Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
2588
Lapor Hansip
21-02-2020 19:38

TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story

Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...

Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.

Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.

Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.

Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.

Selamat menikmati... 


Quote:
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story

Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.



KARAKTER
Karakter

REVIEW
Review


INDEX

CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 10

CHAPTER DUA: PEMBEBASAN

CHAPTER TIGA: PERBURUAN

Side-Story

CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]

CHAPTER 5: TULAH
Diubah oleh the.darktales
profile-picture
profile-picture
profile-picture
r4zor dan 259 lainnya memberi reputasi
238
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
42.1K Anggota • 31.5K Threads
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
13-01-2021 22:07

BAGIAN 10

Quote:
Kurang dari 48 jam setelah Sarah dijemput pulang oleh keluarganya, sebuah bus terlihat memasuki gerbang desa Jatiasih. Lajunya tampak perlahan-lahan saja. Karena selain jalanannya yang sempit, lubang yang banyak terdapat di sana-sini terlihat cukup merepotkan sang ahli kemudi.

Beberapa warga yang kebetulan sedang berada di luar rumah tampak nyalang menatap kendaraan besar itu, sambil sesekali saling berbisik satu dengan yang lain. Bukan karena mereka tidak pernah melihat sebuah bus sebelumnya, tapi lebih kepada tulisan yang terpampang jelas di sisi kanan dan kirinya.

UNIVERSITAS S***********.

Jadi benar rumor yang beredar, bahwa setelah kejadian itu kegiatan para mahasiswa di desa mereka akan dihentikan di tengah jalan? Ditambah lagi, untuk apa sebuah bus milik kampus datang kemari kalau bukan untuk menjemput anak-anak itu dari rumah Yusup?

Beberapa bocah-bocah yang kegirangan, beberapa dari mereka tidak memakai baju, berlari-lari membuntuti Bus itu sambil terus berteriak memanggil-manggil sang sopir agar berhenti dan ikut membawa mereka masuk ke dalam. Tapi sang sopir tidak terlalu peduli, dia hanya sekilas melirik kaca spion kemudian tersenyum sendiri. Bocah-bocah kampung ini seakan mengingatkan pada masa kecilnya sendiri waktu di desa dulu. Hanya bedanya, dulu yang dia kejar adalah delman yang ditarik seekor kuda.

"Di depan itu ya, pak? Rumah yang halamannya luas, ada pohon belimbing di depan..." Ucap seorang perempuan paruh baya berkacamata di belakang sana. Namanya Ibu Nur, seorang dosen senior dan salah satu penumpang bis ini. Tapi Ibu Nur tidak sendirian. Bersamanya, duduk dua orang lain di kursi belakang sopir. Yang satu adalah seorang Wakil Dekan dan satu lagi ketua panitia KKN dari Rektorat.

"Nggih, bu..." Pak Sopir mengangguk. Dia masih hafal betul jalan desa ini dan rumah yang akan mereka tuju. Baru dua minggu yang lalu dia mengantarkan rombongan itu berangkat dari kampus mereka di Kota S. Bedanya, hari itu hanya Bu Nur saja yang ikut mendampingi. Katanya, karena memang Ibu Nur-lah yang didapuk menjadi pembimbing KKN mereka. Dan menurut cerita Ibu Nur juga, mereka akan berada di desa ini selama dua bulan masa pengabdian.

Tapi kenapa sekarang Pak Sopir harus datang kembali sebelum dua bulan? Dan kenapa kali ini, Wakil Dekan dan orang Rektorat sampai harus ikut duduk di belakang? Masalah sebesar apa yang sudah mereka buat, sampai membuat ketiga orang di belakang nyaris tak saling bicara dan terus memasang wajah muram sepanjang perjalanan?

Rumah yang menjadi tujuan Bus ini sudah terlihat oleh pandangan. Pak Sopir melepas pedal gas dan menginjak rem dengan halus. Bus makin melambat, dan berhenti tepat di depan halaman rumah.

"Bapak parkir di lapangan bola di depan situ, ya? Seperti kemarin pas berangkat. Saya dengan yang lain turun dulu menjemput anak-anak." Perintah Ibu Nur sambil bersiap turun dari Bus.

Pak Sopir kembali mengangguk. Tapi diam-diam, matanya melirik ke arah rumah. Anak-anak mahasiswa itu duduk berjejer di teras depan, dengan deretan tas ransel yang tergeletak di sekitar mereka. Yang membuat heran adalah, wajah mereka juga terlihat muram. Bahkan jauh lebih muram daripada wajah Ibu Nur sendiri. Hingga kemudian, Pak Sopir menyadari sesuatu. Dia masih mengingatnya dengan jelas kalau dulu dia berangkat bersama tujuh mahasiswa.

Tapi kali ini, Pak Sopir menghitung ulang, dan yang dia temukan hanya tinggal lima anak yang menunggu jemputan.

Dua orang hilang, satu orang perempuan yang dia dengar sudah dijemput oleh keluarganya tempo hari dan...

...seorang lagi adalah anak lelaki berkacamata yang dua minggu lalu duduk tepat di samping kursi kemudi.


Quote:
Dea duduk agak terpisah dari yang lain. Bukan karena dia menjaga jarak, tapi sebaliknya karena anak-anak yang lain yang seakan tak mau duduk dekat-dekat dengannya. Sebuah tas pinggang dipangku dan dipeluknya dengan erat, seakan dia menjaga sebuah barang berharga di dalamnya.

Dan sambil meletakkan dagu di atas tas itu, Dea memandang kedatangan Bu Nur dengan penuh ketenangan. Tidak ada yang mengejutkan dengan ini semua, karena ia sudah menduga semua ini akan terjadi. Apalagi tepat setelah Sarah dijemput oleh keluarganya, Pak Kusno langsung datang menghampiri mereka. Memberitahukan sesuatu dengan roman muka tegas dan dingin, bahwa beliau sudah menghubungi pihak kampus dan menyarankan agar anak-anak segera dijemput.

"Karena berbagai pertimbangan, saya sebagai kepala desa memutuskan bahwa kami sudah tidak memerlukan bantuan adik-adik mahasiswa ini lagi di desa ini. Saya mewakili warga desa lain mohon maaf dan terima kasih atas semuanya..."

Bagi yang lain, pengusiran dengan cara seperti itu jelas terasa menyakitkan hati. Siapa juga yang mau program KKN yang sudah disusun dan direncanakan sedemikian rupa, malah gagal total seperti ini. Tapi bagi Dea, semakin cepat mereka meninggalkan Jatiasih maka semakin baik pula baginya. Bukan karena takut, tapi dia sudah punya rencana sendiri. Dan rencana itu akan lebih efektif jika ia sudah kembali ke rumahnya tercinta.

"Bu Nuuuuuurrrr!!" Teriakan histeris yang terdengar lebay di telinga itu meluncur tiba-tiba dari mulut Poppy, yang langsung menghampiri Ibu Nur di depan teras. Dea sedikit melirik. Ibu Nur tampaknya juga tidak terlalu tertarik dengan drama yang disajikan Poppy. Mata beliau malah memandang ke arah lain. Ke arahnya, seakan bertanya sesuatu yang Dea tidak tahu itu tentang apa.

"Bu Nur, kemarin habis Sarah dijemput bapaknya, Gilang pamit ke Semani terus ndak balik-balik lagi!" Poppy belum menyerah untuk mencari perhatian. Kini dia berusaha sok memberikan informasi penting, dengan linangan air mata dan suara yang tersengal. Bodoh, pikir Dea. Semua orang di sini juga sudah tahu kemana si baik itu kabur.

"Gilang sudah sampai di rumah. Tadi pagi kakaknya menelepon, mengabari kalau Gilang pulang dengan naik bus."

Dea tersenyum sambil menggelengkan kepala. Heran bukan karena Gilang sebegitu pengecutnya dengan kabur terlebih dulu. Tapi Dea hanya tak habis pikir, bagaimana dia bisa nekat pergi tanpa mencoba mencari jurnal miliknya itu terlebih dulu. Apa Gilang sudah tidak peduli? Atau memang dia terlalu takut untuk sekadar menanyakan kepada Dea?

Dan yang kemudian membuat senyum Dea makin lebar adalah ketika ia mendengar sebuah desisan penuh dendam dan amarah yang berasal dari orang yang duduk tepat di sampingnya; Rafael.

"Tak goleki tenan, tak antemi nganti mati tenan!!" (Aku beneran bakal cari, aku beneran bakal pukulin sampai mati!!)

Dan sepertinya, Rafael tidak main-main dengan ucapannya. Gilang jelas berada dalam masalah besar. Tapi Dea sudah tak peduli. Dia anggap persahabatannya dengan Gilang telah berakhir hari ini. Pandangannya kemudian teralih jauh ke depan, ke ujung barat sana di mana sinar sang surya menguningkan langit Jatiasih dengan begitu anggunnya.

Dea memejamkan mata. Mencoba meresapi sore terakhirnya di Jatiasih. Rasanya hangat...hangat sekali.

"Sekarang kita pulang. Besok semuanya menghadap Pak Rusdi di gedung rektorat. Iwan, kamu panggil Pak Sopir untuk putar balik kesini." Perintah Ibu Nur, yang langsung disambut Iwan dengan beranjak cepat menuju lapangan di sebelah utara rumah ini tanpa berucap sepatah katapun.

Bus datang semenit kemudian. Dengan penuh keyakinan, Dea menapaki halaman depan rumah ini dan di saat tubuhnya masuk ke dalam Bus dia menyadari bahwa kisahnya dengan Jatiasih telah selesai. Sudah cukup semua kenangan buruk yang didapatkan di tempat ini. Tapi untuk urusan mencari jawaban tentang dusun laknat itu...

...Dea baru akan memulai petualangannya. Dan petualangan baru itu akan dia mulai dengan sebuah nama; Wahyu Dewanggara.

Roda-roda Bus perlahan mulai berputar ke depan. Membawa semua anak-anak KKN meninggalkan desa. Dan sebelum rumah markas kelompok mereka hilang dari pandang, Dea menyempatkan menoleh kesana sekali lagi. Di jendela, tampak bayangan dua orang yang menatap kepergian mereka dari kejauhan.

Mas Adil dan Mbak Melia...

Hehehehe, mereka baru akan mulai. Bisik Dea dalam hati.


Quote:
"Teh opo kopi, le?" (Teh apa kopi, nak?)

Sarmin sebenarnya lebih memilih opsi yang kedua, karena secangkir kopi hitam yang diseduh dengan air mendidih selalu bisa mengusir rasa lelah yang sekarang sudah mulai terasa di tubuhnya. Tapi Sarmin tahu sopan santun, dia tahu dengan siapa dia sedang berbicara dan dimana posisinya berada. Jadi alih-alih berkata jujur, Sarmin hanya tersenyum segan menanggapi tawaran Pak Gunardi.

"Mboten usah, Pak. Kulo mung sekedap mawon, saestu..." (Tidak usah, Pak. Saya cuma sebentar saja...)

Ucapnya sambil mengambil duduk di teras depan rumah Sang Kepala Dusun. Tapi sepertinya sang tuan rumah tak terlalu memedulikan basa basi itu. Sambil menarik ikatan sarungnya lebih erat, Pak Gunardi ikut mengambil duduk di samping Sarmin kemudian menoleh dalam rumah.

"Astri, tulung digawekne kopi loro! Sing siji ora nganggo gula!!" (Astri, tolong dibuatkan kopi dua! Yang satu tidak pakai gula!!)

Sarmin sedikit terkejut ketika Pak Gunardi memanggil nama itu. Astria? Dia di rumah? Sejak kapan?

"Lagi tekan mau esuk bocahe. Sengojo tak dawuhi mulih." (Baru sampai tadi pagi anaknya. Memang sengaja aku suruh pulang.)

Pak Gunardi menjawab seakan ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Sarmin. Membuatnya jadi malu sendiri. Wajahnya memerah, yang berusaha dia tutupi dengan buru-buru mengutarakan apa maksud kedatangannya.

"Dados ngeten, Pak. Dinten niki wau tiyang-tiyang KKN dijemput wangsul sedoyo. Kulo angsal kabar yen wonten bus kampus mlebet menyang Jatiasih." (Jadi begini, Pak. Hari ini tadi, anak-anak KKN dijemput pulang semua. Saya dapat kabar kalau ada bus kampus masuk ke Jatiasih.)

Pak Gunardi diam sejenak. Matanya menerawang jauh ke depan. Seakan sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Yakin, kabeh wis mulih?" (Yakin, semua sudah pulang?)

"Nggih, Pak. Kulo yakin." (Iya, Pak. Saya yakin.)

Pak Gunardi terlihat ingin melanjutkan pembicaraan, tapi terlanjur terpotong ketika seorang perempuan muda -mungkin beberapa tahun lebih muda dibandingkan Sarmin, tampak berjalan keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi.

Tanpa bisa dibendung lagi, kini Sarmin sepenuhnya tenggelam dalam keanggunan yang terpampang nyata di hadapannya. Astria, putri tunggal Pak Gunardi ini, sekarang telah tumbuh dewasa dan terlihat semakin ayu saja. Rambut pendek seleher itu begitu lurus, hitam berkilauan. Kulitnya halus bak pualam dan aroma tubuh yang sempat mampir ke hidung Sarmin itu benar-benar bisa membunuh kesadaran lelaki manapun.

Nampan berisi dua gelas kopi itu diletakkan di atas meja. Dan...duh Gusti!! Melihat bagaimana cara Astria menarik rambutnya ke belakang telinga sambil melemparkan lengkungan senyum manis kepadanya, membuat jantung Sarmin berdetak ugal-ugalan. Ini adalah pemandangan paling indah yang pernah ia lihat sepanjang hayatnya.

"Sarmin!" Sentakan itu seketika mengembalikan Sarmin ke kesadaran. Dia langsung salah tingkah sendiri. Matanya langsung terarah ke Pak Gunardi, walau sembunyi-sembunyi dia masih melirik ke arah Astri yang kemudian hilang masuk kembali ke dalam rumah.

"Rungokno, aku wegah kecolongan meneh koyo wingi. Saiki tulung dikabarne menyang kabeh wong dusun kabeh..." (Dengar, aku tidak mau kecolongan lagi seperti kemarin. Sekarang tolong dikabarkan kepada semua warga dusun...)

Sarmin berusaha keras mengais kembali kewarasannya yang sempat berantakan gara-gara Astria. Dia mencoba fokus, mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi perintah dari Pak Gunardi.

Besok, akan diadakan kerja bakti untuk membuat pembatas jalan dari bambu yang di pasang melintang menutupi jalur masuk ke Srigati. Baik di sebelah utara maupun selatan. Setelah itu akan dilaksanakan ronda. Pak Gunardi butuh sepuluh orang bersiap setiap malam; dua orang di tapal masuk utara, dua di tapal masuk selatan, tiga berada di pos dan berkeliling tiap satu jam sekali dan tiga sisanya berjaga di sekitar kandang kambing. Semua yang mendapat jatah ronda diwajibkan membawa golok atau celurit milik pribadi. Akan lebih baik jika diasah terlebih dulu sore harinya.

Sarmin hanya mengangguk, walau dia masih belum mengerti kenapa keamanan harus diperketat padahal sumber masalah sudah pergi jauh dari tempat mereka. Tapi kalimat Pak Gunardi berikutnya, mungkin sedikit banyak menjawab semua pertanyaan yang ada di benak Sarmin. Baik itu tentang keamanan dusun, atau tentang kepulangan Astria yang bisa dibilang mendadak ini;

"Le, menurutmu piye yen Gelar Pendem dimajukne wae dadi sasi ngarep? Aku kok rodo samar yen kudu ngenteni telung sasi meneh." (Nak, menurutmu bagaimana kalau Gelar Pendem dimajukan saja jadi bulan depan? Sejujurnya aku agak khawatir kalau harus menunggu tiga bulan lagi.)
profile-picture
profile-picture
profile-picture
jondero dan 50 lainnya memberi reputasi
51 0
51
profile picture
KASKUS Addict
19-01-2021 16:07
gan.. mohon di kabari kalo ada apdet lagi ya emoticon-Cendol Gan
1
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
short-story-62--bakar-ijasah
Stories from the Heart
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia