Kaskus

Story

Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
Ngalor-Ngetan
Ngalor-Ngetan


NGALOR-NGETAN
Horor Story
Desa Danyang Pitu


Hai, semua. Hai masyarakat indonesia, khususnya warga Puwodadi yang tentunya tidak asing dengan larangan pernikahan ngalor ngetan :v . Siapa yang tidak kesal, ketika cinta kita gagal, bukan karena bertepuk sebelah tangan atau terhalang restu orang tua, melainkan terhalang adat istiadat yang ada.

Kalian akan semakin kesal tentunya ketika membaca cerita ini emoticon-Frown. Namun, untuk diketahui, bahwa apapun yang tertulis dalam cerita ini hanyalah fiktif. Tetapi jika kalian merasa kisah ini persis dengan yang kalian alami, itu adalah mungkin sebuah kebetulan. So, selamat membaca emoticon-Smilie



Sebuah sepeda motor terlihat melaju menembus kabut tipis, dengan cahaya lampu depannya yang meredup. Suara mesin dari roda dua terdengar di telinga, diiringi suara klakson yang terus saja dibunyikan si pengendara di sepanjang perjalanan. Hal itu membuat siapa saja geram, termasuk seorang gadis yang duduk di jok belakang motor.

"Bisakah Bapak berhenti membunyikan klakson?" tanya gadis itu sedikit berteriak, takut si pengendara tak mendengar. Sebab angin yang bertiup sangat kencang kala itu bisa saja membawa suaranya pergi. Sore hari itu tidak seperti biasanya, awan menggelap menutupi sang surya yang hampir tenggelam sempurna, menyingkirkan semburat jingga yang selalu terlihat menghiasi cakrawala.

"Maaf, ndak bisa, Mbak. Ini untuk jaga-jaga, takut nabrak," jawab pengendara itu. Gadis itu hanya mengernyitkan kening, menyibak rambutnya ke samping yang menutupi mata.

"Takut nabrak apa, Pak? Di sini gak ada orang maupun binatang?" tanya gadis itu kembali. Tukang ojek di depannya ini memang sudah tidak waras, pikirnya saat itu. Jalanan ini sepi, hanya mereka yang melintas di sini. Lalu, apa yang mau ditabrak?

"Bukan itu, Mbak."

"Lalu apa? Setan?" Tepat setelah gadis itu berbicara, suara anjing yang menggonggong terdengar jelas di telinga. Kemudian disusul suara ayam jantan yang berkokok. Terasa janggal. Untuk apa ayam berkokok sore hari?

"Jangan bicara aneh-aneh, Mbak!" peringati bapak itu, sang gadis hanya tertawa kecil mendengarnya.

"Saya asli sini, Pak. Gak akan terjadi apa-apa," ucap gadis itu percaya diri. Sang tukang ojek hanya diam, tak berniat melanjutkan pembicaraan. Kendaraan beroda dua itu berhenti, tepat di ujung jembatan. Sang gadis yang merasa ada yang tidak beres, segera turun dari motor.

"Kenapa, Pak? Motornya mogok?" tanyanya sambil membenarkan posisi tas di punggung yang terlihat besar.

"Bukan, Mbak. Tapi ...," jawab tukang ojek itu menggantung, wajahnya terlihat pucat pasi. Dia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.

"Tapi, apa, Pak? Saya sudah tidak punya banyak waktu, sebentar lagi magrib."

"Saya ndak bisa ngantar sampai rumah, Mbak. Saya ... saya takut, ndak bisa balik lagi setelah melewati jembatan ini," jelas sang bapak yang membuat gadis itu melongo tidak percaya.

"Bapak bercanda?" ujar sang gadis diakhiri dengan kekehan. Tukang ojek di depannya memang semakin aneh saja. Mana ada orang hilang setelah melewati jembatan ini.

"Saya ndak bercanda, Mbak. Katanya ada orang yang lewat jembatan itu menjelang petang dan ndak balik-balik, karena bukan penduduk desa sana." Gadis itu mengatupkan bibir tipisnya, mencoba menahan tawa. Tapi, mulutnya tak bisa dikontrol hingga tawa itu keluar, terdengar kencang dari sebelumnya. Sedangkan sang bapak tukang ojek hanya diam, memperhatikan penumpangnya itu.

"Aduh perut saya sakit karena tertawa. Bapak percaya saja, itu hanya mitos, Pak. Saya asli warga desa sana, selama saya tinggal di sana gak ada tuh kejadian kayak gitu." Setidaknya itu yang gadis berambut sebahu itu tahu sepuluh tahun yang lalu. "Sudah, Pak. Jangan takut, aman mah kalau sama saya," ujar sang gadis meyakinkan.

Bapak tukang ojek itu terdiam, dia masih terlihat ragu. Pasalnya berita hilangnya orang setelah melewati jembatan itu, tersebar dan banyak yang membenarkannya.

"Saya bayar tiga kali lipat, deh," tawar gadis itu. Terdiam menatap depan, sang tukang ojek menimang-nimang tawaran menggiurkan itu.

"Ya sudah, kalau Mbaknya memaksa." Sang gadis hanya memutar bola mata malas.

"Bilang aja mau uang tambahan, kan gak usah debat dari tadi, Pak," ujarnya kesal. Lalu kembali naik ke atas motor, sambil membenarkan letak tas punggungnya. Sang tukang ojek hanya meringis tanpa dosa, memeperlihatkan deretan gigi yang beberapa telah copot dari tempatnya.

Motor melaju dengan pelan, suara papan yang bertubrukan dengan ban motor kini terdengar keras di kesunyian kala itu. Sang gadis merapatkan jaketnya, angin berembus semakin kencang, hingga membuat jembatan gantung bergoyang ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama angin.

Gadis itu menatap ke bawah, aliran air tenang, namun terlihat menyeramkan kini terlihat di sana. Ia bergedik ngeri, membayangkan apabila dirinya jatuh ke sungai yang dalam itu. Pandangannya beralih ke depan, siluet putih tiba-tiba terlihat melintas di depan kendaraan yang mereka tumpangi.

"Awas, Pak!" teriak gadis itu, refleks sang bapak tukang ojek menarik rem. Ban berdecit hingga menimbulkan suara, motor oleng karena diberhentikan mendadak. Keduanya jatuh, kaki mereka terjebak tertimpa kendaraan besi itu.

"Bapak tidak papa?" tanya gadis itu khawatir. Keduanya berupaya mengangkat motor yang menimpa tubuh mereka, hingga motor kini kembali berdiri tegak.

"Mereka marah, mereka marah," racau bapak itu.

"Berhenti berpikiran seperti itu, Pak! Mungkin saja itu hanya orang yang sedang lewat, atau cahaya lampu." elaknya. Tak bisa dipungkiri, bahwa gadis itu saat ini tengah takut juga. Mata cokelat gelapnya menatap ke sekeliling, gelap mulai mendominasi. Hanya ada cahaya yang berasal dari motor butut yang ia tumpangi tadi.

"Mana ada orang menyebrang, ini jembatan, Mbak. Hanya ada satu arah dan tidak mungkin cahaya lampu, ndak ada orang di sini selain kita. Saya yakin itu penunggu jembatan ini."

Gadis itu menelan ludah dengan susah payah ketika mendengarnya. Hawa dingin kini menusuk, menembus jaket bahkan terasa sampai ke tulang. Gadis itu merapatkan jaketnya, bulu kuduknya kini meremang. Namun, ia tetap memasang wajah tenang, seolah-olah perkataan itu tak berpengaruh padanya. Benar-benar pintar bersandiwara.

"Ah, mana mungkin?" elaknya kembali. Bapak itu hanya diam, seperti sedang berpikir. Tidak ada gunanya juga menjelaskan panjang lebar pada gadis di depannya.

Gadis berambut sebahu itu mulai khawatir. Pemikiran bahwa tukang ojek yang bersamanya akan kembali pulang dan meninggalkannya sendiri kini bersemanyam di dalam pikiran. Tidak, sebelum hal itu terjadi dia harus mencari alternatif lain. Sepertinya dia harus menghubungi keluarganya agar dijemput.
Sang gadis merogohnya saku celana, mengambil sebuah benda tipis berwarna hitam, menghidupkan benda itu hingga cahaya terpancar dari layarnya.

"Akh, sial. Gak ada sinyal lagi," umpat gadis itu kesal. Ia sibuk menggerak-gerakkan ponselnya ke segala arah, berharap mendapatkan sinyal dengan melakukan itu. Gerakannya terhenti, ketika telinga mendengar suara azan magrib dari desa seberang.

"Sudah azan magrib, saya harus segera pulang."

Damn it, yang gadis itu khawatirkan sekarang terjadi juga. Dia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, menatap si tukang ojek dengan raut wajah tak percaya.

"Bapak bercanda? Tega Bapak ninggalin saya sendiri di sini? Lagipula saya bayar Bapak tiga kali lipat, lho," ujar gadis itu. Jika saja tukang ojek itu tidak lebih tua darinya, bisa dipastikan gadis itu akan memukul kepalanya dengan keras. Agar bisa berpikir dan tak bertindak seenak jidatnya.

"Maaf, mbak, ndak usah bayar, saya ikhlas. Saya harus pergi." Tukang ojek itu memutar arah motornya ke belakang. Mesin motornya tiba-tiba mati, hingga cahaya lampunya ikut padam. Kini semua terasa gelap, sangat gelap. Gadis itu kesal sekaligus ingin tertawa, melihat bapak ojek yang sibuk berusaha menghidupkan motornya kembali.

"Motor Bapak aja gak mau diajak pulang. Udah, lebih baik—“ Tiba-tiba motor kembali menyala, hingga membuat sang gadis berhenti bicara, tidak melanjutkan kalimatnya. Ia melongo, menatap tak percaya pada orang yang duduk di atas motor tengah tersenyum tipis ke arahnya.

"Maaf, Mbak." Tanpa mendengar jawaban dari sang gadis terlebih dahulu, tukang ojek itu langsung melaju pergi.

“Hai, Pak, setidaknya tunggu sampai bapak saya datang,” teriak gadis itu, tapi si tukang ojek tetap saja tak mau berhenti. Gadis itu kembali mengumpat, sekarang bagaimana dia pulang? Rumahnya masih jauh dan juga dia agak takut jalan sendirian.

Tak lama kemudian, sebuah cahaya menyorot dari arah dia datang. Ia menutup kedua mata dengan tangan karena cahaya itu menyilaukan. Suara kendaraan terdengar semakin mendekat. Dalam hati gadis itu bersorak senang, berpikir bahwa tukang ojek tadi berubah pikiran dan kembali untuk mengantarnya pulang sampai tujuan.

Saat ia membuka tangannya yang menutupi mata. Sebuah sepeda motor astrea kini terpakir indah di depannya, dengan cahaya lampu yang masih menyala. Refleks ia melangkah mundur, ada motor tapi tidak ada si pengendara. Apa mungkin motor itu jalan sendiri? Bulu kuduk kini meremang, tangan refleks memegang tengkuk. Ia menelan ludah, tubuhnya sudah panas dingin sekarang ini. Bau melati kini menguar di udara, membuat siapa saja bergedik ngeri menciumnya. Semakin kuat, seakan bau itu mendekat ke arahnya, bukan hanya sekedar terbawa oleh embusan angin saja.

"Aaaa!" jeritnya, ketika sebuah tangan menepuk pundaknya dari belakang.

"Kamu tidak papa?" Bukannya menjawab, gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah. Netranya menangkap siluet putih tadi di ujung jembatan. Entah orang atau bukan, tapi siluet itu terjun ke bawah jembatan. Gadis itu bahkan sampai menengok ke arah bawah, tepat di mana aliran air tenang berada untuk melihatnya. Ia menghela napas lega, bersandar pada batas jembatan, ketika mengetahui apa yang ia lihat tadi hanya ilusi semata. Mungkin.

"Kamu tidak papa?" Sang gadis terdiam, menatap pemuda di depannya. Pandangan beralih pada kaki pemuda itu yang tersorot cahaya lampu motor, ia kembali menghela napas lega mengetahui kaki pemuda di depannya menapak di alas jembatan.

"Saya tidak papa," jawabnya singkat.

"Mau saya antar?" tawar pemuda itu. Sang gadis terdiam, tapi karena tak memiliki pilihan lain akhirnya ia mengangguk.

Gemerlap cahaya redup kini mulai terlihat di beberapa titik, menyinari jalanan yang sepi di ujung jembatan sana. Bau kemenyan tiba-tiba tercium, setelah motor melewati jembatan. Menghela napas, sang gadis menutup hidungnya karena tak tahan dengan aroma kuat itu. Ini adalah salah satu alasan kenapa dia tidak mau kembali ke desa ini lagi.

Desa Danyang Pitu, begitulah warga desa sekitar menyebutnya. Danyang adalah sebutan untuk seorang penjaga, sedangkan pitu adalah tujuh. Seperti namanya, desa ini dijaga oleh tujuh Danyang yang tersebar di berbagai titik dan titik itu disebut dengan nama petilasan, tempat suci di mana dilaksanakannya kegiatan yang berhubungan dengan adat-istiadat dan hal-hal gaib. Maka tak ayal, jika banyak orang dari desa tetangga yang datang untuk berdoa, mengharap banyak hal di sana, termasuk kekayaan, meskipun mereka tahu itu syirik.

Dari kaca spion gadis itu dapat melihat dengan jelas, bahwa pemuda di depannya tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan datar. Karena merasa tak nyaman, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mencoba tak menatap mata pemuda itu yang terkesan dingin.

"Kemarin ada yang jatuh," jelas pemuda itu tanpa ada yang bertanya. Gadis itu mengalihkan pandangan, menatap pemuda di depannya lewat spion dalam diam, kemudian menganggukkan kepala. Meski sudah lama, ia masih ingat tradisi warga desa sini. Mereka selalu meletakkan sesaji berupa beras kuning yang dicampur dengan bunga mawar dan uang koin. Tak lupa juga dengan kemenyan yang dibakar di ujung jembatan, ketika ada orang yang jatuh dari sana. Mereka percaya, dengan melakukan itu maka penunggu tempat mereka jatuh tidak akan mengusik dan memperburuk keadaan korban yang jatuh.

Desa ini tak berubah sedikit pun, masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Rumah warga desa tertutup rapat, jalan terlihat redup karena hanya diterangi dengan bohlam kecil berwarna kuning. Penduduk desa masih percaya dengan adanya mitos yang dibawa oleh nenek moyang mereka, meski zaman sudah modern. Itulah mengapa, desa ini dianggap kental dengan hal-hal yang berbau mistis.

Motor yang mereka tumpangi kini berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terlihat lebih luas dari rumah lainnya. Pintunya menjulang tinggi dengan ukiran berbentuk bunga yang memanjang di setiap sudutnya. Mengernyit bingung, gadis itu turun dari motor. Aneh, seingatnya ia belum mengatakan tempat yang ingin dia tuju. Tapi mengapa pemuda ini mengantarnya di tempat yang tepat, bagaimana dia bisa tahu?

Baru saja ia ingin membuka mulut, suara pintu yang terbuka menghentikannya. Seorang pria paruh baya bertubuh besar dan tinggi melangkah mendekat. Kumis tebal menambah kesan garang pada wajahnya, hingga membuat sang gadis menunduk takut.

"Masuk!" perintahnya tegas. Gadis itu mendongak, tatapannya beralih ke samping, tempat pemuda tadi. Kerutan semakin terlihat jelas di keningnya, ketika netranya tak menemukan sosok pemuda tadi. Ke mana dia pergi tiba-tiba? Bahkan ia tak mendengar suara deru mesin motornya.

"Rumi." Panggilan itu membuat sang gadis kembali menatap pria paruh baya di depannya. Ia mengangguk, berjalan masuk ke dalam rumah dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi otaknya.



Note : Cerita ini fiksi, namun beberapa kejadian dan tempat peristiwa benar-benar ada, tetapi disamarkan. Cerita ini tidak bermaksud memanipulasi pemikiran masyarakat tentang adat-istiadat yang dijabarkan dalam cerita.


Sumber gambar : Google and PistArt


Quote:

Diubah oleh Visiliya123 04-11-2022 22:31
bonita71Avatar border
rassofAvatar border
herry8900Avatar border
herry8900 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
10K
238
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
#30
Ngalor Ngetan
Horror story
Persiapan Satu Suro II


Rumi berlari ke arah sungai, gadis itu tak peduli dengan teriakan Zein yang menyuruhnya berhenti. Saat sampai di sana, keadaan sudah ramai, dengan warga yang berkumpul di pinggir sungai. Beberapa pria dewasa terjun ke sungai, sambil mencari-cari.

"Bagaimana bisa terjadi?" tanya pakde Seto pada kumpulan warga.

"Gini, Mbah. Tadi pagi anak-anak pada mandi di sungai dan si Putra tiba-tiba tenggelam. Karena pada takut, anak-anak lain pada naik ke atas dan cepat-cepat pulang. Tapi, mereka tidak bilang jika Putra tenggelam, hingga siang tadi ibu Putra mencari. Dan anak-anak baru mengaku kalau putra tenggelam," jelas salah satu warga.

Rumi tiba-tiba merasa pusing, kejadian bertahun-tahun lalu kembali terngiang di kepalanya. Bagaimana dulu dia melakukan kesalahan yang sama, yaitu bungkam ketika melihat salah satu temannya tenggelam. Dan semua itu berakhir dengan kematian sang teman dan berujung penyesalan.

"Sekar, kamu tidak papa?" tanya Zein khawatir. Rumi memejamkan kedua mata, kembali berdiri tegak dan menjauhkan tubuhnya dari Zein. Kepalanya terasa pusing setelah mengingat peristiwa bertahun-tahun lamanya, hingga membuat tubuh gadis itu oleng ke belakang, karena tak kuasa menahan berat tubuh. Jika saja Zein tak menangkapnya, mungkin Rumi sudah terjembab di tanah.

Rumi memandang Zein cukup lama dalam diam, hingga membuat Zein mengernyit bingung karenanya.

"Sekar." Zein melambaikan salah satu tangannya di depan wajah gadis itu. Rumi tersadar, lalu gadis itu menundukkan pandangan ke bawah, sebelum mata cokelat miliknya kembali menatap Zein.

"Aku tidak papa." Zein dan mengangguk lalu mengikuti Rumi yang sudah menembus kerumunan.

Gadis itu menatap sendu ke arah wanita berdaster bunga-bunga yang tertidur di atas tanah. Beberapa warga bersiap mengangkat tubuhnya, membawa pergi dari sini. Rumi yakin, wanita itu adalah ibu Putra, si korban tenggelam. Dia pasti merasa sangat terpukul, hingga pingsan. Pandangan gadis itu beralih pada bapak-bapak yang mencebur ke sungai, tak kecuali pakde Seto dan juga bapaknya.

"Cari di sana!" perintah pakde Seto pada beberapa pria yang ikut mencari.
Air sungai sudah berubah menjadi keruh di semua bagian, tapi Putra tak kunjung ditemukan. Meski segala sisi sungai telah disusuri, tapi hasilnya tetap nihil.

"Apa jangan-jangan, Putra jadi tumbal tahun ini?" ucap salah seorang warga. Pakde Seto hanya diam, dia naik ke atas dan menghentikan pencariannya.

Rumi kesal mendengarnya, karena warga selalu saja mengaitkan hal mistis dengan apa yang terjadi di desa ini. Ia memang pernah dengar, jika sungai di sini selalu mencari tumbal setiap tahunnya. Dan warga mengaitkan hal itu dengan air sungai yang tak pernah kering meski musim kemarau panjang. Padahal sungai di desa sekitar sudah tak bisa disebut sebagai mata air lagi karena sudah berubah menjadi hamparan tanah kering.

"Sekar, lebih baik kita ke pasar," celetuk Zein tiba-tiba saat Rumi ingin berbicara. Gadis itu memandang Zein dalam diam, cukup lama hingga akhirnya dia mengangguk setuju.
Zein tersenyum melihatnya, dengan lembut dia menarik tangan Rumi keluar dari kerumunan.
Sesampainya di depan rumah Rumi, Zein meminta gadis itu untuk naik sepeda motor astrea yang terparkir di sana.

"Sekar!" Zein menggoyang bahu Rumi, yang membuatnya tersentak kaget karena terus melamun sedari tadi.

"Iya, kenapa Zein?"

"Ayo naik!"

Rumi mengangguk, lalu melangkah mendekati Zein yang sudah berada di atas motor. Gadis itu berhenti melangkah ketika menyadari ada yang aneh. Dia seperti pernah melihat motor itu.

"Kenapa lagi?"

Rumi hanya menggelengkan kepala, lalu duduk di jok belakang. Motor mulai melaju pelan membelah jalanan desa. Beberapa orang yang tisak ikut menyari Putra menyapa keduanya. Mereka hanya menanggapi dengan senyuman, terkadang Zein balik menyapa juga. Sedangkan Rumi hanya mendengarkan sambil sesekali tersenyum, sebab tak banyak orang desa yang gadis itu kenal. Setidaknya untuk saat ini.

"Sekar, kamu teringat dengan Ian, ya?" ujar Zein pelan yang membuat Rumi harus memajukan ke palanya ke arah pemuda itu agar bisa mendengar. Namun, meskipun begitu, suara Zein tetap saja tertelan angin.

"Kenapa, Zein? Aku tidak mendengarmu, anginnya bertiup sangat kencang?" teriak Rumi. Saat ini mereka tengah berada di atas jembatan yang terus saja bergoyang karena tertiup angin. Rumi sampai harus memegang kaos Zein untuk berjaga-jaga agar tidak jatuh. Motor tetap melaju pelan melawan embusan angin yang terus saja menekannya.

Jembatan kayu ini sedikit panjang, sehingga sulit untuk mencapai ujungnya, apalagi di cuaca seperti ini. Awan hitam di langit yang sedari tadi berkumpul mulai bersiap menjalankan aksinya. Bulir-bulir air turun dari sana, mulai membasahi mereka. Aneh sekali rasanya, mengapa di saat seperti ini hanya mereka berdua yang lewat. Meski pagi, tak bisa dipungkiri bahwa ini tetap menakutkan.

"Sekar, pegangan!" teriak Zein kencang.

Refleks saja Rumi mempererat pegangan tangannya pada kaos yang Zein pakai. Hingga kaos itu mencetak penuh dada bidang pemuda itu, karena ditarik kuat ke belakang oleh Rumi.

Zein tak menyadari jika kayu di depan ban motornya telah hilang. Alhasil membuat lubang pada jembatan. Zein tak melihat lubang tersebut, ban depannya masuk ke dalam lubang yang membuat motor oleng. Zein dan Rumi terjatuh. Gadis itu merasa deja vu dengan kejadian ini.

"Sekar, kamu tidak papa?"

"Aw," ringis Rumi. Salah satu kakinya terjepit, tertimpa motor. Zein segera menarik motornya, memposisikan berditri kendaraan itu. Dia menstandarkan motor butut miliknya, lalu menghampiri Rumi.

"Sekar, kamu tidak papa?" tanyanya lagi.

"Iya, aku tidak papa, Zein."

"Syukurlah," balas pemuda itu sembari menarik Rumi dalam pelukannya. Dia mengusap rambut gadis itu. "Maaf, saya kurang berhati-hati tadi."
Rumi hanya terdiam. Persaan menggelitik timbul begitu saja. Rasanya ada kupu-kupu terbang di perut gadis itu. Rumi berusaha menahan napas, berharap Zein tak merasakan jantungnya yang berdetak cepat dalam posisi seperti itu.
Titik-titik air hujan semakin banyak berjatuhan. Awan gelap di atas sana tak membiarkan sang surya memperlihatkan cahayanya.

Zein melepas pelukannya pada Rumi. Ditatapnya Rumi dengan raut wajah khawatir. "Kita harus bergegas, sebelum hujannya deras." Rumi hanya mengangguk mendengar itu. "Saya akan menuntun motor ini sampai ujung jembatan, kamu bisa kan jalan sampai ujung Jembatan?" Lagi-lagi Rumi hanya mengangguk.

Tanpa meminta izin kembali, Zein membawa motornya pergi, meninggalkan Rumi yang masih diam di tempatnya. Gadis itu menatap bawah, tepat pada aliran sungai. Di hulu sungai sana terlihat orang-orang yang tadinya berkerumun mulai membubarkan diri. Rumi menghela napas, lalu menyusul Zein yang mencoba menghidupkan mesin motornya.

"Zein."

"Kenapa?"

"Apa ... Putra sudah ketemu?"

Zein yang tengah mendoglek sepeda motornya kini berhenti. Dia terdiam, sembari mengepalkan kedua tangan. Dan semua tak luput dari penglihatan Rumi.
Diubah oleh Visiliya123 19-07-2021 07:02
itkgid
ariefdias
japraha47
japraha47 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.