- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
r4zor dan 259 lainnya memberi reputasi
238
305.4K
Kutip
2.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#1029
BAGIAN 31
Quote:
Rissa tak pernah merasa seletih ini seumur hidup. Energinya seakan terserap hingga tak bersisa. Punggungnya lemah tersandar di batang sebuah pohon, sedangkan sepasang kaki yang bahkan sudah mati rasa itu terjuntai lurus beralaskan tanah.
Saat ini, untuk pertama kali di dalam hidupnya, Rissa tak lagi memiliki tujuan dan harapan. Optimisme dan semangat yang biasa terpancar di matanya itu telah redup seluruhnya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia tak tahu harus berlari kemana. Tak ada lagi yang tersisa kecuali kekosongan. Rissa merasa hilang, baik secara fisik maupun pikiran.
Hawa dingin yang setajam mata pisau menusuk-nusuk badan Rissa hingga menggigil hebat karenanya. Memperparah keadaan dimana tulang-tulangnya sudah berasa remuk dan nyeri berdenyut denga n menyebalkan di beberapa bagian tubuh.
Tak ada lagi lantunan doa-doa keselamatan yang biasa terucap dengan deras dari mulutnya. Rissa telah memutuskan untuk berhenti melakukan itu sejak beberapa menit lalu. Dia pikir, sudah tak ada gunanya. Doa-doa itu ternyata tak mampu menyelamatkannya dari jurang ketersesatan. Sepertinya, rasa frustasi ternyata tak cuma membuat Rissa menyerah untuk berjuang mencari jalan pulang. Tapi juga telah berhasil menggoyahkan iman dan keyakinannya kepada Tuhan.
Apa aku mati saja?Pikiran itu kemudian hinggap begitu saja. Merasuk ke dalam pikiran, serupa bisikan setan yang sedang menguji keteguhan hati seorang perempuan muda yang tersesat di dalam kegelapan malam. Apalagi semua yang dibutuhkan sudah tersedia di depan mata; sebuah tali tambang, sebatang dahan pohon dan setumpuk keputusasaan.
Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Rissa kemudian mencoba bergerak membenarkan posisi sandarannya. Pandangannya mulai sedikit kabur, tapi dia tetap memaksa untuk menatap sesosok perempuan yang berada satu setengah meter di depan situ.
"Ewangono aku balas dendam..."
Yuli ada di sana, duduk bersila dengan kondisi yang masih sama; kedua tangan terikat tali yang ujung satunya melingkar di pinggang Rissa. Mereka masih terhubung satu sama lain, belum terpisahkan. Dan di saat itulah, ketika sosok Yuli terekam dalam pandangannya, sebuah ide gila dan sesat menyeruak begitu saja.
Tuhan akan murka kalau kujerat leherku sendiri dengan tali karena bunuh diri adalah dosa besar. Tapi kalau jadi korban pembunuhan, tentu itu lain soal..
Suara angin yang menyapu pepohonan, menciptakan nada-nada dari orkestra alam yang minor dan mengerikan. Arak-arakan awan telah hilang, membukakan tabir bagi jutaan bintang-bintang dan rembulan kini menjadi penguasa tunggal di tengah hamparan langit hitam. Semesta, malam ini, seakan telah siap menjadi saksi atas keputusan yang akan Rissa ambil. Sebuah keputusan terakhir, mungkin.
"Ketoke sedilut meneh, aku bakal podo koyo kowe. Podo-podo edane..." (Kayaknya sebentar lagi, aku bakal sama kayak kamu. Jadi ikut gila...)
Rissa melemparkan sebuah sarkasme pahit, yang kemudian membuat kepala Yuli yang sedari tadi tertunduk dengan rambut panjang terurai menutupi wajahnya itu tetiba terangkat. Kelihatan menyeramkan, seperti biasa. Tapi Rissa bahkan sudah terlalu malas untuk merasa takut. Dia balas menatap tajam ke arah Yuli, sambil menunggu apa yang bakal diucapkannya.
"Ora, ewangono aku balas dendam wae..." (Tidak, bantu aku balas dendam saja...)
Rissa terkekeh. Di tengah keadaan dirinya yang sedemikian berantakan, Rissa akhirnya bisa terkekeh. Bibirnya yang kering dan pucat itu tertarik ke samping membentuk satu senyuman lebar. Walau sebenarnya dia tidak tahu juga mana yang lebih layak ditertawakan; jawaban Yuli yang selalu sama atau ironi hidupnya saat ini.
“Kalau aku wegah (tidak mau), kamu mau apa?” Rissa mencoba menggoda Yuli, yang langsung bereaksi dengan menggertakkan gigi berkali-kali. Reaksi yang aneh, tapi namanya juga orang gila. Mungkin itu adalah caranya untuk menunjukkan ketidaksukaan.
"Ayo to, ewangono aku balas dendam!!" (Ayolah, bantu aku balas dendam!!)
Mendengar jawaban itu, Rissa malah makin terkekeh. Bahkan kini dadanya sampai naik turun walaupun rasanya sakit. Persetan dengan dunia ini, pikir Rissa. Toh semuanya sudah kadung hancur. Pantinya hancur, rencananya hancur, dirinya hancur. Apalagi yang mau diperjuangkan? Rasanya sudah tak ada. Jadi, dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya, Rissa menekuk kedua kaki dan merangkak maju mendekat ke arah Yuli. Kali ini tanpa rasa takut, tanpa rasa benci, tanpa rasa apa-apa. Hanya ada kekosongan yang dingin dan hampa.
"Aku bener-bener sudah gila kayak kamu..." Satu meter rasanya begitu jauh kali ini. Di setiap rangkak yang Rissa ambil, sensasi nyeri di sekujur tubuhnya terasa makin menyiksa. Tapi ia tak berhenti dan terus merangkak. Hingga dia sampai di tujuan, dan tangannya langsung menarik sedikit baju Yuli untuk tumpuan. Hanya agar tubuhnya tak sampai kehilangan keseimbangan dan roboh ke atas tanah.
"Ewangono aku balas dendam..."
Kepala Rissa berkunang-kunang, pusing luar biasa. Pandangannya juga semakin kehilangan fokus dan daya tahan tubuhnya sudah berada di ambang batas.
"Wis, tak turuti! Tapi piye carane?" (Oke, aku turuti! Tapi bagaimana caranya?)
Seakan memberi jawaban, mata Yuli beralih menatap simpul tambang di kedua tangannya.
Rissa mengerti, dan dia sepenuhnya sadar akan resiko yang akan terjadi jika simpul itu dibuka. Tapi bukankan itu yang Rissa inginkan? Yuli akan terbebas dan kemudian melakukan serangan kepadanya sampai dia mati. Bagus, itu akan lebih baik! Dia bisa mati tanpa harus menanggung dosa di hadapan Tuhan karena melawan kodrat dengan membunuh diri sendiri.
Dengan perlahan, Rissa melepaskan ikatan di pinggangnya sendiri terlebih dulu. Kemudian diangkatnya kedua tangan Yuli sampai sebatas dada. Toh, simpul tali ini bukanlah simpul yang rumit. Rissa hanya butuh tak lebih dari sepuluh detik sebelum ikatan tali mulai mengendur kemudian jatuh ke tanah. Membuat ikatan di antara mereka terlepas dan kedua tangan Yuli kini seutuhnya bebas.
"Ojo tanggung-tanggung. Langsung guluku wae!" (Jangan tanggung-tanggu. Langsung leherku saja!)
Ucap Rissa memberi pesan, bersamaan dengan tubuhnya yang kehilangan daya dan kemudian ambruk ke arah depan. Kepalanya luruh tepat di pangkuan Yuli, dan kesadarannya sudah benar-benar berada di ambang batas. Pandangan itu kian meredup, tubuh itu mulai terasa melayang. Tapi hal terakhir yang Rissa rasakan bukanlah serangan yang mencabik leher seperti yang dia harapkan...
Sebaliknya sebuah belaian terasa begitu lembut di rambutnya, disusul dengan rentetan kalimat yang menggema di dinding-dinding telinga...
"Maturnuwun, Rissa. Maturnuwun wis gelem ngewangi aku..." (Terimakasih, Rissa. Terimakasih sudah mau membantu aku...)
Saat ini, untuk pertama kali di dalam hidupnya, Rissa tak lagi memiliki tujuan dan harapan. Optimisme dan semangat yang biasa terpancar di matanya itu telah redup seluruhnya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia tak tahu harus berlari kemana. Tak ada lagi yang tersisa kecuali kekosongan. Rissa merasa hilang, baik secara fisik maupun pikiran.
Hawa dingin yang setajam mata pisau menusuk-nusuk badan Rissa hingga menggigil hebat karenanya. Memperparah keadaan dimana tulang-tulangnya sudah berasa remuk dan nyeri berdenyut denga n menyebalkan di beberapa bagian tubuh.
Tak ada lagi lantunan doa-doa keselamatan yang biasa terucap dengan deras dari mulutnya. Rissa telah memutuskan untuk berhenti melakukan itu sejak beberapa menit lalu. Dia pikir, sudah tak ada gunanya. Doa-doa itu ternyata tak mampu menyelamatkannya dari jurang ketersesatan. Sepertinya, rasa frustasi ternyata tak cuma membuat Rissa menyerah untuk berjuang mencari jalan pulang. Tapi juga telah berhasil menggoyahkan iman dan keyakinannya kepada Tuhan.
Apa aku mati saja?Pikiran itu kemudian hinggap begitu saja. Merasuk ke dalam pikiran, serupa bisikan setan yang sedang menguji keteguhan hati seorang perempuan muda yang tersesat di dalam kegelapan malam. Apalagi semua yang dibutuhkan sudah tersedia di depan mata; sebuah tali tambang, sebatang dahan pohon dan setumpuk keputusasaan.
Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Rissa kemudian mencoba bergerak membenarkan posisi sandarannya. Pandangannya mulai sedikit kabur, tapi dia tetap memaksa untuk menatap sesosok perempuan yang berada satu setengah meter di depan situ.
"Ewangono aku balas dendam..."
Yuli ada di sana, duduk bersila dengan kondisi yang masih sama; kedua tangan terikat tali yang ujung satunya melingkar di pinggang Rissa. Mereka masih terhubung satu sama lain, belum terpisahkan. Dan di saat itulah, ketika sosok Yuli terekam dalam pandangannya, sebuah ide gila dan sesat menyeruak begitu saja.
Tuhan akan murka kalau kujerat leherku sendiri dengan tali karena bunuh diri adalah dosa besar. Tapi kalau jadi korban pembunuhan, tentu itu lain soal..
Suara angin yang menyapu pepohonan, menciptakan nada-nada dari orkestra alam yang minor dan mengerikan. Arak-arakan awan telah hilang, membukakan tabir bagi jutaan bintang-bintang dan rembulan kini menjadi penguasa tunggal di tengah hamparan langit hitam. Semesta, malam ini, seakan telah siap menjadi saksi atas keputusan yang akan Rissa ambil. Sebuah keputusan terakhir, mungkin.
"Ketoke sedilut meneh, aku bakal podo koyo kowe. Podo-podo edane..." (Kayaknya sebentar lagi, aku bakal sama kayak kamu. Jadi ikut gila...)
Rissa melemparkan sebuah sarkasme pahit, yang kemudian membuat kepala Yuli yang sedari tadi tertunduk dengan rambut panjang terurai menutupi wajahnya itu tetiba terangkat. Kelihatan menyeramkan, seperti biasa. Tapi Rissa bahkan sudah terlalu malas untuk merasa takut. Dia balas menatap tajam ke arah Yuli, sambil menunggu apa yang bakal diucapkannya.
"Ora, ewangono aku balas dendam wae..." (Tidak, bantu aku balas dendam saja...)
Rissa terkekeh. Di tengah keadaan dirinya yang sedemikian berantakan, Rissa akhirnya bisa terkekeh. Bibirnya yang kering dan pucat itu tertarik ke samping membentuk satu senyuman lebar. Walau sebenarnya dia tidak tahu juga mana yang lebih layak ditertawakan; jawaban Yuli yang selalu sama atau ironi hidupnya saat ini.
“Kalau aku wegah (tidak mau), kamu mau apa?” Rissa mencoba menggoda Yuli, yang langsung bereaksi dengan menggertakkan gigi berkali-kali. Reaksi yang aneh, tapi namanya juga orang gila. Mungkin itu adalah caranya untuk menunjukkan ketidaksukaan.
"Ayo to, ewangono aku balas dendam!!" (Ayolah, bantu aku balas dendam!!)
Mendengar jawaban itu, Rissa malah makin terkekeh. Bahkan kini dadanya sampai naik turun walaupun rasanya sakit. Persetan dengan dunia ini, pikir Rissa. Toh semuanya sudah kadung hancur. Pantinya hancur, rencananya hancur, dirinya hancur. Apalagi yang mau diperjuangkan? Rasanya sudah tak ada. Jadi, dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya, Rissa menekuk kedua kaki dan merangkak maju mendekat ke arah Yuli. Kali ini tanpa rasa takut, tanpa rasa benci, tanpa rasa apa-apa. Hanya ada kekosongan yang dingin dan hampa.
"Aku bener-bener sudah gila kayak kamu..." Satu meter rasanya begitu jauh kali ini. Di setiap rangkak yang Rissa ambil, sensasi nyeri di sekujur tubuhnya terasa makin menyiksa. Tapi ia tak berhenti dan terus merangkak. Hingga dia sampai di tujuan, dan tangannya langsung menarik sedikit baju Yuli untuk tumpuan. Hanya agar tubuhnya tak sampai kehilangan keseimbangan dan roboh ke atas tanah.
"Ewangono aku balas dendam..."
Kepala Rissa berkunang-kunang, pusing luar biasa. Pandangannya juga semakin kehilangan fokus dan daya tahan tubuhnya sudah berada di ambang batas.
"Wis, tak turuti! Tapi piye carane?" (Oke, aku turuti! Tapi bagaimana caranya?)
Seakan memberi jawaban, mata Yuli beralih menatap simpul tambang di kedua tangannya.
Rissa mengerti, dan dia sepenuhnya sadar akan resiko yang akan terjadi jika simpul itu dibuka. Tapi bukankan itu yang Rissa inginkan? Yuli akan terbebas dan kemudian melakukan serangan kepadanya sampai dia mati. Bagus, itu akan lebih baik! Dia bisa mati tanpa harus menanggung dosa di hadapan Tuhan karena melawan kodrat dengan membunuh diri sendiri.
Dengan perlahan, Rissa melepaskan ikatan di pinggangnya sendiri terlebih dulu. Kemudian diangkatnya kedua tangan Yuli sampai sebatas dada. Toh, simpul tali ini bukanlah simpul yang rumit. Rissa hanya butuh tak lebih dari sepuluh detik sebelum ikatan tali mulai mengendur kemudian jatuh ke tanah. Membuat ikatan di antara mereka terlepas dan kedua tangan Yuli kini seutuhnya bebas.
"Ojo tanggung-tanggung. Langsung guluku wae!" (Jangan tanggung-tanggu. Langsung leherku saja!)
Ucap Rissa memberi pesan, bersamaan dengan tubuhnya yang kehilangan daya dan kemudian ambruk ke arah depan. Kepalanya luruh tepat di pangkuan Yuli, dan kesadarannya sudah benar-benar berada di ambang batas. Pandangan itu kian meredup, tubuh itu mulai terasa melayang. Tapi hal terakhir yang Rissa rasakan bukanlah serangan yang mencabik leher seperti yang dia harapkan...
Sebaliknya sebuah belaian terasa begitu lembut di rambutnya, disusul dengan rentetan kalimat yang menggema di dinding-dinding telinga...
"Maturnuwun, Rissa. Maturnuwun wis gelem ngewangi aku..." (Terimakasih, Rissa. Terimakasih sudah mau membantu aku...)
Quote:
Jika bisa digambarkan, aroma-aroma di dunia ini serupa sekumpulan spektrum warna. Hanya bedanya, bau atau aroma tidak bisa diidentifikasi sebagai hitam, putih, merah atau yang lainnya. Aroma hanya memiliki sifat dan karakter dari pemiliknya. Ia adalah gambaran paling jujur yang bisa menyingkap kekuatan, kelemahan atau bahkan rahasia tergelap seseorang.
Dan belakangan ini, semakin banyak saja pihak-pihak yang mulai concern dan mempelajari tentang aroma dan kekuatan indera penciuman manusia. Berbagai penelitian, kajian dan seminar diadakan untuk membedah fenomena tersebut. Mulai dari politikus, kepolisian, militer, kedokteran sampai masyarakat sipil dan komunitas-komunitas kecil. Hanya yang memuakkan, sejak awal mereka mempersepsikan bahwa kemampuan penciuman terhadap aroma identik dengan hal-hal supranatural atau bersifat gaib.
Hal yang sama terjadi pada Theo, ketika lima tahun lalu sekelompok elit itu datang kepadanya untuk pertama kali. Ada lima orang, Theo masih ingat betul, menunggunya di sebuah penthouse mewah di tengah belantara beton Jakarta. Kelimanya memakai setelan safari khas konglomerat, namun hanya seorang yang maju dan memperkenalkan dirinya.
"Nama saya Kuncoro..." Ucapnya dengan nada penuh kegagahan, tanpa sedikitpun ikut memperkenalkan empat pria lain yang duduk di belakang. "...Saya dengar kamu bisa menerawang hal-hal gaib. Meramal juga bisa?"
Begitulah kenyataannya. Persepsi orang bahwa Theo tak lebih dari seorang dukun, memang sudah mengakar kuat. Tapi di sisi lain, dia tak pernah sekalipun berusaha menjelaskan atau memberi mereka pengertian bahwa persepsi itu salah. Untuk apa, pikirnya. Dia merasa tak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun kepada siapapun.
Lagipula, susah juga bagi Theo untuk melakukannya andai dia mau. Kelebihan ini dia dapatkan dengan cara yang aneh, bahkan terlalu aneh untuk dijelaskan. Singkatnya, kemampuan ini datang dengan sendirinya ketika Theo berumur lima belas tahun. Pertengahan September, masih terlalu jelas di ingatannya, di hari yang sama dengan hari kematian Momo; anjing kesayangan keluarga Theo.
Awalnya, Theo hanya merasa ada gambaran-gambaran yang muncul secara acak di kepala setiap kali dia berpapasan dengan seseorang dan aroma tubuh orang itu masuk tanpa sengaja ke dalam hidungnya. Semakin lama, gambaran-gambaran itu semakin banyak seiring dengan semakin seringnya pula Theo berpapasan dengan orang-orang. Entah itu bapaknya, ibunya, adiknya sampai orang asing yang tidak dia kenal. Belum mampu mengontrol, Theo sempat menderita sakit kepala hebat dan membuatnya sampai harus masuk rumah sakit selama tiga hari.
Walau perlahan-lahan, Theo mulai bisa menerima anomali itu dan mulai belajar untuk mengontrolnya. Bukan hal mudah, butuh waktu sampai tiga tahun sampai dia benar-benar memiliki kendali penuh atas bakatnya. Kemudian, butuh lima tahun lagi bagi Theo untuk bisa memanfaatkannya sebagai ladang mencari uang.
Dan setelah sekian puluh tahun berlalu, masih ada satu pertanyaan yang belum mampu Theo temukan jawabannya hingga sekarang; apakah kematian Momo di hari itu, ada hubungannya dengan bakat yang tiba-tiba ia miliki itu? Entahlah. Theo tidak tahu dan mungkin sudah enggan untuk mencari tahu. Semakin dewasa, urusan seorang pria juga semakin banyak. Yang dia tahu, dia harus bersyukur bakat ini bisa dia jadikan sebagai sebuah pekerjaan. Seorang pengendus profesional.
Seperti malam ini. Dimana ia berlari menuruni jalan setapak yang membelah lebatnya hutan belakang Panti. Jalan setapak, dimana alur spektrum sepasang aroma itu semakin jelas tercium sejelas telapak kaki di tanah sehabis hujan. Tak perlu lagi ia gunakan metode menifestasi gambaran yang membuat tenaga terkuras itu. Theo tak peduli lagi dengan kisah si target atau motivasi si penculik. Yang menjadi prioritas utama sekarang adalah; menemukan target, dan melumpuhkan si penculik andai dia berusaha melawan atau menghalangi Theo. Sesederhana itu.
Jalur setapak terus menurun dan maki curam sepanjang satu setengah kilometer, sebelum Theo menemukan sebuah persimpangan di depan. Jalur bercabang menjadi dua; yang kanan nampak landai dan sepertinya mengarah ke jalan raya, sedang yang kiri kembali menurun dengan kegelapan yang terlihat kian pekat di bawah sana.
Awalnya, Theo menduga si penculik akan berbelok ke kanan. Membawa targetnya menuju jalan raya dengan sebuah mobil atau apapun yang sudah menunggu dan akan membawa mereka pergi menjauh. Tapi Theo salah, alur aroma itu jelas berbelok ke arah yang sebaliknya. Menuju jalur yang menurun, yang saking gelapnya, mata Theo sampai tak mampu menangkap apapun di bawah sana.
Tapi kenapa?Theo mulai bertanya pada diri sendiri. Kenapa si penculik malah membawa dirinya masuk makin dalam ke hutan ketika jalan kebebasan sudah berada di depan mata? Apakah ini jebakan dan usaha untuk mengaburkan jejak? Atau si penculik telah gagal memetakan medan dan tersesat karena salah memilih jalur?
Kalau aku tak turun, aku tak akan tahu jawabannya. Ucapnya dalam hati, sambil melompat menuju lembah dan menembus kelamnya hutan rimba. Langkahnya makin ia percepat. Dan semakin Theo jauh turun ke bawah, aroma-aroma ini semakin kuat tercium.
Aku makin dekat. Dan sepertinya mereka tidak melakukan pergerakan apapun lagi! Theo menggumam, sambil merogoh sesuatu dari dari balik kantong celana kainnya. Sebuah pisau lipat menyembul keluar, dan dengan satu hentakan tangan ujungnya yang tajam terbuka dan terhunus ke arah depan.
Bukan karena merasa takut, Theo hanya merasa perlu berjaga-jaga. Bagaimanapun, tempat ini gelap dan deretan pohon-pohon begitu rapat. Siapa tahu ada yang tiba-tiba melompat dari belakang dan melakukan serangan tak terduga. Theo butuh antisipasi untuk hal-hal diluar perhitungan seperti itu. Dia tak akan membiarkan siapapun melukainya dengan mudah.
Ah, tapi rasanya reputasiku terlalu sempurna untuk sekadar diserang orang di dalam hutan! Theo sedikit jumawa. Tapi tak salah juga, karena jika diingat-ingat ke belakang, dia pernah berada di situasi yang lebih berbahaya sebelumnya.
Sebutlah kejadian yang terakhir, baru setahun lalu. Dikepung dan dikeroyok tujuh orang bersenjata golok di salah satu dermaga di Priok. Theo bahkan sempat menebas balik dua batang leher musuh-musuhnya, sebelum dia berhasil meloloskan diri dengan melompat ke laut dan harus mengapung selama dua jam sebelum seorang nelayang memberinya pertolongan.
Jadi misi kali ini bukanlah apa-apa. Hanya merebut kembali seorang perempuan yang hamil tua yang sempat dibawa kabur penculik amatiran. Tak ada yang istimewa, termasuk kisah si target yang dibumbui hal-hal supranatural tai kucing oleh orang-orang udik dari dusun terpencil itu.
Tapi sayangnya, di akhir cerita, bukan sekelompok orang bersenjata tajam yang berhasil merobohkan tubuh tegap Theo dan menghancurkan reputasinya yang tanpa cela.
Dan belakangan ini, semakin banyak saja pihak-pihak yang mulai concern dan mempelajari tentang aroma dan kekuatan indera penciuman manusia. Berbagai penelitian, kajian dan seminar diadakan untuk membedah fenomena tersebut. Mulai dari politikus, kepolisian, militer, kedokteran sampai masyarakat sipil dan komunitas-komunitas kecil. Hanya yang memuakkan, sejak awal mereka mempersepsikan bahwa kemampuan penciuman terhadap aroma identik dengan hal-hal supranatural atau bersifat gaib.
Hal yang sama terjadi pada Theo, ketika lima tahun lalu sekelompok elit itu datang kepadanya untuk pertama kali. Ada lima orang, Theo masih ingat betul, menunggunya di sebuah penthouse mewah di tengah belantara beton Jakarta. Kelimanya memakai setelan safari khas konglomerat, namun hanya seorang yang maju dan memperkenalkan dirinya.
"Nama saya Kuncoro..." Ucapnya dengan nada penuh kegagahan, tanpa sedikitpun ikut memperkenalkan empat pria lain yang duduk di belakang. "...Saya dengar kamu bisa menerawang hal-hal gaib. Meramal juga bisa?"
Begitulah kenyataannya. Persepsi orang bahwa Theo tak lebih dari seorang dukun, memang sudah mengakar kuat. Tapi di sisi lain, dia tak pernah sekalipun berusaha menjelaskan atau memberi mereka pengertian bahwa persepsi itu salah. Untuk apa, pikirnya. Dia merasa tak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun kepada siapapun.
Lagipula, susah juga bagi Theo untuk melakukannya andai dia mau. Kelebihan ini dia dapatkan dengan cara yang aneh, bahkan terlalu aneh untuk dijelaskan. Singkatnya, kemampuan ini datang dengan sendirinya ketika Theo berumur lima belas tahun. Pertengahan September, masih terlalu jelas di ingatannya, di hari yang sama dengan hari kematian Momo; anjing kesayangan keluarga Theo.
Awalnya, Theo hanya merasa ada gambaran-gambaran yang muncul secara acak di kepala setiap kali dia berpapasan dengan seseorang dan aroma tubuh orang itu masuk tanpa sengaja ke dalam hidungnya. Semakin lama, gambaran-gambaran itu semakin banyak seiring dengan semakin seringnya pula Theo berpapasan dengan orang-orang. Entah itu bapaknya, ibunya, adiknya sampai orang asing yang tidak dia kenal. Belum mampu mengontrol, Theo sempat menderita sakit kepala hebat dan membuatnya sampai harus masuk rumah sakit selama tiga hari.
Walau perlahan-lahan, Theo mulai bisa menerima anomali itu dan mulai belajar untuk mengontrolnya. Bukan hal mudah, butuh waktu sampai tiga tahun sampai dia benar-benar memiliki kendali penuh atas bakatnya. Kemudian, butuh lima tahun lagi bagi Theo untuk bisa memanfaatkannya sebagai ladang mencari uang.
Dan setelah sekian puluh tahun berlalu, masih ada satu pertanyaan yang belum mampu Theo temukan jawabannya hingga sekarang; apakah kematian Momo di hari itu, ada hubungannya dengan bakat yang tiba-tiba ia miliki itu? Entahlah. Theo tidak tahu dan mungkin sudah enggan untuk mencari tahu. Semakin dewasa, urusan seorang pria juga semakin banyak. Yang dia tahu, dia harus bersyukur bakat ini bisa dia jadikan sebagai sebuah pekerjaan. Seorang pengendus profesional.
Seperti malam ini. Dimana ia berlari menuruni jalan setapak yang membelah lebatnya hutan belakang Panti. Jalan setapak, dimana alur spektrum sepasang aroma itu semakin jelas tercium sejelas telapak kaki di tanah sehabis hujan. Tak perlu lagi ia gunakan metode menifestasi gambaran yang membuat tenaga terkuras itu. Theo tak peduli lagi dengan kisah si target atau motivasi si penculik. Yang menjadi prioritas utama sekarang adalah; menemukan target, dan melumpuhkan si penculik andai dia berusaha melawan atau menghalangi Theo. Sesederhana itu.
Jalur setapak terus menurun dan maki curam sepanjang satu setengah kilometer, sebelum Theo menemukan sebuah persimpangan di depan. Jalur bercabang menjadi dua; yang kanan nampak landai dan sepertinya mengarah ke jalan raya, sedang yang kiri kembali menurun dengan kegelapan yang terlihat kian pekat di bawah sana.
Awalnya, Theo menduga si penculik akan berbelok ke kanan. Membawa targetnya menuju jalan raya dengan sebuah mobil atau apapun yang sudah menunggu dan akan membawa mereka pergi menjauh. Tapi Theo salah, alur aroma itu jelas berbelok ke arah yang sebaliknya. Menuju jalur yang menurun, yang saking gelapnya, mata Theo sampai tak mampu menangkap apapun di bawah sana.
Tapi kenapa?Theo mulai bertanya pada diri sendiri. Kenapa si penculik malah membawa dirinya masuk makin dalam ke hutan ketika jalan kebebasan sudah berada di depan mata? Apakah ini jebakan dan usaha untuk mengaburkan jejak? Atau si penculik telah gagal memetakan medan dan tersesat karena salah memilih jalur?
Kalau aku tak turun, aku tak akan tahu jawabannya. Ucapnya dalam hati, sambil melompat menuju lembah dan menembus kelamnya hutan rimba. Langkahnya makin ia percepat. Dan semakin Theo jauh turun ke bawah, aroma-aroma ini semakin kuat tercium.
Aku makin dekat. Dan sepertinya mereka tidak melakukan pergerakan apapun lagi! Theo menggumam, sambil merogoh sesuatu dari dari balik kantong celana kainnya. Sebuah pisau lipat menyembul keluar, dan dengan satu hentakan tangan ujungnya yang tajam terbuka dan terhunus ke arah depan.
Bukan karena merasa takut, Theo hanya merasa perlu berjaga-jaga. Bagaimanapun, tempat ini gelap dan deretan pohon-pohon begitu rapat. Siapa tahu ada yang tiba-tiba melompat dari belakang dan melakukan serangan tak terduga. Theo butuh antisipasi untuk hal-hal diluar perhitungan seperti itu. Dia tak akan membiarkan siapapun melukainya dengan mudah.
Ah, tapi rasanya reputasiku terlalu sempurna untuk sekadar diserang orang di dalam hutan! Theo sedikit jumawa. Tapi tak salah juga, karena jika diingat-ingat ke belakang, dia pernah berada di situasi yang lebih berbahaya sebelumnya.
Sebutlah kejadian yang terakhir, baru setahun lalu. Dikepung dan dikeroyok tujuh orang bersenjata golok di salah satu dermaga di Priok. Theo bahkan sempat menebas balik dua batang leher musuh-musuhnya, sebelum dia berhasil meloloskan diri dengan melompat ke laut dan harus mengapung selama dua jam sebelum seorang nelayang memberinya pertolongan.
Jadi misi kali ini bukanlah apa-apa. Hanya merebut kembali seorang perempuan yang hamil tua yang sempat dibawa kabur penculik amatiran. Tak ada yang istimewa, termasuk kisah si target yang dibumbui hal-hal supranatural tai kucing oleh orang-orang udik dari dusun terpencil itu.
Tapi sayangnya, di akhir cerita, bukan sekelompok orang bersenjata tajam yang berhasil merobohkan tubuh tegap Theo dan menghancurkan reputasinya yang tanpa cela.
Quote:
Salahnya sendiri terlalu bernafsu. Berjalan terlalu cepat dengan fokus yang hanya tertuju ke satu titik; alur aroma yang semakin kuat mengarah lurus ke depan. Theo tidak memperhitungkan setiap jengkal kaki yang dia ambil, jalur yang menurun curam dan keadaan sekitar yang gelap gulita.
Lalu terjadilah! Nasib berbalik dan Theo si pengendus andal yang berkali-kali selamat dari kematian itu ditertawakan semesta beserta isinya. Kakinya tersandung akar pohon yang melintang di tengah jalan, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Semuanya terjadi terlalu cepat, jauh lebih cepat daripada tebasan-tebasan golok yang dulu berhasil dia hindari. Theo tersentak, dan tak sempat mengembalikan keseimbangan. Tubuhnya roboh dan terguling-guling tanpa ampun.
Braakk!! Braakk!! Braakk!!
“Anjing! Bangs*t!!”
Dengan sisa instingnya untuk bertahan hidup, tangan Theo mencoba menggapai apapun yang bisa dia gapai sebagai pegangan. Batang pohon, juluran akar, tanah, apapun. Tapi hasilnya sama. Gapaian tangannya selalu meleset dan tubuhnya terus menggelinding menuruni lembah tanpa bisa dihentikan.
“Babi!! Gue enggak boleh mati sekarang!!” Dia berusaha bertahan, meski tubuhnya mulai terasa perih karena benturan dan gesekan. Firasat buruk tentang kematian juga mulai memenuhi otak, dan itu membuat daya endus Theo menjadi berantakan.
Hingga akhirnya....
Bruukkk!!!
Kraaakk!!
Bahu kanannya terbentur dengan keras ke atas tanah. Theo merintih dalam, menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Jelas tulang selangkanya patah, dia mendengar sendiri suara yang membuat ngilu itu.
“ANJIIIIIINNGGGG!!” Theo ingin berteriak sekencangnya. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah rintihan parau. Dia segera menggeser punggung sambil memegangi bahunya dengan tangan kanan agar tulang yang patah itu tak bergeser semakin jauh dan sampai keluar menembus kulit. Tak dipedulikannya lagi darah yang mengucur dari dahi dan membuat matanya perih. Theo memilih mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan mulai mencari-cari lagi alur aroma yang sempat kacau karena kejadian tadi.
Sial! Hidungnya terasa begitu nyeri, mungkin karena sempat terbentur. Dan nahasnya, itu membuat kemampuan mengendusnya menjadi berantakan. Dengan terseok-seok menarik langkah, kini Theo tak ubahnya seperti anjing pemburu yang kehilangan arah. Mencoba menatap sekeliling, hanya ada deretan pepohonan tanpa jalan keluar.
Lalu kemudian, di tengah kebingungan yang melanda, sebuah suara terdengar lamat-lamat dari balik kegelapan.
Keparat, apa lagi ini?? Suara apa itu? Siapa yang bernyanyi tengah malam begini di dalam hutan?
Darah mengucur makin deras, membuat mata Theo semakin perih dan tak mampu melihat dengan jelas. Tapi kedua kakinya memaksa terus berjalan. Mendekat ke arah suara nyanyian yang terdengar sumbang dan mengerikan.
“Hei, siapa itu??!!” Theo berteriak sembari terus menyeret kakinya sendiri. Tapi tak ada jawaban apapun. Nyanyian tiba-tiba malah terhenti, membuat malam kembali sunyi dan Theo kehilangan satu-satunya penanda arah.
Hingga kemudian, Theo merasakan sesuatu dalam gelap. Kakinya seperti menabrak sesuatu. Kali ini bukan akar pohon, dia yakin. Yang ini terasa sedikit lunak dan dia bergerak. Seperti tubuh manusia!
Theo usap terlebih dulu darah yang mengucur di matanya agar pandangannya lebih jelas, sebelum dia mencari sesuatu yang menganggu langkah kakinya. Benar saja, sesosok tubuh manusia berjaket parka hitam tergeletak dengan posisi tertelungkup tepat di bawah kaki.
Bangs*t, ini si penculik itu!Theo menggeram marah sambil menekuk lutut dan kemudian membalik sesosok tubuh itu dengan satu tangan.
“Cewek kemarin sore?! Penculik yang bikin rencana gue berantakan cuman cewek bau kencur ini?! Bangs*t!” Theo memukul tanah dengan tangannya sendiri. Kenyataan bahwa yang membuatnya masuk ke dalam hutan sampai terjatuh dan tulang selangkanya patah itu ternyata adalah perempuan muda bau kencur, membuat harga dirinya seakan telah dilecehkan.
Tapi, apakah suara nyanyian tadi berasal dari mulut perempuan ini? Theo tiba-tiba berpikir. Sepertinya mustahil, dia pingsan tak sadarkan diri. Berarti di sini ada orang lain yang....
Theo terkesiap! Suara itu muncul lagi, bahkan kali ini terdengar begitu dekat! Dia seketika bangkit, dan memutar badannya untuk mencari sumber suara itu.
Dia di sana. Perempuan beraroma sama dengan yang tertempel di kain pemberian Kepala Dusun bernama Gunardi itu. Menyanyi sambil duduk di sebuah dahan pohon dengan tangan yang mengelus perutnya yang buncit.
“Kamu...” Kalimat Theo tercekat. Matanya melotot penuh kengerian ketika dia menyadari bahwa ada sesuatu terkalung di leher perempuan itu; tali tambang.
Sir sir, pong dhele kopong...
Seketika Theo sadar, apa yang akan dilakukan perempuan yang harus dibawanya pulang hidup-hidup itu.
“JANGAAAAN!!”
Tapi terlambat. Perempuan itu terjun dengan sebuah senyum bahagia yang terukir di bibirnya yang menghitam. Seakan dia tidak menyesal, membiarkan simpul itu menjerat lehernya hingga patah. Seakan dia tidak kesakitan, karena dengan begini perannya di dunia sudah usai tergenapi.
“Jangaaan mati, bangsaaaat!”
Percuma saja. Mau sekeras apapun Theo memaki, semuanya telah terjadi tanpa bisa dia cegah. Tak ada lagi yang tersisa...
Lalu terjadilah! Nasib berbalik dan Theo si pengendus andal yang berkali-kali selamat dari kematian itu ditertawakan semesta beserta isinya. Kakinya tersandung akar pohon yang melintang di tengah jalan, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Semuanya terjadi terlalu cepat, jauh lebih cepat daripada tebasan-tebasan golok yang dulu berhasil dia hindari. Theo tersentak, dan tak sempat mengembalikan keseimbangan. Tubuhnya roboh dan terguling-guling tanpa ampun.
Braakk!! Braakk!! Braakk!!
“Anjing! Bangs*t!!”
Dengan sisa instingnya untuk bertahan hidup, tangan Theo mencoba menggapai apapun yang bisa dia gapai sebagai pegangan. Batang pohon, juluran akar, tanah, apapun. Tapi hasilnya sama. Gapaian tangannya selalu meleset dan tubuhnya terus menggelinding menuruni lembah tanpa bisa dihentikan.
“Babi!! Gue enggak boleh mati sekarang!!” Dia berusaha bertahan, meski tubuhnya mulai terasa perih karena benturan dan gesekan. Firasat buruk tentang kematian juga mulai memenuhi otak, dan itu membuat daya endus Theo menjadi berantakan.
Hingga akhirnya....
Bruukkk!!!
Kraaakk!!
Bahu kanannya terbentur dengan keras ke atas tanah. Theo merintih dalam, menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Jelas tulang selangkanya patah, dia mendengar sendiri suara yang membuat ngilu itu.
“ANJIIIIIINNGGGG!!” Theo ingin berteriak sekencangnya. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah rintihan parau. Dia segera menggeser punggung sambil memegangi bahunya dengan tangan kanan agar tulang yang patah itu tak bergeser semakin jauh dan sampai keluar menembus kulit. Tak dipedulikannya lagi darah yang mengucur dari dahi dan membuat matanya perih. Theo memilih mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan mulai mencari-cari lagi alur aroma yang sempat kacau karena kejadian tadi.
Sial! Hidungnya terasa begitu nyeri, mungkin karena sempat terbentur. Dan nahasnya, itu membuat kemampuan mengendusnya menjadi berantakan. Dengan terseok-seok menarik langkah, kini Theo tak ubahnya seperti anjing pemburu yang kehilangan arah. Mencoba menatap sekeliling, hanya ada deretan pepohonan tanpa jalan keluar.
Lalu kemudian, di tengah kebingungan yang melanda, sebuah suara terdengar lamat-lamat dari balik kegelapan.
Quote:
Cublak-cublak suweng...
Suwenge ting gelenter...
Mambu ketundhung gudhel...
Suwenge ting gelenter...
Mambu ketundhung gudhel...
Keparat, apa lagi ini?? Suara apa itu? Siapa yang bernyanyi tengah malam begini di dalam hutan?
Darah mengucur makin deras, membuat mata Theo semakin perih dan tak mampu melihat dengan jelas. Tapi kedua kakinya memaksa terus berjalan. Mendekat ke arah suara nyanyian yang terdengar sumbang dan mengerikan.
Quote:
Pak empong lera lere...
Sopo ngguyu ndhelikkake...
Sir sir, pong dhele kopong...
Sopo ngguyu ndhelikkake...
Sir sir, pong dhele kopong...
“Hei, siapa itu??!!” Theo berteriak sembari terus menyeret kakinya sendiri. Tapi tak ada jawaban apapun. Nyanyian tiba-tiba malah terhenti, membuat malam kembali sunyi dan Theo kehilangan satu-satunya penanda arah.
Hingga kemudian, Theo merasakan sesuatu dalam gelap. Kakinya seperti menabrak sesuatu. Kali ini bukan akar pohon, dia yakin. Yang ini terasa sedikit lunak dan dia bergerak. Seperti tubuh manusia!
Theo usap terlebih dulu darah yang mengucur di matanya agar pandangannya lebih jelas, sebelum dia mencari sesuatu yang menganggu langkah kakinya. Benar saja, sesosok tubuh manusia berjaket parka hitam tergeletak dengan posisi tertelungkup tepat di bawah kaki.
Bangs*t, ini si penculik itu!Theo menggeram marah sambil menekuk lutut dan kemudian membalik sesosok tubuh itu dengan satu tangan.
“Cewek kemarin sore?! Penculik yang bikin rencana gue berantakan cuman cewek bau kencur ini?! Bangs*t!” Theo memukul tanah dengan tangannya sendiri. Kenyataan bahwa yang membuatnya masuk ke dalam hutan sampai terjatuh dan tulang selangkanya patah itu ternyata adalah perempuan muda bau kencur, membuat harga dirinya seakan telah dilecehkan.
Tapi, apakah suara nyanyian tadi berasal dari mulut perempuan ini? Theo tiba-tiba berpikir. Sepertinya mustahil, dia pingsan tak sadarkan diri. Berarti di sini ada orang lain yang....
Quote:
Cublak-cublak suweng...
Suwenge ting gelenter...
Mambu ketundhung gudhel...
Suwenge ting gelenter...
Mambu ketundhung gudhel...
Theo terkesiap! Suara itu muncul lagi, bahkan kali ini terdengar begitu dekat! Dia seketika bangkit, dan memutar badannya untuk mencari sumber suara itu.
Quote:
Pak empong lera lere...
Sopo ngguyu ndhelikkake...
Sir sir, pong dhele kopong...
Sopo ngguyu ndhelikkake...
Sir sir, pong dhele kopong...
Dia di sana. Perempuan beraroma sama dengan yang tertempel di kain pemberian Kepala Dusun bernama Gunardi itu. Menyanyi sambil duduk di sebuah dahan pohon dengan tangan yang mengelus perutnya yang buncit.
“Kamu...” Kalimat Theo tercekat. Matanya melotot penuh kengerian ketika dia menyadari bahwa ada sesuatu terkalung di leher perempuan itu; tali tambang.
Sir sir, pong dhele kopong...
Seketika Theo sadar, apa yang akan dilakukan perempuan yang harus dibawanya pulang hidup-hidup itu.
“JANGAAAAN!!”
Tapi terlambat. Perempuan itu terjun dengan sebuah senyum bahagia yang terukir di bibirnya yang menghitam. Seakan dia tidak menyesal, membiarkan simpul itu menjerat lehernya hingga patah. Seakan dia tidak kesakitan, karena dengan begini perannya di dunia sudah usai tergenapi.
“Jangaaan mati, bangsaaaat!”
Percuma saja. Mau sekeras apapun Theo memaki, semuanya telah terjadi tanpa bisa dia cegah. Tak ada lagi yang tersisa...
Kecuali sepasang kaki yang mengambang di udara, dan segumpal dendam yang siap untuk beranak pinak.
jondero dan 56 lainnya memberi reputasi
57
Kutip
Balas
Tutup