Kaskus

News

tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
Akar Jejak Pemikiran Quranisme
Akar Jejak Pemikiran Quranisme


Bagi sebagian orang, Quranisme tidaklah asing di telinga mereka. Tapi bagi sebagian lagi, Quranisme tampak begitu asing. Apakah ini sekte baru? Agama baru? Atau apa?

Quranisme secara sederhana adalah sebuah gerakan intelektual Islam yang mengusung doktrin bahwa sudah sepatutnya Al-Qur'an diandalkan sepenuhnya sebagai segala hukum agama dan pengertian keagamaan Islam tanpa melibatkan penukilan lain, terutama hadits. Dalam keyakinan Quranis, Al-Qur'an sudah sangat jelas dan terperinci sebagai satu-satunya dasar pengambilan pendapat hukum, tidak memerlukan tambahan dari nashlain. Walaupun keyakinan ini dengan mudah dianggap sesat oleh kalangan Muslim mainstream, tapi sebenarnya di kalangan internal Quranis sendiri memiliki keragaman pendapat. Sebagian Quranis ada yang berkeyakinan bahwa semua hadits pada dasarnya palsu dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tapi bagi sebagian Quranis lainnya, ada yang berkeyakinan bahwa setiap hadits tertentu, yang secara lahiriah tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, dapat diyakini kebenarannya. Itu artinya, Quranis sendiri tidak bisa serta-merta dikatakan sebagai gerakan anti-hadits. Dalam hal ini, Quranis memiliki karakter keyakinan yang sama: Al-Qur'an tidak dapat dipertanyakan lagi kebenarannya, sedangkan hadits harus dipandang secara skeptis dan kritis.

Jadi sejak kapan Quranisme muncul? Apakah benar bahwa Quranisme baru muncul di abad ke-20? Apakah benar bahwa sepanjang sejarah, ummat Muslim senantiasa menggunakan Al-Qur'an dan hadits sebagai sumber hukum agama seperti yang sering kita dengar belakangan ini?

Mengingat banyaknya artikel yang cenderung menempatkan Quranisme secara negatif, dan umumnya artikel-artikel tsb tidak dalam rangka peninjauan historis, maka dalam hal ini, TS terdorong untuk merangkum berbagai literatur kesejarahan yang diharapkan dapat membuka cakrawala pengetahuan dan wawasan kita semua tentang keragaman pemikiran Islam di masa awal kemunculan Islam.

Thread ini tidak dalam rangka mempromosikan maupun mengkritik Quranisme. Thread ini hanya merangkum jejak akar pemikiran Quranisme sepanjang sejarah intelektual Islam, dalam kerangka sejarah itu sendiri. Jika agan-agan ingin membela ataupun menyanggah Quranisme, atau ingin mengetahui lebih detil tentang ajaran dan penafsiran Quranisme, silahkan agan-agan langsung ke thread Anda Bertanya Quranist Menjawab (ABQM).

INDEX THREAD
  1. Penggunaan Ra'yi Tabi'in Senior
  2. Abu Hanifah dan "Proto-Quranisme" (1)
  3. Abu Hanifah dan "Proto-Quranisme" (2)
  4. Rivalitas Ahlur-Ra'yi VS Ahlul-Hadits
  5. Kebangkitan Anti-Pluralisme Islam dan Intoleransi
  6. Munculnya Ahl-e Hadith dan Oposisi Ahl-e Quran
  7. Quranisme dalam Reformisme Islam
  8. Quranisme Hari Ini
  9. Trivia


Versi ringkas pelacakan sejarah Quranisme di thread ini dapat ditonton di channel Youtube Let's Talk Religion.



Bagi yang ingin mendalami sejarah Islam awal dan kritik sejarah Islam, silahkan bergabung ke thread ane: Misteri Islam Awal (MIA).
Diubah oleh tyrodinthor 08-05-2021 23:54
atmajazoneAvatar border
pakisal212Avatar border
androidiotAvatar border
androidiot dan 21 lainnya memberi reputasi
20
10.7K
263
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
KASKUS Official
6.5KThread11.5KAnggota
Tampilkan semua post
tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
#4
RIVALITAS AHLUR-RA'YI
VS AHLUL-HADITS


kaskus-image


Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas tentang peran besar Abu Hanifah dalam menginspirasi pemikiran "Proto-Quranisme". Khalifah Al-Manshur (754-775) mendirikan sebuah lembaga peradilan yang disebut Qadhi'al-Qudha'at ("Hakim Agung"). Di lembaga itu, Al-Manshur mempersilahkan semua ahli hukum menjadi advokat secara ad hoc, siapapun, baik itu faqih, qanun Kristen, maupun filsuf dan ahli dialektika (mutakallimin) lainnya. Dengan segera, advokasi di Qadhi'al-Qudha'at terpecah menjadi 2 (dua) fraksi/kubu:
  1. Kubu Ahlur-Ra'yi, yaitu para faqih, qanun Kristen, filsuf, dan siapapun ahli hukum yang mengandalkan ra'yi untuk memberikan pendapat hukum. Tokoh paling menonjol adalah Abu Hanifah, kemudian diteruskan oleh muridnya, Abu Yusuf (w. 182 Hijriyyah / 798), sebelum akhirnya kubu ini didominasi oleh para 'ulama Mu'tazilah yang sangat mengandalkan penalaran akal/rasio murni (dan kelompok Hanafi akhirnya keluar dari Ahlur-Ra'yi dan hanya berfokus pada pendidikan).
  2. Kubu Ahlul-Hadits, yaitu para faqih yang mengandalkan nash hadits secara total untuk memberikan pendapat hukum. Tokoh yang paling menonjol adalah Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 Hijriyyah / 778), kemudian diteruskan oleh Yahya bin Sa'id (w. 198 Hijriyyah / 813), dan diakhiri oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 Hijriyyah / 855) sebelum akhirnya dia dipenjara oleh khalifah Al-Ma'mun (813-833).

Sebagaimana telah dibahas di bab sebelumnya, bahwa kubu Ahlul-Hadits sangat menentang kubu Ahlur-Ra'yi. Kritikan pedas yang negatif terhadap Abu Hanifah dari mayoritas kubu Ahlul-Hadits menyebabkan terjadinya rekonsiliasi di kalangan internal Hanafi. Abu Yusuf sendiri kemudian mulai terbuka dengan penggunaan riwayat (hadits, atsar, dan akhbar), di samping tetap dalam prinsip mengutamakan ra'yi. Namun, murid-murid Abu Hanifah lainnya, sibuk memperbaiki citra/reputasi Abu Hanifah.

Citra Abu Hanifah pada mulanya sangat positif, terbukti dari gelar "Imam Besar" (Imamul-A'zham) yang disandangnya dari penduduk Baghdad. Namun, bagi kalangan Ahlul-Hadits, Abu Hanifah mendapat citra yang negatif, sebagaimana telah saya rangkum pada bab sebelumnya. Citranya semakin negatif ketika dia akhirnya dipenjara oleh khalifah Al-Manshur hingga akhir hayatnya. Sebab-sebab pemenjaraan Abu Hanifah oleh Al-Manshur pun sebenarnya simpang-siur, setidaknya ada 2 (dua) versi.

Versi pertama dicatat oleh Al-Khathib Al-Baghdadi (Tarikh Baghdad Vol. 13 Hal. 325) sbb:

أشخص أَبُو جعفر أمير المؤمنين أبا حنيفة، فأراده على أن يوليه القضاء فأبَى، فحلف عليه ليفعلن، فحلف أَبُو حنيفة أن لا يفعل، فحلف المنصور ليفعلن، فحلف أَبُو حنيفة أن لا يفعل، فقال الربيع الحاجب: ألا ترى أمير المؤمنين يحلف! فقال أَبُو حنيفة: أمير المؤمنين على كفارة أيمانه أقدر مني على كفارة أيماني، وأبَى أن يلي، فأمر به إلى الحبس في الوقت.

"Amirul-Mu'minin Abu Ja'far [Al-Manshur]mengenal Abu Hanifah, lalu dia [Al-Manshur] menunjuknya menjadi qadhi, namun dia [Abu Hanifah] menolaknya. Kemudian dia [Al-Manshur] bersumpah untuk memastikannya [sebagai qadhi], namun Abu Hanifah juga bersumpah untuk menolaknya [menjadi qadhi] sampai kapanpun. Abu Hanifah berkata: "Suatu kafarat (sanksi untuk menebus kesalahan/dosa) atas diriku lebih pantas dijatuhkan oleh Amirul-Mu'minin daripada aku yang menjatuhkan kafarat atas diriku sendiri". Karena dia [Abu Hanifah] menolak perintahnya [menjadi qadhi], maka dia [Al-Manshur] memerintahkan agar dia [Abu Hanifah] dipenjara pada saat itu".

Sementara itu pada versi kedua, Abu Hanifah diceritakan dipenjara atas tuduhan telah terlibat dalam dukungan pemberontakan oposisi 'Alawiyyin yang dipimpin oleh Muhammad An-Nafs Az-Zakiyyah (w. 145 Hijriyyah / 762) pada pemberontakan 'Alawiyyin (762-763) di Madinah. Dia kemudian ditangkap dan dipenjara di Baghdad pada 2 (dua) tahun menjelang kematiannya (Tarikh Daulatul-'Aliyyah Hal. 40, dan dirangkum dalam GanaIslamika). Selengkapnya sbb:

وفي سنة ١٤٥ بايع أهل المدينة محمد بن عبد الله بن الحسن بن الحسن ـــ الملقب بالنفس الزكية ـــ بالخلافة فارسل إليه أبو جعفر عيسى بن موسى فحاربه وقتله مع كثير من أهل البيته في رمضان من السنة المذكورة، وفي أثناء ذلك كان أخوه إبراهيم قد قصد البصرة وطلب البيعة من أهلها لأخيه محمد النفس الزكية فبايعوه ثم أرسل من استولى على الأهواز وواسط ولما أتاه خبر قتل أخيه سار بجموعة قاصدا الكوفة فلاقاه عيسى بن موسى وكان قد عاد من المدينة بعد موت محمد فحاربه حتى قتله، وبذلك انتهت هذه الفتنة وأمن المنصور جانب العلويين، وفي أثناء هذه الفتن توفي ببغداد الإمام الأعظام أبو حنيفة النعمان رضي الله عنه، ثم تفرغ المنصور لبناء مدينة بغداد وانتقل إليها وتوفي في ٢ ذي الحجة سنة ١٥٨
"Pada tahun 140, para penduduk Madinah ber-bai'at kepada Muhammad bin 'Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Hasan— yang dipanggil "An-Nafs Az-Zakiyyah" — sebagai khalifah, lalu Abu Ja'far [Al-Manshur] mengirim pasukan 'Isa bin Musa ke sana, dan dia berperang dan berhasil membunuhnya bersama keluarganya di bulan Ramadhan pada tahun tersebut. Sedangkan saudaranya, Ibrahim, berangkat ke Bashrah dan meminta bai'at dari penduduk di sana atas nama saudaranya, Muhammad An-Nafs Az-Zakiyyah, lalu mereka ber-bai'at kepadanya, lalu dia mengutus seseorang untuk merebut Ahvaz dan Wasith. Dan ketika datang kepadanya berita bahwa saudaranya telah terbunuh, dia [Ibrahim] membawa pasukan tambahan dari Kufah untuk menghadapi pasukan 'Isa bin Musa. Dia kembali ke Madinah setelah kematian Muhammad [An-Nafs Az-Zakkiyyah], dia berperang di sana hingga dia ['Isa] membunuhnya [Ibrahim]. Dengan demikian, perang fitnah ini berakhir dan Al-Manshur menangkap semua pendukung 'Alawiyyin. Akibat dari fitnah ini, Imam Besar Abu Hanifah An-Nu'man dipenjara sampai wafat di Baghdad. Maka, Al-Manshur mengosongkan Baghdad dan membangun ulang kota itu, lalu memindahkan [pemerintahan]-nya ke sana hingga [Al-Manshur] wafat pada tanggal 2 Dzulhijjah tahun 158".

Tampaknya, yang membuat Abu Hanifah dipenjara adalah tuduhan bahwa dia membantu secara moral dalam memberikan pasukan tambahan bagi Ibrahim saat dia menetap di Kufah dalam rangka melawan 'Isa bin Musa di Madinah yang telah membunuh Muhammad An-Nafs Az-Zakiyyah.

Bagaimanapun juga, sebagian besar murid Abu Hanifah umumnya berfokus pada perbaikan reputasi Abu Hanifah. Untuk memperbaiki citra Abu Hanifah, para Hanafi awal berusaha mencitrakan nama Abu Hanifah secara prestisius sebagai seorang perawi yang handal dengan memalsukan beberapa isnad hadits untuk disisipkan nama Abu Hanifah di dalamnya. Contoh di antaranya adalah Ahmad bin Muhammad Al-Himmani, salah seorang murid Abu Hanifah yang meriwayatkan hadits-hadits melalui nama Abu Hanifah, kemudian dia diberi predikat kadzdzab/pendusta (Lisanul-Mizan Vol. 1 No. 829). Nasib berbeda dialami Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, dimana Syaibani juga menulis berbagai kitab ushul-fiqh Hanafi dengan menggunakan hadits-hadits sebagai pendukung ajaran Abu Hanifah, tanpa mencoba menyisipkan nama Abu Hanifah ke dalam isnad-isnad-nya. Karena Abu Hanifah menafsirkan Al-Qur'an tanpa menggunakan hadits, sementara pada masa itu kritik atas Abu Hanifah berdatangan dari kalangan Ahlul-Hadits, maka tampaknya Syaibani pun terdorong untuk menulis berbagai traktat (maqalat) Hanafiyyah yang membawa fitur hadits di dalamnya. Berkat jasa Syaibani lah, nama Abu Hanifah menjadi harum di kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah.

Karena fokus Hanafi terpusat kepada pendidikan dan perbaikan citra, pengaruh mereka di Ahlur-Ra'yi secara perlahan menurun. Sebaliknya, para pemikir Mu'tazili mulai mendominasi Ahlur-Ra'yi. Kelompok Mu'tazilah pada konteks abad ke-8 dan 9 adalah kelompok mutakallimin yang mengusung penalaran akal/rasio murni secara utuh. Mereka tidak hanya menolak menggunakan hadits, bahkan, mereka secara ekstrim menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah ciptaan (makhluq) Allah. Sebagaimana umumnya makhluq, maka Al-Qur'an dipandang tidak abadi. Sementara untuk memahami Al-Qur'an diperlukan penggunaan akal yang unggul sehingga Al-Qur'an juga tidak dijadikan dasar pengambilan pendapat hukum oleh kebanyakan Mu'tazili. Pada masa itu, rivalitas Ahlur-Ra'yi vs Ahlul-Hadits seolah-olah bertransformasi menjadi konflik pengusung akal (rasionalisme) vs pengusung dalil (tradisionalisme). Tidak banyak diketahui tentang siapa saja tokoh Mu'tazili di dalam Ahlur-Ra'yi. Setidaknya ada 2 (dua) tokoh Mu'tazili yang terkenal, yaitu Dhirar bin 'Amr (w. 199 Hijriyyah / 815) dan Ibrahim An-Nazhzham (w. circa 210/230 Hijriyyah, antara 825/845). Tokoh-tokoh Mu'tazili ini dikenal sangat menentang keras penggunaan hadits sebagai dasar pengambilan pendapat hukum. Sebagai respon terhadap pemikiran Mu'tazili, Ahmad bin Hanbal kemudian menghimpun seluruh anggota Ahlul-Hadits ke dalam sebuah gerakan yang disebut Atsariyyah. Gerakan Atsari adalah sebuah gerakan yang tidak hanya mengusung dalil hadits, namun juga dalil atsar shahabat sebagai dasar pengambilan pendapat hukum. Pada masa itulah, Abu Idris Asy-Syafi'i (w. 204 Hijriyyah / 820) menulis berbagai traktat/risalah yang mengandung kritik terhadap semua sekolah hukum, dan berusaha mencari "jalan tengah" (mid-path) untuk mensintesiskan antara kubu yang cenderung lebih rasionalisme (Hanafi, Mu'tazili, dll) dengan kubu Atsari. Traktat-traktatnya yang kemudian terhimpun dalam kitab Al-Umm memperkenalkan berbagai alternatif pengambilan hukum, termasuk cara pandang terhadap hadits. Syafi'i secara garis besar menilai bahwa hadits Nabi harus diprioritaskan daripada atsar shahabat, dan penalaran akal/rasio haruslah dipadukan dengan wahyu Al-Qur'an dan nash hadits. Pemikiran Syafi'i seperti gabungan antara kubu Ahlur-Ra'yi (sekolah Hanafi, Mu'tazilah, Maliki, dan Syaibani) dengan kubu Ahlul-Hadits (sekolah Tsauri, Auza'i, Wahbi, Zhahiri, dll). Hanya saja, Syafi'i belum terlalu populer saat itu, karena Syafi'i cenderung menghindari hubungan politik terlalu dalam. Karena itulah, konflik pemikiran rasionalisme Mu'tazilah vs tradisionalisme Atsari menjadi semakin tajam.

Kedudukan Atsari semakin terpojok ketika khalifah Al-Ma'mun (813-833) menjadikan Mu'tazilah sebagai satu-satunya kelompok hukum yang diperbolehkan oleh negara 'Abbasiyyah. Al-Ma'mun dikenal sangat mencintai ilmu pengetahuan seperti para pendahulunya, dan dia sering mengadakan perdebatan oral terbuka di istananya yang dihadiri semua ahli hukum. Namun, Al-Ma'mun tampaknya melihat Mu'tazilah adalah satu-satunya kelompok yang paling unggul, baik secara keilmuan maupun secara dialektika. Sebaliknya, Al-Ma'mun melihat kelompok Atsari seperti kelompok yang terbelakang dan tidak layak mengambil bagian dalam lingkungan keilmuan dan dialektika. Itulah sebabnya, Al-Ma'mun mengeluarkan kebijakan inkuisisi yang kontroversial di tahun 833, yaitu kebijakan Mihnah. Kebijakan ini pada intinya mewajibkan seluruh pegawai negara dan ahli ilmu untuk berikrar bahwa Al-Qur'an adalah sekedar ciptaan Allah, tidak kurang dan tidak lebih. Ahmad bin Hanbal secara keras menolak berikrar dan menentang kebijakan tsb. Untuk menghindari adanya gelombang pemberontakan dari Atsari, maka Ahmad bin Hanbal pun dipenjara oleh Al-Ma'mun. Penerusnya, Al-Mu'tashim (833-842) semakin menancapkan kebijakan Mihnah melalui dukungan Ahmad bin Abu Duwad (w. 239 Hijriyyah / 854) yang saat itu menjabat sebagai Hakim Agung (Qadhi'al-Qudha'at).
Diubah oleh tyrodinthor 08-05-2021 00:04
sabeni80
User telah dihapus
hayang.dahar
hayang.dahar dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.