- Beranda
- Sejarah & Xenology
MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition
...
TS
tyrodinthor
MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition
![MISTERI ISLAM AWAL [M.I.A] | Reconstruct Early Islamic History out of Tradition](https://s.kaskus.id/images/2019/10/21/8072693_20191021115909.jpg)
أتاني بإسناده مخبر، وقد بان لي كذب الناقل
"Dia datang kepadaku mengabarkan isnad-nya, dan aku menukilkan sebuah dusta"
(Abul-'Ala Al-Ma'arri- Diwan No. 23265)
TEMPORARY INDEX
"Dia datang kepadaku mengabarkan isnad-nya, dan aku menukilkan sebuah dusta"
(Abul-'Ala Al-Ma'arri- Diwan No. 23265)
TEMPORARY INDEX
Selamat Datang di MIA
Pengantar Umum
HISTORIOGRAFI
- Sumber-sumber Tertulis Non-Muslim s.d. 690
- Sumber-sumber Tertulis "Muslim" s.d. 690
- Literatur Apokaliptika
- Sumber-sumber Tertulis Non-Muslim s.d. 900 : (coming soon)
- Pandangan Saksi Hidup Tentang Muslim Awal
KRITIK ASAL-USUL HADITS
- Pengantar Singkat Tentang Hadits
- "Keunikan" Al-Muwaththa'
- Pembuktian Awa'il
- Misteri Hadits Abu Bakar-'Umar-'Utsman-'Ali
- Asal-Usul Konsep Sunnah
- Pengembangan Hadits di Kota-kota Besar dan Karakter Isnad
- Isnad Hijazi
KRITIK-HISTORIS HADITS
- Peranan Qadhi Perawi dan "Terduga" Perawi
- Daftar Qadhi Perawi (s.d. 850an)
- Kejanggalan Hadits-hadits Mutawatir
- Kritik Sumber Rijal Sanad
- Teori Sintesis Kontemporer:
- Teori Common Link Juynboll
- Teori Projecting Back Schacht-Juynboll
- Teori Isnād cum Matn Motzki
ASAL-USUL FIQH
1. Madzahib Kuno Pra-Syafi'i
2. Ikonoklasme Leo III dan Yazid II
3. Rivalitas Muhaddits Bashrah vs Kufah
4. Asal-Usul Sunnah
5. Abu Hanifah dan Murid-muridnya
6. Rivalitas Ahlur-Ra'yi vs Ahlul-Hadits
7. Mu'tazilah dan Kebijakan Mihnah
8. Kebangkitan Asy'ari dan Penyeragaman 'Aqidah
9. Persekusi Ekstrimis Hanabilah
AL-QUR'AN TERTULIS
1. Masalah Dalam Tradisi
2. Tradisi Sab'atu Ahruf
3. Scriptio Defectiva dan Scriptio Plena
4. Manuskrip-Manuskrip Tertua
5. Evolusi Rasm Al-Qur'an
AL-QUR'AN ORAL
1. Al-Qur'an Pada Periode Primitif
2. Markers of Orality
- Karakteristik & Proporsi
- Abraham & Pengumuman Tentang Anaknya
- Clausula & Contoh Exegesis Alkitabiah
3. Contoh: Polemik Al-Ma'idah: 41-87
4. Konten Al-Qur'an
KRITIK-HISTORIS SIRAH
1. Kepenulisan Sirah
2. Konten Sirah
3. Karakteristik Sirah Ibnu Ishaq
4. Maghazi dan Asal-Usul Hudud
- Kritik Kisah Penghukuman Bani 'Urainah
- Kritik Kisah Perjanjian Hudaibiyyah
- Kritik Kisah Perang Badar dan Uhud
- Kritik Kisah Pengusiran Bani Quraizhah
- Kritik Kisah Fat'hu Makkah
- Kritik Kisah Pengepungan Khaibar
- Kritik Kisah Fadak
- Kritik Kisah Peristiwa Tsaqifah dan Bani Sa'idah
5. Muhammad mitologis VS Muhammad historis
MUHAMMAD
- Masalah Dalam Tradisi
- Salvation History
- Biografi Tradisional
- Misteri Kehidupan Muhammad
- Hanifisme
- Pengasingan Terhadap Karakter Muhammad
- Hilangnya "Putra" Muhammad
YAHUDI, MUHAMMAD, DAN ISLAM KLASIK
- Yahudi Mosaik vs Yahudi Hellenistik
- Yahudi dan Militansinya
- Beta Israel
- Gerakan Penafsiran Torah di Iraq
- Yahudi di Jazirah Arab
- Umma Document (1)
- Umma Document (2)
- Umma Document (3)
- Kronologi Evolusi Islam (1)
- Kronologi Evolusi Islam (2)
- Kronologi Evolusi Islam (3)
BAHASA ARAB DAN AL-QUR'AN
- Manuskrip-Manuskrip Al-Qur'an s.d. 900
- Bahasa Arab Kuno s.d. Bahasa Arab Klasik
- Pengaruh Bahasa-bahasa Asing
- Konten Dalam Al-Qur'an
- Al-Qur'an Hari Ini
- Corpus Coranicum
- Prophetic Logia
KESARJANAAN
- Tradisionalisme dan Orientalisme Lama
- Revisionisme dan Orientalisme Baru
- Neo-Revisionisme / Neo-Tradisionalisme
MISCELLANEOUS
- Geografi Arab Pra Muhammad
- Prasasti Yudeo-Arab Pra Muhammad
- Literatur Arab dan Evolusi Arab Klasik
- Ortografi Arab Kuno
- Kekeliruan Cara Berpikir Anti-Islam
FAQ
Diubah oleh tyrodinthor 15-05-2021 12:53
awanrisk dan 88 lainnya memberi reputasi
73
134.8K
1.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tyrodinthor
#60
AL-QUR'AN
SCRIPTIO DEFECTIVAVS SCRIPTIO PLENA
BAG. I
SCRIPTIO DEFECTIVAVS SCRIPTIO PLENA
BAG. I
Dari pembahasan di atas tentang masalah-masalah dalam tradisi seputar kanonisasi Al-Qur'an, hal ini membuat revisionis tertantang untuk meneliti Al-Qur'an secara serius. Tiga abad pertama Islam merupakan periode terpenting dalam kanonisasi Al-Qur'an, namun tidak mendapat perhatian serius di lingkungan Kesarjanaan Muslim. Kita cenderung tidak mempertanyakan sejauh mana kredibilitas sumber-sumber yang menginformasikan pengumpulan dan pembukuan Al-Qur'an itu akurat atau tidak. Sebagian besar kaum Muslim mempercayai sumber-sumber tradisional itu secara taken for granted. Kita menyadari bahwa pendekatan Kesarjanaan Muslim dengan Kesarjanaan Barat terhadap Al-Qur'an memang berbeda. Bagi umat Muslim, Al-Qur'an merupakan sumber moral dan keagamaan dimana pada umumnya, Al-Qur'an dibaca dan dipelajari untuk tujuan keagamaan karena di dalamnya terkandung doktrin teologis dan hukum yang menjadi sandaran kehidupan sehari-hari. Jarang sekali, jika pun ada, umat Muslim yang mempelajari Al-Qur'an untuk menggali aspek historis. Sebaliknya, Kesarjanaan Barat justru menunjukkan sikap serius mengkaji Al-Qur'an untuk kepentingan penelitian historis. Dari narasi-narasi Al-Qur'an mereka ingin memahami kemunculan Islam awal, karir kenabian Muhammad, dan situasi kegamaan yang menjadi latar-belakang kemunculan agama ini. Dengan kata lain, Al-Qur'an diletakkan sebagai dokumen Islam paling awal dan sumber informasi primer tentang agama dan masyarakat Arab pra Islam. Sebagai sumber sejarah, maka Al-Qur'an harus didekati dengan metode analisis kritik-historis. Suatu pencapaian intelektual paling gemilang dalam kajian kesejarahan di dunia Barat dimana kali ini mereka benar-benar telah serius meneliti Islam yang semata-mata untuk kepentingan akademis dan ilmu sejarah bila dibandingkan orientalis-orientalis dahulu.
Lalu sejauh mana Al-Qur'an dapat menyuguhkan informasi historis tentang Islam awal dan hubungannya dengan agama lain? Kesarjanaan Barat modern (orientalisme baru) menggunakan analisis teks terhadap Al-Qur'an. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa yang sebenarnya dikatakan Al-Qur'an. Para orientalis baru sepakat bahwa Al-Qur'an bukanlah teks yang mudah dipahami, selain karena tidak bersifat kronologis atau tematis, Al-Qur'an juga kerap mengandung bahasa alusif dan tidak memberikan informasi cukup detil untuk bisa dipahami interteks ayat-ayatnya.
Sekedar meluruskan, bukan berarti bahwa sarjana-sarjana Muslim tidak meneliti teks Al-Qur'an. Upaya mempelajari Al-Qur'an bagi Kesarjanaan Muslim selalu bersentuhan dengan kajian tekstual. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sarjana Muslim juga mengembangkan berbagai pendekatan yang baru serta metode hermeneutika untuk menyingkap makna di balik teks-teks Al-Qur'an. Tapi harus diakui, tidak jarang tesis yang mereka cetuskan dalam kerangka da'wah dan apologetik. Dan memang, Kesarjanaan Muslim ini tidak lagi mempertanyakan, misalnya dari mana teks-teks Al-Qur'an yang ada di hadapan kita ini berasal, sejauh mana pengaruh linguistik dan tradisi keagamaan di luar terhadap Al-Qur'an di masa formatif dulu, dsbnya. Pertanyaan-pertanyaan kritis semacam ini tidak menarik perhatian sebagian besar Kesarjanaan Muslim. Alasan utamanya tentu saja adalah karena mereka mengemban tugas menjadi intelektual Muslim dan harus membawa umat Muslim ke dalam kondisi sosial-politik yang stabil. Ketidakpedulian Kesarjanaan Muslim ini terhadap kajian kritis Al-Qur'an semakin membawa umat Muslim terjun bebas ke dalam kajian-kajian tradisional, yang mana saat ini semakin marak menunjukkan gejala fanatisme agama dan fundamentalisme.
Barangkali alasan lainnya adalah karena Al-Qur'an saat ini sudah tersedia dalam format yang "siap saji", siap dibaca dan siap dipahami. Padahal, perlu kita ketahui, bahwa mush-haf resmi Al-Qur'an dalam format sekarang yang kita kenal adalah berasal dari edisi Kairo yang terbit pertama kali pada 1923. Berkat dukungan pemerintah Arab Saudi berupa pencetakan dan biaya penyebarluasannya, kini Al-Qur'an edisi Kairo ini telah diterima secara universal, baik di kalangan Muslim awam maupun kesarjanaan. Dengan edisi Kairo, kita tidak lagi diperkenalkan dengan bacaan-bacaan Al-Qur'an yang sebelum tahun 1923 beragam, sehingga menunjukkan betapa berhasilnya penyeragaman bacaan Al-Qur'an. Padahal, bacaan Al-Qur'an edisi Kairo ini hanya satu versi dari berbagai versi variasi bacaan yang diperbolehkan. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, pada abad ke-4 H (9 M), Ibnu Mujahid (859/860-936) menyebutkan ada 7 Qira'at, 7 ragam bacaan yang absah dan dia mengembangkan ilmu qira'atil-qur'an. Sebagian 'ulama lain menyebut 10 Qira'at, bahkan 14 Qira'at. Sementara yang diadopsi dalam edisi Kairo, yaitu Al-Qur'an modern di hadapan kita hari ini, adalah 1 dari 7 atau 10 atau 14 Qira'at Al-Qur'an, yaitu Qira'at Hafs (Hafsh bin Sulaiman Al-Kufi; 706-796 M) yang disandarkan pada 'Ashim bin Baldalah bin Abu Najud (w. 745).
Perlu digarisbawahi bahwa, edisi Kairo itu tidaklah bisa disebut edisi kritis dalam pengertian sebenarnya. Para 'ulama yang terlibat dalam proyek penerbitan Al-Qur'an edisi Kairo ini tidak bermaksud merekonstruksi teks Al-Qur'an yang kuno, melainkan semata-mata untuk menyeragamkan bacaan saja. Lebih dari itu, edisi itu pada awalnya dimaksudkan demi kepentingan lokal, yaitu penyeragaman mush-haf Al-Qur'an untuk digunakan di sekolah-sekolah di Mesir. Salah satu alasan penerbitan Al-Qur'an itu adalah tentu saja karena beragamnya versi Al-Qur'an yang digunakan di sekolah-sekolah Muslim, terutama Mesir, dan sebagiannya dianggap banyak mengandung kesalahan. Maka, pemerintah Mesir membentuk komisi yang dipimpin oleh Muhammad bin Ali al-Husaini pada 1907 di bawah koordinasi Departemen Pendidikan. Secara berkesinambungan dilakukan pencetakan terbatas hingga kemudian Sultan Fuad I (1868-1936) memutuskan mencetaknya secara nasional. Ide pencetakan Al-Qur'an ini pada awalnya menghadapi banyak penolakan. Pada awal abad ke-19, sejumlah 'ulama di Mesir sampai harus mengeluarkan fatwa yang tidak memperbolehkan percetakan Al-Qur'an. Mereka khawatir, bahan-bahan yang dipakai untuk percetakan Al-Qur'an tidak suci. Sebagian lain menyampaikan ketidaksetujuannyan karena tindakan itu dianggap bid'ah. Kendati menghadapi penolakan, komisi berhasil menerbitkan edisi pertama pada tanggal 10 Juli 1924 (7 Dzulhijjah 1342). Komisi kemudian melakukan revisi pada edisi berikutnya di akhir tahun 1924 dan juga 1936. Sejak itu, dengan bantuan pemerintah Arab Saudi, edisi Kairo ini disebarkan ke berbagai belahan dunia. Sementara, versi-versi Qira'at lain yang sudah ada sebelumnya, dihancurkan dan dibuang ke sungai Nil. Demikianlah, tindakan pemerintah Mesir terhadap versi-versi Al-Qur'an tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh khalifah Utsman bin Affan dalam tradisi, yaitu melarang dan membakar mashahif Al-Qur'an yang lain.
Saat ini, edisi Kairo telah diterima secara universal baik oleh umat Muslim Aswaja maupun Syi'ah. Implikasi dari penyeragaman ini sangat serius. Kita seperti dipagari untuk tidak keluar dari pakem bacaan Al-Quran versi Kairo. Al-Qur'an yang sebelumnya membuka ruang bagi keragaman bacaan itu kini telah dibatasi oleh ortodoksi Muslim. Qira'at yang kita temui sekarang hanya dibatasi pada Qira'at Hafs dari Asim. Sekarang kita cenderung menganggap Qira'at selain Hafs sebagai asing, dan bahkan tidak jarang Muslim awal menganggap itu palsu dan hanya rekayasa anti-Islam. Penyeragaman bacaan 1924 ini berimplikasi terhadap cara pandang kita terhadap teks Al-Qur'an, yakni kita menganggap teks-teks Al-Qur'an ini merupakan teks asli dari zaman Muhammad dengan rasm Utsmani tanpa dipertanyakan lagi. Di sinilah letak pentingnya mendiskusikan Al-Qur'an pada periode formatif Islam (Islam awal; abad ke-6 s.d. 8). Kesarjanaan Barat merasa tertantang untuk melacak Al-Qur'an jauh ke belakangan sebelum dibakukan dalam format seperti terlihat dalam edisi Kairo 1924 ini. Sistem bacaan Al-Qur'an edisi Kairo 1924 ini telah dilengkapi dengan tanda diakritik (titik-titik dan garis-garis penanda konsonan dan vokal yang terdiri atas i'jam, tasykil, dan harakat) serta tajwid, yang secara teknis disebut sebagai scriptio plena. Sebelum menjadi scriptio plena, teks Al-Qur'an terdiri dari huruf-huruf tanpa diakritik, yang secara teknis disebut scriptio defectiva, sehingga memungkinkan untuk dibaca lebih fleksibel dan variatif dibandingkan scriptio plena. Pergeseran dari scriptio defectiva menuju scriptio plena merupakan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti pengetahuan, yang mengisyaratkan bahwa (1) terdapat perbedaan di kalangan sesama perawi (kaum qurra') mengenai bacaan ayat yang seharusnya sehingga scriptio plena berguna untuk "membungkam" mereka yang memperdebatkan bunyi ayat tsb, atau (2) terdapat sebuah evolusi kesadaran akan pentingnya menulis daripada menghafal (oral).
Tentu saja scriptio plena dapat dilacak jauh ke periode awal. Banyak riwayat tradisi menempatkan Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai orang pertama yang memperkenalkan scriptio plena. Mengenai mush-haf yang digunakan Hajjaj yang dilengkapi dengan tanda diakritik, tampaknya tradisi sepakat merujuk kepada mush-haf Utsmani. Hal yang menarik adalah tradisi menceritakan Al-Hajjaj kerapkali mencemooh mush-haf Ibnu Mas'ud, dimana Ibnu Mas'ud dalam tradisi juga dinilai sebagai seorang kolektor Al-Qur'an yang kredibel. misalnya dia berkata: "Bagaimana saya tidak terkejut dengan Ibnu Mas'ud! Dia mengaku telah membaca kitab Allah yang orisinal. Saya bersumpah demi Allah, itu tak lebih dari puisi amatiran dari orang-orang Badui" (Al-Isyraf Fi Manazilil-Asyraf karya Ibnu Abi Dunya, Hal. 85). Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah Vol. 9 Hal. 149 mengutip khotbah Al-Hajjaj saat berada di Wasith: "Dia ('Abdullah bin Mas'ud) adalah pemimpin golongan munafiq. Kalau aku menemuinya (hidup di zamannya) aku akan basahkan muka bumi dengan darahnya". Dia juga kerap mengancam akan membunuh siapapun yang mengikuti qira'at Ibnu Mas'ud (tentang ketidaksukaannya kepada mush-haf Ibnu Mas'ud silahkan lihat selengkapnya). Hal ini menuai polemik. Di satu sisi, Al-Hajjaj dikenal sebagai kejam dan biadab, terutama karena dia memimpin pasukannya menyerang kubu Khalifah 'Abdullah bin Zubair dan menghancurkan Ka'bah sampai luluh-lantak dengan ketapel manjaniq, tapi di satu sisi, dia juga dikenal sangat mencintai Al-Qur'an. Ibnu Katsir mencela sekaligus memujinya: "Aku tidak sedikitpun merasa iri hati (dengki) terhadap Al-Hajjaj si musuh Allah itu, melainkan terhadap sikapnya yang cinta kepada Al-Qur'an dan sikap pemurahnya terhadap ahlul-qurra', serta ucapannya sebelum wafat, "Ya Allah ampunilah aku, sesungguhnya manusia menyangka bahwa Engkau tidak bertindak (diam saja)" (Al-Bidayah wan-Nihayah Vol. 9 Hal. 158). Tidak jelas alasan sebenarnya Al-Hajjaj untuk membenci mashahif lain, terutama Ibnu Mas'ud, dimana menurut tradisi, Muhammad menyuruh untuk mempelajari Al-Qur'an dari, salah satunya, Ibnu Mas'ud sebagaimana dalam hadits Muslim No. 4506 sbb: "Rasulullah SAW bersabda: "Dengarkanlah bacaan Al Qur'an dari empat orang; Dari Ibnu Mas'ud, Salim maula Abu Hanifah, Ubay bin Ka'ab, dan Mu'adz bin Jabal". Juga diriwayatkan Bukhari No. 4615 sbb: "Aku mendengar Nabi SAW bersabda: "Ambillah Al Qur'an itu dari empat orang. Yaitu dari, 'Abdullah bin Mas'ud, Salim, Mu'adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka'ab".
Al-Hajjaj memutuskan untuk menerbitkan teks Al-Qur'an standar dengan membubuhi tanda diakritik. Keputusan itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat Daulah 'Umayyah di Damaskus di bawah pemerintahan 'Abdul-Malik bin Marwan. Namun, pendapat tradisionis lain menyatakan bahwa inisiatif awal muncul dari 'Abdul-Malik, sementara pelaksanaannya di tangan Al-Hajjaj. Siapapun inisiatornya, yang jelas peran penting bagi proyek standarisasi bacaan Al-Qur'an untuk melengkapi mush-haf Utsmani dengan tanda diakritik ada di masa pemerintahan 'Abdul-Malik bin Marwan. Kesarjanaan Muslim telah menerima riwayat-riwayat tentang pembubuhan tanda diakritik oleh Al-Hajjaj/'Abdul-Malik. Sejumlah apologetik dari sarjana-sarjana Muslim modern berkembang dengan asumsi bahwa karena Al-Hajjaj sangat mencintai Al-Qur'an, maka tidak mungkin dia "berani merubah dan mengotak-atik ayat Al-Qur'an" pada mush-haf Utsmani, melainkan hanya memberi tasykil dan harakat bagi masyarakat A'jam/Non-Arab (sebagaimana dikutip dari IslamQA. Tentu saja argumen-argumen apologi semacam ini sepenuhnya disandarkan pada pandangan tradisionalis yang menerima sumber-sumber tradisional yang ditulis dan dikumpulkan oleh Khalifah Utsman bin Affan, padahal yang dipermasalahkan sebenarnya adalah mengapa narasi tradisional selalu menimbulkan berbagai polemik terkait Al-Qur'an meskipun Al-Qur'an mengklaim tidak pernah berubah, terlebih bahwa mush-haf Utsmani ini bisa dikatakan adalah mush-haf mitos. Kita telah memiliki berbagai manuskrip Al-Qur'an scriptio defectiva dari yang tertua sekalipun, dimana semuanya mengandung format yang sama dengan qira'at Hafs (urutan surat, ayat, dan juz), namun juga mengandung perbedaan-perbedaan huruf dan ayat, terlebih aksara yang digunakan merupakan aksara Hijazi dan Kufi tanpa diakritik yang memiliki fleksibilitas dan ambiguasi. Dalam banyak riwayat juga disebutkan, bahwa Al-Hajjaj membentuk komisi khusus yang terdiri dari 'alim 'ulama Bashrah, yang terdiri dari Al-Hasan Al-Bashri (642-728), Abu Al-'Aliyah (w. 709), Nashr bin Ashim Al-Laitsi (w. 708), 'Ashim bin Jahdari (w. 746), dan Malik bin Dinar (w. 748). Salah satu tugas utama komisi itu adalah membubuhkan titik untuk membedakan antara huruf-huruf yang serupa, seperti huruf ٮـ / ـٮـ yang ambigu antara ba, ta, tsa, bahkan nun dan ya. Begitu juga dengan huruf ٮـ yang ambigu antara dal, dzal, nun. Lalu, huruf ـر yang ambigu antara ra, zai dan terkadang nun. Tidak kurang pastinya huruf حـ ambiguasi antara jim ha, kha, 'ayn, ghayn. Kemudian, huruf ـعـ ambiguasi antara 'ayn, ghayn, mim. Lalu, huruf سـ / ـسـ ambiguasi antara sin, syin, begitu pula dengan huruf صـ / ـصـ ambiguasi antara shad/dhad. Lalu huruf ط ambiguasi antara tha, zha dan huruf ـڡـ ambiguasi antara mim, fa, qaf. Pembubuhan tanda diakritik ini menjadi langkah awal evolusi Al-Qur'an dari scriptio defectiva menjadi scriptio plena. Pembubuhan tanda diakritik ini merupakan pekerjaan maha penting yang menentukan nasib Al-Qur'an, sehingga karenanya sangat dimengerti jika para anggota komisi tsb akan terlibat perdebatan intens. Misalnya, soal bacaan QS 12:45 tertulis: اَنَا اُنَبئُكُمْ بِتَأْوِيْلِهِ (ana unabbi'ukum bi ta'wili, "aku akan memberitahu kalian tentang ta'wil") dimana sebelumnya dalam scriptio defectiva tanpa diakritik tertulis: اىا اىىىكـمـ ىىاوىله dimana dapat pula dibaca اَنَا اَئْتِيْكُمْ بِتَأْوِيْلِهِ (ana a'tikum bi ta'wili, "aku akan membawa kalian tentang ta'wil"). Kasus ini pernah diriwayatkan pula dalam Ibnu Khalawaih dalam Mukhtasar Hal. 64 dan Abu Dawud dalam Al-Mashahif Hal. 135 dimana Al-Hajjaj dan Al-Hasan Al-Bashri sendiri membacanya a'tikum, bukan unabbi'ukum. Alasan yang digunakan adalah "bagaimana mungkin orang bodoh dapat memberitahu atau menafsirkan mimpi". Tapi pada akhirnya mereka ikut menulis unabbi'ukum.
Setelah menambahkan tanda diakritik, berikutnya adalah menambahkan alif ke dalam mush-haf Al-Qur'an. Tradisi menyiratkan orang pertama yang membubuhkan alif ke dalam mushaf adalah 'Ubaidillah bin Ziyad (w. 686), gubernur di Bashrah dan Khurasan (selama pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan) serta Kufah (selama pemerintahan Yazid bin Mu'awiyyah). Dalam Kitab Al-Mashahif Hal. 129, Abu Dawud juga meriwayatkan dari Yazid Al-Farisi, sekretaris 'Ubaidillah, bahwa 'Ubaidillah dikabarkan memerintahkan agar huruf alif (ا) ditambahkan sebelum kata lillah (لله) dalam frase سيقولون لله (sayaquluna lillah; QS 23:87 & 89), sehingga menjadi سيقولون الله (sayaqulunallah).
Jika kedua ayat tersebut dibaca dengan ayat-ayat sebelumnya, maka penambahan alif tsb memang lebih masuk akal. Perhatikan pada ayat 86 sbb:
قُلْ مَنْ رَب السمَاوَاتِ السبْعِ وَرَب الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
qul man rabbus-samawatis-sab'i wa rabbul-'arsyil-'azhim?
"Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit yang tujuh, dan Tuhan 'Arsy yang agung?"
Lalu, pada Al-Qur'an modern, ayat 87 berbunyi:
سَيَقُولُونَ لِلهِ قُلْ أَفَلا تَتقُونَ
sayaquluna lillah, qul afala tattaqun?
"Mereka akan menjawab: "Milik Allah". Katakanlah: "Maka mengapa kamu tidak bertaqwa?"
Dengan ditambahkan alifsebelum kata لله maka ayat itu akan menjadi sbb:
سَيَقُولُونَ اللهِ قُلْ أَفَلا تَتقُونَ
sayaqulunallah, qul afala tattaqun?
"Mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka mengapa kamu tidak bertaqwa?"
>> Lanjut ke Bag. II
>> Kembali ke Masalah Dalam Tradisi Bag. I
Diubah oleh tyrodinthor 29-11-2019 16:03
pakisal212 dan yoseful memberi reputasi
2