- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
r4zor dan 259 lainnya memberi reputasi
238
303.9K
Kutip
2.6K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#980
BAGIAN 27
Quote:
Ibu Sari duduk di kursi, menatap ke arah ranjang yang berjarak tak lebih dari tiga langkah di depannya. Ranjang dengan besi tua dimana sesosok tubuh dengan perut yang kian membuncit itu, tidur terlelap sambil mendengkur dengan begitu nyaring.
Pun dengan kedua tangan itu, yang tak lagi terbelenggu pada seutas tali yang diikat kencang di tepi ranjang seperti kemarin. Dia telah terbebas, dan begitulah selayaknya dia diperlakukan. Ibu Sari tak lagi peduli dan mengabaikan anjuran Dokter Herlambang agar Yuli harus selalu berada dalam kondisi terikat, atau protes keras dari Rissa yang bahkan meminta Ibu Sari untuk membawa keluar Yuli dari Panti ini.
Bagaimana bisa kedua orang itu memiliki pikiran sekeji itu? Batin Ibu Sari menjerit. Bagaimana bisa dia terus diikat setelah dihabiskannya bertahun dengan terpenjara di kandang kambing dan kedua kaki yang dipasung? Bagaimana bisa dia keluar dari Panti ini jika satu-satunya rumah yang tersisa hanya berisi orang-orang jahat tanpa moral dan Iman seperti itu?
Ibu Sari tidak bisa membiarkan Yuli pergi dari sini. Tekadnya sudah bulat. Keyakinannya sudah teguh, tak bisa diruntuhkan bahkan oleh terjangan ombak sekalipun. Sambil menghapus airmatanya, Ibu Sari bangkit dan berpindah duduk ke tepian ranjang. Dia usap rambut Yuli dengan lembut. Pelan sekali, agar supaya dia tidak sampai terbangun dari tidurnya yang lelap dan nikmat ini.
“Aku percaya Tuhan mengirimmu kesini karena suatu alasan. Aku meyakininya, sayangku, bahwa ini adalah jalan penebusan...” Ibu Sari berbisik pilu, memandang nanar wajah Yuli yang entah mengapa selalu menghadirkan sosok Elena di imajinya.
Elena...
Adikku tersayang...
Ibu Sari menghela nafas panjang, sebagai tanda bahwa kesedihan ini tak boleh semakin berlarut-larut dan harus segera diakhiri. Dia tak mau buang-buang waktu lagi, karena ada rencana yang harus dia lakukan; membawa seorang sahabat lama untuk datang ke Panti ini dan memberikan pengobatan rohani kepada Yuli. Seorang Romo yang Ibu Sari tahu dan percaya, mampu menuntun Yuli kembali dari gelapnya ketersesatan menuju cahaya Tuhan. Namanya Frans. Romo Frans.
Tapi sayangnya, sepanjang hari ini ponsel Romo Frans susah sekali dihubungi. Sudah lima kali panggilan dan belasan chat, tak ada satupun yang berbalas respon. Jam di dinding menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit, dan sore semakin tua sebelum gelap malam datang menguasai penghujung hari. Sambil tangan kanannya terus membelai rambut Yuli yang masih tertidur seperti bayi, pikiran Ibu Sari bekerja keras. Dia sedang mempertimbangkan beberapa hal.
Mungkin dia memang harus datang ke Gereja dan menemui Romo Frans secara langsung. Toh, jaraknya juga tak terlalu jauh dari Panti. Hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Dan mengingat mobilnya dibawa oleh Rissa ke rumah sakit sejak pagi tadi, Ibu Sari bisa meminta Joyo atau salah seorang temannya yang sedang berjaga di depan sana untuk mengantarnya dengan sepeda motor mereka.
Ibu Sari kemudian bangkit dan segera memanggil nama Joyo tanpa keluar dari kamar Yuli. Seakan dia takut sekali kalau terjadi apa-apa dengan Yuli, jika dia ditinggalkan sendirian walau beberapa detik saja.
“Kamu sama siapa saja di depan sana?” Tanya Ibu Sari dengan nada pelan seusai Joyo sampai di hadapannya.
“Wonten Dedi kalihan Samsul, Bu...” (Ada Dedi sama Samsul, Bu...)
Ibu Sari diam sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu. "Bilang sama Samsul, saya minta tolong antar ke Gereja Kota sebentar saja. Kamu bawa motor, to?"
Joyo mengangguk. Dia sudah berbalik badan dan bersiap menghampiri Samsul di depan sana. Tapi ternyata Ibu Sari belum selesai bicara.
“Tunggu! Selama aku pergi, kamu sama Dedi pindah saja di depan kamar ini. Kunci pintunya, dan jangan biarkan siapapunmasuk sebelum aku balik!" Nada bicara Ibu Sari berubah tajam. “Aku masih bisa percaya kamu kan, Joyo?”
Pun dengan kedua tangan itu, yang tak lagi terbelenggu pada seutas tali yang diikat kencang di tepi ranjang seperti kemarin. Dia telah terbebas, dan begitulah selayaknya dia diperlakukan. Ibu Sari tak lagi peduli dan mengabaikan anjuran Dokter Herlambang agar Yuli harus selalu berada dalam kondisi terikat, atau protes keras dari Rissa yang bahkan meminta Ibu Sari untuk membawa keluar Yuli dari Panti ini.
Bagaimana bisa kedua orang itu memiliki pikiran sekeji itu? Batin Ibu Sari menjerit. Bagaimana bisa dia terus diikat setelah dihabiskannya bertahun dengan terpenjara di kandang kambing dan kedua kaki yang dipasung? Bagaimana bisa dia keluar dari Panti ini jika satu-satunya rumah yang tersisa hanya berisi orang-orang jahat tanpa moral dan Iman seperti itu?
Ibu Sari tidak bisa membiarkan Yuli pergi dari sini. Tekadnya sudah bulat. Keyakinannya sudah teguh, tak bisa diruntuhkan bahkan oleh terjangan ombak sekalipun. Sambil menghapus airmatanya, Ibu Sari bangkit dan berpindah duduk ke tepian ranjang. Dia usap rambut Yuli dengan lembut. Pelan sekali, agar supaya dia tidak sampai terbangun dari tidurnya yang lelap dan nikmat ini.
“Aku percaya Tuhan mengirimmu kesini karena suatu alasan. Aku meyakininya, sayangku, bahwa ini adalah jalan penebusan...” Ibu Sari berbisik pilu, memandang nanar wajah Yuli yang entah mengapa selalu menghadirkan sosok Elena di imajinya.
Elena...
Adikku tersayang...
Ibu Sari menghela nafas panjang, sebagai tanda bahwa kesedihan ini tak boleh semakin berlarut-larut dan harus segera diakhiri. Dia tak mau buang-buang waktu lagi, karena ada rencana yang harus dia lakukan; membawa seorang sahabat lama untuk datang ke Panti ini dan memberikan pengobatan rohani kepada Yuli. Seorang Romo yang Ibu Sari tahu dan percaya, mampu menuntun Yuli kembali dari gelapnya ketersesatan menuju cahaya Tuhan. Namanya Frans. Romo Frans.
Tapi sayangnya, sepanjang hari ini ponsel Romo Frans susah sekali dihubungi. Sudah lima kali panggilan dan belasan chat, tak ada satupun yang berbalas respon. Jam di dinding menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit, dan sore semakin tua sebelum gelap malam datang menguasai penghujung hari. Sambil tangan kanannya terus membelai rambut Yuli yang masih tertidur seperti bayi, pikiran Ibu Sari bekerja keras. Dia sedang mempertimbangkan beberapa hal.
Mungkin dia memang harus datang ke Gereja dan menemui Romo Frans secara langsung. Toh, jaraknya juga tak terlalu jauh dari Panti. Hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Dan mengingat mobilnya dibawa oleh Rissa ke rumah sakit sejak pagi tadi, Ibu Sari bisa meminta Joyo atau salah seorang temannya yang sedang berjaga di depan sana untuk mengantarnya dengan sepeda motor mereka.
Ibu Sari kemudian bangkit dan segera memanggil nama Joyo tanpa keluar dari kamar Yuli. Seakan dia takut sekali kalau terjadi apa-apa dengan Yuli, jika dia ditinggalkan sendirian walau beberapa detik saja.
“Kamu sama siapa saja di depan sana?” Tanya Ibu Sari dengan nada pelan seusai Joyo sampai di hadapannya.
“Wonten Dedi kalihan Samsul, Bu...” (Ada Dedi sama Samsul, Bu...)
Ibu Sari diam sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu. "Bilang sama Samsul, saya minta tolong antar ke Gereja Kota sebentar saja. Kamu bawa motor, to?"
Joyo mengangguk. Dia sudah berbalik badan dan bersiap menghampiri Samsul di depan sana. Tapi ternyata Ibu Sari belum selesai bicara.
“Tunggu! Selama aku pergi, kamu sama Dedi pindah saja di depan kamar ini. Kunci pintunya, dan jangan biarkan siapapunmasuk sebelum aku balik!" Nada bicara Ibu Sari berubah tajam. “Aku masih bisa percaya kamu kan, Joyo?”
Quote:
Sejak pagi, hati Romo Frans rasanya tidak tenang dan selalu gelisah tanpa sebab yang jelas. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya. Bahkan sampai siang hari, ketika dia sedang memberi materi kepada para pastor muda, Romo Frans sempat beberapa kali kehilangan fokus. Matanya jadi sering melirik ke arah kedua telapak tangannya sendiri yang entah kenapa menjadi basah oleh keringat.
Pertanda apa ini, Tuhan?Dia membatin sambil menghela nafas panjang. Sudah dia coba melantunkan doa-doa untuk ketenangan hati, tapi percuma saja. Kegelisahan yang tak jelas asal dan sebabnya itu tak jua berhenti mendera.
Menjelang sore tiba, seusai kelas selesai dan semua pastor muda keluar dari ruangan, Romo Frans memilih jalur duniawi dalam usahanya untuk mengusir perasaan yang tidak nyaman itu. Dia beranjak melewati pintu belakang ruangan dan berjalan lurus melewati jalan setapak yang mengarah ke bagian belakang gereja. Di sana, terhampar taman rumput dengan beberapa gazebo yang biasa dipakai untuk beristirahat atau mengobrol ringan.
Romo Frans mengambil duduk di salah satu gazebo. Tangan kanannya merogoh saku dan dari sana keluar sebungkus rokok lengkap dengan korek kayu yang kemudian dia ambil sebatang sebelum dia letakkan di mulutnya. Korek digesek, dan apinya membakar penuh ujung dari batang rokok.
Dia menghisap dalam-dalam sambil kedua matanya setengah terkatup. Khidmat sekali, nikotin masuk dan mengalir ke seluruh tubuh. Tambah nikmat dengan iringan angin sepoi dan aroma udara sore hari yang berpadu dengan ketenangan di tempat ini. Seharusnya...ya, seharusnya semua anugerah dari Tuhan ini bisa dengan mudah membuat Romo Frans rileks. Tapi nyatanya, ketenangan hati itu tak juga datang menghampiri. Metode duniawi yang ia pilih tetap tak membuahkan hasil. Kedua telapak tangannya masih basah kuyup dan bahkan kini menjadi sedikit gemetaran.
"Romo Frans?"
Suara yang tidak asing itu sedikit membuat Romo Frans terkaget. Buru-buru disentilnya sebatang rokok yang baru dihisapnya dua kali itu jauh-jauh, sebelum dia menoleh ke arah suara. Di sana, Bruder Daniel -salah satu pastor muda- berjalan mendekat dengan sebuah senyum mengembang di bibir. "Saya cari kemana-mana ndak ketemu, ternyata Romo lagi nyantai di sini. Kenapa ndak suruh saya bikin kopi?"
Kurang ajar sekali anak muda ini menyindirku! Romo Frans mendesah. Andai dia tahu bahwa yang datang adalah Daniel, tak perlu dia buang rokok yang masih panjang umurnya itu. "Habis ini memang saya mau suruh kamu bikin kopi. Ada apa, Daniel?"
"Ada tamu Romo. Dan sepertinya saya harus bikin kopi dua cangkir."
Jawaban Bruder Daniel barusan, menyadarkan Romo Frans bahwa si Pastur muda ini ternyata tak datang sendirian. Ada seseorang lain yang berjalan di belakang. Seseorang lain yang tak pernah dia duga akan datang berkunjung hari ini.
"Sari?" Romo Frans berdiri dari duduknya. Berusaha menunjukkan gestur ramah walau wajahnya masih tampak keheranan.
Sari, perempuan itu menganggukkan kepala dan berhenti satu langkah di depan Daniel. "Aku kira Romo sudah berhenti merokok sejak tiga tahun lalu?"
"Ndak sering. Cuma sesekali saja." Romo Frans bukannya tidak senang didatangi seorang kawan lama seperti ini. Tapi dia merasa ada yang berbeda. Dia mengenal Sari sudah sejak lama, dan baru kali ini pemilik Panti asuhan itu terlihat begitu gamang. Wajahnya pucat dan terlihat sangat lelah. Pun sepasang matanya begitu redup seperti seseorang yang sudah tidak tidur tiga hari.
Apakah ini muara dari keresahan dan kegelisahan yang menderaku sejak tadi pagi? Romo Frans mendekat dua langkah ke depan. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan di hatinya.
"Saya bertemu dengan seorang anak Tuhan yang malang dan tersesat dalam kegelapan, Romo." Ada getar di suara Sari. Sepasang mata yang redup itu berkaca, ada tangis yang berusaha ditahan sekuat tenaga. "Dan dia membutuhkan bantuan untuk dituntun menuju cahaya. Romo Frans bisa datang ke Panti sekarang bersama saya?"
Langit sore perlahan berubah menjadi gelap. Matahari sudah berada di peraduan, berganti dengan malam yang merangkak menguasai hari. Tanpa bertanya lebih dalam, Romo Frans mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Sari. Banyak hal di dunia ini yang mungkin bisa disembunyikan, tapi aura hitam pekat yang menempel di seluruh raga Sari bisa dia rasakan dengan sangat jelas.
"Kasih saya waktu sepuluh menit buat siap-siap ya, Sari?" Romo Frans memegang pundak Sari, kemudian matanya menoleh ke arah Bruder Daniel yang masih berdiri mematung di belakang situ. "Kamu ikut temani saya ke sana, Daniel."
Pertanda apa ini, Tuhan?Dia membatin sambil menghela nafas panjang. Sudah dia coba melantunkan doa-doa untuk ketenangan hati, tapi percuma saja. Kegelisahan yang tak jelas asal dan sebabnya itu tak jua berhenti mendera.
Menjelang sore tiba, seusai kelas selesai dan semua pastor muda keluar dari ruangan, Romo Frans memilih jalur duniawi dalam usahanya untuk mengusir perasaan yang tidak nyaman itu. Dia beranjak melewati pintu belakang ruangan dan berjalan lurus melewati jalan setapak yang mengarah ke bagian belakang gereja. Di sana, terhampar taman rumput dengan beberapa gazebo yang biasa dipakai untuk beristirahat atau mengobrol ringan.
Romo Frans mengambil duduk di salah satu gazebo. Tangan kanannya merogoh saku dan dari sana keluar sebungkus rokok lengkap dengan korek kayu yang kemudian dia ambil sebatang sebelum dia letakkan di mulutnya. Korek digesek, dan apinya membakar penuh ujung dari batang rokok.
Dia menghisap dalam-dalam sambil kedua matanya setengah terkatup. Khidmat sekali, nikotin masuk dan mengalir ke seluruh tubuh. Tambah nikmat dengan iringan angin sepoi dan aroma udara sore hari yang berpadu dengan ketenangan di tempat ini. Seharusnya...ya, seharusnya semua anugerah dari Tuhan ini bisa dengan mudah membuat Romo Frans rileks. Tapi nyatanya, ketenangan hati itu tak juga datang menghampiri. Metode duniawi yang ia pilih tetap tak membuahkan hasil. Kedua telapak tangannya masih basah kuyup dan bahkan kini menjadi sedikit gemetaran.
"Romo Frans?"
Suara yang tidak asing itu sedikit membuat Romo Frans terkaget. Buru-buru disentilnya sebatang rokok yang baru dihisapnya dua kali itu jauh-jauh, sebelum dia menoleh ke arah suara. Di sana, Bruder Daniel -salah satu pastor muda- berjalan mendekat dengan sebuah senyum mengembang di bibir. "Saya cari kemana-mana ndak ketemu, ternyata Romo lagi nyantai di sini. Kenapa ndak suruh saya bikin kopi?"
Kurang ajar sekali anak muda ini menyindirku! Romo Frans mendesah. Andai dia tahu bahwa yang datang adalah Daniel, tak perlu dia buang rokok yang masih panjang umurnya itu. "Habis ini memang saya mau suruh kamu bikin kopi. Ada apa, Daniel?"
"Ada tamu Romo. Dan sepertinya saya harus bikin kopi dua cangkir."
Jawaban Bruder Daniel barusan, menyadarkan Romo Frans bahwa si Pastur muda ini ternyata tak datang sendirian. Ada seseorang lain yang berjalan di belakang. Seseorang lain yang tak pernah dia duga akan datang berkunjung hari ini.
"Sari?" Romo Frans berdiri dari duduknya. Berusaha menunjukkan gestur ramah walau wajahnya masih tampak keheranan.
Sari, perempuan itu menganggukkan kepala dan berhenti satu langkah di depan Daniel. "Aku kira Romo sudah berhenti merokok sejak tiga tahun lalu?"
"Ndak sering. Cuma sesekali saja." Romo Frans bukannya tidak senang didatangi seorang kawan lama seperti ini. Tapi dia merasa ada yang berbeda. Dia mengenal Sari sudah sejak lama, dan baru kali ini pemilik Panti asuhan itu terlihat begitu gamang. Wajahnya pucat dan terlihat sangat lelah. Pun sepasang matanya begitu redup seperti seseorang yang sudah tidak tidur tiga hari.
Apakah ini muara dari keresahan dan kegelisahan yang menderaku sejak tadi pagi? Romo Frans mendekat dua langkah ke depan. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan di hatinya.
"Saya bertemu dengan seorang anak Tuhan yang malang dan tersesat dalam kegelapan, Romo." Ada getar di suara Sari. Sepasang mata yang redup itu berkaca, ada tangis yang berusaha ditahan sekuat tenaga. "Dan dia membutuhkan bantuan untuk dituntun menuju cahaya. Romo Frans bisa datang ke Panti sekarang bersama saya?"
Langit sore perlahan berubah menjadi gelap. Matahari sudah berada di peraduan, berganti dengan malam yang merangkak menguasai hari. Tanpa bertanya lebih dalam, Romo Frans mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Sari. Banyak hal di dunia ini yang mungkin bisa disembunyikan, tapi aura hitam pekat yang menempel di seluruh raga Sari bisa dia rasakan dengan sangat jelas.
"Kasih saya waktu sepuluh menit buat siap-siap ya, Sari?" Romo Frans memegang pundak Sari, kemudian matanya menoleh ke arah Bruder Daniel yang masih berdiri mematung di belakang situ. "Kamu ikut temani saya ke sana, Daniel."
Quote:
Setelah meminta pria yang mengantarkan Ibu Sari ke gereja dengan motor itu pulang terlebih dulu, Bruder Daniel kemudian masuk kembali ke dalam dan menyiapkan keperluan Romo Frans. Stola berwarna merah, buku doa-doa eksorsisme, salib dan minyak suci. Semuanya dikumpulkan Bruder Daniel di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam tas besar yang nanti akan dia bawa.
"Kamu mau ngapain bawa semua itu, Daniel?" Suara dari arah belakang itu nyaris membuat Bruder Daniel melompat karena kaget. Di sana, Romo Frans berdiri dengan setelan yang sama sekali tidak nampak seperti seorang yang akan berangkat melakukan ritual pengusiran iblis. Hanya kaos polo warna abu yang dimasukkan dengan rapi ke dalam celana jeans panjang dengan luaran jaket berwarna hitam. "Kita belum tahu kondisinya seperti apa. Kalau nanti ternyata memang dibutuhkan, lebih baik dibawa ke gereja saja. Tapi aku yakin kondisinya tidak segawat itu."
Bruder Daniel menganggukkan kepala. Dia kembalikan lagi semua perlengkapan ke tempat semula. "Jadi, saya bawa apa ini Romo?"
"Kunci mobil. Kamu nyetir."
Dan begitulah akhirnya. Bruder Daniel, bersama Romo Frans di samping kemudi dan Ibu Sari di jok belakang, melaju membelah malam yang masih muda. Meninggalkan gereja yang berada di jantung kota, dan menyusuri jalanan menuju Panti yang berjarak delapan kilometer jauhnya.
Panti Asuhan milik Ibu Sari ini berada di daerah lereng pegunungan. Agak terpencil, dan berada di pinggir jalur lingkar selatan yang biasa dilalui kendaraan berat seperti truk dari kota tetangga. Bruder Daniel memang belum pernah datang berkunjung ke panti itu, tapi dia sudah sering melewatinya terutama ketika dia dan teman-teman sesama pastur muda sedang berlibur dan mengisinya dengan kegiatan outdoor seperti camping atau mendaki gunung.
Tak ada firasat buruk apapun, walau Ibu Sari dan Romo Frans terus membisu di sepanjang perjalanan. Malam terlihat cerah dengan bintang-bintang bertebaran di langit malam. Begitupun dengan perjalanan yang begitu lancar nyaris tanpa ada halangan apapun; kecuali sedikit macet di lampu merah perempatan Pasar Sapi dan itupun tak lebih dari lima menit sebelum jalanan kembali lancar.
Setelah masuk jalur lintas kota S-M, mobil terus melaju di medan yang menanjak dan berkelok. Setelah beberapa kilometer berlalu, Romo Frans memeberi aba-aba untuk mengarahkan mobil berbelok ke kiri tepat di pertigaan dekat sebuah warung makan yang cukup besar dan ramai oleh pengunjung yang kelaparan seusai berlibur bersama keluarga mereka.
Dengan sigap Bruder Daniel memutar kemudi ke kiri, membawa mobil masuk ke jalan yang lebih sempit dengan pemandangan hutan khas lereng pegunungan di kanan dan kiri. Dia tahu, ini jalan pintas yang biasa dipakai untuk menuju pos pendakian gunung A*****.
"Dari sini lurus saja, nanti tempatnya di kanan jalan sekitar satu kilometer lagi." Ucap Romo Frans memberikan navigasi lanjutan.
Bruder Daniel mengangguk kecil sambil kedua kakinya lincah menginjak pedal gas, kopling dan rem secara bergantian. Mengendalikan mobil di jalur yang kini makin sulit dibandingkan jalur lintas kota tadi. Beruntungnya jalan yang mereka lalui ini sudah diaspal halus, langit terang dan kabut tidak turun sama sekali. Begitupun dengan kondisi lalu lintas yang nampak lengang dan sepi.
Tapi makin jauh masuk ke dalam, Bruder Daniel mulai merasakan sesuatu yang sedikit menganggu pikirannya. Kenapa jalanan ini rasanya menjadi terlalu lengang? Ini baru jam tujuh kurang lima belas menit, memang sudah malam. Tapi seingatnya, sejak masuk ke jalan ini tadi belum sekalipun Bruder Daniel berpapasan dengan kendaraan lain. Entah sepeda motor, sesama mobil atau satupun pejalan kaki. Bahkan truk-truk dari kota M****** yang biasa memilih lewat sini untuk menghindari keramaian lalu lintas, juga tak tampak melintas baik dari arah berlawanan maupun sebaliknya.
Di titik inilah, Bruder Daniel mulai dilanda keresahan. Ada sesuatu yang berbeda, dia merasakannya. Suatu atmosfir yang kelam dan membuatnya tidak nyaman. Sesekali dia menoleh sekilas ke pinggir jalan, dimana rumah-rumah warga dan warung-warung semi permanen yang berjarak cukup jauh satu sama lain, nampak tertutup dengan rapat. Sama sekali tak ada kehidupan.
"Nanti biar aku lihat kondisinya dulu." Untungnya, ditengah suasana yang terasa makin mencekam itu, Romo Frans memulai sebuah percakapan dengan Ibu Sari yang duduk di belakang. Setidaknya suasana menjadi lebih cair. "Kalau memang dirasa mengkhawatirkan, biar aku bawa ke gereja saja."
Bruder Daniel tidak mengerti kenapa Romo Frans seakan menghindari kalimat Ritus Eksorsismeuntuk diucapkan, baik kepada dirinya maupun kepada Ibu Sari. Dia lebih memilih menggantinya dengan kalimat di bawa ke gereja saja, walau dia rasa semua orang di dalam mobil ini tahu apa maksudnya.
Tapi yang paling mengejutkan, tentu adalah jawaban dari Ibu Sari sendiri.
"Mboten (tidak) Romo! Dia tidak boleh kemana-mana dan akan tetap tinggal di Panti saya!" Jawaban itu terdengar begitu tajam walau diucapkan dengan nada yang sebenarnya datar-datar saja. Seketika, Bruder Daniel melirik ke arah Romo Frans dan ternyata Romo Frans melakukan hal yang sama. Seakan dalam diam, keduanya saling mengerti bahwa ada yang tidak beres dengan Ibu Sari.
Kebekuan tercipta beberapa detik, kemudian Romo Frans berdehem kecil sebelum berbicara. "Tapi, apa tidak meng..."
"Saya sudah memutuskan, Romo! Kalau Romo Frans keberatan, saya bisa turun di sini dan pulang ke tempat saya sendiri! Romo silakan balik arah dan kembali saja ke Gereja!" Kali ini bahkan Ibu Sari berani memotong kalimat Romo Frans dengan nada bicara yang makin meninggi. Seakan tak berusaha ditutupinya lagi kemarahan atas tawaran Romo Frans yang sebenarnya sama sekali tidak salah.
Bruder Daniel dibuat makin mati gaya. Dia sama sekali tidak siap dengan konflik yang datangnya begitu tiba-tiba ini. Dan mungkin, Romo Frans merasakan hal yang sama. "Oke, oke! Aku ndak akan bawa dia kemana-mana. Daniel, di depan itu belok kiri!"
Tepat di kanan jalan seperti yang ditunjuk oleh Romo Frans, Daniel melihat dengan jelas papan kayu bertuliskan PANTI SOSIAL KASIH BUNDA. Tapi ada sesuatu yang janggal...
Sepertinya, dia melihat ada seseorang yang berdiri di bawah papan nama itu. Tapi suasana terlalu samar untuk memastikan siapa yang berdiri di depan sana. Untuk memastikan, Bruder Daniel menyalakan lampu jauh mobilnya. Dan benar saja, seorang laki-laki paruh baya yang masih Bruder Daniel ingat sebagai laki-laki yang sama yang mengantarkan Ibu Sari ke Gereja tadi sore, menutupi kedua matanya dengan tangan akibat silau dengan tembakan lampu jauh Bruder Daniel.
"Lho, bukannya itu yang nganter kamu ke gereja tadi ya Sari?" Romo Frans tampaknya juga menyadari keberadaan laki-laki itu.
Seakan lupa dengan kemarahannya semenit yang lalu, Ibu Sari jadi ikut penasaran dan sedikit memiringkan kepalanya mendekat ke arah kaca mobil agar pandangannya bisa lebih jelas melihat apa yang sedang terjadi di depan sana. “Iya, itu Samsul. Kenapa dia ada di depan situ?”
Bruder Daniel memutar kemudi jauh ke kanan. Bersiap untuk memasuki pagar besi yang terbuka lebar. Tapi, pria yang ternyata bernama Samsul itu segera berlari menutup jalur dan meminta mobil untuk berhenti. Terlihat mulutnya terus bergerak-gerak seakan memberitahukan sesuatu, tapi tak terdengar karena kalah keras dengan suara deru mesin mobil.
"Ini gimana, Romo?" Bruder Daniel memandangi Romo Frans dan Ibu Sari bergantian, yang ternyata mereka juga tak kalah bingung dan panik.
Romo Frans tidak menjawab. Dia memutar turun jendela mobil dan meminta Samsu mendekat ke arahnya. Mungkin maksud hati mau bertanya apa yang terjadi. Tapi belum sempat satu katapun terucap, Samsu sudah memberondongnya lebih dulu dengan laporan yang diucapkan dengan cepat, panik dan tergesa-gesa.
"Anu...maaf, niku Joyo semaput! (Anu...maaf, itu Joyo jatuh pingsan!)" Samsul bahkan harus menelan ludah untuk menuntaskan kalimatnya sendiri. "Terus kamare Yuli sampun kebuka. Tiyange ilang!(Terus kamarnya Yuli terbuka. Orangnya hilang!)"
Nyaris bersamaan, Romo Frans dan Ibu Sari langsung membuka pintu mobil kemudian menghamburkan tubuh mereka keluar. Keduanya, diikuti Samsul di belakang, berlari secepat kilat ke dalam Panti. Meninggalkan Bruder Daniel sendirian di dalam mobil dengan mesin yang masih menyala. Dia bingung. Dalam kekacauan yang datangnya begitu tiba-tiba ini, dia tak tahu harus berbuat apa.
Oke, tenang! Bruder Daniel menarik nafas dalam-dalam. Mungkin yang pertama, mobil harus dibawa masuk dan diparkir dulu di dalam sana. Dengan kaki gemetar karena takut campur panik, Bruder Daniel menginjak gas perlahan-lahan sambil matanya mencari-cari tanah lapang yang ideal untuk dijadikan tempat parkiran. Tapi momen berikutnya, membuat ketakutan Bruder Daniel makin memuncak sampai-sampai dia refleks melepaskan kakinya dari pedal gas dan berganti menginjak rem dalam-dalam.
"Yuliiiiiiiii!!!" Teriakan itu memecah malam, teriakan dari Ibu Sari yang begitu histeris dan membuat bulu roma berdiri tegak.
"Kamu mau ngapain bawa semua itu, Daniel?" Suara dari arah belakang itu nyaris membuat Bruder Daniel melompat karena kaget. Di sana, Romo Frans berdiri dengan setelan yang sama sekali tidak nampak seperti seorang yang akan berangkat melakukan ritual pengusiran iblis. Hanya kaos polo warna abu yang dimasukkan dengan rapi ke dalam celana jeans panjang dengan luaran jaket berwarna hitam. "Kita belum tahu kondisinya seperti apa. Kalau nanti ternyata memang dibutuhkan, lebih baik dibawa ke gereja saja. Tapi aku yakin kondisinya tidak segawat itu."
Bruder Daniel menganggukkan kepala. Dia kembalikan lagi semua perlengkapan ke tempat semula. "Jadi, saya bawa apa ini Romo?"
"Kunci mobil. Kamu nyetir."
Dan begitulah akhirnya. Bruder Daniel, bersama Romo Frans di samping kemudi dan Ibu Sari di jok belakang, melaju membelah malam yang masih muda. Meninggalkan gereja yang berada di jantung kota, dan menyusuri jalanan menuju Panti yang berjarak delapan kilometer jauhnya.
Panti Asuhan milik Ibu Sari ini berada di daerah lereng pegunungan. Agak terpencil, dan berada di pinggir jalur lingkar selatan yang biasa dilalui kendaraan berat seperti truk dari kota tetangga. Bruder Daniel memang belum pernah datang berkunjung ke panti itu, tapi dia sudah sering melewatinya terutama ketika dia dan teman-teman sesama pastur muda sedang berlibur dan mengisinya dengan kegiatan outdoor seperti camping atau mendaki gunung.
Tak ada firasat buruk apapun, walau Ibu Sari dan Romo Frans terus membisu di sepanjang perjalanan. Malam terlihat cerah dengan bintang-bintang bertebaran di langit malam. Begitupun dengan perjalanan yang begitu lancar nyaris tanpa ada halangan apapun; kecuali sedikit macet di lampu merah perempatan Pasar Sapi dan itupun tak lebih dari lima menit sebelum jalanan kembali lancar.
Setelah masuk jalur lintas kota S-M, mobil terus melaju di medan yang menanjak dan berkelok. Setelah beberapa kilometer berlalu, Romo Frans memeberi aba-aba untuk mengarahkan mobil berbelok ke kiri tepat di pertigaan dekat sebuah warung makan yang cukup besar dan ramai oleh pengunjung yang kelaparan seusai berlibur bersama keluarga mereka.
Dengan sigap Bruder Daniel memutar kemudi ke kiri, membawa mobil masuk ke jalan yang lebih sempit dengan pemandangan hutan khas lereng pegunungan di kanan dan kiri. Dia tahu, ini jalan pintas yang biasa dipakai untuk menuju pos pendakian gunung A*****.
"Dari sini lurus saja, nanti tempatnya di kanan jalan sekitar satu kilometer lagi." Ucap Romo Frans memberikan navigasi lanjutan.
Bruder Daniel mengangguk kecil sambil kedua kakinya lincah menginjak pedal gas, kopling dan rem secara bergantian. Mengendalikan mobil di jalur yang kini makin sulit dibandingkan jalur lintas kota tadi. Beruntungnya jalan yang mereka lalui ini sudah diaspal halus, langit terang dan kabut tidak turun sama sekali. Begitupun dengan kondisi lalu lintas yang nampak lengang dan sepi.
Tapi makin jauh masuk ke dalam, Bruder Daniel mulai merasakan sesuatu yang sedikit menganggu pikirannya. Kenapa jalanan ini rasanya menjadi terlalu lengang? Ini baru jam tujuh kurang lima belas menit, memang sudah malam. Tapi seingatnya, sejak masuk ke jalan ini tadi belum sekalipun Bruder Daniel berpapasan dengan kendaraan lain. Entah sepeda motor, sesama mobil atau satupun pejalan kaki. Bahkan truk-truk dari kota M****** yang biasa memilih lewat sini untuk menghindari keramaian lalu lintas, juga tak tampak melintas baik dari arah berlawanan maupun sebaliknya.
Di titik inilah, Bruder Daniel mulai dilanda keresahan. Ada sesuatu yang berbeda, dia merasakannya. Suatu atmosfir yang kelam dan membuatnya tidak nyaman. Sesekali dia menoleh sekilas ke pinggir jalan, dimana rumah-rumah warga dan warung-warung semi permanen yang berjarak cukup jauh satu sama lain, nampak tertutup dengan rapat. Sama sekali tak ada kehidupan.
"Nanti biar aku lihat kondisinya dulu." Untungnya, ditengah suasana yang terasa makin mencekam itu, Romo Frans memulai sebuah percakapan dengan Ibu Sari yang duduk di belakang. Setidaknya suasana menjadi lebih cair. "Kalau memang dirasa mengkhawatirkan, biar aku bawa ke gereja saja."
Bruder Daniel tidak mengerti kenapa Romo Frans seakan menghindari kalimat Ritus Eksorsismeuntuk diucapkan, baik kepada dirinya maupun kepada Ibu Sari. Dia lebih memilih menggantinya dengan kalimat di bawa ke gereja saja, walau dia rasa semua orang di dalam mobil ini tahu apa maksudnya.
Tapi yang paling mengejutkan, tentu adalah jawaban dari Ibu Sari sendiri.
"Mboten (tidak) Romo! Dia tidak boleh kemana-mana dan akan tetap tinggal di Panti saya!" Jawaban itu terdengar begitu tajam walau diucapkan dengan nada yang sebenarnya datar-datar saja. Seketika, Bruder Daniel melirik ke arah Romo Frans dan ternyata Romo Frans melakukan hal yang sama. Seakan dalam diam, keduanya saling mengerti bahwa ada yang tidak beres dengan Ibu Sari.
Kebekuan tercipta beberapa detik, kemudian Romo Frans berdehem kecil sebelum berbicara. "Tapi, apa tidak meng..."
"Saya sudah memutuskan, Romo! Kalau Romo Frans keberatan, saya bisa turun di sini dan pulang ke tempat saya sendiri! Romo silakan balik arah dan kembali saja ke Gereja!" Kali ini bahkan Ibu Sari berani memotong kalimat Romo Frans dengan nada bicara yang makin meninggi. Seakan tak berusaha ditutupinya lagi kemarahan atas tawaran Romo Frans yang sebenarnya sama sekali tidak salah.
Bruder Daniel dibuat makin mati gaya. Dia sama sekali tidak siap dengan konflik yang datangnya begitu tiba-tiba ini. Dan mungkin, Romo Frans merasakan hal yang sama. "Oke, oke! Aku ndak akan bawa dia kemana-mana. Daniel, di depan itu belok kiri!"
Tepat di kanan jalan seperti yang ditunjuk oleh Romo Frans, Daniel melihat dengan jelas papan kayu bertuliskan PANTI SOSIAL KASIH BUNDA. Tapi ada sesuatu yang janggal...
Sepertinya, dia melihat ada seseorang yang berdiri di bawah papan nama itu. Tapi suasana terlalu samar untuk memastikan siapa yang berdiri di depan sana. Untuk memastikan, Bruder Daniel menyalakan lampu jauh mobilnya. Dan benar saja, seorang laki-laki paruh baya yang masih Bruder Daniel ingat sebagai laki-laki yang sama yang mengantarkan Ibu Sari ke Gereja tadi sore, menutupi kedua matanya dengan tangan akibat silau dengan tembakan lampu jauh Bruder Daniel.
"Lho, bukannya itu yang nganter kamu ke gereja tadi ya Sari?" Romo Frans tampaknya juga menyadari keberadaan laki-laki itu.
Seakan lupa dengan kemarahannya semenit yang lalu, Ibu Sari jadi ikut penasaran dan sedikit memiringkan kepalanya mendekat ke arah kaca mobil agar pandangannya bisa lebih jelas melihat apa yang sedang terjadi di depan sana. “Iya, itu Samsul. Kenapa dia ada di depan situ?”
Bruder Daniel memutar kemudi jauh ke kanan. Bersiap untuk memasuki pagar besi yang terbuka lebar. Tapi, pria yang ternyata bernama Samsul itu segera berlari menutup jalur dan meminta mobil untuk berhenti. Terlihat mulutnya terus bergerak-gerak seakan memberitahukan sesuatu, tapi tak terdengar karena kalah keras dengan suara deru mesin mobil.
"Ini gimana, Romo?" Bruder Daniel memandangi Romo Frans dan Ibu Sari bergantian, yang ternyata mereka juga tak kalah bingung dan panik.
Romo Frans tidak menjawab. Dia memutar turun jendela mobil dan meminta Samsu mendekat ke arahnya. Mungkin maksud hati mau bertanya apa yang terjadi. Tapi belum sempat satu katapun terucap, Samsu sudah memberondongnya lebih dulu dengan laporan yang diucapkan dengan cepat, panik dan tergesa-gesa.
"Anu...maaf, niku Joyo semaput! (Anu...maaf, itu Joyo jatuh pingsan!)" Samsul bahkan harus menelan ludah untuk menuntaskan kalimatnya sendiri. "Terus kamare Yuli sampun kebuka. Tiyange ilang!(Terus kamarnya Yuli terbuka. Orangnya hilang!)"
Nyaris bersamaan, Romo Frans dan Ibu Sari langsung membuka pintu mobil kemudian menghamburkan tubuh mereka keluar. Keduanya, diikuti Samsul di belakang, berlari secepat kilat ke dalam Panti. Meninggalkan Bruder Daniel sendirian di dalam mobil dengan mesin yang masih menyala. Dia bingung. Dalam kekacauan yang datangnya begitu tiba-tiba ini, dia tak tahu harus berbuat apa.
Oke, tenang! Bruder Daniel menarik nafas dalam-dalam. Mungkin yang pertama, mobil harus dibawa masuk dan diparkir dulu di dalam sana. Dengan kaki gemetar karena takut campur panik, Bruder Daniel menginjak gas perlahan-lahan sambil matanya mencari-cari tanah lapang yang ideal untuk dijadikan tempat parkiran. Tapi momen berikutnya, membuat ketakutan Bruder Daniel makin memuncak sampai-sampai dia refleks melepaskan kakinya dari pedal gas dan berganti menginjak rem dalam-dalam.
"Yuliiiiiiiii!!!" Teriakan itu memecah malam, teriakan dari Ibu Sari yang begitu histeris dan membuat bulu roma berdiri tegak.
jondero dan 40 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup