Kaskus

News

tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition
MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition


أتاني بإسناده مخبر، وقد بان لي كذب الناقل
"Dia datang kepadaku mengabarkan isnad-nya, dan aku menukilkan sebuah dusta"
(Abul-'Ala Al-Ma'arri- Diwan No. 23265)

TEMPORARY INDEX


Selamat Datang di MIA
Pengantar Umum

HISTORIOGRAFI
  1. Sumber-sumber Tertulis Non-Muslim s.d. 690
  2. Sumber-sumber Tertulis "Muslim" s.d. 690
  3. Literatur Apokaliptika
  4. Sumber-sumber Tertulis Non-Muslim s.d. 900 : (coming soon)
  5. Pandangan Saksi Hidup Tentang Muslim Awal


KRITIK ASAL-USUL HADITS
  1. Pengantar Singkat Tentang Hadits
  2. "Keunikan" Al-Muwaththa'
  3. Pembuktian Awa'il
  4. Misteri Hadits Abu Bakar-'Umar-'Utsman-'Ali
  5. Asal-Usul Konsep Sunnah
  6. Pengembangan Hadits di Kota-kota Besar dan Karakter Isnad
  7. Isnad Hijazi
  1. Isnad Madinah
  2. Isnad Makkah
  1. Isnad Mesir
  2. Isnad Syria
  3. Isnad Iraqi
  1. Isnad Bashrah
  2. Isnad Kufah
  1. Thalabul-'Ilm dan "Dua Wajah" Anas bin Malik
  2. Asal-Usul Thalabul-'Ilm


KRITIK-HISTORIS HADITS
  1. Peranan Qadhi Perawi dan "Terduga" Perawi
  2. Daftar Qadhi Perawi (s.d. 850an)
  3. Kejanggalan Hadits-hadits Mutawatir
  1. Hadits Larangan Meratapi Mayit
  2. Hadits Larangan Berdusta Atas Nama Nabi
  1. Kritik Sumber Rijal Sanad
  2. Teori Sintesis Kontemporer:
  1. Teori Common Link Juynboll
  2. Teori Projecting Back Schacht-Juynboll
  3. Teori Isnād cum Matn Motzki


ASAL-USUL FIQH
1. Madzahib Kuno Pra-Syafi'i
2. Ikonoklasme Leo III dan Yazid II
3. Rivalitas Muhaddits Bashrah vs Kufah
4. Asal-Usul Sunnah
5. Abu Hanifah dan Murid-muridnya
6. Rivalitas Ahlur-Ra'yi vs Ahlul-Hadits
7. Mu'tazilah dan Kebijakan Mihnah
8. Kebangkitan Asy'ari dan Penyeragaman 'Aqidah
9. Persekusi Ekstrimis Hanabilah

AL-QUR'AN TERTULIS
1. Masalah Dalam Tradisi
2. Tradisi Sab'atu Ahruf
3. Scriptio Defectiva dan Scriptio Plena
4. Manuskrip-Manuskrip Tertua
5. Evolusi Rasm Al-Qur'an

AL-QUR'AN ORAL
1. Al-Qur'an Pada Periode Primitif
2. Markers of Orality
- Karakteristik & Proporsi

- Abraham & Pengumuman Tentang Anaknya
- Clausula & Contoh Exegesis Alkitabiah
3. Contoh: Polemik Al-Ma'idah: 41-87
4. Konten Al-Qur'an

KRITIK-HISTORIS SIRAH
1. Kepenulisan Sirah
2. Konten Sirah
3. Karakteristik Sirah Ibnu Ishaq
4. Maghazi dan Asal-Usul Hudud
- Kritik Kisah Penghukuman Bani 'Urainah
- Kritik Kisah Perjanjian Hudaibiyyah
- Kritik Kisah Perang Badar dan Uhud
- Kritik Kisah Pengusiran Bani Quraizhah
- Kritik Kisah Fat'hu Makkah
- Kritik Kisah Pengepungan Khaibar
- Kritik Kisah Fadak
- Kritik Kisah Peristiwa Tsaqifah dan Bani Sa'idah
5. Muhammad mitologis VS Muhammad historis


MUHAMMAD
- Masalah Dalam Tradisi
- Salvation History
- Biografi Tradisional
- Misteri Kehidupan Muhammad
- Hanifisme
- Pengasingan Terhadap Karakter Muhammad
- Hilangnya "Putra" Muhammad

YAHUDI, MUHAMMAD, DAN ISLAM KLASIK
- Yahudi Mosaik vs Yahudi Hellenistik
- Yahudi dan Militansinya
- Beta Israel
- Gerakan Penafsiran Torah di Iraq
- Yahudi di Jazirah Arab
- Umma Document (1)
- Umma Document (2)
- Umma Document (3)
- Kronologi Evolusi Islam (1)
- Kronologi Evolusi Islam (2)
- Kronologi Evolusi Islam (3)

BAHASA ARAB DAN AL-QUR'AN
- Manuskrip-Manuskrip Al-Qur'an s.d. 900
- Bahasa Arab Kuno s.d. Bahasa Arab Klasik
- Pengaruh Bahasa-bahasa Asing
- Konten Dalam Al-Qur'an
- Al-Qur'an Hari Ini
- Corpus Coranicum
- Prophetic Logia

KESARJANAAN
- Tradisionalisme dan Orientalisme Lama
- Revisionisme dan Orientalisme Baru
- Neo-Revisionisme / Neo-Tradisionalisme

MISCELLANEOUS
- Geografi Arab Pra Muhammad
- Prasasti Yudeo-Arab Pra Muhammad
- Literatur Arab dan Evolusi Arab Klasik
- Ortografi Arab Kuno
- Kekeliruan Cara Berpikir Anti-Islam

FAQ
Diubah oleh tyrodinthor 15-05-2021 12:53
TroopakillaAvatar border
Bathara semarAvatar border
awanriskAvatar border
awanrisk dan 88 lainnya memberi reputasi
73
134.8K
1.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
KASKUS Official
6.5KThread11.5KAnggota
Tampilkan semua post
tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
#123
AL-QUR'AN
AL-QUR'AN ORAL
PERIODE PALING PRIMITIF


Dalam tradisi Muslim klasik, setiap nabi diberi tanda yang memberi kesaksian tentang pangkatnya sebagai seorang utusan (rasul). Al-Qur'an menarasikan Musa ketika diutus kepada Fir'aun agar menghentikan ke-zhalim-an-nya kepada Bani Isra'il, dia diberikan mu'jizatberupa tongkat yang menjadi ular dan cahaya yang nampak dari balik lipatan ketiaknya. Kemudian, mu'jizat ini ditampakkan di depan para penyihir Fir'aun untuk meyakinkan mereka bahwa Musa benar-benar diutus oleh Tuhan. Begitupula dengan 'Isa (Yesus) yang dinarasikan Al-Qur'an bahwa dia mampu menciptakan burung dari tanah liat, menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit dan orang buta, dstnya. Namun, Al-Qur'an tidak mengindikasikan adanya mu'jizat kepada Muhammad, dan tampaknya Muhammad berhasil meraih pengikutnya dan memenangkan kontestasi revolusioner tanpa mu'jizat, melainkan dengan balaghah. Balaghah merupakan retorika kenabian yang diraih secara rasional dengan ucapan dan perbuatan. Bila dibandingkan Musa dan 'Isa yang harus "meyakinkan kaumnya" dengan mu'jizat yang tidak rasional, maka Muhammad memperoleh pengaruh dengan cara yang rasional.

Namun, tradisi "menginginkan" Muhammad harus memiliki tanda kenabian berupa mu'jizat seperti Musa dan 'Isa, yang artinya kembali menurunkan derajat Muhammad ke tingkat ketakhayulan tertentu seperti para nabi/orang suci Yahudi dan Kristen. Karena itu, paling tidak, mu'jizat Muhammad yang paling mendasar adalah linguistik, yaitu Al-Qur'an itu sendiri. Di samping itu, tradisi melakukan penafsiran melalui hadits-hadits terhadap beberapa ayat Al-Qur'an yang disinyalir memiliki makna mu'jizat Muhammad yang lain, di antaranya isra' mi'raj, pembelahan bulan, dan berbagai peristiwa lainnya seperti misalnya kuda Suraqah tersungkur saat mengejar Muhammad dan Abu Bakar, laba-laba di gua Tsur, ribuan malaikat yang bertempur di perang Badar, mengeluarkan air dari tangannya, menurunkan hujan bagi penduduk Makkah, dan keajaiban lainnya seperti tanda kenabian yang ada di tubuhnya, pembelahan hatinya oleh para malaikat, sampai peristiwa burung ababil yang menghancurkan tentara Abrahah.

Kita tidak akan membahas mengenai asal-usul narasi mu'jizat ini, namun kita akan membahas mengenai Al-Qur'an. Penggunaan Al-Qur'an sebagai mu'jizat oleh tradisi dapat sejalan dengan penelitian kesejarahan sekuler, bahwa memang, pada dasarnya Muhammad mewartakan wahyunya secara rasional, tanpa perlu berbagai keajaiban yang harus diatribusikan kepada dirinya. Dan tidak lain, Al-Qur'an adalah benar-benar "secara ajaib" menggerakkan manusia untuk bergabung ke dalam komunitas (ummah) yang disebut oleh Al-Qur'an sebagai "orang-orang yang percaya" (mu'minin). Komunitas ini pula yang menjadi milisi dalam penaklukan Yerusalem, Syria, Persia, dan Mesir dalam satu periode dengan cepat. Al-Jahiz (776-869) seorang polimat Mu'tazili yang berhasil menuangkan gagasan penting tentang doktrin Al-Qur'an sebagai mu'jizat, meskipun di masa itu, dia tampak terlihat seperti negasionis yang menolak klaim mu'jizat lain Muhammad. Dia menunjukkan bahwa pada dasarnya keunggulan Muhammad dibanding Musa dan 'Isa terletak pada linguistik dan retorika. Al-Qur'an tidak hanya sebagai komunikasi pesan ilahiah antara Allah dengan Muhammad, namun juga sebagai energi yang menggairahkan spiritualitas untuk membangkitkan kesadaran revolusioner dan kesalehan. Baginya, kenabian Muhammad terletak pada balaghah. Kita akan mencoba menganalisa titik kulminasi iunctim dari metanarasi yang disajikan Al-Qur'an berkenaan dengan balaghah, terutama kesadaran yang tertulis oleh Al-Qur'an sendiri untuk menekankan bahwa pada hakikatnya dia ditulis bukan pada zaman kuno yang dipenuhi kesadaran magic, melainkan di zaman akhir dimana seluruh keadaan dikondisikan melalui kesadaran penafsiran atas pengajaran "nabi-nabi terdahulu" Yahudi dan Kristen.

Masalah yang timbul adalah bagaimana menjembatani antara pola pikir tradisional yang meletakkan Al-Qur'an sebagai outcome dari risalah kenabian Muhammad di Makkah dan Madinah, dengan pola pikir kontemporer yang meletakkan Al-Qur'an sebagai naskah tradisi lokalitas yang dihimpun oleh tradisi di berbagai lokasi berkaitan dengan segala hal spiritual yang diwariskan oleh spiritualisme Mesopotamia. Namun, sebelumnya, saya ingin menganalogikan sumber-sumber tradisi lokalitas Al-Qur'an dengan sebuah anekdot yang disebut Tijuana anecdotes. Anekdot ini secara garis besar menceritakan seorang pria yang selalu mendorong gerobak berisi gundukan pasir melintasi perbatasan San Ysidro antara Tijuana (Meksiko) dan San Diego (Amerika Serikat) selama 30 tahun lamanya. Selama 30 tahun itu, sang inspektur bea cukai setiap hari berusaha menggali pasir yang ada di dalam gerobaknya untuk mencari apa yang diselundupkannya, namun tetap tidak bisa menemukannya. Sang inspektur meyakini pria ini berhubungan erat dengan penyelundupan suatu barang dari dalam maupun ke luar Meksiko, sebab dia tanpa putus selalu melewati perbatasan itu dengan gerobak berisi pasir. Suatu ketika, sang inspektur pensiun. Dia pun mengunjungi pria gerobak tsb dan memintanya secara jujur mengungkapkan apa sebenarnya yang dia selundupkan selama 30 tahun. Pria itu menjawab, "Gerobak. Tentu saja, aku menyelundupkan gerobak".

Anekdot ini secara satir menggambarkan bahwa apa yang seharusnya dicari oleh sarjana-sarjana Barat tentang kajian mengenai Al-Qur'an bukanlah kompilasi sumber apa saja yang diselundupkan ke dalam Al-Qur'an, melainkan apa yang sebenarnya Al-Qur'an ingin "selundupkan" kepada audiens/komunikan (pendengar Al-Qur'an saat dia diproduksi secara lisan melalui Muhammad/komunikator). Atau lebih tepatnya, menganalisa medium transportasi yang digunakan Al-Qur'an agar dirinya diterima oleh "komunitas orang-orang yang percaya" yang merupakan sumbu/pemicu, serta pantulan komunikasi. Al-Qur'an sejatinya merupakan komunikasi literer yang aktif di masa-masa ketika "Al-Qur'an sedang dibutuhkan", yang tidak lain adalah fase paling primitif (paling awal) Al-Qur'an itu sendiri. Al-Qur'an menggunakan tata bahasa yang hidup, dimana banyak sekali frase konjugatif yang aktif sebagai bentuk komunikasi seperti katakanlah, wahai, tahukah, bahwasanya, barangsiapa/siapapun, tatkala, ketika, dll. Dia bukan sekedar teks naratif yang bersifat final seperti narasi Alkitab, melainkan metanarasi yang secara tidak langsung meminta para pembacanya untuk membacanya seperti sebuah drama yang melibatkan banyak protagonis. Inilah yang disebut sebagai pendekatan intertekstual, setiap pengkaji sejarah harus melihat Al-Qur'an atas apa yang ada di dalam setiap kata-katanya (what is in the text) dan apa yang mendahului setiap kata-katanya (what is before the text), bukan apa yang ada di balik atau di belakang kata-katanya (what is behind the text) seperti yang selama ini dilakukan orientalis lama.

Maksudnya begini. Kita memang berhasil mengidentifikasi kemiripan berbagai konten Al-Qur'an dengan sumber-sumber Yahudi dan Kristen, seperti kisah nabi-nabi Yahudi, legenda Kristen, maupun hukum alkitabiah. Namun, anggapan bahwa Al-Qur'an "mencuri/meminjam" sumber-sumber itu lalu dijadikan teks/ayat, tidak memberikan penjelasan kenapa banyak orang Yahudi dan Kristen mau bergabung ke dalam "komunitas orang-orang yang percaya". Kita telah mengupas berbagai sumber-sumber non-Muslim pada bab pertama yang membuktikan bahwa orang-orang Yahudi bergabung ke dalam milisi Muslim awal dalam penaklukan ke Yerusalem, Syria, Persia, Armenia, dstnya. Begitu pula dengan sejumlah orang-orang Kristen Non-Trinitarian yang bergabung ke dalamnya. Bergabungnya mereka ke dalam komunitas dan milisi Muslim awal ini bukan pindah agama. Mereka tetap memeluk agama/kepercayaan mereka masing-masing, namun mereka merasa memiliki visi yang sama dengan Muhammad. Baik Sebeos dari Bagratunis, Anastasius dari Sinai, Maximus Omologitis, Gewargis Resy'aina, Isho'yahb III, sampai Yohannan bar Penkaye menyebutkan narasi yang sama. Juga kronik-kronik Syria seperti Maroni dan Nestorian, naskah contra Iudaeos, patrologia, homilia, peshitta, Talmud, semua yang ditulis pada masa penaklukan Muslim awal dan pemerintahan 'Umayyah sampai menjelang Abbasiyyah menyiratkan hal serupa. Bahkan Al-Qur'an sendiri menyatakan hal yang sama, dimana beberapa orang Yahudi dan Kristen yang mencerminkan "kelurusan iman mereka" (percaya kepada Allah dan "hari akhir", percaya pada kepemimpinan dan pengajaran Muhammad, bersedia untuk komitmen pada ketundukan/islam). Pertanyaannya, jika Al-Qur'an menyalin, atau menyadur, atau mencuri, ataupun meminjam konten-konten dari kitab-kitab Yahudi dan Kristen, lantas bagaimana caranya orang-orang Yahudi yang sangat radikal dalam hal gerakan keagamaan dan mesianik mau percaya dan bergabung ke dalam "komunitas orang-orang yang percaya"? Bagaimana caranya orang-orang Kristen Non-Trinitarian yang sama-sama mempertuhankan Yesus seperti Kristen Trinitarian, namun justru menunjukkan rasa simpati terhadap gerakan militer "komunitas orang-orang yang percaya" dibandingkan bersimpati dengan Trinitarian yang justru menjadi "korban" dalam penaklukan tsb? Bahkan, tidak hanya bersimpati dengan Muslim awal, patriarki mereka juga dihormati oleh Muslim awal. Bagaimana caranya Al-Qur'an, jika memang dikatakan mencuri sumber-sumber Yahudi dan Kristen, bisa dipercaya oleh orang-orang Yahudi dan Kristen itu sendiri? Bagaimana caranya Al-Qur'an, jika memang dikatakan mencuri sumber-sumber Yahudi dan Kristen, bisa dipercaya oleh orang-orang Arab pagan yang konon tidak mengerti sama sekali tentang ajaran Abrahamik?

Untuk memahami perspektif ini, kita perlu juga mengetahui bahwa zaman ketika Al-Qur'an muncul, kurang lebih bertepatan dengan zaman ketika corpora eksegetis/penafsiran dalam tradisi monoteis ditulis, diedit, dan diterbitkan, serta tersebar di seluruh penjuru Near East, yang di antaranya adalah dua Talmudim (Yerusyalmi/Yerushalmi dan Bavli) oleh rabi-rabi Ge'on Yahudi dan tulisan-tulisan patriarkistik oleh martir-martir dan uskup-uskup Kristen. Tulisan-tulisan ini bukan Alkitab, seperti yang sering dipegang, melainkan karya literatur yang memiliki hirarki yang agung pada komunitasnya masing-masing. Bahkan, penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa Talmud Yahudi sendiri pada awalnya sebenarnya ditulis oleh bapa-bapa gereja Ibrani dan Aram (Syria) dengan retorika ala Hellenistik yang mencoba menafsirkan/eksegesis Tanakh (Perjanjian Lama) berkaitan dengan kedatangan Mesias, dimana pada fase berikutnya berevolusi menjadi sebuah gerakan kerabian Yahudi untuk kembali pada hukum-hukum fundamental Torah (Halakhah dan Mitsvot). Demikian pula dengan Al-Qur'an, yang juga sebagai karya literatur yang memiliki hirarki yang agung pada komunitasnya, sehingga Al-Qur'an pada dasarnya merupakan eksegetis dalam tradisi monoteis yang ditulis, diedit, diterbitkan, dan tersebar. Al-Qur'an tidak lain merupakan literatur kewahyuan yang berbentuk komunikasi ilahi kepada pendengar/pembaca yang telah memiliki pengetahuan pengetahuan alkitabiah dan pasca-Alkitab. Itulah sebabnya banyak ayat dalam Al-Qur'an mengandung frase komunikatif, seperti salah satunya, QS 2:60 sbb: "Dan ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya. Makan dan minumlah rezeki Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan" mengindikasikan komunikan (penerima pesan, yaitu para pendengar/audiens Al-Qur'an) telah memiliki pengetahuan alkitabiah, mengenal Musa dan mengetahui 12 suku Israel, serta memahami Mosaic law. Ayat ini juga merupakan ayat yang "menawarkan jawaban" (menafsirkan) hal-hal alkitabiah, terutama mengenai pesan-pesan kenabian Musa kepada Bani Isra'il.

Muhammad seringkali diatribusikan sebagai pengarang Al-Qur'an, karena based on traditional belief, Muhammad diyakini yang menerima wahyu Al-Qur'an. Jika tidak oleh Muhammad, mungkin oleh seorang anonim yang diatribusikan sebagai Muhammad. Pendukung hipotesis ini adalah Geiger. Lalu, dikembangkan oleh Günter-Luling dan Christoph Luxenberg, dimana pada dasarnya Al-Qur'an ditulis oleh compiler anonim yang tadinya adalah sebuah "teks agama tertentu" (Kristen di Syria) berbentuk liturgi, yang kemudian dipercaya dan dikanonisasi untuk menjadi pedoman dan panduan agama bagi masyarakat Muslim awal. Pandangan ini, walaupun memang benar bahwa Al-Qur'an secara tata kebahasaan dipengaruhi oleh tradisi Syria, namun tidak bisa dianggap merupakan teks liturgi Kekristenan. Sebelumnya, kita harus memahami apa yang disebut sebagai mush-haf oleh tradisi. Tradisi membedakan mana Al-Qur'an yang berbentuk oral pada periode kenabian Muhammad dengan mana Al-Qur'an yang telah berbentuk rasm (tulisan baku) yang ada pada mush-haf (codex/naskah formatif). Penelitian historis terhadap Al-Qur'an tidak bisa serta-merta merujuk pada rasm, namun juga kepada isnad (rantai periwayatan oral Al-Qur'an) yang secara mendasar adalah the real form of the Quran. Cara berpikir masyarakat Muslim awal seharusnya kurang lebih tidak jauh berbeda dengan cara berpikir Muslim klasik, bahwa sebenarnya tradisi oral tidak dapat tergantikan oleh tradisi literal, karena keyakinan mendasar yang terbentuk adalah bahwa tradisi oral mendahului tradisi literal sehingga, paling tidak, tradisi oral adalah dasar bagi tradisi literal, sehingga Al-Qur'an pada periode primitif sebagai tradisi oral adalah komunikasi lisan yang hanya dapat diakses secara oral/lisan. Angelika Neuwirth menawarkan sebuah asumsi dasar bahwa Al-Qur'an adalah theologumenon (fenomena sharing keyakinan teologis antara "pembicara" sebagai penerima wahyu kepada "audiens" yang mendengar wahyu sehingga menghasilkan wahyu yang komunikatif). Pada tahap berikutnya, kita dapat menempatkan suatu periode formatif ketika perangkat sastra Al-Qur'an berfungsi sebagai penanda oralitas (orality marker). Al-Qur'an secara esensial harus dipahami sebagai komunikasi oral.

Studi Al-Qur'an selama ini diarahkan pada post-canonical text (tulisan baku dan final) yang membuat kajian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an hanya dapat diakses melalui tradisi klasik. Untuk mengevaluasi Al-Qur'an secara historis, para filolog modern telah menyadari konfigurasi ulang yang dilakukan oleh komunikasi kenabian dalam redaksinya dan kanonisasi adalah unit tunggal dari surah (sub bab dalam teks Al-Qur'an literal) yang dikumpulkan dalam mush-haf sebagai jukstaposisi. Al-Qur'an, sebagaimana Kitab Suci lainnya, bertumbuh dari tradisi yang sangat heterogen dalam konteks geografis. Kemudian, karena kebutuhanlah, Al-Qur'an mengkristal menjadi sebuah kitab suci tekstual. Bagaimanapun, dari penelusuran berbagai frase dalam Al-Qur'an, sebenarnya merupakan komunikasi lisan dimana audiens-nya pada dasarnya telah memiliki pengetahuan atas apa yang diungkapkan Al-Qur'an sebelum Al-Qur'an itu sendiri menarasikannya, termasuk pengetahuan alkitabiah. Lalu, ketika berevolusi ke dalam teks, Al-Qur'an benar-benar direncanakan menjadi sebuah teks baku dan final, menjadi seperti rekaman komunikasi belaka. Itulah sebabnya pada tahap awal/primitif Al-Qur'an dalam format oral dapat diterima tanpa dipertentangkan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan alkitabiah, baik itu pagan-pagan Arab, maupun pemeluk-pemeluk Yahudi dan Kristen. Ketika Al-Qur'an telah menjadi teks final, Al-Qur'an menjadi sulit diterima oleh para penganut agama tetangga, terlebih ketika Al-Qur'an diposisikan menjadi teks otoritatif yang eksklusif (terpisah dari tradisi Yahudi dan Kristen, dan dikhususkan bagi agama yang disebut Islam).

>> Lanjut ke Bab II Al-Qur'an: Sebuah Kidung Lisan
>> Kembali ke Bab II Al-Qur'an: Scriptio Defectiva vs Scriptio Plenea
Diubah oleh tyrodinthor 25-06-2020 08:54
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.