Kaskus

Story

Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
Ngalor-Ngetan
Ngalor-Ngetan


NGALOR-NGETAN
Horor Story
Desa Danyang Pitu


Hai, semua. Hai masyarakat indonesia, khususnya warga Puwodadi yang tentunya tidak asing dengan larangan pernikahan ngalor ngetan :v . Siapa yang tidak kesal, ketika cinta kita gagal, bukan karena bertepuk sebelah tangan atau terhalang restu orang tua, melainkan terhalang adat istiadat yang ada.

Kalian akan semakin kesal tentunya ketika membaca cerita ini emoticon-Frown. Namun, untuk diketahui, bahwa apapun yang tertulis dalam cerita ini hanyalah fiktif. Tetapi jika kalian merasa kisah ini persis dengan yang kalian alami, itu adalah mungkin sebuah kebetulan. So, selamat membaca emoticon-Smilie



Sebuah sepeda motor terlihat melaju menembus kabut tipis, dengan cahaya lampu depannya yang meredup. Suara mesin dari roda dua terdengar di telinga, diiringi suara klakson yang terus saja dibunyikan si pengendara di sepanjang perjalanan. Hal itu membuat siapa saja geram, termasuk seorang gadis yang duduk di jok belakang motor.

"Bisakah Bapak berhenti membunyikan klakson?" tanya gadis itu sedikit berteriak, takut si pengendara tak mendengar. Sebab angin yang bertiup sangat kencang kala itu bisa saja membawa suaranya pergi. Sore hari itu tidak seperti biasanya, awan menggelap menutupi sang surya yang hampir tenggelam sempurna, menyingkirkan semburat jingga yang selalu terlihat menghiasi cakrawala.

"Maaf, ndak bisa, Mbak. Ini untuk jaga-jaga, takut nabrak," jawab pengendara itu. Gadis itu hanya mengernyitkan kening, menyibak rambutnya ke samping yang menutupi mata.

"Takut nabrak apa, Pak? Di sini gak ada orang maupun binatang?" tanya gadis itu kembali. Tukang ojek di depannya ini memang sudah tidak waras, pikirnya saat itu. Jalanan ini sepi, hanya mereka yang melintas di sini. Lalu, apa yang mau ditabrak?

"Bukan itu, Mbak."

"Lalu apa? Setan?" Tepat setelah gadis itu berbicara, suara anjing yang menggonggong terdengar jelas di telinga. Kemudian disusul suara ayam jantan yang berkokok. Terasa janggal. Untuk apa ayam berkokok sore hari?

"Jangan bicara aneh-aneh, Mbak!" peringati bapak itu, sang gadis hanya tertawa kecil mendengarnya.

"Saya asli sini, Pak. Gak akan terjadi apa-apa," ucap gadis itu percaya diri. Sang tukang ojek hanya diam, tak berniat melanjutkan pembicaraan. Kendaraan beroda dua itu berhenti, tepat di ujung jembatan. Sang gadis yang merasa ada yang tidak beres, segera turun dari motor.

"Kenapa, Pak? Motornya mogok?" tanyanya sambil membenarkan posisi tas di punggung yang terlihat besar.

"Bukan, Mbak. Tapi ...," jawab tukang ojek itu menggantung, wajahnya terlihat pucat pasi. Dia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.

"Tapi, apa, Pak? Saya sudah tidak punya banyak waktu, sebentar lagi magrib."

"Saya ndak bisa ngantar sampai rumah, Mbak. Saya ... saya takut, ndak bisa balik lagi setelah melewati jembatan ini," jelas sang bapak yang membuat gadis itu melongo tidak percaya.

"Bapak bercanda?" ujar sang gadis diakhiri dengan kekehan. Tukang ojek di depannya memang semakin aneh saja. Mana ada orang hilang setelah melewati jembatan ini.

"Saya ndak bercanda, Mbak. Katanya ada orang yang lewat jembatan itu menjelang petang dan ndak balik-balik, karena bukan penduduk desa sana." Gadis itu mengatupkan bibir tipisnya, mencoba menahan tawa. Tapi, mulutnya tak bisa dikontrol hingga tawa itu keluar, terdengar kencang dari sebelumnya. Sedangkan sang bapak tukang ojek hanya diam, memperhatikan penumpangnya itu.

"Aduh perut saya sakit karena tertawa. Bapak percaya saja, itu hanya mitos, Pak. Saya asli warga desa sana, selama saya tinggal di sana gak ada tuh kejadian kayak gitu." Setidaknya itu yang gadis berambut sebahu itu tahu sepuluh tahun yang lalu. "Sudah, Pak. Jangan takut, aman mah kalau sama saya," ujar sang gadis meyakinkan.

Bapak tukang ojek itu terdiam, dia masih terlihat ragu. Pasalnya berita hilangnya orang setelah melewati jembatan itu, tersebar dan banyak yang membenarkannya.

"Saya bayar tiga kali lipat, deh," tawar gadis itu. Terdiam menatap depan, sang tukang ojek menimang-nimang tawaran menggiurkan itu.

"Ya sudah, kalau Mbaknya memaksa." Sang gadis hanya memutar bola mata malas.

"Bilang aja mau uang tambahan, kan gak usah debat dari tadi, Pak," ujarnya kesal. Lalu kembali naik ke atas motor, sambil membenarkan letak tas punggungnya. Sang tukang ojek hanya meringis tanpa dosa, memeperlihatkan deretan gigi yang beberapa telah copot dari tempatnya.

Motor melaju dengan pelan, suara papan yang bertubrukan dengan ban motor kini terdengar keras di kesunyian kala itu. Sang gadis merapatkan jaketnya, angin berembus semakin kencang, hingga membuat jembatan gantung bergoyang ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama angin.

Gadis itu menatap ke bawah, aliran air tenang, namun terlihat menyeramkan kini terlihat di sana. Ia bergedik ngeri, membayangkan apabila dirinya jatuh ke sungai yang dalam itu. Pandangannya beralih ke depan, siluet putih tiba-tiba terlihat melintas di depan kendaraan yang mereka tumpangi.

"Awas, Pak!" teriak gadis itu, refleks sang bapak tukang ojek menarik rem. Ban berdecit hingga menimbulkan suara, motor oleng karena diberhentikan mendadak. Keduanya jatuh, kaki mereka terjebak tertimpa kendaraan besi itu.

"Bapak tidak papa?" tanya gadis itu khawatir. Keduanya berupaya mengangkat motor yang menimpa tubuh mereka, hingga motor kini kembali berdiri tegak.

"Mereka marah, mereka marah," racau bapak itu.

"Berhenti berpikiran seperti itu, Pak! Mungkin saja itu hanya orang yang sedang lewat, atau cahaya lampu." elaknya. Tak bisa dipungkiri, bahwa gadis itu saat ini tengah takut juga. Mata cokelat gelapnya menatap ke sekeliling, gelap mulai mendominasi. Hanya ada cahaya yang berasal dari motor butut yang ia tumpangi tadi.

"Mana ada orang menyebrang, ini jembatan, Mbak. Hanya ada satu arah dan tidak mungkin cahaya lampu, ndak ada orang di sini selain kita. Saya yakin itu penunggu jembatan ini."

Gadis itu menelan ludah dengan susah payah ketika mendengarnya. Hawa dingin kini menusuk, menembus jaket bahkan terasa sampai ke tulang. Gadis itu merapatkan jaketnya, bulu kuduknya kini meremang. Namun, ia tetap memasang wajah tenang, seolah-olah perkataan itu tak berpengaruh padanya. Benar-benar pintar bersandiwara.

"Ah, mana mungkin?" elaknya kembali. Bapak itu hanya diam, seperti sedang berpikir. Tidak ada gunanya juga menjelaskan panjang lebar pada gadis di depannya.

Gadis berambut sebahu itu mulai khawatir. Pemikiran bahwa tukang ojek yang bersamanya akan kembali pulang dan meninggalkannya sendiri kini bersemanyam di dalam pikiran. Tidak, sebelum hal itu terjadi dia harus mencari alternatif lain. Sepertinya dia harus menghubungi keluarganya agar dijemput.
Sang gadis merogohnya saku celana, mengambil sebuah benda tipis berwarna hitam, menghidupkan benda itu hingga cahaya terpancar dari layarnya.

"Akh, sial. Gak ada sinyal lagi," umpat gadis itu kesal. Ia sibuk menggerak-gerakkan ponselnya ke segala arah, berharap mendapatkan sinyal dengan melakukan itu. Gerakannya terhenti, ketika telinga mendengar suara azan magrib dari desa seberang.

"Sudah azan magrib, saya harus segera pulang."

Damn it, yang gadis itu khawatirkan sekarang terjadi juga. Dia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, menatap si tukang ojek dengan raut wajah tak percaya.

"Bapak bercanda? Tega Bapak ninggalin saya sendiri di sini? Lagipula saya bayar Bapak tiga kali lipat, lho," ujar gadis itu. Jika saja tukang ojek itu tidak lebih tua darinya, bisa dipastikan gadis itu akan memukul kepalanya dengan keras. Agar bisa berpikir dan tak bertindak seenak jidatnya.

"Maaf, mbak, ndak usah bayar, saya ikhlas. Saya harus pergi." Tukang ojek itu memutar arah motornya ke belakang. Mesin motornya tiba-tiba mati, hingga cahaya lampunya ikut padam. Kini semua terasa gelap, sangat gelap. Gadis itu kesal sekaligus ingin tertawa, melihat bapak ojek yang sibuk berusaha menghidupkan motornya kembali.

"Motor Bapak aja gak mau diajak pulang. Udah, lebih baik—“ Tiba-tiba motor kembali menyala, hingga membuat sang gadis berhenti bicara, tidak melanjutkan kalimatnya. Ia melongo, menatap tak percaya pada orang yang duduk di atas motor tengah tersenyum tipis ke arahnya.

"Maaf, Mbak." Tanpa mendengar jawaban dari sang gadis terlebih dahulu, tukang ojek itu langsung melaju pergi.

“Hai, Pak, setidaknya tunggu sampai bapak saya datang,” teriak gadis itu, tapi si tukang ojek tetap saja tak mau berhenti. Gadis itu kembali mengumpat, sekarang bagaimana dia pulang? Rumahnya masih jauh dan juga dia agak takut jalan sendirian.

Tak lama kemudian, sebuah cahaya menyorot dari arah dia datang. Ia menutup kedua mata dengan tangan karena cahaya itu menyilaukan. Suara kendaraan terdengar semakin mendekat. Dalam hati gadis itu bersorak senang, berpikir bahwa tukang ojek tadi berubah pikiran dan kembali untuk mengantarnya pulang sampai tujuan.

Saat ia membuka tangannya yang menutupi mata. Sebuah sepeda motor astrea kini terpakir indah di depannya, dengan cahaya lampu yang masih menyala. Refleks ia melangkah mundur, ada motor tapi tidak ada si pengendara. Apa mungkin motor itu jalan sendiri? Bulu kuduk kini meremang, tangan refleks memegang tengkuk. Ia menelan ludah, tubuhnya sudah panas dingin sekarang ini. Bau melati kini menguar di udara, membuat siapa saja bergedik ngeri menciumnya. Semakin kuat, seakan bau itu mendekat ke arahnya, bukan hanya sekedar terbawa oleh embusan angin saja.

"Aaaa!" jeritnya, ketika sebuah tangan menepuk pundaknya dari belakang.

"Kamu tidak papa?" Bukannya menjawab, gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah. Netranya menangkap siluet putih tadi di ujung jembatan. Entah orang atau bukan, tapi siluet itu terjun ke bawah jembatan. Gadis itu bahkan sampai menengok ke arah bawah, tepat di mana aliran air tenang berada untuk melihatnya. Ia menghela napas lega, bersandar pada batas jembatan, ketika mengetahui apa yang ia lihat tadi hanya ilusi semata. Mungkin.

"Kamu tidak papa?" Sang gadis terdiam, menatap pemuda di depannya. Pandangan beralih pada kaki pemuda itu yang tersorot cahaya lampu motor, ia kembali menghela napas lega mengetahui kaki pemuda di depannya menapak di alas jembatan.

"Saya tidak papa," jawabnya singkat.

"Mau saya antar?" tawar pemuda itu. Sang gadis terdiam, tapi karena tak memiliki pilihan lain akhirnya ia mengangguk.

Gemerlap cahaya redup kini mulai terlihat di beberapa titik, menyinari jalanan yang sepi di ujung jembatan sana. Bau kemenyan tiba-tiba tercium, setelah motor melewati jembatan. Menghela napas, sang gadis menutup hidungnya karena tak tahan dengan aroma kuat itu. Ini adalah salah satu alasan kenapa dia tidak mau kembali ke desa ini lagi.

Desa Danyang Pitu, begitulah warga desa sekitar menyebutnya. Danyang adalah sebutan untuk seorang penjaga, sedangkan pitu adalah tujuh. Seperti namanya, desa ini dijaga oleh tujuh Danyang yang tersebar di berbagai titik dan titik itu disebut dengan nama petilasan, tempat suci di mana dilaksanakannya kegiatan yang berhubungan dengan adat-istiadat dan hal-hal gaib. Maka tak ayal, jika banyak orang dari desa tetangga yang datang untuk berdoa, mengharap banyak hal di sana, termasuk kekayaan, meskipun mereka tahu itu syirik.

Dari kaca spion gadis itu dapat melihat dengan jelas, bahwa pemuda di depannya tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan datar. Karena merasa tak nyaman, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mencoba tak menatap mata pemuda itu yang terkesan dingin.

"Kemarin ada yang jatuh," jelas pemuda itu tanpa ada yang bertanya. Gadis itu mengalihkan pandangan, menatap pemuda di depannya lewat spion dalam diam, kemudian menganggukkan kepala. Meski sudah lama, ia masih ingat tradisi warga desa sini. Mereka selalu meletakkan sesaji berupa beras kuning yang dicampur dengan bunga mawar dan uang koin. Tak lupa juga dengan kemenyan yang dibakar di ujung jembatan, ketika ada orang yang jatuh dari sana. Mereka percaya, dengan melakukan itu maka penunggu tempat mereka jatuh tidak akan mengusik dan memperburuk keadaan korban yang jatuh.

Desa ini tak berubah sedikit pun, masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Rumah warga desa tertutup rapat, jalan terlihat redup karena hanya diterangi dengan bohlam kecil berwarna kuning. Penduduk desa masih percaya dengan adanya mitos yang dibawa oleh nenek moyang mereka, meski zaman sudah modern. Itulah mengapa, desa ini dianggap kental dengan hal-hal yang berbau mistis.

Motor yang mereka tumpangi kini berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terlihat lebih luas dari rumah lainnya. Pintunya menjulang tinggi dengan ukiran berbentuk bunga yang memanjang di setiap sudutnya. Mengernyit bingung, gadis itu turun dari motor. Aneh, seingatnya ia belum mengatakan tempat yang ingin dia tuju. Tapi mengapa pemuda ini mengantarnya di tempat yang tepat, bagaimana dia bisa tahu?

Baru saja ia ingin membuka mulut, suara pintu yang terbuka menghentikannya. Seorang pria paruh baya bertubuh besar dan tinggi melangkah mendekat. Kumis tebal menambah kesan garang pada wajahnya, hingga membuat sang gadis menunduk takut.

"Masuk!" perintahnya tegas. Gadis itu mendongak, tatapannya beralih ke samping, tempat pemuda tadi. Kerutan semakin terlihat jelas di keningnya, ketika netranya tak menemukan sosok pemuda tadi. Ke mana dia pergi tiba-tiba? Bahkan ia tak mendengar suara deru mesin motornya.

"Rumi." Panggilan itu membuat sang gadis kembali menatap pria paruh baya di depannya. Ia mengangguk, berjalan masuk ke dalam rumah dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi otaknya.



Note : Cerita ini fiksi, namun beberapa kejadian dan tempat peristiwa benar-benar ada, tetapi disamarkan. Cerita ini tidak bermaksud memanipulasi pemikiran masyarakat tentang adat-istiadat yang dijabarkan dalam cerita.


Sumber gambar : Google and PistArt


Quote:

Diubah oleh Visiliya123 04-11-2022 22:31
bonita71Avatar border
rassofAvatar border
herry8900Avatar border
herry8900 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
10K
238
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
#22
Ngalor Ngetan
Horror story
Sungai dan Masa Lalu


Sang surya menggila, memperlihatkan kekuasaannya. Kicauan burung menggema di telinga, mereka berterbangan menuju sumber air yang masih setia mengalir meski pelan. Seekor cacing yang baru saja terjatuh dari ember berisi umpan, menggeliat kesetanan. Kulitnya mengering, hidupnya diambang kematian. Tinggal menghitung menit, ah mungkin hanya tinggal beberapa detik binatang yang hidup di tanah itu meregang nyawa.
Gemercik air terdengar, burung-burung kecil yang tengah meneguk air, berterbangan ketika beberapa bocah menceburkan diri dalam genangan air.

Gelak tawa terdengar dari mulut mereka, wajah sumringah tercetak jelas di sana. Hanya berbalut celana dalam dua bocah laki-laki berlari ke sana-ke mari dalam genangan air dangkal. Begitulah keseharian anak-anak desa. Bagi mereka alam adalah tempat bermain tanpa mengenal batas.

"Tunggu!"

Terlihat langkah kaki yang tergesa dari seorang gadis kecil dengan rok yang ia tarik ke atas dengan salah satu tangan mungilnya, sedangkan tangan lainnya sibuk menggenggam sendal jepit berwarna merah.

Napasnya terengah-engah, tangannya menopang pada lutut. Binar bahagia tercetak jelas di wajahnya, kala netra hitam menangkap binatang merah bersayap empat dengan mata bulat besar, bertengger di salah satu dahan pohon yang telah tumbang. Kakinya melangkah perlahan, salah satu tangannya ia majukan dengan ibu jari dan telunjuk hampir bersentuhan. Mata hitam tak beralih dari binatang itu, tangan hampir bersentuhan dengan sayap transparan. Tinggal sedikit lagi, ia dalam genggaman.

"Yah." Gadis itu mendesah kecewa karena tak berhasil menangkapnya. Susah-susah ia mencari dan berlari mengejarnya, setelah tinggal sedikit ia bisa mendapatkannya, kedua bocah jahil itu mengancurkan usahanya, dengan mencipratkan air ke arahnya.

"Hahaha." Kedua bocah laki-laki itu tertawa tanpa dosa. Mata hitam gadis kecil menatap tajam, bak sebuah pedang yang siap berperang.

"Awas kalian, ya!"

"Wleh, sini kalau berani!"

Dilemparnya sendal jepit yang senantiasa ia genggam ke tanah, dengan rok yang ia tarik ke atas, gadis itu melangkahkan kakinya pada genangan air.

Terjadilah perang air antara ketiganya, jerit terkadang terdengar kala air mengenai tubuh gadis kecil itu. Gelak tawa mengiringi ketiganya, alam seakan menyaksikan kegembiraan bocah desa itu. Ikan yang berenang dalam kubangan air memilih menyingkir, tak mau mengganggu kebahagiaan mereka.

Rumi yang duduk di pinggir sungai sambil menenteng rantang kosong setelah mengantarkan isinya pada sang bapak, ikut tertawa melihat tingkah ketiga bocah itu. Rasanya ia tengah bernostalgia. Dulu dia juga suka bermain di sungai, sampai ibunya datang dan memarahi Rumi, barulah dia pulang ke rumah.

"Itu sangat menyenangkan," ujarnya bermonolong sambil tersenyum lebar.

Dilihatnya kembali ketiga bocah tadi. Dia seakan melihat mereka itu adalah dirinya, Zein dan Ian. Lagi-lagi seulas senyum terbit menghiasi wajah Rumi. Bayangan wajah Zein di mimpinya tiba-tiba hadir begitu saja menguasai pikiran. Senyuman yang menenangkan itu tergambar jelas dalam ingatan.

"Bodoh, apa yang kau pikirkan, Rum." Dengan pelan gadis itu menepuk-nepuk pipinya setelah menaruh rantang yang ia tenteng ke tanah.

"Teringat masa lalu?"

Suara itu menghentikan kegiatan Rumi, gadis itu menoleh ke samping. Di sana Zein tengah berdiri sambil tersenyum manis. Senyum yang begitu menenangkan. Senyum yang sama, yang dia lihat semalam.

"Ze-Zein, sejak kapan kamu di sini?"

Bukannya menjawab, Zein malah kembali tersenyum. Senyumnya bahkan lebih lebar dari yang tadi.

"Ck, jangan tersenyum, Zein!” Pemuda itu seketika merubah raut wajahnya menjadi datar. “Ya, jangan gitu juga,” protes Rumi kembali.

Zein yang bingung akan tingkah Rumi hanya bisa menggaruk kepalanya, tersenyum canggung, karena serba salah. “Em, apa yang kamu lakukan di sini, Sekar?” tanya pemuda itu untuk mengurangi kecanggungannya. "Saya rasa tidak mungkin kamu ke sini hanya untuk melihat mereka." Kali ini Zein mengakhiri ucapannya dengan tawa.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Tidakkah kamu melihat ada rantang di tanganku?"

Zein kembali tertawa setelah melihat rantang itu. Entah apa yang lucu, Rumi tak mengerti.

"Apa di sana ada makanan? Apa saya boleh memakannya?"

"Tentu saja, tidak ada."

"Kamu membawa rantang kosong?"

"Tentu saja tidak, aku habis mengantarkan makanan ini ke sawah untuk Bapak. Dan Bapak sudah menghabiskan semuanya. Mengapa kamu begitu menyebalkan, Zein."

Lagi-lagi Zein hanya tertawa. Rumi memang kesal, tapi dia juga bahagia. Zein yang ia kenal dulu, dan Zein yang duduk di sampingnya ternyata tidak berubah. Sama-sama menyebalkan. Hanya saja, lemak di tubuhnya nenghilang. Rumi ingat betul, dulu Zein begitu gemuk. Tapi sekarang, pemuda itu bahkan tumbuh lebih tinggi darinya. Dan ... cukup tampan.

"Di sana." Zein menunjuk ke arah selatan. Di mana segerombolan kambing tengah memakan rumput hijau dengan rakusnya. "Dari tadi saya di sana sebelum kamu datang. Bersama kambing-kambing itu," ujarnya tiba-tiba.

"Kambing itu milikmu?"

"Kambing itu milik Bapak. Saya hanya menjaganya."

Rumi hanya mengangguk mendengarnya. "Tapi ... mengapa kamu mengembala kambing itu di sini? Bukankah rumput di pinggir sungai belakang rumahmu sama segarnya."
Zein hanya tersenyum mendengar hal itu. "Ada yang harus saya pastikan."

Rumi hanya mengangguk. Keheningan kini tercipta di antara mereka. Keduanya kembali menatap ke arah tiga bocah yang masih betah bermain di kubangan air.

"Apa kamu sedang melihat dirimu di dalam bocah perempuan itu?" tanya Zein, memecah keheningan.

"Ah, aku ... hanya, em ...."

"Saya bahkan juga berpikir seperti itu," sergah Zein sambil tersenyum. "Kamu ingat, dulu kita sering bermain bersama dengan Ian juga." Helaan napas kini terdengar dari mulut Zein, raut wajahnya mendadak berubah sendu. Rumi tahu hal itu, mengigat Ian sama saja menguak kembali masa lalu yang pilu. "Sampai sekarang saya masih merasa bersalah."

"Zein."

Pemuda itu menoleh, dia tersenyum tipis, sangat tipis.

"Semua itu bukan kesalahanmu, Zein. Aku juga bersalah dalam hal ini." Rumi menunduk setelah mengatakannya. Kepiluan kini menyelimuti keduanya.

"Andai saja saat itu saya memiliki keberanian untuk mengatakan pada orang-orang, sesaat setelah Ian tenggelam. Mungkin, dia masih hidup sampai sekarang."

"Itu salahku, Zein. Harusnya aku tidak melarangmu memberitahu orang-orang. Aku yang membuatmu berjanji untuk diam. Aku ...." Rumi terisak mengingat kejadian itu. Di mana dia membuat Zein berjanji untuk tutup mulut, dan tak mengaku jika mereka sebelumnya bermain bersama Ian sebelum insiden tenggelam itu. "Aku yang bersalah."

Tangis Rumi semakin menjadi, air mata terus saja lolos dari pelupuk matanya dan membasahi pipi. Meski berulang kali gadis itu menyekanya.

"Maafkan saya, Sekar. Karena kembali mengingatkanmu akan kejadian itu."
Tangan Zein terulur, pemuda itu berniat menyeka air mata Rumi. Namun, saat tangannya sudah dekat dengan pipi Rumi, keraguan menyerang hatinya. Alhasil, niat itu ia urungkan. Dan kembalilah Zein menarik tangannya.
Zein membiarkan Rumi menumpahkan seluruh kesedihannya saat itu. Mungkin hal itu bisa membuatnya lebih lega.

"Aku akan pulang," jelas Rumi setelah menyeka air matanya. Gadis itu berdiri, lalu memutar tubuh untuk pulang tanpa menatap Zein terlebih dahulu.

"Sekar!"

Panggilan itu sontak saja membuat Rumi menoleh ke belakang.

"Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan tanganmu, apakah masih sakit?" lanjut Zein.

Rumi mengernyitkan kening mendengar pertanyaan itu. Gadis itu bungkam, dia hanya menatap Zein dengan raut wajah kebingungungan.

"Semalam saya bermimpi bertemu kamu di gubuk tua, dan kamu kesakitan di sana, karena nenek itu," ujar Zein, seolah menjawab apa yang Rumi bingungkan. "Saya merasa mimpi itu begitu nyata, makanya saya sengaja ke sini untuk memastikan itu. Dan sebenarnya saya juga tahu kalau kamu akan ke sini, mengantarkan makanan untuk Bapak."


😁
pulaukapok
itkgid
ariefdias
ariefdias dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.