- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
r4zor dan 259 lainnya memberi reputasi
238
303.9K
Kutip
2.6K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#1099
A JOURNAL: SIDE-STORY [SATU]
Quote:
Dea bukannya tidak tahu kalau abang, papa dan terutama mama terlihat begitu mengkhawatirkannya. Dea sadar, mereka semua mulai bertanya-tanya tentang perubahan sikap yang ia tunjukkan semenjak pulang dari KKN yang berantakan dan tak pernah tuntas itu. Sama seperti rasa ingin tahu mereka tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi di desa tempat Dea seharusnya mengabdi dan menyelesaikan program kerja yang telah disusun itu.
Pernyataan dari pihak kampus sendiri terdengar sedikit tak masuk akal sekadar basa-basi belaka; Proker kelompok ternyata tidak bisa berjalan di Jatiasih dan akan segera dicarikan lokasi KKN baru yang lebih sesuai dengan rencana awal. Tapi tak ada yang percaya tentu saja. Isu tentang Sarah yang kerasukan sudah menyebar kemana-mana, bahkan sampai ke telinga kedua orangtua dan Kakak Dea.
Dan setiap kali Dea harus menghadapi berondongan pertanyaan tentang semua itu, jawaban singkat dan padat selalu ia berikan; bahwa tak ada kejadian aneh apapun seperti yang semua orang pikirkan. Semuanya terjadi memang karena proker yang gagal total, sedangkan Sarah hanya sakit biasa karena kelelahan dan stres akibat deadline program yang menumpuk.
Dea tidak suka berbohong, apalagi kepada keluarganya sendiri. Tapi dia tahu apa akibatnya jika dia buka semua kejadian ganjil dan kecerobohannya masuk ke dusun terpencil yang aneh dan menakutkan itu. Apalagi, Dea dan semua anggota KKN telah membubuhkan tanda tangan mereka di atas surat perjanjian di atas materai yang disodorkan –dengan sedikit ancaman- oleh pihak kampus.
Isinya jelas, bahwa semua yang terlibat dalam program KKN di Jatiasih itu memiliki kewajiban untuk menjaga rahasia agar jangan sampai nama kampus menjadi cemar di mata siapapun yang tidak memiliki kaitan apa-apa. Konsekuensi jika ada pelanggaran juga sudah tertulis jelas di pasal terakhir; mulai dari dikeluarkan dari kampus sampai pelaporan kepada pihak yang berwenang.
Anak-anak ingusan itu jelas tak berani menolak atau memberikan bantahan. Semuanya menandatangi surat perjanjian itu. Kecuali, tentu saja, si brengsek Gilang yang sampai kini tak ada kabarnya sama sekali.
Tapi sekali lagi, Dea tak pandai berbohong. Alih-alih memuaskan rasa penasaran, jawaban yang ia berikan malah semakin membuat ragu seluruh keluarga. Ditambah lagi, karena Dea jadi lebih sering mengurung diri di kamar. Keluar hanya sesekali. Paling untuk mandi dan makan. Ngobrol bersama papa dan mama di ruang televisi juga hanya sebentar saja, tak lebih dari sepuluh menit, sebelum kemudian dia pamit ke kamar dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat.
"Neg sakit ngomong lho Nak. Ojo meneng wae, Bapak sama Ibu jadi khawatir..." (Kalau sakit bilang lho, Nak. Jangan diam saja, Bapak sama Ibu jadi khawatir....)
Dea menggeleng. Dia sehat walafiat dan memang begitulah sejujurnya. Ada alasan lain yang tidak mungkin Dea ceritakan kepada siapapun, apalagi kepada Bapak dan Ibu. Berhari-hari dia menghabiskan sebagian besar waktu di dalam kamar dalam keadaan pintu terkunci. Tak ada yang dia lakukan kecuali duduk di depan komputernya selama berjam-jam. Berselancar di dunia maya. Menenggelamkan diri dalam penelusuran untuk memburu satu keping puzzle dari masalah yang bagi Dea belum selesai.
Dia harus menemuinya, si pemilik jurnal yang Dea selipkan di tengah-tengah tumpukan buku di lemari meja belajarnya.
WAHYU DEWANGGARA.
Pernyataan dari pihak kampus sendiri terdengar sedikit tak masuk akal sekadar basa-basi belaka; Proker kelompok ternyata tidak bisa berjalan di Jatiasih dan akan segera dicarikan lokasi KKN baru yang lebih sesuai dengan rencana awal. Tapi tak ada yang percaya tentu saja. Isu tentang Sarah yang kerasukan sudah menyebar kemana-mana, bahkan sampai ke telinga kedua orangtua dan Kakak Dea.
Dan setiap kali Dea harus menghadapi berondongan pertanyaan tentang semua itu, jawaban singkat dan padat selalu ia berikan; bahwa tak ada kejadian aneh apapun seperti yang semua orang pikirkan. Semuanya terjadi memang karena proker yang gagal total, sedangkan Sarah hanya sakit biasa karena kelelahan dan stres akibat deadline program yang menumpuk.
Dea tidak suka berbohong, apalagi kepada keluarganya sendiri. Tapi dia tahu apa akibatnya jika dia buka semua kejadian ganjil dan kecerobohannya masuk ke dusun terpencil yang aneh dan menakutkan itu. Apalagi, Dea dan semua anggota KKN telah membubuhkan tanda tangan mereka di atas surat perjanjian di atas materai yang disodorkan –dengan sedikit ancaman- oleh pihak kampus.
Isinya jelas, bahwa semua yang terlibat dalam program KKN di Jatiasih itu memiliki kewajiban untuk menjaga rahasia agar jangan sampai nama kampus menjadi cemar di mata siapapun yang tidak memiliki kaitan apa-apa. Konsekuensi jika ada pelanggaran juga sudah tertulis jelas di pasal terakhir; mulai dari dikeluarkan dari kampus sampai pelaporan kepada pihak yang berwenang.
Anak-anak ingusan itu jelas tak berani menolak atau memberikan bantahan. Semuanya menandatangi surat perjanjian itu. Kecuali, tentu saja, si brengsek Gilang yang sampai kini tak ada kabarnya sama sekali.
Tapi sekali lagi, Dea tak pandai berbohong. Alih-alih memuaskan rasa penasaran, jawaban yang ia berikan malah semakin membuat ragu seluruh keluarga. Ditambah lagi, karena Dea jadi lebih sering mengurung diri di kamar. Keluar hanya sesekali. Paling untuk mandi dan makan. Ngobrol bersama papa dan mama di ruang televisi juga hanya sebentar saja, tak lebih dari sepuluh menit, sebelum kemudian dia pamit ke kamar dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat.
"Neg sakit ngomong lho Nak. Ojo meneng wae, Bapak sama Ibu jadi khawatir..." (Kalau sakit bilang lho, Nak. Jangan diam saja, Bapak sama Ibu jadi khawatir....)
Dea menggeleng. Dia sehat walafiat dan memang begitulah sejujurnya. Ada alasan lain yang tidak mungkin Dea ceritakan kepada siapapun, apalagi kepada Bapak dan Ibu. Berhari-hari dia menghabiskan sebagian besar waktu di dalam kamar dalam keadaan pintu terkunci. Tak ada yang dia lakukan kecuali duduk di depan komputernya selama berjam-jam. Berselancar di dunia maya. Menenggelamkan diri dalam penelusuran untuk memburu satu keping puzzle dari masalah yang bagi Dea belum selesai.
Dia harus menemuinya, si pemilik jurnal yang Dea selipkan di tengah-tengah tumpukan buku di lemari meja belajarnya.
WAHYU DEWANGGARA.
Quote:
Awal mula, Dea memilih cara paling mudah untuk melakukan penelusuran. Mengetik judul jurnal tersebut di berbagai situs ilmiah. LIPI, Academia, Google Scholar sampai web resmi kampusnya sendiri. Hasilnya nihil. Sama sekali tak ada jejaknya.
Jurnal ini tidak terdaftar. Entah tidak sempat atau memang sengaja, yang pasti ini cukup aneh dan tidak wajar. Bagaimana bisa sebuah jurnal yang benar-benar ada –dan bahkan sekarang ada di depan matanya, bisa tidak terdeteksi di situs-situs resmi?
Sambil menghirup segelas coklat panas bikinannya sendiri, Dea memutar otak sedikit lebih keras. Sepanjang yang dia ingat tentang apa yang pernah Gilang katakan, dokumen ini dia ketemukan di perpustakaan kampus. Sedangkan jika ditarik benang merah dengan fakta bahwa jurnal ini tidak terdaftar di situs manapun, besar kemungkinan si penulis hanya meletakkannya begitu saja di deretan rak-rak kayu bersama jurnal-jurnal lainnya. Dengan tujuan apa? Dea tidak yakin, tapi mungkin si penulis berusaha menyembunyikannya. Dia merasa bahwa tempat umum seperti perpustakaan jauh lebih aman untuk meletakkan jurnal tersebut dibandingkan di rumahnya sendiri.
Mungkin. Semuanya hanya sebatas mungkin. Dea mendesah sambil membenamkan punggungnya makin dalam di senderan kursi. Isi kepalanya mengembara tidak karuan, menyusuri berbagai pertanyaan demi pertanyaan yang membuatnya malah makin tersesat tanpa jawaban.
Namun, seakan tak mau terlalu lama berdiam dalam kebuntuan, Dea kemudian bangkit dan tarik jurnal itu keluar dari deretan buku-bukunya. Sekali lagi, dia meyakinkan diri sendiri, sekali lagi aku akan mencari sesuatu dari kumpulan kertas ini.
Entah sudah berapa kali Dea membacanya. Dengan sedikit digelayuti rasa malas, jarinya membuka halaman kedua yang berisi abstrak yang juga sudah berkali-kali dia baca dan telaah dengan begitu teliti.
Tapi dari hasil penelitian di lapangan, ditemukan satu daerah dimana paparan data di atas sama sekali tidak berlaku. Wilayah tersebut kemudian akan menjadi obyek penelitian dalam jurnal ini. Yaitu sebuah dusun kecil bernama Srigati, dengan anomali lahan pertanian yang ada di sana beserta hubungannya dengan kepercayaan masyarakat lokal.
Atau dalam hal ini, adalah sebuah upacara sejenis selamatan panen raya namun memiliki ciri yang berbeda, begitu khusyuk sekaligus kental akan aroma mistis. Penduduk lokal Srigati menyebutnya Gelar Pendem.
Ah, sudahlah!Dea menutup kembali lembaran itu dengan sedikit kesal. Memang tak ada apa-apa di sini. Tak ada petunjuk apapun yang bisa membantunya mencari keberadaan si penulis. Bahkan nyaris Dea berniat untuk mengembalikan jurnal tersebut, mematikan komputer dan tidur dengan nyenyak, sampai matanya menangkap sesuatu di halaman sampul.
Bagaikan lampu bohlam yang tetiba menyala terang di dalam kepala, Dea segera bangkit dan kembali ke depan komputer dengan membawa semangat baru dan sebuah ide brilian. Ya! Nama itu! Kenapa dia tak kepikiran sama sekali untuk mencari nama itu saja?! Kembali, jari-jarinya lincah mengetik di atas keyboard. Kali ini, tanpa ba bi bu, dia membuka dua tab langsung. Tab pertama, dia ketikkan alamat fakultas pertanian di Universitasnya sendiri. Sedang tab kedua, dia membuka mesin pencarian google.
Di kolom pencarian masing-masing tab, Dea mengetik nama yang sama; Wahyu Dewangga. Dan apa yang dia temukan di database fakultas pertanian cukup mengejutkan. Sebuah judul skripsi dengan tema dan obyek yang benar-benar berbeda tertera di sana, dengan selish dua tahun lebih baru daripada tahun yang tertera di sampul jurnal.
Dea mendecakkan lidah. Dahinya berkerut. Berarti Wahyu Dewangga berhasil lulus dengan penelitian yang tak ada hubungannya sama sekali dengan Srigati. Di titik ini, dugaan Dea di awal tadi bahwa Wahyu dengan sengaja menyembunyikan atau bahkan membuang jurnal itu di perpustakaan menjadi semakin kuat. Tapi, disembunyikan dari apa? Apakah dari Kepala Dusun dan kakek tua mirip dukun yang sempat dia temui bersama Gilang kemarin itu? Lalu, tentang perempuan yang dipasung di kandang kambing itu...apa hubungannya dengan semua ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu makin menghantui hati Dea. Dan rasanya tak mungkin ada yang bisa memberikannya jawaban kecuali Wahyu Dewangga sendiri.
Kemudian, mata Dea beralih ke tab kedua. Google sudah siap dengan hasil pencarian yang kini terpampang nyata di depan mata. Sialnya, ada beberapa nama Wahyu Dewanggara yang ada di sana. Setidaknya di empat baris teratas, dan dia kebingungan untuk menentukan Wahyu yang mana yang sedang dia cari.
Tapi Dea adalah perempuan cerdas. Tak butuh waktu lama, dia menemukan jalan keluar; membubuhkan kata kunci tambahan di belakang nama itu.
Wahyu Dewanggara...Fakultas Pertanian Universitas S**********...19XX.
Dan, voila!!
Dea nyaris melompat dari kursinya karena kegirangan. Matanya penuh antusiasme menatap daftar teratas adalah akun facebook dengan nama, universitas dan tahun lulus sesuai dengan kata kunci. Mouse di-klik dua kali, dan sepertinya Dea menemukan sebuah tumpukan harta karun! Data diri dan alamat, semuanya lengkap ada di sini. Termasuk update status yang baru diposting tiga hari lalu, galeri berisi foto-foto dan daftar pertemanan.
Tapi, hal yang disebut terakhir itulah, yang kemudian membuat Dea seperti disambar petir. Matanya yang bulat melotot tak percaya dan mulutnya ternganga lebar oleh sensasi kejut yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sederet tulisan yang tertera di kolom daftar pertemanan; antara dia dan Wahyu Dewanggara.
Mereka memiliki teman yang sama.
Dan dia adalah Basuki Airlangga. Bapak Dea sendiri.
Jurnal ini tidak terdaftar. Entah tidak sempat atau memang sengaja, yang pasti ini cukup aneh dan tidak wajar. Bagaimana bisa sebuah jurnal yang benar-benar ada –dan bahkan sekarang ada di depan matanya, bisa tidak terdeteksi di situs-situs resmi?
Sambil menghirup segelas coklat panas bikinannya sendiri, Dea memutar otak sedikit lebih keras. Sepanjang yang dia ingat tentang apa yang pernah Gilang katakan, dokumen ini dia ketemukan di perpustakaan kampus. Sedangkan jika ditarik benang merah dengan fakta bahwa jurnal ini tidak terdaftar di situs manapun, besar kemungkinan si penulis hanya meletakkannya begitu saja di deretan rak-rak kayu bersama jurnal-jurnal lainnya. Dengan tujuan apa? Dea tidak yakin, tapi mungkin si penulis berusaha menyembunyikannya. Dia merasa bahwa tempat umum seperti perpustakaan jauh lebih aman untuk meletakkan jurnal tersebut dibandingkan di rumahnya sendiri.
Mungkin. Semuanya hanya sebatas mungkin. Dea mendesah sambil membenamkan punggungnya makin dalam di senderan kursi. Isi kepalanya mengembara tidak karuan, menyusuri berbagai pertanyaan demi pertanyaan yang membuatnya malah makin tersesat tanpa jawaban.
Namun, seakan tak mau terlalu lama berdiam dalam kebuntuan, Dea kemudian bangkit dan tarik jurnal itu keluar dari deretan buku-bukunya. Sekali lagi, dia meyakinkan diri sendiri, sekali lagi aku akan mencari sesuatu dari kumpulan kertas ini.
ANALISIS LAHAN PERTANIAN DI DUSUN SRIGATI:
ANTARA ANOMALI TANAH DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT LOKAL
Penulis;
WAHYU DEWANGGARA
19XX
ANTARA ANOMALI TANAH DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT LOKAL
Penulis;
WAHYU DEWANGGARA
19XX
Entah sudah berapa kali Dea membacanya. Dengan sedikit digelayuti rasa malas, jarinya membuka halaman kedua yang berisi abstrak yang juga sudah berkali-kali dia baca dan telaah dengan begitu teliti.
Quote:
ABSTRAK
Bentang alam G********* yang sebagian besar terbentuk dari pegunungan karst dan tanah mediterian yang kering, menimbulkan masalah pada pengairan untuk memenuhi kebutuhan pertanian maupun peternakan. Tak terkecuali di Kecamatan Semani, dimana nyaris seluruh desa-desa yang berdiri di dalamnya mengalami problematika yang serupa. Kondisi ini kemudian berdampak pada rendahnya pendapatan dari pertanian dan tingginya angka kemiskinan di daerah tersebut. Begitupun dengan pemanfaatan lahan kering yang sudah diusahakan, namun berdampak tidak signifikan sehingga membuat banyak dari penduduk berumur 17-30 tahun yang memutuskan untuk bekerja di luar daerah mereka atau merantau. Gelombang para perantau ini tercatat mencapai puncaknya ketika pagebluk kekeringan panjang yang menimpa daerah tersebut selama dua tahun.Tapi dari hasil penelitian di lapangan, ditemukan satu daerah dimana paparan data di atas sama sekali tidak berlaku. Wilayah tersebut kemudian akan menjadi obyek penelitian dalam jurnal ini. Yaitu sebuah dusun kecil bernama Srigati, dengan anomali lahan pertanian yang ada di sana beserta hubungannya dengan kepercayaan masyarakat lokal.
Atau dalam hal ini, adalah sebuah upacara sejenis selamatan panen raya namun memiliki ciri yang berbeda, begitu khusyuk sekaligus kental akan aroma mistis. Penduduk lokal Srigati menyebutnya Gelar Pendem.
Ah, sudahlah!Dea menutup kembali lembaran itu dengan sedikit kesal. Memang tak ada apa-apa di sini. Tak ada petunjuk apapun yang bisa membantunya mencari keberadaan si penulis. Bahkan nyaris Dea berniat untuk mengembalikan jurnal tersebut, mematikan komputer dan tidur dengan nyenyak, sampai matanya menangkap sesuatu di halaman sampul.
Penulis;
WAHYU DEWANGGARA.
WAHYU DEWANGGARA.
Bagaikan lampu bohlam yang tetiba menyala terang di dalam kepala, Dea segera bangkit dan kembali ke depan komputer dengan membawa semangat baru dan sebuah ide brilian. Ya! Nama itu! Kenapa dia tak kepikiran sama sekali untuk mencari nama itu saja?! Kembali, jari-jarinya lincah mengetik di atas keyboard. Kali ini, tanpa ba bi bu, dia membuka dua tab langsung. Tab pertama, dia ketikkan alamat fakultas pertanian di Universitasnya sendiri. Sedang tab kedua, dia membuka mesin pencarian google.
Di kolom pencarian masing-masing tab, Dea mengetik nama yang sama; Wahyu Dewangga. Dan apa yang dia temukan di database fakultas pertanian cukup mengejutkan. Sebuah judul skripsi dengan tema dan obyek yang benar-benar berbeda tertera di sana, dengan selish dua tahun lebih baru daripada tahun yang tertera di sampul jurnal.
Dea mendecakkan lidah. Dahinya berkerut. Berarti Wahyu Dewangga berhasil lulus dengan penelitian yang tak ada hubungannya sama sekali dengan Srigati. Di titik ini, dugaan Dea di awal tadi bahwa Wahyu dengan sengaja menyembunyikan atau bahkan membuang jurnal itu di perpustakaan menjadi semakin kuat. Tapi, disembunyikan dari apa? Apakah dari Kepala Dusun dan kakek tua mirip dukun yang sempat dia temui bersama Gilang kemarin itu? Lalu, tentang perempuan yang dipasung di kandang kambing itu...apa hubungannya dengan semua ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu makin menghantui hati Dea. Dan rasanya tak mungkin ada yang bisa memberikannya jawaban kecuali Wahyu Dewangga sendiri.
Kemudian, mata Dea beralih ke tab kedua. Google sudah siap dengan hasil pencarian yang kini terpampang nyata di depan mata. Sialnya, ada beberapa nama Wahyu Dewanggara yang ada di sana. Setidaknya di empat baris teratas, dan dia kebingungan untuk menentukan Wahyu yang mana yang sedang dia cari.
Tapi Dea adalah perempuan cerdas. Tak butuh waktu lama, dia menemukan jalan keluar; membubuhkan kata kunci tambahan di belakang nama itu.
Wahyu Dewanggara...Fakultas Pertanian Universitas S**********...19XX.
Dan, voila!!
Dea nyaris melompat dari kursinya karena kegirangan. Matanya penuh antusiasme menatap daftar teratas adalah akun facebook dengan nama, universitas dan tahun lulus sesuai dengan kata kunci. Mouse di-klik dua kali, dan sepertinya Dea menemukan sebuah tumpukan harta karun! Data diri dan alamat, semuanya lengkap ada di sini. Termasuk update status yang baru diposting tiga hari lalu, galeri berisi foto-foto dan daftar pertemanan.
Tapi, hal yang disebut terakhir itulah, yang kemudian membuat Dea seperti disambar petir. Matanya yang bulat melotot tak percaya dan mulutnya ternganga lebar oleh sensasi kejut yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sederet tulisan yang tertera di kolom daftar pertemanan; antara dia dan Wahyu Dewanggara.
Mereka memiliki teman yang sama.
Dan dia adalah Basuki Airlangga. Bapak Dea sendiri.
Quote:
Halaman 4
...didasarkan pada peta topografi, jenis tanah di sebagian besar wilayah Kecamatan Semani merupakan jenis tanah litosol dan mediteran merah. Jenis ini terbentuk dari jenis batu-batuan keras yang belum mengalami proses pelapukan secara sempurna. Setelah dilakukan pengujian di lapangan, ciri-ciri tanah di daerah tersebut memiliki tekstur yang kering, keras, memiliki unsur hara rendah dan lapisan tanah yang tidak terlalu tebal. Jika dilihat dari rendahnya kandungan unsur hara, sebagian besar tanah tidak dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Tanaman sulit untuk tumbuh subur, kecuali beberapa jenis seperti pepohonan jati, palawija dan rumput liar.
Tak terkecuali di dusun Srigati, dimana daerah tersebut secara geografis berada di tengah hutan jati yang cukup besar dan lebat. Namun menariknya, di salah satu titik di dusun tersebut ditemukan area seluas 4,35 hektar dimana di sana jenis tanah menjadi sangat berbeda dengan keadaan di sekitarnya. Bahkan di area tersebut terhampar petakan-petakan sawah dengan pengairan yang dihasilkan sendiri dari titik pusat yang berada di tengah-tengah lahan persawahan.
Menurut Gunardi, Kepala Dusun setempat, area tersebut dinamai masyarakat sebagai sawah pendem. Menurutnya, anomali tanah yang terjadi di area tersebut sudah ada dan dikeramatkan sejak dia masih kecil. [transkip wawancara terlampir]
Saya kemudian mendapat kesempatan untuk mengambil dua sampel tanah dari luar dan di dalam area sawah pendem. Dari hasil uji laboratorium, didapatkan hasil yang menunjukkan anomali tanah yang benar-benar kontras.
Permasalahannya adalah, dari hasil survey dan data yang didapat dari pihak kecamatan, tidak ditemukan aliran sungai dengan debit air yang cukup di sekitar daerah dusun Srigati atau bahkan dalam radius sejauh sepuluh kilometer sekalipun.
Tentunya anomali tanah tersebut membutuhkan penelitian yang jauh lebih mendalam untuk mencari kesimpulan empiris tentang apa yang sebenarnya terjadi di daerah tersebut. Namun jika dilakukan pendekatan secara budaya, sawah pendem tidak dapat dipisahkan dari sebuah upacara adat yang diselenggarakan tiga tahun sekali oleh masyarakat Srigati.
Namanya Gelar Pendem, dan observator mendapatkan kesempatan untuk mengikutinya tahun ini.
...didasarkan pada peta topografi, jenis tanah di sebagian besar wilayah Kecamatan Semani merupakan jenis tanah litosol dan mediteran merah. Jenis ini terbentuk dari jenis batu-batuan keras yang belum mengalami proses pelapukan secara sempurna. Setelah dilakukan pengujian di lapangan, ciri-ciri tanah di daerah tersebut memiliki tekstur yang kering, keras, memiliki unsur hara rendah dan lapisan tanah yang tidak terlalu tebal. Jika dilihat dari rendahnya kandungan unsur hara, sebagian besar tanah tidak dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Tanaman sulit untuk tumbuh subur, kecuali beberapa jenis seperti pepohonan jati, palawija dan rumput liar.
Tak terkecuali di dusun Srigati, dimana daerah tersebut secara geografis berada di tengah hutan jati yang cukup besar dan lebat. Namun menariknya, di salah satu titik di dusun tersebut ditemukan area seluas 4,35 hektar dimana di sana jenis tanah menjadi sangat berbeda dengan keadaan di sekitarnya. Bahkan di area tersebut terhampar petakan-petakan sawah dengan pengairan yang dihasilkan sendiri dari titik pusat yang berada di tengah-tengah lahan persawahan.
Menurut Gunardi, Kepala Dusun setempat, area tersebut dinamai masyarakat sebagai sawah pendem. Menurutnya, anomali tanah yang terjadi di area tersebut sudah ada dan dikeramatkan sejak dia masih kecil. [transkip wawancara terlampir]
Saya kemudian mendapat kesempatan untuk mengambil dua sampel tanah dari luar dan di dalam area sawah pendem. Dari hasil uji laboratorium, didapatkan hasil yang menunjukkan anomali tanah yang benar-benar kontras.
Quote:
SAMPEL SATU
Tanah diambil dari area yang hanya berjarak satu meter di luar sawah pendem. Hasil; didapatkan minimnya kandungan air, cenderung kering dan memiliki unsur hara yang rendah. Hasil serupa ditemukan nyaris di seluruh area di Kecamatan Semani.
Tanah diambil dari area yang hanya berjarak satu meter di luar sawah pendem. Hasil; didapatkan minimnya kandungan air, cenderung kering dan memiliki unsur hara yang rendah. Hasil serupa ditemukan nyaris di seluruh area di Kecamatan Semani.
Quote:
SAMPEL DUA
Tanah diambil di dalam area sawah pendem dan hanya berjarak tiga meter dari lokasi pengambilan sampel pertama. Hasil; ditemukan tingkat mineral makro dengan kandungan fosfor yang tinggi, kadar PH tanah berada dalam ambang batas aman, dan warna tanah yang cenderung gelap. Hasil tersebut hanya ditemukan di dalam area sawah pendem, dan jenis tanah serupa dapat ditemukan di daerah yang umumnya dekat dengan aliran sungai.
Tanah diambil di dalam area sawah pendem dan hanya berjarak tiga meter dari lokasi pengambilan sampel pertama. Hasil; ditemukan tingkat mineral makro dengan kandungan fosfor yang tinggi, kadar PH tanah berada dalam ambang batas aman, dan warna tanah yang cenderung gelap. Hasil tersebut hanya ditemukan di dalam area sawah pendem, dan jenis tanah serupa dapat ditemukan di daerah yang umumnya dekat dengan aliran sungai.
Permasalahannya adalah, dari hasil survey dan data yang didapat dari pihak kecamatan, tidak ditemukan aliran sungai dengan debit air yang cukup di sekitar daerah dusun Srigati atau bahkan dalam radius sejauh sepuluh kilometer sekalipun.
Tentunya anomali tanah tersebut membutuhkan penelitian yang jauh lebih mendalam untuk mencari kesimpulan empiris tentang apa yang sebenarnya terjadi di daerah tersebut. Namun jika dilakukan pendekatan secara budaya, sawah pendem tidak dapat dipisahkan dari sebuah upacara adat yang diselenggarakan tiga tahun sekali oleh masyarakat Srigati.
Namanya Gelar Pendem, dan observator mendapatkan kesempatan untuk mengikutinya tahun ini.
jondero dan 55 lainnya memberi reputasi
56
Kutip
Balas
Tutup