- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
r4zor dan 259 lainnya memberi reputasi
238
305.2K
Kutip
2.6K
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#1155
A JOURNAL: SIDE-STORY [EMPAT]
Quote:
Hal. 13
Narasumber
Nama : Gunardi
Status : Kepala Dusun Srigati
Lokasi Wawancara : Kediaman Bapak Gunardi
Durasi Wawancara : 60 Menit
Wawancara dilakukan sehari setelah Gelar Pendhem selesai dilaksanakan. Untuk berikutnya, Narasumber akan ditulis dengan inisial (N) dan Observator akan ditulis dengan inisial (O). Transkrip ini ditulis sesuai dengan hasil rekaman yang dilakukan selama proses wawancara tanpa penambahan maupun pengurangan.
O : Selamat sore Pak Gunardi.
N : Nggih, nggih. Selamat sore juga Mas.
O : Sebelumnya saya ucapkan selamat atas terlaksananya itu..Gelar Pendhem, nggih?
N : Ya, ya betul Mas. Matursuwun (terima kasih)....
O : Ini Pak Gun. Mengenai Gelar Pendhem ini, kapan dilaksanakan pertama kali nggih?
N : Wah, sudah ndak ingat saya. Ini kan tradisi turun temurun gitu. Tapi kata orang-orang tua dulu, sebelum saya lahir juga sudah ada tradisi ini.
O : Jadi memang sudah sejak dulu, ya?
N : Betul, cuma begini. Kita kan sebagai generasi muda...generasi peneruslah istilahnya, berkewajiban untuk melestarikan yang sudah jadi diwariskan leluhur to, Mas? Jadi mungkin perbedaannya dari ritual yang dulu, ini lebih ramai. Sengaja dibuat ada hiburannya, pagelaran wayang, orkes dangdut dan sebagainya.
O : Oh, yang di Pungkasan Ageng kemarin...
N : Ya, betul. Pungkasan kan artinya Penutupan dan Ageng itu Besar. Jadi harus dibuat semeriah mungkin karena itu acara terakhir.
O : Tapi menurut beberapa warga kemarin yang saya tanyai, tradisi Gelar Pendhem ini baru dimulai pertama kali sekitar setahun setelah Pak Gunardi menjadi kepala dusun.
N : [Narasumber diam beberapa saat] Tanya sama sinten (siapa) Mas, kemarin?
O : Pak Kasnyoto sama Bu Narmi...
N : [Narasumber meminum kopi terlebih dulu] [Tertawa kecil] Hehehe, mereka itu kan pendatang sebenernya, Mas. Bukan warga asli Srigati. Jadi wajar kalau tidak tahu dan asal ngomong. Nah, untungnya Mas Wahyu datang ke saya. Jadi kan enak, bisa saya jelaskan...
O : Jadi yang benar pripun (bagaimana), Pak?
N : Ya seperti yang saya bilang tadi. Gelar Pendhem itu banyak berubah. Ini saya buka-bukaan saja, yang memasukkan hiburan-hiburan rakyat seperti wayangan dan dangdutan itu memang saya. Setelah saya jadi Kepala Dusun, saya inisiatif gimana biar tradisi ini bisa meriah dan dinikmati bukan hanya oleh warga sini saja, tapi juga oleh warga-warga di desa lain. [Narasumber berhenti sejenak, meminum kopi lagi] Sebelumnya tradisi ini diadakan sangat terbatas di Dusun Srigati saja. Bahkan tidak banyak orang luar yang tahu. Jadi mungkin dianggapnya baru ada setelah saya jadi Kepala Dusun, karena baru kelihatan ramai-ramainya memang setelah saya jadi Kepala Dusun. Padahal kan ndak seperti itu...
O : Jadi dulu sebelum jenengan (anda) jadi Kepala Dusun, Pungkasan Ageng itu tidak ada?
N : Iya, itu baru saya yang buat...
O : Kalau boleh tahu, untuk susunan acara Gelar Pendhem yang asli itu seperti apa pak?
N : [Nada suara sedikit meninggi] Lho, ini juga asli mas! Ndak ada itu Gelar Pendhem palsu!
[Interview terhenti sejenak karena pembantu Narasumber tiba-tiba keluar dan menyampaikan pesan kalau istrinya meminta Narasumber untuk masuk ke dalam sebentar.]
N : Sebentar ya, Mas? Mungkin Astria (nama anak Narasumber) lagi rewel, maklum masih kecil sekali. Dan kebetulan istri saya juga lagi sakit, kecapean mungkin karena acara kemarin...
[Interview terhenti sekitar 15 menit]
N : Maaf nggih Mas, saya tinggal masuk tadi. Ini kita sampai mana?
O : Sampai pelaksanaan Gelar Pendhem sebelum Pak Gunardi menjabat jadi Kepala Dusun...
N : [Tersenyum] Pada intinya gini lho, Mas. Baik sebelum atau sesudah saya jadi Kepala Dusun, Gelar Pendhem ini masih memiliki nilai-nilai keluhuran yang sama dan tidak berubah. Menjadi wujud rasa bersyukur warga sini atas melimpahnya hasil panen sekaligus harapan supaya di musim berikutnya kami dijauhkan dari hama, paceklik dan gagal panen. Cuma itu saja...
O : Tapi agak berbeda nggih, dengan tradisi panen raya di tempat lain?
N : Sama saja...
O : Kan kalau di tempat lain biasanya dilaksanakan setelah panen atau malah sebelum menanam bibit. Kalau di Srigati sini kan upacaranya tiga tahunan sekali dan waktunya lebih acak.
N : Tapi inti dan tujuannya sama.
O : Kalau Gelar Pendhem, yang menentukan waktu pelaksanaannya siapa, Pak? Atau adakah hitungan harinya sendiri?
N : Sesepuh desa yang menentukan.
O : Cuma sesepuh yang punya hitungannya?
N : Nggih...
O : Mungkin besok saya bisa dibantu untuk wawancara beliau, Pak?
N : Yang bersangkutan tidak bersedia. Sepurane nggih (Maaf ya), Mas? Dengan saya juga sama saja, kok...
O : Oh iya, kalau mengenai sesepuh desa...beliau juga ada peran besar nggih, Pak? Terutama ketika tahapan Wiwitan Alit, Wiwitan Ageng sampai acara inti di Sawah Pendhem.
N : Betul...
O : Untuk awal acara Wiwitan Alit yang dilaksanakan tengah malam itu, bisa diceritakan detailnya, Pak? Tempatnya dimana dan apa saja prosesi yang dilakukan.
N : Itu prosesinya tertutup mas. Saya tidak bisa cerita banyak. Intinya kami cuma melekan (begadang) sambil berdoa saja.
O : Tapi tempatnya kenapa dipinggir hutan, Pak?
N : Jadi begini ya, Mas Wahyu...[berdehem sambil membenarkan posisi duduk] Inti tujuan awal Mas Wahyu kesini kan hanya untuk meneliti budaya pertanian di Srigati. Semua data sejak awal juga sudah saya kasihkan. Mas Wahyu sendiri juga sudah ikut prosesi Gelar Pendhem dari awal sampai akhir. Nggih, to [Iya, kan]?
O : Nggih, Pak...
N : Ya, sudah! [tersenyum] Saya kira itu semua sudah cukup untuk menyelesaikan penelitian Mas Wahyu. Yang tidak saya katakan atau berikan kepada jenengan (anda), itu artinya memang tidak untuk diketahui oleh khalayak. Saya menghargai adat di sini, dan saya harap jenengan juga sama.
O : Nggih, mohon maaf kalau saya lancang...
N : Hehehe, tidak apa-apa Mas. Saya juga mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan...
O : Saya kira sudah cukup Pak wawancaranya. Terimakasih atas waktunya.
N : Nggih, Mas Wahyu. Semoga penelitian tentang adat pertanian di Srigati ini bisa menambah wawasan bahwa budaya leluhur di tanah Jawa ini begitu kaya dan beragam. Tugas kita sebagai generasi muda adalah merawat dan melestarikannya.
O : Baik Pak Gunardi, terimakasih sekali lagi nggih...
LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber
Nama : Gunardi
Status : Kepala Dusun Srigati
Lokasi Wawancara : Kediaman Bapak Gunardi
Durasi Wawancara : 60 Menit
Wawancara dilakukan sehari setelah Gelar Pendhem selesai dilaksanakan. Untuk berikutnya, Narasumber akan ditulis dengan inisial (N) dan Observator akan ditulis dengan inisial (O). Transkrip ini ditulis sesuai dengan hasil rekaman yang dilakukan selama proses wawancara tanpa penambahan maupun pengurangan.
O : Selamat sore Pak Gunardi.
N : Nggih, nggih. Selamat sore juga Mas.
O : Sebelumnya saya ucapkan selamat atas terlaksananya itu..Gelar Pendhem, nggih?
N : Ya, ya betul Mas. Matursuwun (terima kasih)....
O : Ini Pak Gun. Mengenai Gelar Pendhem ini, kapan dilaksanakan pertama kali nggih?
N : Wah, sudah ndak ingat saya. Ini kan tradisi turun temurun gitu. Tapi kata orang-orang tua dulu, sebelum saya lahir juga sudah ada tradisi ini.
O : Jadi memang sudah sejak dulu, ya?
N : Betul, cuma begini. Kita kan sebagai generasi muda...generasi peneruslah istilahnya, berkewajiban untuk melestarikan yang sudah jadi diwariskan leluhur to, Mas? Jadi mungkin perbedaannya dari ritual yang dulu, ini lebih ramai. Sengaja dibuat ada hiburannya, pagelaran wayang, orkes dangdut dan sebagainya.
O : Oh, yang di Pungkasan Ageng kemarin...
N : Ya, betul. Pungkasan kan artinya Penutupan dan Ageng itu Besar. Jadi harus dibuat semeriah mungkin karena itu acara terakhir.
O : Tapi menurut beberapa warga kemarin yang saya tanyai, tradisi Gelar Pendhem ini baru dimulai pertama kali sekitar setahun setelah Pak Gunardi menjadi kepala dusun.
N : [Narasumber diam beberapa saat] Tanya sama sinten (siapa) Mas, kemarin?
O : Pak Kasnyoto sama Bu Narmi...
N : [Narasumber meminum kopi terlebih dulu] [Tertawa kecil] Hehehe, mereka itu kan pendatang sebenernya, Mas. Bukan warga asli Srigati. Jadi wajar kalau tidak tahu dan asal ngomong. Nah, untungnya Mas Wahyu datang ke saya. Jadi kan enak, bisa saya jelaskan...
O : Jadi yang benar pripun (bagaimana), Pak?
N : Ya seperti yang saya bilang tadi. Gelar Pendhem itu banyak berubah. Ini saya buka-bukaan saja, yang memasukkan hiburan-hiburan rakyat seperti wayangan dan dangdutan itu memang saya. Setelah saya jadi Kepala Dusun, saya inisiatif gimana biar tradisi ini bisa meriah dan dinikmati bukan hanya oleh warga sini saja, tapi juga oleh warga-warga di desa lain. [Narasumber berhenti sejenak, meminum kopi lagi] Sebelumnya tradisi ini diadakan sangat terbatas di Dusun Srigati saja. Bahkan tidak banyak orang luar yang tahu. Jadi mungkin dianggapnya baru ada setelah saya jadi Kepala Dusun, karena baru kelihatan ramai-ramainya memang setelah saya jadi Kepala Dusun. Padahal kan ndak seperti itu...
O : Jadi dulu sebelum jenengan (anda) jadi Kepala Dusun, Pungkasan Ageng itu tidak ada?
N : Iya, itu baru saya yang buat...
O : Kalau boleh tahu, untuk susunan acara Gelar Pendhem yang asli itu seperti apa pak?
N : [Nada suara sedikit meninggi] Lho, ini juga asli mas! Ndak ada itu Gelar Pendhem palsu!
[Interview terhenti sejenak karena pembantu Narasumber tiba-tiba keluar dan menyampaikan pesan kalau istrinya meminta Narasumber untuk masuk ke dalam sebentar.]
N : Sebentar ya, Mas? Mungkin Astria (nama anak Narasumber) lagi rewel, maklum masih kecil sekali. Dan kebetulan istri saya juga lagi sakit, kecapean mungkin karena acara kemarin...
[Interview terhenti sekitar 15 menit]
N : Maaf nggih Mas, saya tinggal masuk tadi. Ini kita sampai mana?
O : Sampai pelaksanaan Gelar Pendhem sebelum Pak Gunardi menjabat jadi Kepala Dusun...
N : [Tersenyum] Pada intinya gini lho, Mas. Baik sebelum atau sesudah saya jadi Kepala Dusun, Gelar Pendhem ini masih memiliki nilai-nilai keluhuran yang sama dan tidak berubah. Menjadi wujud rasa bersyukur warga sini atas melimpahnya hasil panen sekaligus harapan supaya di musim berikutnya kami dijauhkan dari hama, paceklik dan gagal panen. Cuma itu saja...
O : Tapi agak berbeda nggih, dengan tradisi panen raya di tempat lain?
N : Sama saja...
O : Kan kalau di tempat lain biasanya dilaksanakan setelah panen atau malah sebelum menanam bibit. Kalau di Srigati sini kan upacaranya tiga tahunan sekali dan waktunya lebih acak.
N : Tapi inti dan tujuannya sama.
O : Kalau Gelar Pendhem, yang menentukan waktu pelaksanaannya siapa, Pak? Atau adakah hitungan harinya sendiri?
N : Sesepuh desa yang menentukan.
O : Cuma sesepuh yang punya hitungannya?
N : Nggih...
O : Mungkin besok saya bisa dibantu untuk wawancara beliau, Pak?
N : Yang bersangkutan tidak bersedia. Sepurane nggih (Maaf ya), Mas? Dengan saya juga sama saja, kok...
O : Oh iya, kalau mengenai sesepuh desa...beliau juga ada peran besar nggih, Pak? Terutama ketika tahapan Wiwitan Alit, Wiwitan Ageng sampai acara inti di Sawah Pendhem.
N : Betul...
O : Untuk awal acara Wiwitan Alit yang dilaksanakan tengah malam itu, bisa diceritakan detailnya, Pak? Tempatnya dimana dan apa saja prosesi yang dilakukan.
N : Itu prosesinya tertutup mas. Saya tidak bisa cerita banyak. Intinya kami cuma melekan (begadang) sambil berdoa saja.
O : Tapi tempatnya kenapa dipinggir hutan, Pak?
N : Jadi begini ya, Mas Wahyu...[berdehem sambil membenarkan posisi duduk] Inti tujuan awal Mas Wahyu kesini kan hanya untuk meneliti budaya pertanian di Srigati. Semua data sejak awal juga sudah saya kasihkan. Mas Wahyu sendiri juga sudah ikut prosesi Gelar Pendhem dari awal sampai akhir. Nggih, to [Iya, kan]?
O : Nggih, Pak...
N : Ya, sudah! [tersenyum] Saya kira itu semua sudah cukup untuk menyelesaikan penelitian Mas Wahyu. Yang tidak saya katakan atau berikan kepada jenengan (anda), itu artinya memang tidak untuk diketahui oleh khalayak. Saya menghargai adat di sini, dan saya harap jenengan juga sama.
O : Nggih, mohon maaf kalau saya lancang...
N : Hehehe, tidak apa-apa Mas. Saya juga mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan...
O : Saya kira sudah cukup Pak wawancaranya. Terimakasih atas waktunya.
N : Nggih, Mas Wahyu. Semoga penelitian tentang adat pertanian di Srigati ini bisa menambah wawasan bahwa budaya leluhur di tanah Jawa ini begitu kaya dan beragam. Tugas kita sebagai generasi muda adalah merawat dan melestarikannya.
O : Baik Pak Gunardi, terimakasih sekali lagi nggih...
Quote:
"Jadi, jurnal ini enggak ada artinya apa-apa buat Om Wahyu?"
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Wahyu Dewangga hanya memberikan satu senyuman penuh makna. Bahkan tak ia lepaskan tatapannya dari jurnal yang kini telah berpindah dari dekapan Dea ke tangannya sendiri.
"Mari ikut saya ke dalam, dek Dea..."
Dea hanya menurut saja ketika Wahyu Dewangga mengajaknya berpindah dari ruang tamu menuju ruang keluarga di sebelah, tempat dimana kedua putrinya sedang khusyuk menonton sebuah acara kartun di televisi.
"Jadi dulu jaman saya masih kuliah, pihak kampus mewajibkan setiap mahasiswa fakultas Pertanian untuk membuat jurnal ilmiah sebelum masuk ke penulisan skripsi..." Wahyu Dewangga bercerita sambil terus melangkahkan kaki menuju sebuah rak kayu berisi buku-buku yang ada di pojokan ruang keluarga. Dekat dengan pintu yang Dea duga menuju dapur belakang.
"Dan jurnal tentang Srigati ini adalah jurnal yang Om buat untuk syarat penulisan skripsi?" Dea bertanya dengan nada yang sedikit tinggi, agar suaranya tak kalah dengan suara dua bocah botak kembar yang saling bercakap dalam bahasa melayu dari dalam televisi itu.
Wahyu Dewangga berhenti tepat di depan rak yang digantung di tengah tembok.
"Bagi anak-anak pertanian seangkatan saya, penulisan jurnal ilmiah ini juga dimanfaatkan sebagai proposal skripsi. Jadi kebanyakan, tema skripsi sama dengan bahasan di jurnal ilmiah. Biar tidak buang-buang waktu dan tenaga." Ucapnya dengan kedua tangan yang sibuk mencari-cari sesuatu dari deretan buku-buku, sebelum dia menarik keluar sesuatu dari sana. "Nah, ini! Saya masih punya salinan jurnal yang sama dengan yang dek Dea bawa ke saya!"
Dea sepertinya tak siap ketika Wahyu Dewangga berbalik badan ke arahnya sambil menyodorkan setumpuk kertas berjamur yang salah satu sisi dijepit dengan tiga buah klip di bagian atas, tengah dan bawah.
Dea menerimanya, dan matanya terbelalak membaca judul yang terpampang dengan jelas di halaman paling depan. Ini adalah jurnal yang sama! Benar-benar jurnal yang sama!
"Memang ketentuannya harus dibuat jadi dua. Yang satu untuk diajukan ke dosen pembimbing, dan yang satu untuk inventaris perpustakaan. Dan jaman dulu itu saya nulisnya masih pakai mesin tik, tidak semudah sekarang pakai laptop dan tinggal print. Hehehe..."
Tapi, penjelasan dari Wahyu Dewangga nyaris tak terdengar di telinga. Fokus Dea sudah terlanjur terhisap seluruhnya ke salinan jurnal yang kini dia genggam.
Tak ada bedanya, memang! Kecuali...
Coretan-coretan di bagian depan yang ditulis tebal dengan bolpoin warna merah. Coretan-coretan yang walaupun terlihat mulai memudar, tapi masih cukup jelas terbaca oleh Dea.
JUDUL DAN ISI TIDAK MEMILIKI KETERKAITAN...tertulis tepat di atas judul jurnal
Kemudian di bawahnya...TIDAK JELAS ARAHNYA MAU MENELITI LAHAN PERTANIAN ATAU UPACARA ADAT!
Kemudian di bawahnya lagi...WAWANCARA TERLALU KESANA KEMARI, MENGADA-ADA DAN TIDAK FOKUS PADA PERMASALAHAN AWAL!!
Di bawahnya lagi...INI MAU NULIS CERITA MISTIS ATAU STUDI EMPIRIK? MAKIN LAMA ARAHNYA MAKIN MIRIP ORANG MENGIGAU!
Dan diakhiri dengan...JURNAL TIDAK JELAS, TIDAK ACC!! HARAP GANTI JUDUL DAN LAKUKAN PENELITIAN ULANG!!
"Jadi kalau dek Dea tanya apa artinya jurnal ini buat saya...ya, artinya ini adalah kegagalan. Jauh-jauh saya ke Srigati dan jurnal ini dibilang mengigau, tidak jelas. Saya jadi terpaksa bikin yang baru, menyusun rumusan masalah baru dan melakukan penelitian ulang di tempat lain..."
Kepala Dea mendongak. Dia beralih memandang Wahyu Dewangga yang ternyata juga memandangnya balik dengan tatapan teduh. "Habis itu? Om Wahyu tidak kembali kesana lagi?”
Wahyu Dewangga mengangkat bahu. “Tidaklah! Boros di bensin dan tenaga. Dan di sana kan orangnya kurang ramah juga, tidak welcomesama orang asing. Entah kenapa...”
Dea memicingkan mata, seakan masih tak percaya kenapa Wahyu Dewangga bisa sesantai ini dalam menjawab setiap pertanyaannya. "Itu saja, Om? Beneran itu saja??"
"Lha?" Wahyu Dewangga malah terkekeh. "Terus apa yang dek Dea harapkan? Memang jurnal yang satunya seharusnya segera saya tarik dari Perpustakaan karena tidak di-ACC oleh dosen. Tapi kenapa ya dulu? Mungkin saya terlalu sibuk dan harus kejar waktu untuk mulai menyusun jurnal baru, sampai-sampai lupa buat ambil jurnal yang lama."
"Lalu? Srigati? Penelitian tentang tanah itu?" Alih-alih pertanyaan, kalimat itu lebih terdengar seperti gumaman yang meluncur hampa dari mulut Dea.
"Terpaksa tidak saya teruskan lebih lanjut. Buat apa, juga? Wong jurnal saya sudah ditolak mentah-mentah..."
Dea kehabisan kata-kata. Tubuhnya lemas seketika. Bagaimana bisa segala kerumitan dan kengerian yang terjadi kepadanya di Jatiasih itu ternyata tak memiliki arti apa-apa bagi sang penulis jurnal? Srigati, yang di mata Dea begitu menakutkan dan menyimpan sejuta misteri itu, tak lebih dari tempat penelitian yang gagal bagi Wahyu Dewangga?
Sedangkan di televisi, suara tokoh-tokoh kartun yang berhasil membuat kedua putri Wahyu Dewangga duduk manis di tempat mereka itu tak lagi terdengar. Berganti dengan suara empuk seorang penyiar yang bersiap mengabarkan berita dalam breaking news.
"Jadi saran saya, jangan pakai jurnal ini sebagai referensi ya? Ini contoh yang salah dan jurnal yang buruk. Antara permasalahan awal dengan penelitian di lapangan saja sudah melenceng jauh sekali."
Apakah kebenaran ternyata memang hanya sesederhana dan se-antiklimaks ini? Dea merasakan hatinya sakit, tertimpa oleh ekspektasi dan prasangka yang terlanjur terbangun terlalu tinggi. Bahkan dia tak berdaya ketika Wahyu Dewangga mengambil kembali salinan jurnal itu dan menumpuknya di atas jurnal yang asli. Sebelum ia meletakkan keduanya kembali ke dalam rak. Bersatu dengan deretan buku-buku yang lain.
"Selain ini, ada lagi yang bisa saya bantu dek Dea?"
“Dek Dea?”
“"Tidak, Om. Terima kasih. Saya pamit pulang dulu..."
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Wahyu Dewangga hanya memberikan satu senyuman penuh makna. Bahkan tak ia lepaskan tatapannya dari jurnal yang kini telah berpindah dari dekapan Dea ke tangannya sendiri.
"Mari ikut saya ke dalam, dek Dea..."
Dea hanya menurut saja ketika Wahyu Dewangga mengajaknya berpindah dari ruang tamu menuju ruang keluarga di sebelah, tempat dimana kedua putrinya sedang khusyuk menonton sebuah acara kartun di televisi.
"Jadi dulu jaman saya masih kuliah, pihak kampus mewajibkan setiap mahasiswa fakultas Pertanian untuk membuat jurnal ilmiah sebelum masuk ke penulisan skripsi..." Wahyu Dewangga bercerita sambil terus melangkahkan kaki menuju sebuah rak kayu berisi buku-buku yang ada di pojokan ruang keluarga. Dekat dengan pintu yang Dea duga menuju dapur belakang.
"Dan jurnal tentang Srigati ini adalah jurnal yang Om buat untuk syarat penulisan skripsi?" Dea bertanya dengan nada yang sedikit tinggi, agar suaranya tak kalah dengan suara dua bocah botak kembar yang saling bercakap dalam bahasa melayu dari dalam televisi itu.
Wahyu Dewangga berhenti tepat di depan rak yang digantung di tengah tembok.
"Bagi anak-anak pertanian seangkatan saya, penulisan jurnal ilmiah ini juga dimanfaatkan sebagai proposal skripsi. Jadi kebanyakan, tema skripsi sama dengan bahasan di jurnal ilmiah. Biar tidak buang-buang waktu dan tenaga." Ucapnya dengan kedua tangan yang sibuk mencari-cari sesuatu dari deretan buku-buku, sebelum dia menarik keluar sesuatu dari sana. "Nah, ini! Saya masih punya salinan jurnal yang sama dengan yang dek Dea bawa ke saya!"
Dea sepertinya tak siap ketika Wahyu Dewangga berbalik badan ke arahnya sambil menyodorkan setumpuk kertas berjamur yang salah satu sisi dijepit dengan tiga buah klip di bagian atas, tengah dan bawah.
ANALISIS LAHAN PERTANIAN DI DUSUN SRIGATI:
ANTARA ANOMALI TANAH DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT LOKAL
Penulis;
WAHYU DEWANGGA
ANTARA ANOMALI TANAH DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT LOKAL
Penulis;
WAHYU DEWANGGA
Dea menerimanya, dan matanya terbelalak membaca judul yang terpampang dengan jelas di halaman paling depan. Ini adalah jurnal yang sama! Benar-benar jurnal yang sama!
"Memang ketentuannya harus dibuat jadi dua. Yang satu untuk diajukan ke dosen pembimbing, dan yang satu untuk inventaris perpustakaan. Dan jaman dulu itu saya nulisnya masih pakai mesin tik, tidak semudah sekarang pakai laptop dan tinggal print. Hehehe..."
Tapi, penjelasan dari Wahyu Dewangga nyaris tak terdengar di telinga. Fokus Dea sudah terlanjur terhisap seluruhnya ke salinan jurnal yang kini dia genggam.
Tak ada bedanya, memang! Kecuali...
Coretan-coretan di bagian depan yang ditulis tebal dengan bolpoin warna merah. Coretan-coretan yang walaupun terlihat mulai memudar, tapi masih cukup jelas terbaca oleh Dea.
JUDUL DAN ISI TIDAK MEMILIKI KETERKAITAN...tertulis tepat di atas judul jurnal
Kemudian di bawahnya...TIDAK JELAS ARAHNYA MAU MENELITI LAHAN PERTANIAN ATAU UPACARA ADAT!
Kemudian di bawahnya lagi...WAWANCARA TERLALU KESANA KEMARI, MENGADA-ADA DAN TIDAK FOKUS PADA PERMASALAHAN AWAL!!
Di bawahnya lagi...INI MAU NULIS CERITA MISTIS ATAU STUDI EMPIRIK? MAKIN LAMA ARAHNYA MAKIN MIRIP ORANG MENGIGAU!
Dan diakhiri dengan...JURNAL TIDAK JELAS, TIDAK ACC!! HARAP GANTI JUDUL DAN LAKUKAN PENELITIAN ULANG!!
"Jadi kalau dek Dea tanya apa artinya jurnal ini buat saya...ya, artinya ini adalah kegagalan. Jauh-jauh saya ke Srigati dan jurnal ini dibilang mengigau, tidak jelas. Saya jadi terpaksa bikin yang baru, menyusun rumusan masalah baru dan melakukan penelitian ulang di tempat lain..."
Kepala Dea mendongak. Dia beralih memandang Wahyu Dewangga yang ternyata juga memandangnya balik dengan tatapan teduh. "Habis itu? Om Wahyu tidak kembali kesana lagi?”
Wahyu Dewangga mengangkat bahu. “Tidaklah! Boros di bensin dan tenaga. Dan di sana kan orangnya kurang ramah juga, tidak welcomesama orang asing. Entah kenapa...”
Dea memicingkan mata, seakan masih tak percaya kenapa Wahyu Dewangga bisa sesantai ini dalam menjawab setiap pertanyaannya. "Itu saja, Om? Beneran itu saja??"
"Lha?" Wahyu Dewangga malah terkekeh. "Terus apa yang dek Dea harapkan? Memang jurnal yang satunya seharusnya segera saya tarik dari Perpustakaan karena tidak di-ACC oleh dosen. Tapi kenapa ya dulu? Mungkin saya terlalu sibuk dan harus kejar waktu untuk mulai menyusun jurnal baru, sampai-sampai lupa buat ambil jurnal yang lama."
"Lalu? Srigati? Penelitian tentang tanah itu?" Alih-alih pertanyaan, kalimat itu lebih terdengar seperti gumaman yang meluncur hampa dari mulut Dea.
"Terpaksa tidak saya teruskan lebih lanjut. Buat apa, juga? Wong jurnal saya sudah ditolak mentah-mentah..."
Dea kehabisan kata-kata. Tubuhnya lemas seketika. Bagaimana bisa segala kerumitan dan kengerian yang terjadi kepadanya di Jatiasih itu ternyata tak memiliki arti apa-apa bagi sang penulis jurnal? Srigati, yang di mata Dea begitu menakutkan dan menyimpan sejuta misteri itu, tak lebih dari tempat penelitian yang gagal bagi Wahyu Dewangga?
Sedangkan di televisi, suara tokoh-tokoh kartun yang berhasil membuat kedua putri Wahyu Dewangga duduk manis di tempat mereka itu tak lagi terdengar. Berganti dengan suara empuk seorang penyiar yang bersiap mengabarkan berita dalam breaking news.
Selamat sore pemirsa, breaking news kembali hadir ke hadapan anda bersama saya Dimas Hariadi...
"Jadi saran saya, jangan pakai jurnal ini sebagai referensi ya? Ini contoh yang salah dan jurnal yang buruk. Antara permasalahan awal dengan penelitian di lapangan saja sudah melenceng jauh sekali."
Apakah kebenaran ternyata memang hanya sesederhana dan se-antiklimaks ini? Dea merasakan hatinya sakit, tertimpa oleh ekspektasi dan prasangka yang terlanjur terbangun terlalu tinggi. Bahkan dia tak berdaya ketika Wahyu Dewangga mengambil kembali salinan jurnal itu dan menumpuknya di atas jurnal yang asli. Sebelum ia meletakkan keduanya kembali ke dalam rak. Bersatu dengan deretan buku-buku yang lain.
...Berita pertama datang dari kota S*******, Jawa Tengah...
"Selain ini, ada lagi yang bisa saya bantu dek Dea?"
...Seorang perempuan penderita ODGJ ditemukan gantung diri di hutan dekat Yayasan tempat korban dirawat. Menurut pengakuan saksi, korban berinisal Y ini kabur dari Yayasan pada tengah malam kemarin dan sudah ditemukan tak bernyawa keesokan paginya. Naasnya lagi, korban sedang dalam kondisi hamil tua. Saat ini kepolisian masih mendalami kasus tersebut, serta mewawancarai beberapa saksi termasuk seorang perempuan muda berinisial R, yang juga ditemukan tak sadarkan diri di dekat TKP.
“Dek Dea?”
“"Tidak, Om. Terima kasih. Saya pamit pulang dulu..."
jondero dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Kutip
Balas
Tutup