- Beranda
- Sejarah & Xenology
Sejarah Islam di Nusantara: Formasi dan Evolusinya
...
TS
tyrodinthor
Sejarah Islam di Nusantara: Formasi dan Evolusinya

Belakangan ini mulai viral soal klaim dari oknum-oknum haba'ibanggota kabilah Ba'alawi yang "konon" merupakan keturunan Muhammad sang Nabi, bahwa Islam di Nusantara sebenarnya disebarkan para haba'ib dari sadah Ba'alawi ini yang mengembara dari Tarim dan Hadhramaut di Yaman ke Kepulauan Melayu. Tidak tanggung-tanggung, klaim yang tidak bertanggungjawab lainnya dapat dengan mudah ditemukan dalam ceramah-ceramah mereka, seperti misalnya para Wali Sångå sebenarnya adalah keturunan Muhammad sang Nabi melalui keturunan Ba'alawi. Menurut klaim salah seorang habib Ba'alawi yang terkenal congkak dan arogan, yaitu Habib Bahar bin Smith, bahwa masyarakat Muslim Indonesia seharusnya bersyukur dengan kehadiran haba'ib Ba'alawi, karena berkat leluhur mereka inilah masyarakat Indonesia tidak lagi menyembah pohon. Dengan congkak, Habib Bahar berkata: "Kalo bukan karena haba'ib, nenek-moyang elu masih nyembah pohon". Tentu saja klaim ini tidak memiliki dasar sejarah. Namun, banyaknya umat Muslim di Indonesia yang cukup buta akan sejarah Islam dan sejarah Nusantara, tentu saya sebagai TS tergerak hati untuk membahas bagaimana Islam dapat hadir dan bahkan terbentuk kuat di Indonesia. Mengingat bahwa masyarakat di Kepulauan Melayu sebenarnya memiliki corak sosio-relijius yang sama dengan negeri-negeri tetangganya, seperti Thailand, Myanmar, dan Kamboja, bahwa Buddhisme telah mengakar sangat kuat di Kepulauan Melayu, bahkan dapat bersinkretis dengan Hinduisme. Lalu mengapa penduduk di Indonesia hari ini menjadi mayoritas Muslim?
Kepulauan Melayu, atau dalam teks-teks Jawa disebut "Nuswantårå", atau "Nusantara", yang sebagian besar wilayahnya meliputi apa yang kita kenal sebagai Indonesia tanah air kita ini, adalah sebuah daerah kepulauan yang membentang dari Teluk Benggala di barat sampai ke Kepulauan Maluku di timur. Bersamaan dengan Semenanjung Melayu dan seluruh wilayah Asia Tenggara lainnya, Nusantara selama berabad-abad dianggap sebagai wilayah India/Hindia. Di berbagai catatan asing, baik itu catatan Arab, Persia, Turki, bahkan Eropa, daerah Asia Tenggara memang secara populer dianggap merupakan wilayah India yang jauh di sebelah timur. Dalam banyak catatan asing itu, secara tidak langsung telah menggambarkan sebuah khazanah konsep Hindia Raya (Greater India) yang dimulai dari wilayah Indo-Yunani di Afghanistan sampai Filipina dan Maluku, sebuah konsep yang memaksa sejarahwan harus ekstra teliti saat melakukan penelitian historiografi tentang Asia Tenggara (termasuk Nusantara) karena seringkali digeneralisasi sebagai "India", atau "Hindia timur". Tentu saja stigmatisasi India/Hindia ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, wilayah Nusantara ini memiliki corak India yang sangat kental, meskipun sama-sama kita ketahui hari ini bahwa kebudayaan India di Nusantara ini telah mencapai titik asimilasi yang memisahkan mana yang "India sejati" di Semenanjung India ("Jambudvipa") di sana, dengan mana yang "India ala Nusantara" sejak abad ke-4 sampai abad ke-13. Periode ini dalam sejarah resmi Indonesia dikenal sebagai periode Peradaban Hindu-Buddha, atau periode Kerajaan Hindu-Buddha.
Sebagai suatu wilayah yang sangat multikultur dan heterogen, ajaran Hindu dan Buddha di Nusantara juga mengalami sinkretisme yang sangat kokoh, yang dikenal sebagai Ajaran Siwa-Buddha, sebuah fusi antara ajaran Shaivisme dan Bhairava Tantra (yang dalam catatan Jawa disebut sebagai "Siwa-Bhairawa") dengan ajaran Buddhisme. Inilah yang membedakan antara Hindu dan Buddha di wilayah selain Nusantara dengan yang di wilayah Nusantara, meskipun proses sinkretisasi itu memakan waktu yang tidak singkat. Keberadaan sinkretisme ini telah mengubah cara pandang para sejarahwan tentang pentingnya kedudukan Nusantara dalam perkembangan Hinduisme dan Buddhisme dunia. Kita dapat menemukan banyak sekali catatan asing yang menyiratkan besarnya aktifitas intelektual Hindu-Buddha di Nusantara saat itu. Misalnya, penjelajah sekaligus bhikkhu Cina yang terkenal, Yijing/I-tsing (w. 713) pernah menulis dalam memoar pengembaraannya menuju "universitas" Mahavihara Nalanda di Bihar, Nanhai Jigui Neifa Zhuan p. xl-xli tentang Sriwijaya sbb: "Ibukotanya menjadi pusat pendidikan ajaran sang Buddha terbesar di kawasan laut selatan. Ada banyak pula Brāhmaṇa yang menguasai bahasa Sanskerta di sini. Aku disarankan untuk berguru memperdalam bahasa Sanskerta terlebih dahulu dengan Hui-Ning dari Cho-po di Mo-lo-yu". Pulau Sumatra dan pulau Jawa, yang dalam catatan lokal dan India disebut sebagai Suvarnadvipa dan Yavadvipa, memang menjadi pusat perkembangan intelektual Hindu-Buddha di Nusantara. Suvarnadvipa merupakan sebuah pulau yang memang terkenal bagi kalangan India, terutama orang-orang Bengal (Benggala) yang sudah lama menjalin hubungan dagang dengan Sriwijaya. Seperti di dalam Prasasti Nalanda dimana Maharaja Devapala dari Pala di Bengal mengabulkan permintaan dari Suvarnadvipa Maharaja Balaputradeva, raja Sriwijaya, untuk membangun sebuah śramagrha di Mahavihara Nalanda sebagai biara agung tempat berkumpulnya para bhikkhu dan sangha lintas aliran. Bagaimanapun majunya Sumatra sebagai pusat intelektual Hindu-Buddha, namun Sumatra yang sekarang menjadi pulau dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini pula yang menjadi pertanyaan baru, bagaimana bisa sebuah pulau besar yang sangat kental dengan pengaruh Buddhisme bisa berganti keyakinan menjadi Islam?
Pertanyaan ini mungkin tidak terlalu misterius. Selat Malaka telah lama menjadi wilayah yang sangat diandalkan untuk berdagang dan menjadi jalur laut penghubung antara wilayah barat (India, Persia, Arab, dll) dengan Cina hingga Jepang. Baik Odorico de Pordenone/Matiussi (w. 1331), Marco Polo (w. 1324), Ibnu Baththuthah/Battutah (w. 1369), hingga Tomé Pires (w. circa 1524/1540) secara serempak mencatat ramainya aktifitas dagang internasional lintas etnis dan agama di Selat Malaka. Dan memang dari Sumatra dan Semenanjung Melayu inilah Islam dapat masuk ke Nusantara. Namun, yang menjadi misteri yang sampai hari ini belum berhasil dipecahkan adalah, kapan dimulainya secara persis persebaran Islam di Sumatra, berapa lama, dan bagaimana prosesnya sampai mengubah demografi Sumatra yang tadinya merupakan mayoritas Buddhisme (dan Hindu) selama berabad-abad menjadi mayoritas Muslim hingga hari ini. Pertanyaan yang sama juga berlaku terhadap Jawa, yang menjadi pusat sinkretisme intelektual Ajaran Siwa-Bhairawa menjadi pusat intelektual pesantrian/pesantren Islam Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah terbesar di dunia hari ini. Thread ini mungkin belum dapat menyajikan jawaban yang memuaskan agan-agan semua, namun TS yakin bahwa wacana yang disajikan thread ini akan sangat berbeda dan sangat detil dengan apa yang kita ketahui pada umumnya.
INDEX
Dianjurkan untuk membaca berurutan, karena beberapa informasi unik yang sudah dibahas tidak akan dibahas ulang di bab berikutnya
Dianjurkan untuk membaca berurutan, karena beberapa informasi unik yang sudah dibahas tidak akan dibahas ulang di bab berikutnya
- FAQ
- Hiruk-Pikuk Abad ke-13 (Bagian 1)
- Hiruk-Pikuk Abad ke-13 (Bagian 2)
- Hanafi Cina di Tanah Jawa
- Sufisme Awal: Kontestasi Antinomi vs Non-Antinomi
- Misteri Sufisme Awal di Aceh (Bagian 1)
- Misteri Sufisme Awal di Aceh (Bagian 2)
- Peran Sentral Sufisme di Banten dan Gowa (Bagian 1)
- Peran Sentral Sufisme di Banten dan Gowa (Bagian 2)
- Peran Sentral Sufisme di Banten dan Gowa (Bagian 3)
- Sufisme dan "Kekeramatan" Jawa
- Syattari Jawa-Palembang dan Asal-Usul Pesantrian (Bagian 1)
- Syattari Jawa-Palembang dan Asal-Usul Pesantrian (Bagian 2)
- Tradisi Hapalan Santri dan Salik (Bagian 1)
- Tradisi Hapalan Santri dan Salik (Bagian 2)
- Moderasi Islam Abad ke-18
- ....
- ....
- Trivia
Diubah oleh tyrodinthor 20-07-2024 20:12
gambitgoblin dan 8 lainnya memberi reputasi
7
4.1K
24
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tyrodinthor
#1
Hiruk-Pikuk Abad ke-13 (1)
Seluruh historiografi asing dari abad ke-13 dalam bentuk apapun, semuanya menceritakan Sumatra dan Jawa dengan sangat detil, berbeda dengan historiografi asing di abad sebelumnya yang seringnya ditemukan secara dikotomis dan parsial. Dan di sinilah letak masalahnya. Seluruh catatan asing pada abad ke-13 itu mencatat bahwa Sumatra merupakan daerah mayoritas Muslim, yang padahal pada saat itu, Siwa-Bhairawa masih cukup dominan di Jawa. Sementara itu, catatan asing di saat Buddhisme dan Hindu Tantra masih mendominasi di Sumatra tidak detil. Sumber-sumber internal juga tidak cukup membantu. Seringkali kita hanya diwariskan peninggalan-peninggalan berupa relik hingga candi saja, namun kita tidak memiliki catatan apapun yang menjadi latar belakangnya. Akibatnya, periode pergeseran kebudayaan dari mayoritas Hindu-Buddha menjadi mayoritas Muslim menjadi "celah kosong" yang misterius. Tidak ditemukan satupun catatan yang ditulis pada periode pergeseran kebudayaan itu yang menceritakan bagaimana kultur Islam dapat menggantikan kultur Buddhisme yang telah lama mengendap pada masyarakat Sumatra.
Namun tentu saja kita salah jika mengira bahwa kemunculan Islam di Indonesia secara tiba-tiba, khususnya di Sumatra. Bahkan, sejak kemaharajaan Sriwijaya masih berdiri, banyak sejarahwan bersepakat bahwa Islam sudah ada di Sumatra pada abad ke-7. Walaupun ada beberapa petunjuk mengenai sekelompok "Muslim awal" yang singgah di kawasan ini, tapi Islam sebagai sebuah agama yang formatif dan stabil baru terkanonisasi di abad ke-9. Ketika Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya di Sumatra, 'Abbasiyyah juga sedang mencapai puncak kejayaannya di Timur Tengah. Puncak kejayaan yang dicapai 'Abbasiyyah utamanya berkaitan dengan perkembangan sains dan filsafat serta ilmu budaya. Itu pula yang mendorong sejumlah tokoh budayawan 'Abbasiyyah, yang sebagian besar adalah Muslim, untuk mempelajari kebudayaan di luar 'Abbasiyyah, terutama tentang India. Menariknya, informasi tentang India umumnya diperoleh dari para penjelajah dan pedagang yang mengembara dan menetap di wilayah dinasti Tang di Cina. Misalnya, bibliografer Yaqut Al-Hamawi (w. 1229) mencatat dalam kitabnya, Mu'jamul-Buldan Hal. 2272, bahwa Sulaiman At-Tajir / "Sulaiman sang Saudagar" pernah singgah ke kemaharajaan Rashtrakuta dan Pala di Bengal/Benggala (yang merupakan negara sahabat Sriwijaya), serta dinasti Gurjar sebelum akhirnya dia menetap di Guangzhou. Dia mencatat bahwa dinasti Rashtrakuta dan dinasti Pala lebih bersahabat terhadap Muslim daripada dinasti Gurjar. Dia menyebut raja Amoghavarsha dari Rashtrakuta yang ditulisnya sebagai Syah Ambuja, dan raja Dharmapala dari Pala yang ditulisnya sebagai Ruhmatul-Malik ("Penguasa Ruhmah") sebagai raja agung dan bijaksana. Namun, karena raja Mihira Bhoja (Bhoja I) dari Gurjar yang ditulisnya sebagai Malikusy-Syarq ("Raja Timur") sangat tidak "menyukai Muslim", maka banyak pedagang "Muslim" ini pindah berdagang ke Cina melalui laut, yang dapat dipastikan pasti harus melintasi Sumatra. Alasan mengapa raja Bhoja I tidak menyukai "Muslim" tidak dijelaskan oleh Yaqut. Sebelum Yaqut, bibliografer Ibnu Nadim (w. circa 995/998) juga mencatat dalam kitabnya, Fihristul-'Ulum Hal. 486, bahwa Abu Dulaf Al-Yanbu'i diutus ke Cina oleh amir Nashr As-Samani (Nasr I), penguasa dinasti Samaniyyah, sebagai duta. Sekembalinya dari Cina, dia mengambil jalur selatan India sebagai rute kepulangannya. Meskipun dia tidak mencatat tentang Nusantara, namun dia mencatat bahwa sejumlah rahib Najrani (Kristen Nestorian) 'Abbasiyyah memiliki pemukiman di dua "negara India", yaitu negara "Qimar" (Khmer) dan "Shanaf" (Champa), bertepatan saat raja Rajendravarman II dari Khmer, yang ditulisnya sebagai "Lajin", berkuasa singkat di Champa sebelum akhirnya Champa ditaklukan oleh jenderal Lê Hoàn dari Tonkin, yang ditulisnya sebagai "Luqin". Dari cara penulisan Arabisasi "Lajin" dan "Luqin" ini, dapat dipastikan bahwa sumber yang dirujuk Ibnu Nadim adalah penutur Cina (sumber sekunder). TS sudah menulis analisis lengkapnya pada thread Catatan Ibnu Nadim Tentang Hindu-Buddha.
Pedagang "Muslim" Timur Tengah yang berdagang sampai ke Sumatra tampak tidak memiliki motivasi religius maupun politik di Sumatra, dan ini berbeda dengan pedagang "Muslim" Cina yang memiliki setidaknya motivasi religius di Sumatra. Dinasti Tang, selain membangun hubungan bilateral dengan 'Abbasiyyah dan negara-negara pecahannya, diketahui juga membangun hubungan bilateral dengan Sriwijaya jauh sebelumnya. Bhikkhu Yijing/I-tsing (w. 713) juga mencatat dalam memoarnya, Nanhai Jigui Neifa Zhuan Hal. xl-xli, bahwa raja Sriwijaya yang ditulisnya sebagai "Fo-shih" (entah siapa) selalu mengirim ratusan kapal ke Guangzhou. Guangzhou, atau yang dalam ejaan Latin dikenal sebagai "Kanton", memang merupakan pelabuhan dagang besar yang menjadi tujuan paling timur di Jalur Sutra. Sebagai pelabuhan penting bagi dinasti Tang, Guangzhou menjadi daerah lintas bangsa. Geografer Al-Mas'udi (w. 956) mencatat dalam kitabnya, Murujudz-Dzahab wal-Ma'adinul-Jauhar Hal. 270, bahwa perdagangan zaitun melalui laut akan berakhir di "Khanfu" (Guangzhou), dan selalu melewati sebuah negeri bernama "Zabaj" yang selalu ramai dan dihiasi oleh gunung-gunung api. Entah apakah Zabaj itu Sriwijaya, atau negeri lainnya, namun deskripsi ini sangat tidak diragukan lagi sebagai bagian dari Sumatra.
Kembali ke abad ke-13. Pada catatan-catatan asing abad ini, sebagian besar telah mencatat bahwa Sumatra didominasi oleh kaum Muslim. Dalam hal ini, Marco Polo (w. 1324) yang dapat dikatakan mencatat deskripsi tentang Muslim di Sumatra pada periode yang sangat awal, dimana dia menemukan sebuah pemukiman "Moor" di Perlak (Peureulak) yang didirikan oleh para pedagang "Moor". Di sana juga ditemukan batu nisan Malikussaleh / Malikush-Shalih, raja Samudra Pasai. Meskipun demikian, terdapat pula pemakaman Muslim yang lebih tua daripada Samudra Pasai, yaitu di Lamuri sekitar abad ke-14. Terlepas dari itu, hal menarik yang seringkali diabaikan oleh sejarahwan modern adalah penggunaan istilah "Moor" oleh para penjelajah Eropa, yang seringkali dianggap sebagai sebutan umum orang-orang Eropa pada abad pertengahan kepada kaum Muslim, karena memang di saat itu, catatan-catatan Eropa menggunakan istilah Moor secara negatif untuk merujuk suatu etnis Muslim Berber di wilayah Maghrib (Tunisia, Maroko, Algeria, dstnya) yang gemar melakukan perampokan dan penjarahan di laut. Namun tampaknya kita harus sedikit kritis. Bahwa Tomé Pires (w. circa 1524/1540) dalam memoarnya, Suma Oriental, menggunakan 2 (dua) istilah berbeda untuk menyebut Muslim di Sumatra dan di Jawa. Untuk Muslim Sumatra, dia menulisnya sebagai "Mouros" (Moor), sedangkan untuk Muslim Jawa, dia menulisnya sebagai "Maometanos" (Mohammedans). Pembedaan istilah ini menyiratkan adanya 2 (dua) gejala penampakan budaya Muslim yang berbeda antara di Sumatra dengan di Jawa (akan dibahas pada bab Islam Cina ke Jawa).
Kita tidak memiliki banyak sumber tertulis mengenai apa yang mendasari permukiman Muslim "Moor" di Sumatra tsb, apakah mereka sekedar perantara yang bekerja untuk para pedagang Cina, ataukah untuk raja-raja Muslim Chola di India Selatan. Pada awal abad ke-13, para pedagang rempah dari Yaman, tepatnya Aden, justru baru mengetahui dan menyadari bahwa, ternyata, sebuah pulau yang kemudian dikenal sebagai "Jawa" telah banyak komunitas Muslim. Ketika mereka datang dari Yaman ke Nusantara, Islam sudah cukup membumi di tanah Jawa. Pada abad ke-14, barulah para penguasa Muslim kerajaan Samudra Pasai bersaing dengan kerajaan-kerajaan Muslim tetangganya, seperti kerajaan Lamuri, kerajaan Pedir/Pidie, dan Kesultanan Aceh. Bertepatan saat Tomé Pires datang ke Sumatra, saat itu kerajaan Lamuri, yang ditulisnya sebagai "Lambri", sedang giat berperang melawan kerajaan Samudra Pasai, yang ditulisnya sebagai "Paçë". Lamuri tercatat unggul dalam hal perdagangan dan pelayaran, sehingga tidak mengherankan jika Pires menyebut mereka bekerjasama dengan para penguasa Bengal untuk memperebutkan hak agar nama mereka disebut dalam khotbah-khotbah Jum'at di Calicut/Calcutta, tempat Muslim Jawa kerap berjumpa dengan sesama Muslim India, Persia, dan Arab.
Petunjuk awal mengenai keberadaan Muslim di Jawa sekaligus paling banyak menceritakan tentang Jawa adalah catatan dari seorang mistikus sufi sekaligus faqih asal Yaman, 'Abdullah bin As'ad Al-Yafi'i (w. 1367). Dia terkenal pula sebagai seorang penulis manaqib 'Abdul-Qadir Al-Jailani (w. 1166), seorang sufi Baghdad pendiri ordo/tarekat Qadiriyyah yang di kemudian hari sangat populer di Indonesia. Tampaknya, Islam di Jawa datang melalui persebaran tashawuf bersamaan dengan hadirnya Islam di Sumatra. Ketika Yafi'i datang ke Jawa, dia mencatat bahwa dirinya di-bai'at ke dalam komunitas Qadiri Jawa yang diinisiasikan oleh sufi Qadiri Jawa yang ditulisnya sebagai "Mas'ud Al-Jawi" (secara harfiah artinya: "Mas'ud orang Jawa" - kata Jawi di abad ke-16 merujuk pada "orang Melayu" alih-alih "orang Jawa"). Artinya, komunitas Qadiri di Jawa sudah ada sebelum datangnya pedagang dan sufi Yaman. Akan tetapi, meskipun sudah ada di Jawa, kepopuleran Al-Jailani di Jawa (dan seantero Nusantara) tidak lepas dari peranan Yafi'i sendiri yang menyebarkan manaqib Al-Jailani dalam berbagai maqalat (traktat/esai). Namun, sayangnya tidak ada sedikitpun tradisi oral yang memiliki repetisi lokal mengenai bagaimana proses penyebaran manaqib tsb.
Memang, di Jawa sendiri, tarekat sufi yang paling banyak dianut adalah Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah, dimana kedua tarekat ini justru kurang diminati di Timur Tengah pada abad ke-13. Sebaliknya, tarekat Rifa'iyyah-lah justru yang lebih populer di Iraq dan Syria pada masa itu, tidak tanggung-tanggung sampai-sampai Adz-Dzahabi (w. 1348) sendiri menulis tarajim (bibliografi) tentang Ahmad Ar-Rifa'i (w. 1182), pendiri tarekat Rifa'iyyah, hingga 3 (tiga) halaman dalam kitabnya, Siyar A'lamun Nubala' Vol. 21 Hal. 78-80. Dan di sinilah keunikannya. Meskipun tarekat Rifa'i nyaris tidak ditemui di Jawa pada abad ke-13 sebagaimana Qadiri dan Naqsyabandi, namun banyak sekali tradisi Rifa'i yang diadopsi tashawuf di Jawa, di antaranya yang populer hingga hari ini adalah debus yang secara tradisional diklaim asli Banten di masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin dari Kesultanan Banten. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa debus berasal dari tradisi tarian Dabus pada tarekat Rifa'iyyah yang dipraktikkan Muslim Melayu abad ke-14 ketika sedang melakukan suluk Rathibur-Rifa'i sambil ditusuk-tusuki jarum ke dada tanpa luka sedikit pun dengan diiringi rawathib dan alat musik daf yang menjadi asal-usul istilah "dabus". Demikian juga nasyid ("nyanyian") dengan alat-alat perkusi yang disebut juga sebagai marawis, merupakan "sisa-sisa" suluk Rifa'i yang masih terwariskan di Jawa (dan juga Sumatra) sampai hari ini. Akan tetapi, karena spiritualisme Jawa sebelum Islam sudah sangat membumi di Jawa (yang terbukti dari banyaknya candi dan kadewaguruan Hindu-Buddha), tarekat Naqsyabandi lebih diminati Muslim Jawa karena tarekat ini lebih menekankan pada praktik kontemplasi (permenungan) yang disebut sebagai dzikr dan muhasabah.
Persebaran tashawuf di Sumatra dan Jawa telah membawa dampak penyaduran ke dalam tradisi oral lokal. Misalnya, kita dapat menemukan sebuah cerita dalam Hikayat Raja-Raja Pasai Hal. 118 yang ditulis pada abad ke-14, bahwa "Merah Silu" (Mara/Meurah Silu) yang konon merupakan nama asli Sultan Malikussaleh, bermimpi bertemu dengan Muhammad sang Nabi pada suatu malam, dimana Muhammad menyuruhnya untuk membuka mulutnya, lalu Muhammad meludahinya. Setelah menelan rasa ludah Muhammad sang Nabi yang manis dan harum ber-"bau narwastu", sang Nabi kemudian berkata kepada Merah Silu bahwa dia akan memperoleh nama "Malikush-Shalih" ("Raja yang Saleh"), memimpin ummat Muslim, dan menjadi seorang yang pandai membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Merah Silu kemudian terbangun dan dia melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an 30 juz dengan fasih tanpa terlewati sedikitpun. Kisah ini jelas merupakan penyaduran dari salah satu manaqib 'Abdul-Qadir Al-Jailani. Pada abad sebelumnya, Yafi'i juga menulis dalam manaqib-nya, Khulashatul-Mafakhir Fi Akhbarisy-Syaikh 'Abdal-Qadir Hal. 92, bahwa konon suatu ketika saat Al-Jailani sedang belajar bahasa Arab (karena dia adalah orang Persia), dia bermimpi bertemu Muhammad sang Nabi. Lalu, sang Nabi menyuruhnya membuka mulut dan meludahi mulutnya. Setelah terbangun, tiba-tiba Jailani menjadi fasih berbahasa Arab dan bahkan memahami makna-makna Al-Qur'an. Pengaruh tashawuf atau sufisme sebenarnya juga merasuk ke Sumatra, sebagaimana di Jawa. Namun, pengaruh tsb selain dari Yafi'i sebagai sufi Qadiri Yaman, juga datang dari tradisi Melayu.
Bersambung .....
Diubah oleh tyrodinthor 22-07-2022 21:21
0
