- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:

Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER





INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:





REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann

Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs 

Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%
Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%
Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 15:07
bambu.rindang dan 268 lainnya memberi reputasi
247
322.5K
Kutip
2.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#1026
BAGIAN 30
Quote:
Memiliki kelebihan dan bakat ajaib membuat pola pikir Theo beberapa langkah lebih maju dibanding manusia normal. Begitupun ketika Dokter Herlambang serta semua orang di tempat ini masih terjebak dalam kebingungan, Theo sudah menyadari dan bahkan sudah mulai memetakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ada dua aroma tubuh manusia yang mengambang di udara. Yang satu adalah aroma serupa kambing yang identik dengan yang tertempel di secarik kain pemberian Gunardi. Sedang yang satunya adalah aroma yang benar-benar baru dan asing. Theo belum pernah mencium atau mengenalnya sebelum ini.
Itu berarti, ada seseorang yang telah mendahului langkah Theo. Seseorang yang menculik dan membawa targetnya kabur entah dengan tujuan dan motif apa. Pertanyaan itu masih terlalu samar dan jauh untuk dijangkau olehnya. Tapi satu hal yang pasti dan telah terjadi, target hilang sebelum Theo datang. Jadi pikirnya, mari fokus saja pada hal itu selagi semua orang tampak masih terlalu sibuk untuk mencari jawaban atas semua kekacauan ini.
Ah, semua gara-gara macet sialan! Theo sedikit mengeluh sambil berusaha memusatkan konsentrasinya pada dua aroma itu saja. Dua aroma yang harus benar-benar harus dia pisahkan dari aroma milik orang-orang yang masih ribut di belakang. Caranya cukup mudah; dua aroma itu kadar jauh lebih tipis karena keduanya sudah tidak berada di tempat ini lagi sejak beberapa waktu yang lalu.
Atau bahkan mungkin lebih lama daripada yang Theo duga. Benar-benar sudah cukup memudar, sampai dia harus memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam untuk melakukan identifikasi. Membiarkan otaknya menyerap aroma tersebut sebelum kemudian memprosesnya menjadi gambaran-gambaran dan penglihatan-penglihatan.
Seseorang bertubuh mungil, mungkin perempuan, memakai jaket hitam dengan tudung yang menutupi kepala. Membuat wajahnya benar-benar terhalang dari cahaya. Dia, yang bisa diidentifikasikan sebagai si penculik, kelihatan begitu panik. Berkali-kali melempar tatapan ke arah pagar masuk Panti. Mungkin dia mendengar seseorang datang, sampai-sampai tak menyadari bahwa si target sudah berada di belakangnya sejak tadi.
Mata Theo kemudian kembali terbuka. Dia sampai pada kesimpulan sementara bahwa rencana si pencuri sempat berantakan di tengah jalan, namun dia memaksa membawa targetnya karena terdesak. "Maju kena, mundur kena. Kasian juga."
Sampai di sini, Theo berhenti memaksa otaknya untuk memanifestasi penglihatan dan beralih untuk mengendus jejak pelarian keduanya dengan memanfaatkan alur aroma yang terbentuk dari pergerakan si pemilik tubuh. Metode inipun sebenarnya tidak mudah dilakukan, mengingat aroma yang tertinggal semakin memudar karena waktu yang terbuang. Tapi pekerjaan tetaplah pekerjaan. Theo harus profesional. Maka, dengan cukup susah payah Theo melangkahkan kakinya. Perlahan-lahan mengikuti alur dari dua aroma yang berusaha keras dia endus. Alur itu, kemudian membawa Theo menuju gedung yang letaknya di tengah Panti. Seperti gedung utama, dan satu-satunya bangunan berlantai dua di tempat ini.
Sejauh ini semuanya berjalan cukup lancar. Tapi Theo tak mau gegabah. Sesekali dia menyempatkan untuk menoleh ke belakang. Memastikan bahwa Dokter Herlambang dan orang-orang di belakang sana tidak mengikutinya. Dan untungnya, mereka semua masih tampak sibuk dan tidak menyadari pergerakan yang dibuat Theo.
Oke, mari lanjutkan pekerjaan! Batinnya sambil mempercepat langkah sampai ke depan bangunan dua lantai itu. Di sana, Theo berhenti. Aroma itu sempat benar-benar menipis walau tidak benar-benar hilang. Butuh waktu baginya untuk mempertajam indera penciumannya, sebelum alur itu kembali terbaca.
Si penculik membawa target mengitari gedung ini...
Kali ini Theo berlari.
...dan mereka berhenti di titik ini. Di tanah kosong antara bagian belakang gedung utama dengan tembok pagar Panti.
Benar-benar tempat yang cocok untuk sembunyi; lebarnya kurang dari dua meter, tidak ada penerangan dan dekat dengan pagar. Tapi untuk apa keduanya berhenti di sini kalau kebebasan sudah bisa mereka dapatkan dengan melompati pembatas yang sudah di depan mata ini?
Theo menekuk kaki hingga lututnya menyentuh tanah. Matanya kembali terpejam, mencoba meraih penglihatan walau metode itu lumayan menguras tenaga. Tapi apa lacur, sudah terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia. Dia juga tak mungkin kembali ke Jakarta dengan tangan kosong. Ekspektasi elit-elit yang membayarnya itu sudah teramat tinggi. Selain itu, juga ada reputasi yang harus dijaga.
Kali ini, dua aroma itu tercium sedikit menajam dan tak sepudar seperti sebelumnya. Artinya, mereka berdua cukup lama berdiam di titik ini. Mungkin lima sampai sepuluh menit. Dan itu membuat otak Theo lebih mudah untuk memprosesnya menjadi jalinan gambar-gambar berjalan.
Oke, si penculik berdiri dengan punggung menempel di tembok. Sesekali dia mengintip ke luar, seperti menunggu momen untuk lari dari tempat persembunyiannya. Dan si target...tunggu! Theo memejamkan mata makin rapat. Berusaha mempertajam gambaran yang masih terlalu samar itu. Kedua tangan si target terlihat terikat dengan sesuatu, mungkin tali, yang menjulur dengan ujung yang juga terikat di...
...pinggang si penculik?!
Mata Theo terbuka lagi. Kali ini dia menggeleng-gelengkan kepala dengan penuh rasa keheranan. Teknik penculikan macam apa itu?? Kenapa si penculik membuat ikatan dengan targetnya? Kalau supaya mengindari si target kabur, kenapa tidak cukup dengan mengikat tangannya dan si penculik tinggal mengikuti dan mengawasi dari belakang? Itu jelas lebih efektif daripada cara konyol seperti itu.
Ah, jelas sudah! Theo tersenyum kecil. Selain sempat diserang kepanikan, si penculik ternyata amatiran dan kurang persiapan. Tapi kesimpulan itu setidaknya menjadi kabar baik bagi Theo. Tentu pekerjaannya akan lebih mudah jika dia hanya berhadapan dengan seorang konyol yang mengikat pinggangnya sendiri seperti itu.
Dengan semangat baru, Theo bergegas bangkit. Dia mundurkan kakinya tiga langkah ke belakang. Berancang-ancang sebelum mengambil satu lompatan sampai kedua tangannya berhasil menggapai puncak pagar. Bukan pekerjaan sulit, hanya dalam dua detik saja dia sudah terjun ke bawah dan berpindah tempat ke sisi luar Panti. Dimana di sana, kegelapan malam dan lebatnya hutan khas pegunungan langsung terhampar di depan mata.
Mereka ada di sana. Mereka ada di dalam hutan sana.
Ada dua aroma tubuh manusia yang mengambang di udara. Yang satu adalah aroma serupa kambing yang identik dengan yang tertempel di secarik kain pemberian Gunardi. Sedang yang satunya adalah aroma yang benar-benar baru dan asing. Theo belum pernah mencium atau mengenalnya sebelum ini.
Itu berarti, ada seseorang yang telah mendahului langkah Theo. Seseorang yang menculik dan membawa targetnya kabur entah dengan tujuan dan motif apa. Pertanyaan itu masih terlalu samar dan jauh untuk dijangkau olehnya. Tapi satu hal yang pasti dan telah terjadi, target hilang sebelum Theo datang. Jadi pikirnya, mari fokus saja pada hal itu selagi semua orang tampak masih terlalu sibuk untuk mencari jawaban atas semua kekacauan ini.
Ah, semua gara-gara macet sialan! Theo sedikit mengeluh sambil berusaha memusatkan konsentrasinya pada dua aroma itu saja. Dua aroma yang harus benar-benar harus dia pisahkan dari aroma milik orang-orang yang masih ribut di belakang. Caranya cukup mudah; dua aroma itu kadar jauh lebih tipis karena keduanya sudah tidak berada di tempat ini lagi sejak beberapa waktu yang lalu.
Atau bahkan mungkin lebih lama daripada yang Theo duga. Benar-benar sudah cukup memudar, sampai dia harus memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam untuk melakukan identifikasi. Membiarkan otaknya menyerap aroma tersebut sebelum kemudian memprosesnya menjadi gambaran-gambaran dan penglihatan-penglihatan.
Seseorang bertubuh mungil, mungkin perempuan, memakai jaket hitam dengan tudung yang menutupi kepala. Membuat wajahnya benar-benar terhalang dari cahaya. Dia, yang bisa diidentifikasikan sebagai si penculik, kelihatan begitu panik. Berkali-kali melempar tatapan ke arah pagar masuk Panti. Mungkin dia mendengar seseorang datang, sampai-sampai tak menyadari bahwa si target sudah berada di belakangnya sejak tadi.
Mata Theo kemudian kembali terbuka. Dia sampai pada kesimpulan sementara bahwa rencana si pencuri sempat berantakan di tengah jalan, namun dia memaksa membawa targetnya karena terdesak. "Maju kena, mundur kena. Kasian juga."
Sampai di sini, Theo berhenti memaksa otaknya untuk memanifestasi penglihatan dan beralih untuk mengendus jejak pelarian keduanya dengan memanfaatkan alur aroma yang terbentuk dari pergerakan si pemilik tubuh. Metode inipun sebenarnya tidak mudah dilakukan, mengingat aroma yang tertinggal semakin memudar karena waktu yang terbuang. Tapi pekerjaan tetaplah pekerjaan. Theo harus profesional. Maka, dengan cukup susah payah Theo melangkahkan kakinya. Perlahan-lahan mengikuti alur dari dua aroma yang berusaha keras dia endus. Alur itu, kemudian membawa Theo menuju gedung yang letaknya di tengah Panti. Seperti gedung utama, dan satu-satunya bangunan berlantai dua di tempat ini.
Sejauh ini semuanya berjalan cukup lancar. Tapi Theo tak mau gegabah. Sesekali dia menyempatkan untuk menoleh ke belakang. Memastikan bahwa Dokter Herlambang dan orang-orang di belakang sana tidak mengikutinya. Dan untungnya, mereka semua masih tampak sibuk dan tidak menyadari pergerakan yang dibuat Theo.
Oke, mari lanjutkan pekerjaan! Batinnya sambil mempercepat langkah sampai ke depan bangunan dua lantai itu. Di sana, Theo berhenti. Aroma itu sempat benar-benar menipis walau tidak benar-benar hilang. Butuh waktu baginya untuk mempertajam indera penciumannya, sebelum alur itu kembali terbaca.
Si penculik membawa target mengitari gedung ini...
Kali ini Theo berlari.
...dan mereka berhenti di titik ini. Di tanah kosong antara bagian belakang gedung utama dengan tembok pagar Panti.
Benar-benar tempat yang cocok untuk sembunyi; lebarnya kurang dari dua meter, tidak ada penerangan dan dekat dengan pagar. Tapi untuk apa keduanya berhenti di sini kalau kebebasan sudah bisa mereka dapatkan dengan melompati pembatas yang sudah di depan mata ini?
Theo menekuk kaki hingga lututnya menyentuh tanah. Matanya kembali terpejam, mencoba meraih penglihatan walau metode itu lumayan menguras tenaga. Tapi apa lacur, sudah terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia. Dia juga tak mungkin kembali ke Jakarta dengan tangan kosong. Ekspektasi elit-elit yang membayarnya itu sudah teramat tinggi. Selain itu, juga ada reputasi yang harus dijaga.
Kali ini, dua aroma itu tercium sedikit menajam dan tak sepudar seperti sebelumnya. Artinya, mereka berdua cukup lama berdiam di titik ini. Mungkin lima sampai sepuluh menit. Dan itu membuat otak Theo lebih mudah untuk memprosesnya menjadi jalinan gambar-gambar berjalan.
Oke, si penculik berdiri dengan punggung menempel di tembok. Sesekali dia mengintip ke luar, seperti menunggu momen untuk lari dari tempat persembunyiannya. Dan si target...tunggu! Theo memejamkan mata makin rapat. Berusaha mempertajam gambaran yang masih terlalu samar itu. Kedua tangan si target terlihat terikat dengan sesuatu, mungkin tali, yang menjulur dengan ujung yang juga terikat di...
...pinggang si penculik?!
Mata Theo terbuka lagi. Kali ini dia menggeleng-gelengkan kepala dengan penuh rasa keheranan. Teknik penculikan macam apa itu?? Kenapa si penculik membuat ikatan dengan targetnya? Kalau supaya mengindari si target kabur, kenapa tidak cukup dengan mengikat tangannya dan si penculik tinggal mengikuti dan mengawasi dari belakang? Itu jelas lebih efektif daripada cara konyol seperti itu.
Ah, jelas sudah! Theo tersenyum kecil. Selain sempat diserang kepanikan, si penculik ternyata amatiran dan kurang persiapan. Tapi kesimpulan itu setidaknya menjadi kabar baik bagi Theo. Tentu pekerjaannya akan lebih mudah jika dia hanya berhadapan dengan seorang konyol yang mengikat pinggangnya sendiri seperti itu.
Dengan semangat baru, Theo bergegas bangkit. Dia mundurkan kakinya tiga langkah ke belakang. Berancang-ancang sebelum mengambil satu lompatan sampai kedua tangannya berhasil menggapai puncak pagar. Bukan pekerjaan sulit, hanya dalam dua detik saja dia sudah terjun ke bawah dan berpindah tempat ke sisi luar Panti. Dimana di sana, kegelapan malam dan lebatnya hutan khas pegunungan langsung terhampar di depan mata.
Mereka ada di sana. Mereka ada di dalam hutan sana.
Quote:
Rembulan tampak malu-malu mengintip dari balik barisan awan yang terus berarak menghias langit malam. Cahayanya pucat, luruh di antara deretan pepohonan besar yang tak ubahnya seperti tiang-tiang yang menopang hutan belantara. Sedangkan nun jauh di sana, di antara muram temaram dan hawa dingin yang membekukan tulang, nampak siluet dari dua figur anak manusia berjalan beriringan. Seperti sepasang musafir yang menjelajah gelap di bawah perlindungan ribuan tebaran bintang, mereka menghitung langkah demi langkah dengan sabar.
Aku akan segera sampai ke tujuan, begitulah ia terus berucap kepada diri sendiri. Sosok berjaket parka hitam yang berjalan di depan, dengan tali tambang yang terikat mengitari pinggulnya. Tali tambang yang sama, yang terutas ke belakang, dengan ujung yang juga terikat erat di kedua tangan seseorang yang berjalan mengikuti di belakang.
Bukan suatu hal yang manusiawi memang. Namun Rissa terpaksa melakukan ini bukan hanya karena dia sadar bahwa Yuli bisa melakukan apapun di luar kendalinya, tapi juga untuk menghindari kalau-kalau si gila ini kabur ketika Rissa lengah. Pasti akan sangat merepotkan kalau Yuli sampai hilang di tengah belantara malam-malam begini.
Tapi jauh di dalam lubuk hati, Rissa sesungguhnya juga tak tega harus menarik perempuan yang sedang hamil tua seperti ini. Benar-benar tak ubahnya seorang gembala membawa pulang sapi peliharaannya. Namun apa mau dikata, keadaanlah yang memaksa. Cara ini adalah solusi terbaik untuk mereka berdua. Setidaknya menurut Rissa. Dan lagipula, jarak dengan mobil Ibu Sari yang terparkir di tepi jalan setapak itu juga sudah tidak terlalu jauh.
"Sepurane (maaf), harus pakai cara kayak gini..." Ucap Rissa pelan tanpa berhenti atau menoleh kepada lawan bicaranya. Dia hanya merasa perlu mengatakan itu, setidaknya untuk mengurangi rasa bersalah yang merambati hati nurani.
"Ewangono (bantu) aku balas dendam."
Suara dari belakang membalas. Tapi Rissa tak mengerti dan terlalu peduli apa yang Yuli katakan. Baginya, itu hanya ucapan orang waham yang tak memiliki arti. "Karepmu (terserah kamu). Setelah sampai mobil, kamu akan aku bawa pergi jauh dan aku turunkan di pinggir jalan tol."
"Ora! Ewangono aku balas dendam." (Tidak! Bantu aku balas dendam.)
Rissa sudah terlampau lelah; fisik, mental dan pikiran. Jadi, daripada meladeni percakapan dengan orang gila yang hanya akan membuatnya semakin frustasi, dia memilih untuk diam dan mengalihkan konsentrasi di jalur setapak menurun di hadapannya yang tak terlalu terlihat karena situasi yang gelap gulita. Apalagi semakin ke bawah, cahaya lembut rembulan semakin tertahan oleh deretan pepohonan yang jaraknya kian rapat. Memaksa Rissa benar-benar harus fokus kalau tidak ingin kehilangan arah.
"Ewangono aku balas dendam..."
Yuli kembali bicara dengan kalimat yang sama. Tapi Rissa tak bergeming. Dia berusaha menahan diri.
"Ewangono aku balas dendam..."
Lagi.
"Ewangono aku balas dendam..."
Lagi.
"Ewangono aku balas dendam..."
Cukup sudah! Akhirnya Rissa kehabisan kesabaran. Dia hentikan langkahnya dengan tiba-tiba, dan sambil memutar badan ke belakang dia tarik tali tambang yang mengikat mereka berdua dengan kasar. Membuat tubuh Yuli tersentak ke arah depan, mendekat kepada Rissa yang dengan sigap mengangkat tangan dan menggenggam rahang Yuli untuk membuat jarak aman. Seperti seorang pawang yang menggenggam kepala ular agar terhindar dari gigitan penuh bisanya.
"Kowe ojo cangkeman terus iso ora??!!" (Kamu berhenti bacot bisa enggak??!!)
Rissa mendesis penuh amarah. Matanya yang merah menahan lelah itu tajam ditusukkan ke arah Yuli yang menundukkan kepala seperti seorang anak yang habis dimarahi oleh sang ibunda. Berharap dia akan berhenti mengucapkan ocehan yang makin lama makin mengganggu telinga itu.
Tapi usaha intimidasi yang dilakukan Rissa tidak mempan sama sekali.
"Ewangono aku balas dendam."
Arrggghhh!Rissa Cumiik pelan namun dalam. Dia sudah tidak kuat lagi. Dengan tangan yang masih menempel di geraham Yuli, Rissa mendorong tawanannya itu mundur kembali ke belakang. Kali ini tak ada lagi belas kasihan atau toleransi. Rissa percepat langkahnya dua kali lipat di jalur yang semakin curam dan gelap. Tak peduli jika nanti Yuli terpeleset dan keguguran sekalipun, Rissa sudah terlanjur muak. Yang paling dia inginkan saat ini hanyalah segera sampai di mobil, menginjak gasnya dalam-dalam dan pergi jauh dari tempat ini.
Untungnya jalur yang menurun curam itu berakhir di depan sana, berganti dengan jalan yang melandai dan lebih nyaman untuk dilewati kaki. Setidaknya itu berhasil membuat mood Rissa sedikit membaik. Dia bisa sedikit tersenyum, namun itu tidak lantas membuat hukuman kepada Yuli ia hentikan. Rissa tak mengendurkan kecepatan kakinya sedikitpun. Dia terus menyusuri jalan setapak yang terbentang di depannya dengan langkah-langkah panjang. Tak peduli walau mulai terdengar nafas terengah kepayahan dari belakang, Rissa terus maju. Terus melaju. Mengikuti jalur yang kini mengular dan mulai kembali sedikit menanjak...
Sampai kemudian...
...jalur setapak itu tiba-tiba tak lagi bisa Rissa temukan. Seakan lenyap begitu saja, berakhir di sebatang pohon tua besar yang berdiri dengan gagah di bawah kelam malam.
Loh? Bagaimana bisa?
Rissa berdiri mematung seperti idiot sambil menatap pohon di depannya dengan tatapan kosong. Di tengah rasa linglung yang tetiba menyerang, dia mencoba memahami apa yang sedang terjadi dan mengingat-ingat apa ada sesuatu yang dia lewatkan.
Persimpangan! Satu kata itu, hanya butuh satu kata itu untuk membuat Rissa tersadar. Satu kata, serupa halilintar, yang datang menyambar kepala Rissa dengan keras dan kejam.
Sepertinya aku melewatkan persimpangan jalur setapak itu!!
Ya, Rissa kehilangan arah. Dia gagal menemukan kembali persimpangan dimana seharusnya dia berbelok ke kanan dan tinggal berjalan lurus sejauh tak lebih dari tiga ratus meter, sampai mobil Ibu Sari yang terparkir tak jauh jalan aspal itu terlihat di pandangan.
Lalu, dimana aku sekarang?! Dimana persimpangan itu?! Dimana mobil itu?!!
"Ewangono aku balas dendam."
Bahkan Rissa sudah tak mampu mendengar ocehan Yuli di belakang. Kepalanya sakit, dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan yang seketika menyergap. Mulutnya gemetar, mata kosongnya perlahan terasa basah dan air mata tumpah tak tertahan. Mengalir turun bagai anak sungai yang menciptakan jalur di wajahnya yang dekil oleh debu bercampur keringat.
Tuhan Yesus, tolong...dimana aku sekarang???!!!
Aku akan segera sampai ke tujuan, begitulah ia terus berucap kepada diri sendiri. Sosok berjaket parka hitam yang berjalan di depan, dengan tali tambang yang terikat mengitari pinggulnya. Tali tambang yang sama, yang terutas ke belakang, dengan ujung yang juga terikat erat di kedua tangan seseorang yang berjalan mengikuti di belakang.
Bukan suatu hal yang manusiawi memang. Namun Rissa terpaksa melakukan ini bukan hanya karena dia sadar bahwa Yuli bisa melakukan apapun di luar kendalinya, tapi juga untuk menghindari kalau-kalau si gila ini kabur ketika Rissa lengah. Pasti akan sangat merepotkan kalau Yuli sampai hilang di tengah belantara malam-malam begini.
Tapi jauh di dalam lubuk hati, Rissa sesungguhnya juga tak tega harus menarik perempuan yang sedang hamil tua seperti ini. Benar-benar tak ubahnya seorang gembala membawa pulang sapi peliharaannya. Namun apa mau dikata, keadaanlah yang memaksa. Cara ini adalah solusi terbaik untuk mereka berdua. Setidaknya menurut Rissa. Dan lagipula, jarak dengan mobil Ibu Sari yang terparkir di tepi jalan setapak itu juga sudah tidak terlalu jauh.
"Sepurane (maaf), harus pakai cara kayak gini..." Ucap Rissa pelan tanpa berhenti atau menoleh kepada lawan bicaranya. Dia hanya merasa perlu mengatakan itu, setidaknya untuk mengurangi rasa bersalah yang merambati hati nurani.
"Ewangono (bantu) aku balas dendam."
Suara dari belakang membalas. Tapi Rissa tak mengerti dan terlalu peduli apa yang Yuli katakan. Baginya, itu hanya ucapan orang waham yang tak memiliki arti. "Karepmu (terserah kamu). Setelah sampai mobil, kamu akan aku bawa pergi jauh dan aku turunkan di pinggir jalan tol."
"Ora! Ewangono aku balas dendam." (Tidak! Bantu aku balas dendam.)
Rissa sudah terlampau lelah; fisik, mental dan pikiran. Jadi, daripada meladeni percakapan dengan orang gila yang hanya akan membuatnya semakin frustasi, dia memilih untuk diam dan mengalihkan konsentrasi di jalur setapak menurun di hadapannya yang tak terlalu terlihat karena situasi yang gelap gulita. Apalagi semakin ke bawah, cahaya lembut rembulan semakin tertahan oleh deretan pepohonan yang jaraknya kian rapat. Memaksa Rissa benar-benar harus fokus kalau tidak ingin kehilangan arah.
"Ewangono aku balas dendam..."
Yuli kembali bicara dengan kalimat yang sama. Tapi Rissa tak bergeming. Dia berusaha menahan diri.
"Ewangono aku balas dendam..."
Lagi.
"Ewangono aku balas dendam..."
Lagi.
"Ewangono aku balas dendam..."
Cukup sudah! Akhirnya Rissa kehabisan kesabaran. Dia hentikan langkahnya dengan tiba-tiba, dan sambil memutar badan ke belakang dia tarik tali tambang yang mengikat mereka berdua dengan kasar. Membuat tubuh Yuli tersentak ke arah depan, mendekat kepada Rissa yang dengan sigap mengangkat tangan dan menggenggam rahang Yuli untuk membuat jarak aman. Seperti seorang pawang yang menggenggam kepala ular agar terhindar dari gigitan penuh bisanya.
"Kowe ojo cangkeman terus iso ora??!!" (Kamu berhenti bacot bisa enggak??!!)
Rissa mendesis penuh amarah. Matanya yang merah menahan lelah itu tajam ditusukkan ke arah Yuli yang menundukkan kepala seperti seorang anak yang habis dimarahi oleh sang ibunda. Berharap dia akan berhenti mengucapkan ocehan yang makin lama makin mengganggu telinga itu.
Tapi usaha intimidasi yang dilakukan Rissa tidak mempan sama sekali.
"Ewangono aku balas dendam."
Arrggghhh!Rissa Cumiik pelan namun dalam. Dia sudah tidak kuat lagi. Dengan tangan yang masih menempel di geraham Yuli, Rissa mendorong tawanannya itu mundur kembali ke belakang. Kali ini tak ada lagi belas kasihan atau toleransi. Rissa percepat langkahnya dua kali lipat di jalur yang semakin curam dan gelap. Tak peduli jika nanti Yuli terpeleset dan keguguran sekalipun, Rissa sudah terlanjur muak. Yang paling dia inginkan saat ini hanyalah segera sampai di mobil, menginjak gasnya dalam-dalam dan pergi jauh dari tempat ini.
Untungnya jalur yang menurun curam itu berakhir di depan sana, berganti dengan jalan yang melandai dan lebih nyaman untuk dilewati kaki. Setidaknya itu berhasil membuat mood Rissa sedikit membaik. Dia bisa sedikit tersenyum, namun itu tidak lantas membuat hukuman kepada Yuli ia hentikan. Rissa tak mengendurkan kecepatan kakinya sedikitpun. Dia terus menyusuri jalan setapak yang terbentang di depannya dengan langkah-langkah panjang. Tak peduli walau mulai terdengar nafas terengah kepayahan dari belakang, Rissa terus maju. Terus melaju. Mengikuti jalur yang kini mengular dan mulai kembali sedikit menanjak...
Sampai kemudian...
...jalur setapak itu tiba-tiba tak lagi bisa Rissa temukan. Seakan lenyap begitu saja, berakhir di sebatang pohon tua besar yang berdiri dengan gagah di bawah kelam malam.
Loh? Bagaimana bisa?
Rissa berdiri mematung seperti idiot sambil menatap pohon di depannya dengan tatapan kosong. Di tengah rasa linglung yang tetiba menyerang, dia mencoba memahami apa yang sedang terjadi dan mengingat-ingat apa ada sesuatu yang dia lewatkan.
Persimpangan! Satu kata itu, hanya butuh satu kata itu untuk membuat Rissa tersadar. Satu kata, serupa halilintar, yang datang menyambar kepala Rissa dengan keras dan kejam.
Sepertinya aku melewatkan persimpangan jalur setapak itu!!
Ya, Rissa kehilangan arah. Dia gagal menemukan kembali persimpangan dimana seharusnya dia berbelok ke kanan dan tinggal berjalan lurus sejauh tak lebih dari tiga ratus meter, sampai mobil Ibu Sari yang terparkir tak jauh jalan aspal itu terlihat di pandangan.
Lalu, dimana aku sekarang?! Dimana persimpangan itu?! Dimana mobil itu?!!
"Ewangono aku balas dendam."
Bahkan Rissa sudah tak mampu mendengar ocehan Yuli di belakang. Kepalanya sakit, dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan yang seketika menyergap. Mulutnya gemetar, mata kosongnya perlahan terasa basah dan air mata tumpah tak tertahan. Mengalir turun bagai anak sungai yang menciptakan jalur di wajahnya yang dekil oleh debu bercampur keringat.
Tuhan Yesus, tolong...dimana aku sekarang???!!!
babet2 dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Kutip
Balas
Tutup