Quote:
Rumah itu berdiri di tengah lingkungan padat penduduk yang asri dan damai. Jalan aspal selebar tak lebih dari dua meter, rumah yang saling berdempet satu sama lain dan anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari menikmati sore. Benar-benar pemandangan khas pemukiman pinggiran kota. Sedangkan tepat di di depan rumah yang menjadi tujuan Dea, pagar besi setinggi dada orang dewasa dengan ujung-ujungnya yang tajam membatasi pekarangan yang tak terlalu luas namun penuh dengan pot-pot tanaman itu dengan jalanan sempit beraspal yang ada di seberangnya.
Di depan pagar itulah, Dea duduk di atas motornya. Tas pinggang tergantung di punggung dan perasaan campur aduk terus menggerogoti hati. Niatnya masih maju mundur. Entah mau balik kanan dan memilih kabur, atau mematikan mesin motor dan mengucap salam sambil mengetok besi pagar.
Sambil berkali-kali membenarkan kaca helm yang longgar dan terus naik turun dengan menyebalkan, Dea memicingkan mata. Mengamati keadaan di balik pagar seteliti mungkin. Pintu kayu itu tertutup rapat, begitupun dengan dua buah jendela di sisi kanan dan kirinya. Situasi di sana begitu sepi dan hening sekali. Seakan-akan tak berpenghuni.
Apa si pemilik rumah sedang keluar? Dea berharap demikian saja. Tapi Papanya sudah membuat janji hari ini. Sore ini. Bilang melalui telepon bahwa anaknya akan bertandang ke rumah ini untuk meminta sedikit bantuan menyelesaikan tugas kelompok KKN-nya. Sebuah omong kosong tanpa kontrol yang keluar dari mulut Dea sendiri, yang kemudian membuatnya terlempar di situasi yang serba rumit ini.
Jadi mustahil kalau si pemilik rumah malah pergi di jam dan hari yang sudah disepakatinya sendiri. Atau mungkin dia ada urusan mendadak yang sifatnya sangat penting? Bisa saja sih! Jadi, apa aku tarik gas dan pulang ke rumah saja? Ya, ya! Kenapa tidak? Lebih baik kabur sekarang sebelum si pemilik rumah datang! Sampai rumah, kan bisa buat alasan kalau rumahnya kosong. Diketok berkali-kalipun tak juga ada respon.
Dea benar-benar nyaris kabur. Dengan nafas menggebu dan kaca helm yang terus-menerus turun menutupi muka, tangan kanan Dea bersiap untuk menarik gas ke belakang.
Tapi sial! Belum juga roda motornya bergerak, sebuah sentuhan lembut terasa menyentuh bahu Dea dari belakang. Sentuhan yang langsung membuat bulu kuduk Dea berdiri dan tubuhnya membeku tak bergerak.
"Ini Dea, ya?"
Suara itu begitu hangat, memaksa Dea menoleh ke belakang tanpa sempat menghapus ekspresi panik yang tergurat di wajahnya. Di sana, sudah berdiri sesosok lelaki dengan kaos berwarna putih dan celana training panjang khas outfit bapak-bapak. Senyumnya terkembang ke arah Dea, sambil menenteng sebuah plastik di tangan kiri.
"Maaf ya, harus nunggu lama? Tadi saya beli gorengan dulu. Soalnya di rumah sedang ndak masak apa-apa. Masa mau ada tamu tapi ndak ada suguhan? Hehehe..."
Dea tak tahu harus berbuat apa. “Ma...makasih Om...”
"Oh iya! Saya Wahyu Dewangga, temennya Pak Basuki. Mari masuk, ini pagarnya ndak dikunci kok..."
Quote:
Di luar ekspektasi Dea, Wahyu Dewangga ternyata adalah sosok yang benar-benar berbeda dari yang terbentuk di kepalanya selama ini. Dia tidak tinggi tegap, tidak berwajah seram, tidak intimidatif dan jauh dari kesan dekat dengan dunia supranatural atau hal-hal gaib lainnya.
Wahyu Dewangga yang kini duduk tepat di hadapan Dea, adalah figur pria menjelang kepala empat yang sederhana dan benar-benar biasa saja. Nyaris tidak ada yang istimewa. Tubuhnya sedikit gempal dengan perut membuncit, dan rambutnya dipotong cepak dengan sehelai dua helai uban yang sedikit mulai tumbuh di sana sini. Sedikit berbeda dengan foto yang dia lihat di media sosial Wahyu Dewangga kemarin, dimana di sana pria ini tampak jauh terlihat lebih muda. Mungkin yang dia pasang adalah foto lama, Dea juga tidak tahu.
Tapi diluar itu semua, Dea benar-benar dibuat terkesan dengan keramahan Wahyu Dewangga. Orang ini memiliki senyum dan sikap yang sama-sama hangatnya. Selain menyambut dengan sangat baik, Wahyu bahkan sempat memperkenalkan Dea dengan dua anak perempuannya yang cantik dan memiliki senyum sehangat sang bapak.
"Yang gede namanya Rara, sebentar lagi masuk SMP. Yang kecil dan kecentilan ini Rianti, masih kelas 4 SD tapi sudah punya cita-cita jadi youtuber..."
Di ruang tamu dengan sajian dua gelas teh hangat dan sepiring gorengan, tawa keduanya terdengar begitu renyah. Dea tak pernah menyangka bahwa suasana akan mencair secepat dan selancar ini. Wahyu, dengan kehangatan dan keramahannya, berhasil membawa suasana dan membuat Dea mulai merasa nyaman. Segala rasa kikuk, ketegangan dan prasangka buruk itu perlahan mulai runtuh dengan sendirinya.
Bahkan kini Dea mulai bisa berbasa-basi. “Kalau tante, Om?”
"Istri saya kerja jadi perawat di RSUD M********. Hari ini kebetulan dia ada shift malam." Wahyu menggeser piring berisi gorengan dan cangkir teh mendekat ke arah Dea. "Ayo diminum sekalian dicicipi gorengannya! Jangan malu-malu..."
Sambil menundukkan kepala sebagai bentuk kesopanan khas Jawa, Dea meraih cangkir itu dan menghirup teh hangatnya pelan-pelan. Selain karena memang benar-benar haus, dia juga butuh menyelaraskan kembali irama jantungnya yang tadi sempat berantakan. Dan memang benar, rasa hangat dan segar dari teh ini berhasil membuat Dea merasa jauh lebih rileks dan tenang.
Dan setelah satu menit mengobrol ringan kesana-kemari, Wahyu Dewangga akhirnya menarik nafas panjang sebelum membuka tema obrolan utama di antara keduanya. Tema obrolan yang menjadi alasan kenapa Dea ada di tempat ini sore ini, dan tema obrolan yang mengharuskan dia membuka tabir dari segala rahasia yang telah Dea simpan seorang diri selama ini.
"Jadi, saya bisa bantu apa? Pak Basuki kemarin telepon saya, katanya dek Dea butuh bantuan soal laporan KKN menyangkut mata kuliah pertanian. Bisa saya lihat contoh laporannya?"
Jadi, sekaranglah waktunya! Dea menggemakan kalimat itu di dinding hatinya. Orang yang paling dicari setelah kekacauan KKN di Jatiasih itu kini telah ada di depan batang hidungnya. Berbagai macam beban, kecemasan dan mimpi buruk yang membuatnya tak bisa tidur bermalam-malam, telah Dea jalani hanya demi menemukan sang penulis jurnal dan duduk berhadap-hadapan sedekat ini.
Tak ada lagi alasan untuk mundur. Semuanya harus diakhiri. Segala pertanyaan yang menghantui kepala Dea harus dimuntahkan sekarang, apapun resiko yang harus dihadapi kemudian.
"Sebelumnya, saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Om Wahyu. Tapi sebenarnya saya kesini bukan untuk minta bantuan soal kuliah pertanian." Senyum di bibir Wahyu Dewangga hilang seketika. Keningnya berkerut, matanya menatap Dea dengan penuh tanda tanya. Tapi Dea tak peduli, dia sudah terlanjur jauh melangkah. Maka dengan sigap, Dea raih tas pinggang yang tergeletak di sampingnya, dan dari dalam situ dia tarik keluar jurnal yang menjadi kunci atas segala yang terjadi di Jatiasih. "Saya ingin menemui Om Wahyu untuk menanyakan tentang jurnal ini."
Dea sengaja meletakkannya di atas meja dengan sampul yang menghadap ke atas. Hanya agar sepasang mata milik Wahu Dewangga bisa melihat namanya sendiri tertulis tepat di bawah judul jurnal, dan Dea bisa melihat bagaimana reaksi orang ini.
Tapi, hanya ada kebekuan yang kemudian tercipta di antara keduanya. Wahyu Dewangga tak bergerak. Pun tak mengucapkan sepatah katapun, kecuali matanya lekat menatap ke arah jurnal dengan ekspresi wajah yang benar-benar tak tertebak. Apakah dia marah? Apakah dia shock? Apakah dia sedang mencerna semuanya dan merencanakan yang harus dilakukan sekarang?
Dea tak mau terus membisu. Dilontarkannya pertanyaan berikutnya. "Ini benar Om Wahyu yang tulis, kan? Sebelum Om Wahyu selipkan begitu saja di antara deretan jurnal-jurnal lain di perpustakaan fakultas Pertanian..."
Kali ini, Wahyu Dewangga mulai bereaksi.
"Tunggu! Ini kan...” Dengan pandangan yang belum lepas dari atas meja, tangan Wahyu Dewangga perlahan mendekat ke arah jurnal. Menyaksikan gerakan itu, Dea langsung bersikap defensif. Dia tarik terlebih dulu jurnal itu dan mendekapnya di dada dengan erat.
"Benar kan, Om? Ini punya Om Wahyu, kan?" Dea terus mendesak Wahyu Dewangga tanpa mengijinkannya menyentuh jurnal itu sedikitpun. Dia sempat menggeser pantatnya sedikit menjauh sebagai antisipasi kalau orang ini tiba-tiba saja melakukan gerakan yang tak diinginkan atau bahkan nekat merebut jurnal itu dengan cara kekerasan.
Dea benar-benar sudah siap. Andai Wahyu Dewangga menjadi murka, atau melakukan pengancaman kepadanya, jarak antara pintu keluar yang terbuka lebar dengan posisinya saat ini juga sudah cukup dekat untuk lari keluar. Keputusannya untuk memarkir motor di luar pagar juga menguntungkan. Dia bisa kabur dengan mudah dan cepat andai keadaan berubah menjadi tidak menguntungkan.
Tapi, sungguh demi apapun, yang terjadi berikutnya jauh dari dugaan Dea...
"Hahahahahaha!!"
Tawa itu meledak begitu saja dari mulut Wahyu Dewangga. Benar-benar tawa yang lepas, sampai perut buncitnya ikut berguncang naik turun. Tapi aneh, itu bukanlah jenis tawa yang menakutkan. Tawa itu, benar-benar tawa geli seakan apa yang sedang terjadi di hadapannya ini adalah sesuatu yang lucu.
"Kok bisa nemu ini, kamu Dek? Ya Allah, jurnal ini! Benar-benar malu aku kalau ingat dulu-dulu pas nulisnya...”
Dea hanya bisa melongo, menyaksikan Wahyu Dewangga menyelesaikan sisa tawanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sini-sini, bawa sini! Ini yang mau dek Dea tanyain ke saya? Aduh, jurnal ndak jelas gini kok dijadikan referensi..."