Quote:
Bermodalkan foto wajah dan sebuah alamat yang tertulis jelas, seharusnya bukan hal sulit untuk menemukan seseorang di kota yang tak terlalu besar seperti ini. Tapi semuanya menjadi begitu rumit ketika Dea tahu bahwa seseorang bernama Wahyu Dewangga itu memiliki koneksi dengan seseorang yang sama sekali tak pernah dia duga akan memiliki hubungan dengan ini semua.
Papa.
Sambil tengkurap di atas ranjang kamarnya, Dea melamun. Mempertimbangkan segala kemungkinan dan berusaha mencari setitik jalan keluar di antara semrawutnya keadaan. Oke, bisa saja dia nekat pergi menemui Wahyu tanpa Papanya perlu tahu. Dea hanya perlu mencari alasan untuk keluar rumah, entah pergi ke mall atau menonton bioskop bersama teman-temannya. Bukan hal yang sulit, atau bahkan kedua orangtuanya akan dengan senang hati memberi izin setelah beberapa hari terakhir mereka tampak khawatir kepada anak perempuannya yang lebih sering mengurung diri di kamar belakangan ini.
Tapi bagaimana kalau sampai disana, Wahyu Dewangga ini ternyata mengenal dirinya sebagai anak Pak Basuki, dan kemudian balik melapor ke Papa kalau Dea datang ke rumahnya secara sembunyi-sembunyi? Dan kalau itu benar terjadi, besar kemungkinan masalah akan jadi makin besar dan merembet kemana-mana. Bisa-bisa pihak kampus mendengarnya, dan Dea akan dianggap melanggar perjanjian di antara mereka.
Saudari Dea, mulai sekarang anda bukan lagi Mahasiswi Fakultas kami dan silakan menunggu surat pemanggilan dari kepolisian beberapa hari lagi.Tiba-tiba saja bayangan tentang orang-orang Rektorat berwajah intimidatif yang mengerubungi dan menghakiminya itu muncul di kepala Dea. Nyalinya langsung ciut, dan jantungnya berdebar hebat karena rasa takut.
Jadi, apa lebih baik kuurungkan saja niat ini? Toh, aku sudah tak ada urusan apa-apa dengan dusun itu. Mungkin akan lebih baik jika kubakar saja jurnal ini, melangkah maju dan menjalani hari-hari sambil menganggap bahwa tak pernah terjadi apa-apa selama masa KKN sialan itu.
Separuh hati Dea sudah patah arang, sedang separuhnya lagi masih terus tersiksa oleh rasa penasaran dan keingintahuan akan kebenaran. Isi jurnal itu terlalu luar biasa untuk diabaikan di salah satu rak perpustakaan begitu saja. Tentang anomali tanah yang begitu ajaib dan menarik perhatian, bahkan bagi Dea yang notabene bukan mahasiswa pertanian.
Dan yang paling utama, tentu saja, adalah bahwa jurnal itulah yang menjadi penyebab atas segala kekacauan KKN mereka. Jurnal yang meracuni isi kepala Gilang dengan setumpuk obsesi, yang kemudian mendorong dia -dan Dea tentu saja- untuk masuk ke dusun Srigati. Melanggar batas yang telah diwanti-wanti oleh Pak Kusno, Sang Kepala Desa Jatiasih, sejak awal kedatangan mereka.
Jadi dalam pandangan personal Dea, Wahyu Dewangga secara tidak langsung juga harus ikut bertanggung jawab. Setidaknya untuk memberi penjelasan tentang jurnal yang telah ia tulis dan kemudian digeletakkan begitu saja di rak perpustakaan.
Tapi, bagaimana kalau aku ketahuan?? Arrggghh!!
Dea mengacak-acak rambutnya sendiri. Segala kemungkinan buruk dan konsekuensi yang mengikuti itu kembali mengambil alih kendali pikirannya. Rasanya mending mati saja daripada harus di drop out dari kampus dan dilaporkan ke pihak berwajib. Tak terbayangkan bagaimana wajah Papa dan Mama melihat si bungsu paling cantik dan manis ini harus memakai baju tahanan dan meringkuk digigiti nyamuk di balik terali besi.
Tidaaaaakk!! Aku tidaaaakk mauuuuu!!
Dea memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepala. Nyalinya runtuh karena apa yang dia bayangkan sendiri. Saking takut dan gusarnya, sampai-sampai Dea tak menyadari bahwa pintu kamarnya telah berada dalam posisi sedikit terbuka. Ada seseorang disana, mengintipkan kepala dan menatap Dea diam-diam.
Quote:
"Dea..."
Si pemilik nama terkesiap. Gelengan kepalanya terhenti seketika, dan kedua matanya terbuka lebar-lebar. Refleks dia menoleh ke arah suara, dan menemukan Papa sedang menatapnya dengan pandangan keheranan entah sudah sejak kapan.
"Kamu kenapa, nduk?"
Habis sudah! Dea celingak-celinguk seperti orang tolol. Terpergok oleh Papanya sendiri ketika dia sedang galau berat seperti ini membuat otak Dea blank seketika. Dia bahkan tak tahu harus menjawab apa, sampai Papa mendorong pintu lebih lebar dan menghamburkan seluruh tubuhnya masuk ke dalam kamar.
Modar! Harus bagaimana aku sekarang?!
Dea terserang kepanikan yang berusaha keras ia sembunyikan. Sedangkan Papa terus mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran. Dia belai lembut rambut anak perempuannya itu sambil mengambil duduk di tepi ranjang.
"Awakmu kenopo, to? Ayo jujur karo Papa..." (Dirimu kenapa, sih? Ayo jujur sama Papa...)
Dea makin terdesak. Otaknya macet, tak mampu mengarang jawaban dalam waktu sesingkat ini. “Anu, Pa...”
"Anu apa?" Seakan malah makin dibuat penasaran, Papa kemudian berdiri dari duduknya dan berjalan pelan ke arah rak buku di atas meja belajar. Rak buku...dimana jurnal itu Dea selipkan.
Di detik itu juga, tak ada hal lain yang bisa Dea pikirkan kecuali ikut berdiri dari atas ranjang dan berlari menyusul Papanya.
"Dea...anu, Dea lagi pusing soal tugas dari kampus!" Jawaban itu terangkai di kepala dan meluncur keluar dari mulut begitu saja. Tapi setidaknya, jawaban itu berhasil membuat fokus Papanya teralih dari rak buku dan berbalik menoleh ke arah Dea.
"Masa tugas kuliah sampai bikin kamu ngurung diri di kamar berhari-hari begini, nduk?"
Sial! Alih-alih memuaskan dan membuatnya keluar kamar, alasan Dea malah membuat Papa makin curiga dan melemparkan pandangan penuh selidik.
"Iya, Pa..." Dea berusaha memasang senyum penuh keyakinan sambil menggandeng tangan Papanya kembali duduk di tepi ranjang. "Soalnya ini tugas kelompok KKN yang kemarin. Susah Pa, dan tinggal Dea aja yang belum ngumpulin.”
Sepertinya kali ini berhasil. Wajah Papa sedikit melunak. Raut curiga itu berubah menjadi penuh rasa belas kasihan.
"Tugas opo (apa), sih? Siapa tahu Papa bisa bantu..."
Dea berani bersumpah demi nama Tuhan, bahwa dia sama sekali tak menginginkan jawaban itu meluncur dari mulutnya. Semuanya seakan terucap begitu saja, dan kemudian meninggalkan sesal yang teramat dalam di hati Dea.
"Tentang pertanian. Papa ada temen yang bisa bantu Dea?"
“Lho, kan kamu anak Komunikasi? Ngapain ngerjain tugas pertanian?!” Papa mengerutkan kening beberapa detik, sebelum sebuah senyum lebar pecah di bibir. “Oh iya, kan kelompok KKN kamu isinya anak-anak Pertanian semua ya? Papa lupa...”
Dea tak mengerti pada apa yang sedang dia lakukan saat ini. “Iya, Pa...”
"Papa ada kenalan sih, teman lama. Alumni kampusmu juga malahan. Ini biar Papa langsung telepon orangnya."
Dea mematung tak bergerak, menyaksikan Papa merogoh ponsel dari kantong celana di depan matanya. Dia hanya ingin menangis kencang, ketika ponsel itu benar-benar menempel di telinga Papa.
"Halo...Mas Wahyu? Ini aku Basuki! Piye kabar sampeyan? Lagi sibuk nggak?"
Quote:
Hal. 8
Sama seperti kepercayaan yang umumnya dianut dan dipercaya oleh masyarakat Jawa tradisional, Gelar Pendhem merupakan manifestasi dari wujud rasa syukur masyarakat dusun Srigati atas melimpahnya hasil pertanian dan juga pengharapan agar di tahun-tahun berikutnya mereka dijauhkan dari paceklik yang bisa menyebabkan gagal panen.
Secara harfiah, Gelar Pendhem terdiri dari dua kata; gelar yang bisa dimaknai sebagai pagelaran atau upacara, dan pendhem yang berarti menanam atau mengubur. Tradisi tiga tahunan sekali yang dilaksanakan setiap bulan ruwah ini berlangsung selama dua hari dua malam berturut-turut.
Quote:
URUTAN ACARA GELAR PENDHEM
WIWITAN ALIT
Dilaksanakan secara tertutup tepat pukul dua belas malam dan tidak terbuka untuk umum. Hanya kepala dusun, sesepuh dan beberapa warga yang dipilih yang diperbolehkan hadir dalam ritual yang diselenggarakan di perbatasan antara dusun dengan hutan jati itu. Bersamaan dengan dilangsungkannya Wiwitan Alit, warga yang lain tetap berada di dusun dan sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut acara berikutnya pada esok pagi.
WIWITAN AGENG
Dilaksanakan pagi hari sekitar pukul delapan, dan kali ini semua warga dusun diwajibkan untuk ikut serta di dalamnya. Tahapan paling awal dari Wiwitan Ageng adalah penyembelihan seekor kambing, yang kemudian kepala kambing tersebut kemudian dibawa oleh sesepuh untuk didoakan secara tertutup di sebuah ruangan, sedangkan dagingnya dimasak oleh para ibu-ibu. Kepala kambing yang telah selesai didoakan kemudian dibawa keluar dalam kondisi tertutup kain berwarna merah dan di letakkan di tengah tampah besar dengan berbagai sesajen jajan pasar, bunga dan kemenyang yang ditata dengan rapi di sekelilingnya.
GELAR PENDHEM
Ini adalah acara inti dari keseluruhan upacara. Tampah berisi kepala kambing yang ditutup kain dan berbagai macam sesaji di bawa oleh seorang perempuan pilihan dan di arak keliling dusun dengan diiringi seluruh warga dusun yang berbondong-bondong menuju jalur setapak membelah hutan dan berakhir di area Sawah Pendhem.
Sedang di sana, sudah menunggu sesepuh dan Kepala Dusun yang kemudian membimbing sang pembawa tampah untuk berjalan ke titik sentral di tengah-tengah deretan petak sawah. Dimana di sana terdapat lubang serupa sumur yang terbuka. Saat itu, semua warga yang hadir diminta untuk bersimpuh dan menundukkan kepala. Lagi-lagi dilarang keras untuk mengangkat pandangan selama sesepuh mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa Jawa Kawi, karena dianggap tidak menghormati tradisi yang dikeramatkan itu. Seusai mantra-mantra genap dilantunkan, seisi tampah kemudian dilemparkan ke dalam lubang sumur. Para warga diperbolehkan kembali berdiri, dan lubang ditutup kembali dengan sebuah batu besar yang digeser dengan susah payah dengan bantuan tenaga sepuluh orang lelaki dewasa.
PUNGKASAN ALIT
Seusai upacara, para warga berjalan bersama meninggalkan Sawah Pendhem dan kembali ke tengah dusun. Di perempatan, sudah disiapkan berbagai hidangan yang diletakkan di atas daun pisang yang ditata memanjang. Di sanalah mereka semua makan bersama dengan lahap dan penuh kehangatan khas masyarakat pedesaan.
PUNGKASAN AGENG
Dilaksanakan di hari kedua, dan diisi dengan berbagai pagelaran meriah seperti orkes dangdut, pertunjukkan silat sampai perlombaan untuk anak-anak. Upacara Pungkasan Ageng ini benar-benar ramai. Tak hanya warga Srigati saja yang datang, beberapa warga dari desa tetangga dan bahkan beberapa pejabat Kecamatan yang khusus diundang ikut hadir menikmati berbagai suguhan yang disajikan. Sebelum kemudian acara ditutup dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.
Jika diperhatikan sekilas, upacara Gelar Pendhem ini tak ubahnya seperti upacara-upacara panen raya di daerah lainnya. Tapi observator memiliki perhatian khusus pada tahapan paling awal, yaitu Wiwitan Alit. Selain karena diadakan dengan sangat tertutup dan tempat pelaksanaannya cenderung menjauh dari keramaian dusun, observator merasa ada yang disembunyikan oleh Kepala Dusun maupun sesepuh.
Beberapa warga yang sempat ditanyai, cenderung enggan dan menunjukkan sikap tidak berkenan untuk membicarakannya lebih lanjut. Narasumber utama, Bapak Gunardi, juga memberikan informasi yang tidak jelas dan inkonsisten ketika ditanya tentang Wiwitan Alit [Transkip wawancara terlampir]. Berbeda dengan ketika dia ditanya tentang tahapan lainnya, dimana Bapak Gunardi mampu menjawab dengan lancar dan jelas.