ketika netranya tak menemukan sosok pemuda tadi. Ke mana dia pergi tiba-tiba? Bahkan ia tak mendengar suara deru mesin motornya.
"Rumi." Panggilan itu membuat sang gadis kembali menatap pria paruh baya di depannya. Ia mengangguk, berjalan masuk ke dalam rumah dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi otaknya.
Note : Cerita ini fiksi, namun beberapa kejadian dan tempat peristiwa benar-benar ada, tetapi disamarkan. Cerita ini tidak bermaksud memanipulasi pemikiran masyarakat tentang adat-istiadat yang dijabarkan dalam cerita.
Sumber gambar : Google and PistArt
Quote:
Diubah oleh Visiliya123 04-11-2022 22:31
herry8900 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
10K
238
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Visiliya123
#39
Ngalor Ngetan
Horror story
Satu Suro
Hujan mengguyur deras Desa Danyang Pitu. Depan pasar yang biasanya ramai dengan penjual yang menggelar langsar untuk menaruh barang dagangannya kini tak terlihat lagi, meski hari masih terhitung pagi.
Helaan napas dari pedagang yang tak sanggup membeli lapak di dalam pasar menunjukkan dampak besar hujan hari ini. Mereka dipaksa menutup barang dagangan, sebagian memilih tetap berjualan mengandalkan jalanan pasar yang membuat pasar terlihat semakin sesak saja. Beberapa dari mereka yang rumahnya tak jauh dari pasar, memilih pulang dengan mengangkut barang dagangan. Tak peduli masih pagi atau tidak, sudah habis atau belum.
Rumi dan Zein yang telah tiba di pintu masuk pasar menghela napas panjang. Baju mereka sedikit basah, tetapi untung saja mereka sampai tepat waktu sebelum hujan deras benar-benar turun.
"Sekar, ayo masuk!" teriak Zein mengalahkan bunyi derasnya hujan juga teriakan orang-orang di pasar.
"Aku gak tau harus ke mana, kamu saja yang pimpin jalannya," balas Rumi tak kalah kencangnya.
Zein mengangguk lalu mulai berjalan menerobos orang-orang sambil sesekali memiringkan tubuhnya, diikuti oleh Rumi.
Beberapa pedangang yang mereka lewati mulai menawarkan barang dagangannya. Dan untuk berapa kalinya juga, Zein mengatakan tidak, sedangkan Rumi hanya menggerakkan tangannya ke kiri ke kanan.
Zein menoleh ke setiap sudut kiri dan kanan yang mereka lewati. Cukup lama mereka memutari pasar, dari kompleks penjual baju dan kain, penjual alat-alat dapur, penjual make up dan aksesoris, juga lainnya. Rumi mulai lelah mengikuti langkah Zein yang tak berhenti-berhenti itu.
Tak tahan lagi, Rumi menyekal tangan Zein yang membuat pemuda itu berhenti melangkah. Memutar tubuh ke belakang, pemuda itu menatap Rumi dengan raut wajah bingung.
"Sampai kapan?" tanya Rumi yang mulai kehilangan tenaga.
Zein tak mengerti dengan pertanyaan Rumi yang terbilang ambigu. Pemuda itu masih memasang raut wajah yang sama seperti tadi.
Bukannya mendengarkan Rumi yang sedang mengoceh karena lelah. Zein malah fokus kepada seorang pria yang membawa karung besar di pundaknya. Dia berjalan tertunduk sambil mengatakan kalimat yang sama.
"Minggir, awas, awas, awas ketabrak!"
Dengan cepat Zein menarik Rumi ke arahnya sebelum gadis itu tertabrak pria tadi. Rumi yang terkejut hanya berteriak karenanya. Sedangkan pria yang membawa karung tadi terus berjalan.
"Sekar, kamu ndak papa?"
Rumi tak menjawab, gadis itu hanya mengerucutkan bibir lalu berteriak keras kepada pria yang hampir menabraknya. "Kalau jalan pake mata dong!"
"Pake kaki," sahut Zein. Yang membuat Rumi menoleh ke arahnya dan semakin kesal saja. Rumi tak menjawab, dia malah memutar tubuh dan berjalan pergi.
"Sekar, mau ke mana?"
Tak menjawab, alhasil Zein hanya mengikuti gadis itu. Sesekali senyuman terlihat menghiasi wajah pemuda itu. Rasanya aneh dan menggemaskan melihat seorang gadis berusia 22 tahun bersikap ke kanak-kanakkan. Suasana hatinya benar-benar cepat berubah. Terkadang terlihat begitu dewasa, tetapi saat marah atau kesal lebih mirip bocah SD yang merengek minta uang jajan.
Rumi terus berjalan mengikuti langkah kakinya. Kini giliran Zein yang merasa lelah mengikuti gadis itu. Tadinya Zein memang sengaja berputar-putar untuk membuatnya kesal. Dia tak menyangka, kini dia juga dibuat kesal.
"Sekar, berhenti. Yang jual bunga di sana." Tanpa mendengarkan ucapan pemuda itu, Rumi terus berjalan. "Ya sudah kalau kamu tidak mau ikut, saya pergi sendiri, nanti kita bertemu di pintu masuk saja," teriak pemuda itu karena jaraknya dan Rumi sedikit jauh. Rumi sempat menoleh ke belakan, tetapi dia tak perduli dan terus berjalan.
Zein menghela napas, lalu menerobos masuk. Berjalan sampai pasar bagian belakang. Seorang wanita dengan keriput di wajah dan rambut yang memutih terlihat terduduk di lantai beralaskan karung. Di depannya tergelar dua helai daun pisang yang berisi bunga-bunga yang tinggal kelopaknya saja.
Zein menghampiri nenek tua itu. Dia membeli beberapa pincuk kembang boreh, yang terdiri dari campuran bunga mawar, bunga kenanga, bunga melati dan irisan daun pandan. Biasanya kembang boreh digunakan untuk nyekar atau taburan di pemakaman. Namun, tak jarang juga kembang boreh digunakan untuk sesaji saat ritual adat istiadat. Seperti saru suro yang akan dimulai malam nanti.
Setelah selesai membeli, Zein tidak langsung pergi ke tempat di mana dia dan Rumi harus bertemu kembali. Pemuda itu malah berjalan menuju penjual aksesoris dan make up yang ia lihat sevelumnya. Pemuda itu tersenyum ketika melihat jepit rambut sederhana berwarna biru laut. Tanpa pikir panjang, pemuda itu membelinya.
Zein kembali ke tujuan awal. Di dekat pintu masuk, Rumi terlihat berjongkok, melipat kedua tangan di atas lutut dan menenggelamkan wajahnyanya di lipatan tangan. Rambut sebahunya otomatis jatuh menutupi wajahnya hingga tak terlihat. Namun, meskipun begitu, Zein mengenalinya.
Pemuda itu melangkah ke arah Rumi. Lalu ikut berjongkok di depan gadi itu. Dia tersenyum, meletakkan plastik berisi kembang boreh ke lantai. Lalu mengambil jepit rambut yang ia beli. Kedua tangannya terulur ke arah Rumi, menarik kebelakang dengan perlahan kedua sisi kiri dan kanan rambut gadis itu. Rumi sontak saja menegakkan wajahnya. Dia hanya diam saja ketika Zein memasang jepit rambut, hingga rambitnya seperti di kuncir sekarang ini.
"Mata saya sakit lihat rambut kamu nutupin wajah sama mata," ujar pemuda itu sambil tertawa.
"Kalau gak suka gak usah liat." Rumi berdiri diikuti oleh Zein. Gadis itu melepas jepit rambut yang Zein pasangkan. "Aku juga gak suka liat jepit rambut ini," lanjutnya sambil menyodorkan jepit rambut itu ke arah Zein.
"Ya sudah, akan saya berikan kepada Sarah saja." Mendengar hal itu, Rumi membelalakkan matanya. Ketika Zein ingin mengambil jepit rambut itu kembali, Rumi kembali memakainya.
"Kenapa dipakai lagi?"
"Tiba-tiba aku gerah." Zein tersenyum tipis, padahal cucanya dingin. Rumi merutuki dirinya sendiri karena melakukan hal konyol tersebut. Gadis itu berdehem, lalu berujar, "Ayo pulang, lagi pula hujannya tidak sederas tadi."
Zein mengangguk menyetujuinya, lalu keduanya pulang, menembus gerimis.
***
Menjelang sore hari, semua warga berkumpul di perempatan jalan dengan membawa nampan berisi bubur sebagai bahan ritual. Satu suro merupakan bulan yang sakral bagi orang Jawa. Di bulan ini banyak hal-hal mistis yang penuh dengan misteri selalu dikaitkan, berbagai larangan juga di terapkan. Sampai sekarang masyarakat Jawa masih memegang teguh kepercayaan itu, termasuk warga desa Danyang Pitu.
Seperti biasa, warga Desa Danyang Pitu menggelar acara suronan di perempatan jalan. Sebab perempatan jalan merupakan pintu masuk menuju rumah-rumah warga. Sedangkan ritual ini dimaksudkan untuk menolak bala.
Semua nampan berisi bubur aneka rupa yang kemudian ditutup dengan daun pisang, sengaja disusun rapi di jalan. Sedangkan warga, duduk melingkar di samping bubur itu. Bubur suro merupakan simbol dari keselamatan, juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi.
Kembang boreh yang Zein beli, diletakkan di dalam wadah takir daun pisang. Dan ditaruh di samping-samping bubur dekat dengan Pak Kiyai yang akan memimpin doa tolak bala. Tujuan bunga ini hanya untuk wangi-wangian, bukan untuk memberi makan makhluk gaib.
Pak Kiyai mulai mengumandangkan doa tolak bala dan semua warga di sana mengangkat kedua tangan, posisi berdoa biasa. Doanya seperti yang islam ajarkan, hanya saja karena masih memagang adat jawa, doa tolak bala ini sering disebut upacara keagamaan. Dan juga, untuk tempat dan apa saja bahan upacara tetap menganut adat jawa. Namun, tetap saja, semua doa ditujukkan pada Tuhan, bukan untuk makhluk gaib.
Setelah selesai, warga menukar bubur yang mereka bawa dengan bubur orang lain. Intinya mereka saling tukar-menukar bubur. Mereka yang mengonsumsi bubur suro di Tahun Baru Islam diharapkan diberi perlindungan oleh Allah SWT. Ini juga sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas keselamatan, rahmat dan kebahagiaan yang telah diberikan Tuhan selama ini. Jadi setelah dirumah, mereka boleh memakannya. Terkadang, ada juga warga yang memberikan bubur itu pada hewan peliharaan mereka. Katanya agar hewannya itu selamat dan beranak pinak sebab mengandung doa. Jangan tanyakan bagaimana mereka memberi ayam, kambing dan sapi makan bubur, juga bertanya apakah hewan tersebut mau makan bubur. Hehe.
"Zein, ini untukmu," ujar seorang gadis sambil menyodorkan bubur pada pemuda itu. Rumi yang melihatnya tiba-tiba merasa kesal.
Horror story
Satu Suro
Hujan mengguyur deras Desa Danyang Pitu. Depan pasar yang biasanya ramai dengan penjual yang menggelar langsar untuk menaruh barang dagangannya kini tak terlihat lagi, meski hari masih terhitung pagi.
Helaan napas dari pedagang yang tak sanggup membeli lapak di dalam pasar menunjukkan dampak besar hujan hari ini. Mereka dipaksa menutup barang dagangan, sebagian memilih tetap berjualan mengandalkan jalanan pasar yang membuat pasar terlihat semakin sesak saja. Beberapa dari mereka yang rumahnya tak jauh dari pasar, memilih pulang dengan mengangkut barang dagangan. Tak peduli masih pagi atau tidak, sudah habis atau belum.
Rumi dan Zein yang telah tiba di pintu masuk pasar menghela napas panjang. Baju mereka sedikit basah, tetapi untung saja mereka sampai tepat waktu sebelum hujan deras benar-benar turun.
"Sekar, ayo masuk!" teriak Zein mengalahkan bunyi derasnya hujan juga teriakan orang-orang di pasar.
"Aku gak tau harus ke mana, kamu saja yang pimpin jalannya," balas Rumi tak kalah kencangnya.
Zein mengangguk lalu mulai berjalan menerobos orang-orang sambil sesekali memiringkan tubuhnya, diikuti oleh Rumi.
Beberapa pedangang yang mereka lewati mulai menawarkan barang dagangannya. Dan untuk berapa kalinya juga, Zein mengatakan tidak, sedangkan Rumi hanya menggerakkan tangannya ke kiri ke kanan.
Zein menoleh ke setiap sudut kiri dan kanan yang mereka lewati. Cukup lama mereka memutari pasar, dari kompleks penjual baju dan kain, penjual alat-alat dapur, penjual make up dan aksesoris, juga lainnya. Rumi mulai lelah mengikuti langkah Zein yang tak berhenti-berhenti itu.
Tak tahan lagi, Rumi menyekal tangan Zein yang membuat pemuda itu berhenti melangkah. Memutar tubuh ke belakang, pemuda itu menatap Rumi dengan raut wajah bingung.
"Sampai kapan?" tanya Rumi yang mulai kehilangan tenaga.
Zein tak mengerti dengan pertanyaan Rumi yang terbilang ambigu. Pemuda itu masih memasang raut wajah yang sama seperti tadi.
Bukannya mendengarkan Rumi yang sedang mengoceh karena lelah. Zein malah fokus kepada seorang pria yang membawa karung besar di pundaknya. Dia berjalan tertunduk sambil mengatakan kalimat yang sama.
"Minggir, awas, awas, awas ketabrak!"
Dengan cepat Zein menarik Rumi ke arahnya sebelum gadis itu tertabrak pria tadi. Rumi yang terkejut hanya berteriak karenanya. Sedangkan pria yang membawa karung tadi terus berjalan.
"Sekar, kamu ndak papa?"
Rumi tak menjawab, gadis itu hanya mengerucutkan bibir lalu berteriak keras kepada pria yang hampir menabraknya. "Kalau jalan pake mata dong!"
"Pake kaki," sahut Zein. Yang membuat Rumi menoleh ke arahnya dan semakin kesal saja. Rumi tak menjawab, dia malah memutar tubuh dan berjalan pergi.
"Sekar, mau ke mana?"
Tak menjawab, alhasil Zein hanya mengikuti gadis itu. Sesekali senyuman terlihat menghiasi wajah pemuda itu. Rasanya aneh dan menggemaskan melihat seorang gadis berusia 22 tahun bersikap ke kanak-kanakkan. Suasana hatinya benar-benar cepat berubah. Terkadang terlihat begitu dewasa, tetapi saat marah atau kesal lebih mirip bocah SD yang merengek minta uang jajan.
Rumi terus berjalan mengikuti langkah kakinya. Kini giliran Zein yang merasa lelah mengikuti gadis itu. Tadinya Zein memang sengaja berputar-putar untuk membuatnya kesal. Dia tak menyangka, kini dia juga dibuat kesal.
"Sekar, berhenti. Yang jual bunga di sana." Tanpa mendengarkan ucapan pemuda itu, Rumi terus berjalan. "Ya sudah kalau kamu tidak mau ikut, saya pergi sendiri, nanti kita bertemu di pintu masuk saja," teriak pemuda itu karena jaraknya dan Rumi sedikit jauh. Rumi sempat menoleh ke belakan, tetapi dia tak perduli dan terus berjalan.
Zein menghela napas, lalu menerobos masuk. Berjalan sampai pasar bagian belakang. Seorang wanita dengan keriput di wajah dan rambut yang memutih terlihat terduduk di lantai beralaskan karung. Di depannya tergelar dua helai daun pisang yang berisi bunga-bunga yang tinggal kelopaknya saja.
Zein menghampiri nenek tua itu. Dia membeli beberapa pincuk kembang boreh, yang terdiri dari campuran bunga mawar, bunga kenanga, bunga melati dan irisan daun pandan. Biasanya kembang boreh digunakan untuk nyekar atau taburan di pemakaman. Namun, tak jarang juga kembang boreh digunakan untuk sesaji saat ritual adat istiadat. Seperti saru suro yang akan dimulai malam nanti.
Setelah selesai membeli, Zein tidak langsung pergi ke tempat di mana dia dan Rumi harus bertemu kembali. Pemuda itu malah berjalan menuju penjual aksesoris dan make up yang ia lihat sevelumnya. Pemuda itu tersenyum ketika melihat jepit rambut sederhana berwarna biru laut. Tanpa pikir panjang, pemuda itu membelinya.
Zein kembali ke tujuan awal. Di dekat pintu masuk, Rumi terlihat berjongkok, melipat kedua tangan di atas lutut dan menenggelamkan wajahnyanya di lipatan tangan. Rambut sebahunya otomatis jatuh menutupi wajahnya hingga tak terlihat. Namun, meskipun begitu, Zein mengenalinya.
Pemuda itu melangkah ke arah Rumi. Lalu ikut berjongkok di depan gadi itu. Dia tersenyum, meletakkan plastik berisi kembang boreh ke lantai. Lalu mengambil jepit rambut yang ia beli. Kedua tangannya terulur ke arah Rumi, menarik kebelakang dengan perlahan kedua sisi kiri dan kanan rambut gadis itu. Rumi sontak saja menegakkan wajahnya. Dia hanya diam saja ketika Zein memasang jepit rambut, hingga rambitnya seperti di kuncir sekarang ini.
"Mata saya sakit lihat rambut kamu nutupin wajah sama mata," ujar pemuda itu sambil tertawa.
"Kalau gak suka gak usah liat." Rumi berdiri diikuti oleh Zein. Gadis itu melepas jepit rambut yang Zein pasangkan. "Aku juga gak suka liat jepit rambut ini," lanjutnya sambil menyodorkan jepit rambut itu ke arah Zein.
"Ya sudah, akan saya berikan kepada Sarah saja." Mendengar hal itu, Rumi membelalakkan matanya. Ketika Zein ingin mengambil jepit rambut itu kembali, Rumi kembali memakainya.
"Kenapa dipakai lagi?"
"Tiba-tiba aku gerah." Zein tersenyum tipis, padahal cucanya dingin. Rumi merutuki dirinya sendiri karena melakukan hal konyol tersebut. Gadis itu berdehem, lalu berujar, "Ayo pulang, lagi pula hujannya tidak sederas tadi."
Zein mengangguk menyetujuinya, lalu keduanya pulang, menembus gerimis.
***
Menjelang sore hari, semua warga berkumpul di perempatan jalan dengan membawa nampan berisi bubur sebagai bahan ritual. Satu suro merupakan bulan yang sakral bagi orang Jawa. Di bulan ini banyak hal-hal mistis yang penuh dengan misteri selalu dikaitkan, berbagai larangan juga di terapkan. Sampai sekarang masyarakat Jawa masih memegang teguh kepercayaan itu, termasuk warga desa Danyang Pitu.
Seperti biasa, warga Desa Danyang Pitu menggelar acara suronan di perempatan jalan. Sebab perempatan jalan merupakan pintu masuk menuju rumah-rumah warga. Sedangkan ritual ini dimaksudkan untuk menolak bala.
Semua nampan berisi bubur aneka rupa yang kemudian ditutup dengan daun pisang, sengaja disusun rapi di jalan. Sedangkan warga, duduk melingkar di samping bubur itu. Bubur suro merupakan simbol dari keselamatan, juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi.
Kembang boreh yang Zein beli, diletakkan di dalam wadah takir daun pisang. Dan ditaruh di samping-samping bubur dekat dengan Pak Kiyai yang akan memimpin doa tolak bala. Tujuan bunga ini hanya untuk wangi-wangian, bukan untuk memberi makan makhluk gaib.
Pak Kiyai mulai mengumandangkan doa tolak bala dan semua warga di sana mengangkat kedua tangan, posisi berdoa biasa. Doanya seperti yang islam ajarkan, hanya saja karena masih memagang adat jawa, doa tolak bala ini sering disebut upacara keagamaan. Dan juga, untuk tempat dan apa saja bahan upacara tetap menganut adat jawa. Namun, tetap saja, semua doa ditujukkan pada Tuhan, bukan untuk makhluk gaib.
Setelah selesai, warga menukar bubur yang mereka bawa dengan bubur orang lain. Intinya mereka saling tukar-menukar bubur. Mereka yang mengonsumsi bubur suro di Tahun Baru Islam diharapkan diberi perlindungan oleh Allah SWT. Ini juga sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas keselamatan, rahmat dan kebahagiaan yang telah diberikan Tuhan selama ini. Jadi setelah dirumah, mereka boleh memakannya. Terkadang, ada juga warga yang memberikan bubur itu pada hewan peliharaan mereka. Katanya agar hewannya itu selamat dan beranak pinak sebab mengandung doa. Jangan tanyakan bagaimana mereka memberi ayam, kambing dan sapi makan bubur, juga bertanya apakah hewan tersebut mau makan bubur. Hehe.
"Zein, ini untukmu," ujar seorang gadis sambil menyodorkan bubur pada pemuda itu. Rumi yang melihatnya tiba-tiba merasa kesal.
japraha47 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup