- Beranda
- Sejarah & Xenology
MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition
...
TS
tyrodinthor
MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition
![MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition](https://s.kaskus.id/images/2019/10/21/8072693_20191021115909.jpg)
أتاني بإسناده مخبر، وقد بان لي كذب الناقل
"Dia datang kepadaku mengabarkan isnad-nya, dan aku menukilkan sebuah dusta"
(Abul-'Ala Al-Ma'arri- Diwan No. 23265)
TEMPORARY INDEX
"Dia datang kepadaku mengabarkan isnad-nya, dan aku menukilkan sebuah dusta"
(Abul-'Ala Al-Ma'arri- Diwan No. 23265)
TEMPORARY INDEX
Selamat Datang di MIA
Pengantar Umum
HISTORIOGRAFI
- Sumber-sumber Tertulis Non-Muslim s.d. 690
- Sumber-sumber Tertulis "Muslim" s.d. 690
- Literatur Apokaliptika
- Sumber-sumber Tertulis Non-Muslim s.d. 900 : (coming soon)
- Pandangan Saksi Hidup Tentang Muslim Awal
KRITIK ASAL-USUL HADITS
- Pengantar Singkat Tentang Hadits
- "Keunikan" Al-Muwaththa'
- Pembuktian Awa'il
- Misteri Hadits Abu Bakar-'Umar-'Utsman-'Ali
- Asal-Usul Konsep Sunnah
- Pengembangan Hadits di Kota-kota Besar dan Karakter Isnad
- Isnad Hijazi
KRITIK-HISTORIS HADITS
- Peranan Qadhi Perawi dan "Terduga" Perawi
- Daftar Qadhi Perawi (s.d. 850an)
- Kejanggalan Hadits-hadits Mutawatir
- Kritik Sumber Rijal Sanad
- Teori Sintesis Kontemporer:
- Teori Common Link Juynboll
- Teori Projecting Back Schacht-Juynboll
- Teori Isnād cum Matn Motzki
ASAL-USUL FIQH
1. Madzahib Kuno Pra-Syafi'i
2. Ikonoklasme Leo III dan Yazid II
3. Rivalitas Muhaddits Bashrah vs Kufah
4. Asal-Usul Sunnah
5. Abu Hanifah dan Murid-muridnya
6. Rivalitas Ahlur-Ra'yi vs Ahlul-Hadits
7. Mu'tazilah dan Kebijakan Mihnah
8. Kebangkitan Asy'ari dan Penyeragaman 'Aqidah
9. Persekusi Ekstrimis Hanabilah
AL-QUR'AN TERTULIS
1. Masalah Dalam Tradisi
2. Tradisi Sab'atu Ahruf
3. Scriptio Defectiva dan Scriptio Plena
4. Manuskrip-Manuskrip Tertua
5. Evolusi Rasm Al-Qur'an
AL-QUR'AN ORAL
1. Al-Qur'an Pada Periode Primitif
2. Markers of Orality
- Karakteristik & Proporsi
- Abraham & Pengumuman Tentang Anaknya
- Clausula & Contoh Exegesis Alkitabiah
3. Contoh: Polemik Al-Ma'idah: 41-87
4. Konten Al-Qur'an
KRITIK-HISTORIS SIRAH
1. Kepenulisan Sirah
2. Konten Sirah
3. Karakteristik Sirah Ibnu Ishaq
4. Maghazi dan Asal-Usul Hudud
- Kritik Kisah Penghukuman Bani 'Urainah
- Kritik Kisah Perjanjian Hudaibiyyah
- Kritik Kisah Perang Badar dan Uhud
- Kritik Kisah Pengusiran Bani Quraizhah
- Kritik Kisah Fat'hu Makkah
- Kritik Kisah Pengepungan Khaibar
- Kritik Kisah Fadak
- Kritik Kisah Peristiwa Tsaqifah dan Bani Sa'idah
5. Muhammad mitologis VS Muhammad historis
MUHAMMAD
- Masalah Dalam Tradisi
- Salvation History
- Biografi Tradisional
- Misteri Kehidupan Muhammad
- Hanifisme
- Pengasingan Terhadap Karakter Muhammad
- Hilangnya "Putra" Muhammad
YAHUDI, MUHAMMAD, DAN ISLAM KLASIK
- Yahudi Mosaik vs Yahudi Hellenistik
- Yahudi dan Militansinya
- Beta Israel
- Gerakan Penafsiran Torah di Iraq
- Yahudi di Jazirah Arab
- Umma Document (1)
- Umma Document (2)
- Umma Document (3)
- Kronologi Evolusi Islam (1)
- Kronologi Evolusi Islam (2)
- Kronologi Evolusi Islam (3)
BAHASA ARAB DAN AL-QUR'AN
- Manuskrip-Manuskrip Al-Qur'an s.d. 900
- Bahasa Arab Kuno s.d. Bahasa Arab Klasik
- Pengaruh Bahasa-bahasa Asing
- Konten Dalam Al-Qur'an
- Al-Qur'an Hari Ini
- Corpus Coranicum
- Prophetic Logia
KESARJANAAN
- Tradisionalisme dan Orientalisme Lama
- Revisionisme dan Orientalisme Baru
- Neo-Revisionisme / Neo-Tradisionalisme
MISCELLANEOUS
- Geografi Arab Pra Muhammad
- Prasasti Yudeo-Arab Pra Muhammad
- Literatur Arab dan Evolusi Arab Klasik
- Ortografi Arab Kuno
- Kekeliruan Cara Berpikir Anti-Islam
FAQ
Diubah oleh tyrodinthor 15-05-2021 12:53
awanrisk dan 88 lainnya memberi reputasi
73
134.8K
1.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tyrodinthor
#49
AL-QUR'AN
MASALAH DALAM TRADISI
BAG. II
MASALAH DALAM TRADISI
BAG. II
Dari seluruh kitab tradisional di atas, semuanya memiliki setidaknya 2 versi mengenai apakah Al-Qur'an sudah dikumpulkan menjadi satu mush-haf(kodifikasi) atau belum di masa kenabian Muhammad. Asumsi dasar yang digunakan adalah Al-Qur'an telah selesai dan lengkap sebelum Muhammad wafat. Pertama, seluruh kitab tradisional di atas sepakat bahwa Al-Qur'an belum terkumpul menjadi suatu mush-haf sama sekali (Thabaqatil-Kubra' Vol. 3 Hal. 211 & 281; Kitabul-Mashahif Hal. 10; Kamaluddin Hal. 31-32; dan Dala'ilun-Nubuwwah Vol. 7 Hal. 147-148; dipertegas dalam Al-Burhan Fi 'Ulumil-Qur'an Vol. 1 Hal. 262 dan Al-Itqan Fi 'Ulumil-Qur'an Vol. 1 Hal. 202; tambahan koleksi hadits Ahlul-Bait Syi'ah dalam Man La Yahdhuruhul-Faqih Hal. 576-592). Namun, versi kedua adalah bahwa Al-Qur'an pernah dikumpulkan menjadi satu kitab (Al-Burhan Fi 'Ulumil-Qur'an Vol. 1 Hal. 235, 237-238, 256, 258; dan Al-Itqan Fi 'Ulumil-Qur'an Vol. 1 Hal. 212-213 & 216; juga Man La Yahdhuruhul-Faqih Hal. 621, 645-646, & 686). Keterangan versi kedua ini dapat dikuatkan oleh sebuah hadits Aswaja: "Zaid bin Tsabit r.a. berkata: "Kami menulis Al-Qur'an dari pelepah kurma di sisi Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW bersabda: "Beruntunglah bagi penduduk Syam (Syria)". Kami bertanya: "Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?". Beliau bersabda: "Sesungguhnya Malaikat dari Yang Maha Pengasih (mala'ikatar-rahman) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam" (Tirmidzi No. 3889). Meskipun sanadnya hasan gharib, kesepakatan yang diperoleh oleh 'ulama abad pertengahan adalah jawaban tengah, bahwa Al-Qur'an pernah ditulis walaupun belum dikumpulkan menjadi satu mush-haf.
Alasan mengapa Al-Qur'an tidak pernah dikumpulkan dalam satu mush-haf sebenarnya cukup sederhana, karena Muhammad tidak pernah memerintahkannya seperti itu. Salah satu hadits shahih menarasikan suatu peristiwa menarik terkait awal mula Al-Qur'an dikumpulkan menjadi suatu mush-haf. Pada Bukhari No. 4603 diterangkan sbb:
"Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isa'il, dari Ibrahim bin Sad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab Az-Zuhri. Dari 'Ubaid bin As-Sabbaq, bahwa Zaid bin Tsabit r.a. berkata: "Abu Bakar mengirim para korban perang Yamamah kepadaku, dan ternyata 'Umar bin Khaththab ada di sisinya. Abu Bakar r.a. berkata, "Sesungguhnya 'Umar mendatangiku dan berkata, "Kebanyakan korban perang Yamamah adalah para penghafal Al-Qur'an (qurra'il-qur'an). Dengan gugurnya para penghafal (qurra'), maka aku khawatir sebagian besar Al-Qur'an juga akan hilang. Maka aku berpendapat, sebaiknya engkau segera memerintahkan untuk melakukan pencatatan Al-Qur'an". Maka aku pun bertanya kepada 'Umar, "Bagaimana kamu akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?". 'Umar menjawab, "Perkara ini, demi Allah adalah perkara yang baik". 'Umar selalu membujukku hingga Allah memberikan kelapangan dadaku, dan akhirnya aku sependapat dengan 'Umar. Zaid berkata; "Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya kamu adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah SAW. Karena itu, telusurilah Al-Qur'an dan kumpulkanlah." Zaid berkata, "Demi Allah, sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yaitu mengumpulkan Al-Qur'an". Zaid bertanya, "Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?" Ia menjawab, "Demi Allah, itu adalah kebaikan". Abu Bakar terus membujukku, hingga Allah pun memberikan kelapangan dadaku, sebagaimana Abu Bakar dan 'Umar radhiyallahu 'anhum. Maka aku pun mulai menelusuri Al-Qur'an, mengumpulkannya dari tulang-tulang, kulit-kulit dan dari hafalan para penutur (qari'). Dan akhirnya aku pun mendapatkan bagian akhir dari surat At-Taubah bersama Abu Khuzaimah Al-Anshari, yang aku tidak mendapatkannya pada seorang pun selainnya. Yakni ayat: "Sungguh, telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, yang sangat berat olehnya kesulitan yang menimpa kalian.." (QS 9:128) hingga akhir surat Al-Bara'ah (QS 9:129). Lembaran-lembaran Al-Qur'an itu pun tetap tersimpan pada Abu Bakar hingga Allah mewafatkannya. Kemudian beralih kepada 'Umar semasa hidupnya, lalu berpindah lagi ke tangan Hafshah binti 'Umar r.a.".
Dari narasi di atas, tradisi telah menegaskan bahwa pada masa kenabian Muhammad, Al-Qur'an utamanya disampaikan secara oral, sekaligus juga ditulis. Oleh sebab itu, narasi hadits ini menyiratkan suatu doktrin bahwa menghafalkan Al-Qur'an adalah kunci kelestarian yang menjamin nilai-nilai transendensi wahyu Tuhan yang benar-benar disampaikan melalui Muhammad kepada manusia. Dan doktrin ini menjadi sebuah alasan mengapa tidak ditemui satupun tulisan keagamaan oleh kaum Muslim awal sekaligus untuk menandakan keunggulan Muslim atas Yahudi dan Nashrani dalam hal melestarikan tradisi sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Ibnu Jauzidalam kitabnya Al-Hats 'ala Hifzhil-'Ilmi wa-Dzikrun Kibarul-Huffazh Hal. 11 sbb:
"Tidak ada di antara kaum-kaum yang meriwayatkan amal shalih nabi mereka dengan cara yang dapat diandalkan selain dari kita; karena di antara kita, hadits diriwayatkan dari masing-masing perawi pada satu thabaqah ke thabaqah lainnya, dan keandalan masing-masing perawi diuji sampai kembali kepada Nabi SAW. Kaum-kaum lain memegang ucapan-ucapan nabi mereka (haddatsa anbiya'ahum) dari sumber tertulis yang penulis dan periwayatnya tidak dikenal".
Kemudian, bagaimana Al-Qur'an secara teknis ditulis, sebagian besar 'ulama sepakat bahwa ketika wahyu itu baru diterima Muhammad, maka dia langsung memerintahkan Zaid bin Tsabit atau fulanlainnya untuk menuliskan wahyunya dimana dia mendiktekan langsung ayat tsb kepada penulis-penulis tsb. Ada riwayat bersanad shahih yang pernah dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya terhadap QS 4:95 sbb:
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf, dari Isra'il, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra' yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: "Tidaklah sama antara orang mu'min yang duduk". (QS 4:95) Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Panggilkanlah si Fulan!". Maka datanglah orang yang dimaksud dengan membawa tinta, lembaran (lauh), dan pena; lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menulis ayat berikut: "Tidaklah sama antara orang mu'min yang duduk dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah". Saat itu di belakang Rasulullah SAW terdapat Ibnu Ummi Maktum. Maka Ibnu Ummi Maktum berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang tuna netra". Lalu turunlah ayat berikut sebagai gantinya, yaitu firman-Nya: "Tidaklah sama antara orang mu'min yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah (QS 4:95)".
Kemudian, riwayat berikutnya yang dikutip Ibnu Katsir dari Bukhari No. 4226sbb:
"Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Sad. Dari Shalih bin Kaisan, dari Ibnu Syihab, "Telah menceritakan kepadaku Sahl bin Sa'd As-Sa'idi, bahwa dia melihat Marwan bin Hakam di dalam masjid. Lalu dia datang kepadanya dan duduk di sebelahnya. Kemudian dia menceritakan kepada kami bahwa Zaid bin Tsabit pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepadaku untuk mencatat firman-Nya: "Tidaklah sama antara orang mu'min yang duduk (tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah." Lalu datanglah kepada beliau SAW. Ibnu 'Ummi Maktum..... (dstnya)".
Dan riwayat lain Bukhari No. 2619sbb:
"Telah bercerita kepada kami Abu Al-Walid, telah bercerita kepada kami Syu'bah. Dari Abu Ishaq, berkata: "Aku mendengar Al-Barra' r.a. berkata: "Ketika turun ayat 97 Surah An-Nisa' yang berbunyi: "Tidaklah sama orang-orang yang duduk-duduk saja dari kalangan Kaum Mu'minin", Rasulullah SAW memanggil Zaid bin Tsabit, maka dia datang dengan membawa papan tulis lalu dia menulis ayat itu... (dstnya)".
Riwayat serupa ditemukan dalam Muslim No. 3516dan Darimi No. 2313). Juga versi lain dalam riwayat bersanad hasan gharib dalam Tirmidzi No. 1593 yang menarasikan cerita berbeda, bahwa Muhammad sendiri yang menulis QS 4:95 sbb:
"Telah menceritakan kepada kami Nashr bin 'Ali Al-Jahdhami berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir bin Sulaiman, dari Bapaknya, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra' bin Azib, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Berikan aku lembaran itu". Beliau kemudian menulis, "Tidaklah sama antara mu'min yang duduk" (QS 4:95), sementara 'Amru bin Ummi Maktum berada di belakang beliau. 'Amru berkata, "Apakah ada keringanan untukku?". Lalu turunlah ayat: "selain orang yang mempunyai 'udzur" (QS 4:95)".
Yang jadi masalah bukanlah persoalan mana cerita yang benar. Tapi, yang harus disadari adalah bahwa cerita yang dinarasikan matandalam tradisi-tradisi yang berbeda-beda versi di atas, sebenarnya pastilah hanya menceritakan "satu peristiwa yang sama" yang kemudian diriwayatkan ke banyak orang, dimana ketika Muhammad menerima wahyu QS 4:95, banyak saksi di sana menceritakan bahwa Muhammad memerintahkan Zaid untuk menuliskannya dimana dia yang mendiktekan ayat tsb. Satu peristiwa ini digeneralisasi menjadi suatu kesepakatan 'ulama (tradisionis) bahwa selama masa hidup Muhammad, setiap kali dia menerima wahyu, dia selalu memerintahkan shahabah untuk menulisnya. Tidak ada lagi cerita lain yang menyatakan bagaimana proses pendiktean itu pada setiap ayat Al-Qur'an selain QS 4:95 tsb kecuali riwayat lain pada Muslim No. 5326 sbb:
"Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Hammam. Dari Zaid bin Aslam, dari Atha' bin Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur'an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa. Barangsiapa berdusta atasku" -Hammam berkata-: "Aku rasa dia (Zaid) berkata: "dengan sengaja, maka hendaklah menyiapkan tempatnya dari neraka".
Narasi-narasi ini menarik, karena merupakan suatu potongan cerita yang menjadi essential chorduntuk menyusun sejarah Islam tradisional, yang kemudian menjadi suatu argumentasi apologetik untuk membuktikan jaminan terjaganya wahyu oleh Tuhan sebagaimana dalam QS 15:9 sbb: "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" dan kemudian menjadi suatu doktrin Islam modern bahwa Al-Qur'an senantiasa disampaikan Muhammad tanpa terputus kepada seluruh shahabat-nya.
Terlepas dari soal akurasi dan keabsahan fakta yang dinarasikan di atas, narasi sejarah Islam tradisional tentang sejarah kanonisasi Al-Qur'an di masa Abu Bakar sampai Utsman menuai masalah-masalah penting untuk ditelaah. Pertama, masalah indikator. Narasi sejarah tradisional tidak menceritakan apa saja indikator yang digunakan panitia Utsman dalam menentukan suatu ayat/surat Al-Qur'an yang sah. Seandainya masalah ini dapat terjawab, namun masih tetap menuai masalah baru, yaitu masalah standar yang digunakan untuk mengukur setiap indikator, yang dapat berimplikasi pada kesimpulan bahwa otoritas standar yang manusiawi itu melebihi otoritas wahyu yang transenden. Narasi sejarah tradisional tidak pula mencantumkan keterangan mengenai standar kodifikasi mengenai penempatan dan penomoran ayat. Kedua, masalah sumber. Bagaimana suatu ayat/surat Al-Qur'an yang disahkan panitia dapat dipertanggungjawabkan secara material melalui sumber/narasumber yang ada, itu juga tidak diceritakan sejarah Islam tradisional, melainkan postulasi bahwa generasi 'ulama terdahulu/Salafush-Shalih (Shahabah, Tabi'in, dan Tabi'ut-Tabi'in) adalah tsiqat. Kita baru dapat memperoleh jawabannya dari disiplin ilmu Al-Qur'an ('ulumul-qur'an) yang muncul lebih dari 9 abad kemudian, salah satunya Suyuthi dalam Al-Itqan Fi 'Ulumil-Qur'an yang mengutip sejumlah riwayat tentang persyaratan dua orang saksi. Narasi tradisional menceritakan sejumlah shahabah memiliki catatan/naskah/shuhuf (codex) Al-Qur'an mereka masing-masing, di antaranya 'Ubay bin Ka'ab, 'Abdullah bin Mas'ud, 'Ali bin Abu Thalib, dll. Namun demikian, narasi tradisional juga menceritakan bahwa codex-codex itu tidak serta-merta diterima dan dimasukkan ke dalam mush-haf resmi, melainkan diverifikasi melalui dua orang saksi secara oral.
Jalaluddin As-Suyuthi adalah seorang 'ulama yang patut diapresiasi dalam usahanya mengumpulkan tradisi, karena dia telah memenuhi azas keilmuan rijal, walaupun pada akhirnya riwayat-riwayat hadits yang dia kumpulkan bertentangan satu sama lain. Misalnya, pada Vol. 1 Hal. 184 diceritakan bahwa kesaksian Abu Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari adalah setara dengan kesaksian dua orang. Bersesuaian dengan Shahih Bukhari No. 4603 di atas, bahwa ketika mush-haf itu ditulis oleh Zaid bin Tsabit, Zaid menemukan bahwa bagian terakhir surat At-Taubah (Al-Bara'ah) hilang dan hanya ditemui pada catatan milik Abu Khuzaimah. Lantas, Abu Bakar memerintahkan supaya ayat-ayat terakhir dalam catatannya dimasukkan saja karena Sang Nabi pernah bersabda bahwa kesaksian Abu Khuzaimah setara dengan kesaksian dua orang. Namun, pada kasus lain, ternyata kesaksian Abu Khuzaimah dianggap tidak cukup dan memerlukan dukungan dengan kesaksian orang lain, seperti Utsman dan Zaid. Bagaimana menyikapi kontradiksi narasi tradisional ini? Kesimpulan yang ditawarkan Suyuthi adalah bahwa yang dimaksud Sang Nabi "dua saksi" adalah (1) "hafalan" dan (2) "tulisan".
Lebih lanjut, tradisionis juga terkadang mengingkari satu sama lain. Contoh, Abu Dawud As-Sijistani, sang muhaddits Sunan Abu Dawud, juga pernah menghimpun riwayat-riwayat yang mengandung materi historical Qur'ans, yaitu Kitabul-Mashahif. Abu Dawud mengutip banyak riwayat varian berbeda antara codex Qur'an yang satu dengan yang lain, semisal tentang surat Al-'Ashr, ada yang 3 ayat dan ada yang 4 ayat, juga ada yang mengawali ayatnya "wal-'ashri wa nawa'ibad-dihr, laqad khalaqnal-insana bi husr". Oleh banyak 'ulama, kitabnya dianggap dha'if dan saling kontradiksi serta inkonsisten satu sama lain. Namun demikian, usaha Abu Dawud dalam mengumpulkan riwayat-riwayat mengenai varian mush-haf Al-Qur'an perlu diapresiasi secara keilmuan.
Menarik untuk dicatat, saya akan sajikan beberapa kronologi penelitian Barat terhadap Al-Qur'an. Pertama, yaitu John Burton. Dia merasa ada yang tidak beres di balik inkonsistensi dan kontradiksi riwayat-riwayat tradisional yang dikumpulkan Suyuthi dalam Al-Itqan, Abu Dawud dalam Al-Mashahif, dan Zarkasyi dalam Al-Burhan, seolah-olah menutup-nutupi suatu fakta bahwa Al-Qur'an sebenarnya telah dikumpulkan menjadi suatu mush-haf bahkan sejak zaman kenabian Muhammad. Dalam tesisnya yang berjudul The Collection of the Qur'an (1977), dia meneliti keseluruhan koleksi riwayat yang dianggap otoritatif berkaitan dengan pengumpulan Al-Qur'an dalam Al-Itqan, Al-Mashahif, dan Al-Burhan, hingga berakhir pada kesimpulan bahwa Al-Qur'an yang sampai pada kita saat ini adalah sebenarnya mush-haf Muhammad, bukan mush-haf Utsmani, atau lebih tepatnya, mush-haf Utsmani merupakan salah satu dari bagian konstruksi narasi fiktif yang ahistoris.
>> Lanjut ke Bag. III
>> Kembali ke Bag. I
Diubah oleh tyrodinthor 24-10-2019 08:27
yoseful memberi reputasi
1