- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
r4zor dan 259 lainnya memberi reputasi
238
305.4K
Kutip
2.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#975
BAGIAN 26
Quote:
Theo memutuskan kembali terlebih dahulu ke hotel tempatnya menginap, sambil menunggu waktu untuk berangkat ke Panti Sosial itu bersama Dokter Herlambang. Ada banyak cukup waktu untuk menyenderkan punggung dan mempersiapkan semuanya. Di lobi, dia sempatkan untuk mampir sejenak ke bar di pojok sana. Memesan satu botol wine untuk diantar ke kamarnya.
Toh, tidak ada salahnya untuk minum sedikit sambil tiduran di ranjang empuk ukuran besar di atas sana. Anggap saja merayakan keberhasilannya menemukan lokasi target yang bernilai lima ratus juta rupiah itu. Target yang sampai membuat Theo terbang dari Jakarta menuju desa terpencil di Jawa sebelum akhirnya dia sampai di Kota ini.
Pemberhentian terakhir. Ujung dari perburuannya. Theo tersenyum sendiri, kemudian berlalu sambil melambaikan tangan ke waiters perempuan berwajah putih cantik yang tadi sempat dia endus sembunyi-sembunyi. Malam tadi, perempuan itu tidak pulang ke rumahnya. Dia, entah dengan alasan apa, bisa mengelabuhi sang suami dan pergi ke rumah selingkuhannya. Theo membatin. Mengolah hasil endusannya di dalam otak dan mengambil kesimpulan kemudian.
Ada dua aroma tubuh lelaki yang berbeda, menyeruak dari tubuh perempuan itu. Yang satu beraroma sedikit keras dan masih tampak baru, sedang yang satu sudah agak memudar namun terasa ada aroma yang lebih lembut.
Tapi Theo tidak mau lebih jauh mencampuri urusan orang lain. Dengan menggunakan lift, dia naik menuju lantai lima dan kemudian membuka pintu kamar nomor 410. Dan sebelum dia melepaskan kemeja dan menenggalamkan diri di atas ranjang, Theo meraih telepon di atas meja. Setelah memencet beberapa nomor dan panggilan itu diangkat dari seberang sana, Theo berucap singkat, jelas dan tanpa basa-basi.
"Lokasi target udah ketemu. Nanti pukul setengah enam sore menuju kesana. Gue butuh waktu satu jam buat buat bawa target keluar dari sana dan dua jam untuk nganterin dia ke titik pertemuan di kota Y."
Theo menutup telepon sebelum suara di seberang sempat menjawab atau berkata apapun. Dia kemudian benar-benar melepaskan kemejanya dan melompat ke atas ranjang. Sambil memandang kosong ke langit-langit kamar, tangan kanan Theo merogoh ke dalam saku celana. Dari dalam sana, tampak secarik kain kusam berada dalam genggaman. Kain kusam yang diyakini Theo dulu berwarna putih bersih, sebelum dia makin menguning seiring berjalannya waktu.
Kain ini adalah kunci. Theo mengarahkannnya mendekat ke hidung, sebelum menghirupnya dalam-dalam.
Aroma ini. Aroma dari kesakitan, dendam, dan kegilaan inilah...yang akan menjadi penuntunku dalam sebuah perburuan.
Toh, tidak ada salahnya untuk minum sedikit sambil tiduran di ranjang empuk ukuran besar di atas sana. Anggap saja merayakan keberhasilannya menemukan lokasi target yang bernilai lima ratus juta rupiah itu. Target yang sampai membuat Theo terbang dari Jakarta menuju desa terpencil di Jawa sebelum akhirnya dia sampai di Kota ini.
Pemberhentian terakhir. Ujung dari perburuannya. Theo tersenyum sendiri, kemudian berlalu sambil melambaikan tangan ke waiters perempuan berwajah putih cantik yang tadi sempat dia endus sembunyi-sembunyi. Malam tadi, perempuan itu tidak pulang ke rumahnya. Dia, entah dengan alasan apa, bisa mengelabuhi sang suami dan pergi ke rumah selingkuhannya. Theo membatin. Mengolah hasil endusannya di dalam otak dan mengambil kesimpulan kemudian.
Ada dua aroma tubuh lelaki yang berbeda, menyeruak dari tubuh perempuan itu. Yang satu beraroma sedikit keras dan masih tampak baru, sedang yang satu sudah agak memudar namun terasa ada aroma yang lebih lembut.
Tapi Theo tidak mau lebih jauh mencampuri urusan orang lain. Dengan menggunakan lift, dia naik menuju lantai lima dan kemudian membuka pintu kamar nomor 410. Dan sebelum dia melepaskan kemeja dan menenggalamkan diri di atas ranjang, Theo meraih telepon di atas meja. Setelah memencet beberapa nomor dan panggilan itu diangkat dari seberang sana, Theo berucap singkat, jelas dan tanpa basa-basi.
"Lokasi target udah ketemu. Nanti pukul setengah enam sore menuju kesana. Gue butuh waktu satu jam buat buat bawa target keluar dari sana dan dua jam untuk nganterin dia ke titik pertemuan di kota Y."
Theo menutup telepon sebelum suara di seberang sempat menjawab atau berkata apapun. Dia kemudian benar-benar melepaskan kemejanya dan melompat ke atas ranjang. Sambil memandang kosong ke langit-langit kamar, tangan kanan Theo merogoh ke dalam saku celana. Dari dalam sana, tampak secarik kain kusam berada dalam genggaman. Kain kusam yang diyakini Theo dulu berwarna putih bersih, sebelum dia makin menguning seiring berjalannya waktu.
Kain ini adalah kunci. Theo mengarahkannnya mendekat ke hidung, sebelum menghirupnya dalam-dalam.
Aroma ini. Aroma dari kesakitan, dendam, dan kegilaan inilah...yang akan menjadi penuntunku dalam sebuah perburuan.
Quote:
Sebelumnya...
Di sebuah ruangan besar di salah satu lantai gedung pencakar langit di tengah belantara Ibukota (yang jika disebut namanya semua orang pasti pernah mendengar atau melihatnya) itu, Theo dihadapkan pada tiga orang paruh baya dengan gestur tenang namum memiliki aura kekuasaan yang sedemikian kuat.
Hanya satu yang dia kenal. Kuncoro namanya. Sedangkan dua lainnya, Theo baru bertemu sekali ini. Tapi apa pedulinya? Yang terpenting saat ini adalah Theo mendapatkan proyek ini, dan membawa pulang uang komisi yang sudah tertulis dalam kontrak.
"Tapi seperti yang pernah gue bilang, ini adalah yang terakhir! Selesai ini, selesai juga tugas gue buat nyari-nyari orang seperti biasa." Theo berujar sambil menatap ketiga orang tua itu bergantian. Tak ada rasa ragu, keputusannya sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat.
Kuncoro tampak hanya mengangkat bahu, seakan ingin menunjukkan pada Theo bahwa dia tak terlalu peduli dengan semua itu.
Salah satu dari mereka kemudian bangkit dari duduknya. Melangkah perlahan ke arah Theo sambil mengambil sesuatu dari balik jas hitamnya. Sesuatu yang kemudian dilemparkan begitu saja ke atas meja. Mata Theo menelisik ke arah benda itu. Sebuah tiket pesawat.
"Kamu, kan ahli dalam mengendus. Seperti anjing. Bahkan saya dengar, indera penciumanmu lebih tajam dari dachsund terbaik di dunia sekalipun." Orang itu berkata dingin sedingin tatapan matanya. Tapi Theo tidak terkesan. Dia lebih tertarik dengan lembaran tiket tersebut. Kemana takdir akan membawanya pergi kali ini?
"Gue bukan anjing." Theo bangkit, tangannya meraih cepat tiket yang ada di hadapannya. "Tapi memang betul gue punya bakat. Dengan mengendus aroma asli dari target, gue bisa mendapatkan penglihatan tentang apapun yang kalian butuhkan.”
Pria di hadapannya mengangguk kecil sambil tersenyum puas. Melepas kepergian Theo yang berbalik badan dan melenggang keluar ruangan.
Dan tak lebih dari 24 jam setelah pertemuan itu, Theo sudah berpindah dari riuhnya Ibukota menuju sebuah kota yang terkenal dengan kebudayaan dan kearifan lokalnya. Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih satu jam, Theo kembali mengingat arahan dari Kuncoro. Katanya, seseorang akan menunggu dan memanggil namanya di pintu penjemputan bandara. Orang yang sama, yang akan mengantarkannya ke tempat tujuan.
Awalnya Theo pikir, si penjemput ini adalah anak buah Kuncoro atau salah satu dari kelompok elit itu. Di bayangannya orang itu akan mengenakan setelan jas rapi dan berdiri dengan dagu yang terangkat tinggi. Angkuh, elit dan seakan tak tersentuh oleh apapun atau siapapun.
Tapi ternyata dugaan Theo meleset.
"Bapak Theo?" Pria yang memanggil namanya itu adalah sosok paruh baya dengan setelan khas lelaki desa. Dia berdiri mematung di sudut sana, dengan punggung yang sedikit membungkuk seakan sedang menanggung beban sedemikian besar. Begitupun wajahnya yang terlihat begitu pucat, resah dan lemas seperti orang yang sudah tak makan selama dua hari.
Theo sedikit kaget ekspektasinya meleset jauh. Tapi bagaimanapun dia tetap menganggukkan kepala, sebelum keduanya berjalan saling mendekati satu sama lain. Logika Theo bekerja; setidakmeyakinkan apapun penampilan orang ini, tapi dia punya koneksi ke Kuncoro dan teman-temannya. Itu berarti, lelaki desa ini bukan orang sembarangan.
Dan dengan semakin dekatnya jarak di antara mereka berdua, semakin tercium pula aroma yang berasal dari si penjemput itu. Aroma yang masuk ke hidung dan kemudian terproses di otak Theo. Aroma itu, ah! Theo mengenalnya. Pria ini terjebak dalam ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa. Tapi sayangnya, dia tidak tahu dari mana asal dari rasa takut yang sedemikian besar itu.
"Nama saya Gunardi. Mari saya antar ke mobil, kita langsung saja berangkat ke Dusun saya." Ucapnya memperkenalkan diri dengan suara berat, dan seulas senyum yang jelas-jelas tampak dipaksakan.
Di sebuah ruangan besar di salah satu lantai gedung pencakar langit di tengah belantara Ibukota (yang jika disebut namanya semua orang pasti pernah mendengar atau melihatnya) itu, Theo dihadapkan pada tiga orang paruh baya dengan gestur tenang namum memiliki aura kekuasaan yang sedemikian kuat.
Hanya satu yang dia kenal. Kuncoro namanya. Sedangkan dua lainnya, Theo baru bertemu sekali ini. Tapi apa pedulinya? Yang terpenting saat ini adalah Theo mendapatkan proyek ini, dan membawa pulang uang komisi yang sudah tertulis dalam kontrak.
"Tapi seperti yang pernah gue bilang, ini adalah yang terakhir! Selesai ini, selesai juga tugas gue buat nyari-nyari orang seperti biasa." Theo berujar sambil menatap ketiga orang tua itu bergantian. Tak ada rasa ragu, keputusannya sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat.
Kuncoro tampak hanya mengangkat bahu, seakan ingin menunjukkan pada Theo bahwa dia tak terlalu peduli dengan semua itu.
Salah satu dari mereka kemudian bangkit dari duduknya. Melangkah perlahan ke arah Theo sambil mengambil sesuatu dari balik jas hitamnya. Sesuatu yang kemudian dilemparkan begitu saja ke atas meja. Mata Theo menelisik ke arah benda itu. Sebuah tiket pesawat.
"Kamu, kan ahli dalam mengendus. Seperti anjing. Bahkan saya dengar, indera penciumanmu lebih tajam dari dachsund terbaik di dunia sekalipun." Orang itu berkata dingin sedingin tatapan matanya. Tapi Theo tidak terkesan. Dia lebih tertarik dengan lembaran tiket tersebut. Kemana takdir akan membawanya pergi kali ini?
"Gue bukan anjing." Theo bangkit, tangannya meraih cepat tiket yang ada di hadapannya. "Tapi memang betul gue punya bakat. Dengan mengendus aroma asli dari target, gue bisa mendapatkan penglihatan tentang apapun yang kalian butuhkan.”
Pria di hadapannya mengangguk kecil sambil tersenyum puas. Melepas kepergian Theo yang berbalik badan dan melenggang keluar ruangan.
Dan tak lebih dari 24 jam setelah pertemuan itu, Theo sudah berpindah dari riuhnya Ibukota menuju sebuah kota yang terkenal dengan kebudayaan dan kearifan lokalnya. Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih satu jam, Theo kembali mengingat arahan dari Kuncoro. Katanya, seseorang akan menunggu dan memanggil namanya di pintu penjemputan bandara. Orang yang sama, yang akan mengantarkannya ke tempat tujuan.
Awalnya Theo pikir, si penjemput ini adalah anak buah Kuncoro atau salah satu dari kelompok elit itu. Di bayangannya orang itu akan mengenakan setelan jas rapi dan berdiri dengan dagu yang terangkat tinggi. Angkuh, elit dan seakan tak tersentuh oleh apapun atau siapapun.
Tapi ternyata dugaan Theo meleset.
"Bapak Theo?" Pria yang memanggil namanya itu adalah sosok paruh baya dengan setelan khas lelaki desa. Dia berdiri mematung di sudut sana, dengan punggung yang sedikit membungkuk seakan sedang menanggung beban sedemikian besar. Begitupun wajahnya yang terlihat begitu pucat, resah dan lemas seperti orang yang sudah tak makan selama dua hari.
Theo sedikit kaget ekspektasinya meleset jauh. Tapi bagaimanapun dia tetap menganggukkan kepala, sebelum keduanya berjalan saling mendekati satu sama lain. Logika Theo bekerja; setidakmeyakinkan apapun penampilan orang ini, tapi dia punya koneksi ke Kuncoro dan teman-temannya. Itu berarti, lelaki desa ini bukan orang sembarangan.
Dan dengan semakin dekatnya jarak di antara mereka berdua, semakin tercium pula aroma yang berasal dari si penjemput itu. Aroma yang masuk ke hidung dan kemudian terproses di otak Theo. Aroma itu, ah! Theo mengenalnya. Pria ini terjebak dalam ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa. Tapi sayangnya, dia tidak tahu dari mana asal dari rasa takut yang sedemikian besar itu.
"Nama saya Gunardi. Mari saya antar ke mobil, kita langsung saja berangkat ke Dusun saya." Ucapnya memperkenalkan diri dengan suara berat, dan seulas senyum yang jelas-jelas tampak dipaksakan.
Quote:
Yang terjadi selanjutnya, Mereka sama sekali tidak mengobrol satu sama lain. Entah kenapa, tapi Theo sudah kehilangan minat semenjak pertemuan pertama d pintu keluar bandara. Ketika pria itu memperkenalkan namanya, dan aroma yang menempel di tubuh Gunardi seketika menyeruak masuk ke indera penciuman Theo. Merangsang sel-sel di otaknya, sebelum kemudian memberinya gambaran samar tentang siapa sejatinya lelaki paruh baya berwajah pucat ini.
Dosa. Orang ini menghabiskan hidupnya dalam lautan dosa.
Dan untungnya, Gunardi juga nampak tak memiliki niat untuk membuka pembicaraan. Sepanjang perjalanan, yang dia lakukan hanya fokus pada kemudi mobil omprengan yang sama sekali tidak nyaman untuk ditumpangi dan gerahnya setengah mati. Walaupun Theo tahu, sesekali Gunardi melirik diam-diam melalui spion tengah dan kemudian buru-buru membuang muka ketika Theo menggerakkan sedikit tubuhnya. Seakan, Gunardi ingin tahu siapa orang suruhan dari Jakarta ini.
Bapak-bapak ini jelas penasaran kepadaku. Batin Theo sambil tersenyum kecil. Benar-benar berbeda dengan dirinya, yang tak perlu bertanya untuk menggali info tentang siapa yang kini berada satu mobil dengannya ini. Hanya butuh setengah jam sejak mobil ini keluar dari bandara, hidung Theo terus menghirup aroma dan kepalanya menafsirkan gambaran-gambaran samar yang muncul silih berganti.
Dia adalah sosok yang dihormati di lingkungannya. Sosok serupa pemimpin yang membangun monumen kepahlawanannya dengan tumpukan dosa dan kekejian. Semakin dalam Theo mencoba menyelami gambaran-gambaran itu, dia menemukan bahwa dosa yang telah dilakukan Gunardi bukanlah sembarang dosa. Ada perjanjian yang telah dilakukannya dengan sesuatu yang jahat dan hitam. Perjanjian yang telah distempel dengan darah dan menuntut imbalan yang tidak main-main; nyawa manusia.
Tapi sepertinya, perjanjian itu kini berbalik memburu Gunardi. Entah karena apa, penglihatan itu memiliki linimasa yang terlalu lampau. Kemampuan Theo tak mampu menjangkau masa lalu sejauh itu.
Toh, apa peduliku. Theo mengalihkan pandangan ke luar jendela, dimana mobil ini melaju dengan kecepatan sedang. Mulai meninggalkan lingkungan kota yang ramai riuh menuju daerah perbukitan dengan jalur naik turun dan panorama hutan terbentang di kiri kanan. Yang terpenting baginya sekarang adalah uang dari orang-orang berjas di Jakarta itu setelah tugas ini selesai. Uang yang memiliki arti lebih dari sekadar materi bagi Theo.
Karena sebenarnya, perburuan ini memiliki sangkut paut dengan harta Theo yang paling berharga di dunia ini; anak perempuan semata wayangnya, Fania. Hanya itu yang ada dipikiran Theo sekarang. Dan segepok uang yang dijanjikan atas perburuan ini, adalah satu-satunya jalan untuk merebut hak asuh Fania dari mantan istrinya. Setelah ini semua selesai, Theo akan berhenti dan pergi jauh ke tempat baru bersama sang putri tercinta.
Ini adalah perburuan terakhirku! Theo benar-benar sudah berjanji pada dirinya sendiri.
“Pak Theo, sebentar lagi kita sampai." Kalimat itu meluncur tiba-tiba dan menarik Theo kembali ke kenyataan. Kalimat pertama yang diucapkan Gunardi sejak perkenalan di bandara. Theo tersenyum kecil sambil membetulkan posisi duduknya. Tak lama, tampak mobil ini berbelok dan memasuki sebuah tugu gerbang dengan tulisan SELAMAT DATANG DI DESA JATIASIH.
"Ini desanya pak? Jatiasih?"
Gunardi menggeleng sambil berusaha keras tersenyum ramah. "Bukan Pak, dusun saya masih masuk ke dalam lagi."
Benar saja. Mobil terus melaju membelah jalanan desa Jatiasih dengan rumah-rumah warga yang sederhana, lengkap dengan pemandangan orang-orang yang lalu lalang khas suasana pedesaan, sebelum mobil membawa Theo menuju perbatasan antara desa dengan sebuah hutan Jati yang terbentang begitu luas.
"Dusun saya ada di tengah hutan ini." Gunardi berucap dan mobil memasuki jalan semen yang menjadi batas antara desa Jatiasih dan hutan jati.
Kali ini, gantian wajah Theo yang berubah pucat. Aroma ini...aroma ini tercium begitu busuk. Tempat ini...dusun yang akan mereka tuju...Theo memiliki firasat yang sangat buruk. Saking buruknya, sampai bisa membuat Theo merasa panik sekaligus terancam. Dua perasaan yang bisa dipastikan sangat jarang dia rasakan sebelumnya.
"Mas? Sampeyan ndak apa-apa?" Gunardi menoleh ke arah Theo, jelas dia menyadari perubahan sikap Theo yang begitu tiba-tiba itu. Perubahan sikap yang kian kentara, karena semakin dalam masuk ke dalam hutan, aroma busuk dan keji itu semakin tajam tercium.
Theo hanya mampu menjawab lewat anggukan kepala, sambil berusaha keras kembali bersikap normal.
"Pak Hendardi nitip pesan ke saya, nanti Mas harus diantarkan ke beberapa tempat supaya bisa melacak keberadaan warga saya yang hilang diculik itu. Saya juga masih menyimpan potongan kain yang terakhir dipakai warga saya itu jika Mas membutuhkan..."
Hendardi? Apa dia salah satu teman Kuncoro? Ah, Theo kehilangan fokus dan kendali atas dirinya sendiri!
"Ada berapa tempat yang harus saya kunjungi?" Theo memotong kalimat Gunardi cepat-cepat.
"Sebuah kandang kambing..." Di ujung jalan semen yang membelah hutan itu, mulai tampak berdiri sebuah gapura lain. Gapura yang jauh berbeda daripada gapura pertama di Jatiasih tadi. Gapura yang ini, jauh lebih sederhana bahkan terlihat terbengkalai dengan cat yang memudar dan tumbuhan yang merambat liar. "...dan jalur di dalam hutan yang saya duga jadi jalur pelarian si penculik."
Dosa. Orang ini menghabiskan hidupnya dalam lautan dosa.
Dan untungnya, Gunardi juga nampak tak memiliki niat untuk membuka pembicaraan. Sepanjang perjalanan, yang dia lakukan hanya fokus pada kemudi mobil omprengan yang sama sekali tidak nyaman untuk ditumpangi dan gerahnya setengah mati. Walaupun Theo tahu, sesekali Gunardi melirik diam-diam melalui spion tengah dan kemudian buru-buru membuang muka ketika Theo menggerakkan sedikit tubuhnya. Seakan, Gunardi ingin tahu siapa orang suruhan dari Jakarta ini.
Bapak-bapak ini jelas penasaran kepadaku. Batin Theo sambil tersenyum kecil. Benar-benar berbeda dengan dirinya, yang tak perlu bertanya untuk menggali info tentang siapa yang kini berada satu mobil dengannya ini. Hanya butuh setengah jam sejak mobil ini keluar dari bandara, hidung Theo terus menghirup aroma dan kepalanya menafsirkan gambaran-gambaran samar yang muncul silih berganti.
Dia adalah sosok yang dihormati di lingkungannya. Sosok serupa pemimpin yang membangun monumen kepahlawanannya dengan tumpukan dosa dan kekejian. Semakin dalam Theo mencoba menyelami gambaran-gambaran itu, dia menemukan bahwa dosa yang telah dilakukan Gunardi bukanlah sembarang dosa. Ada perjanjian yang telah dilakukannya dengan sesuatu yang jahat dan hitam. Perjanjian yang telah distempel dengan darah dan menuntut imbalan yang tidak main-main; nyawa manusia.
Tapi sepertinya, perjanjian itu kini berbalik memburu Gunardi. Entah karena apa, penglihatan itu memiliki linimasa yang terlalu lampau. Kemampuan Theo tak mampu menjangkau masa lalu sejauh itu.
Toh, apa peduliku. Theo mengalihkan pandangan ke luar jendela, dimana mobil ini melaju dengan kecepatan sedang. Mulai meninggalkan lingkungan kota yang ramai riuh menuju daerah perbukitan dengan jalur naik turun dan panorama hutan terbentang di kiri kanan. Yang terpenting baginya sekarang adalah uang dari orang-orang berjas di Jakarta itu setelah tugas ini selesai. Uang yang memiliki arti lebih dari sekadar materi bagi Theo.
Karena sebenarnya, perburuan ini memiliki sangkut paut dengan harta Theo yang paling berharga di dunia ini; anak perempuan semata wayangnya, Fania. Hanya itu yang ada dipikiran Theo sekarang. Dan segepok uang yang dijanjikan atas perburuan ini, adalah satu-satunya jalan untuk merebut hak asuh Fania dari mantan istrinya. Setelah ini semua selesai, Theo akan berhenti dan pergi jauh ke tempat baru bersama sang putri tercinta.
Ini adalah perburuan terakhirku! Theo benar-benar sudah berjanji pada dirinya sendiri.
“Pak Theo, sebentar lagi kita sampai." Kalimat itu meluncur tiba-tiba dan menarik Theo kembali ke kenyataan. Kalimat pertama yang diucapkan Gunardi sejak perkenalan di bandara. Theo tersenyum kecil sambil membetulkan posisi duduknya. Tak lama, tampak mobil ini berbelok dan memasuki sebuah tugu gerbang dengan tulisan SELAMAT DATANG DI DESA JATIASIH.
"Ini desanya pak? Jatiasih?"
Gunardi menggeleng sambil berusaha keras tersenyum ramah. "Bukan Pak, dusun saya masih masuk ke dalam lagi."
Benar saja. Mobil terus melaju membelah jalanan desa Jatiasih dengan rumah-rumah warga yang sederhana, lengkap dengan pemandangan orang-orang yang lalu lalang khas suasana pedesaan, sebelum mobil membawa Theo menuju perbatasan antara desa dengan sebuah hutan Jati yang terbentang begitu luas.
"Dusun saya ada di tengah hutan ini." Gunardi berucap dan mobil memasuki jalan semen yang menjadi batas antara desa Jatiasih dan hutan jati.
Kali ini, gantian wajah Theo yang berubah pucat. Aroma ini...aroma ini tercium begitu busuk. Tempat ini...dusun yang akan mereka tuju...Theo memiliki firasat yang sangat buruk. Saking buruknya, sampai bisa membuat Theo merasa panik sekaligus terancam. Dua perasaan yang bisa dipastikan sangat jarang dia rasakan sebelumnya.
"Mas? Sampeyan ndak apa-apa?" Gunardi menoleh ke arah Theo, jelas dia menyadari perubahan sikap Theo yang begitu tiba-tiba itu. Perubahan sikap yang kian kentara, karena semakin dalam masuk ke dalam hutan, aroma busuk dan keji itu semakin tajam tercium.
Theo hanya mampu menjawab lewat anggukan kepala, sambil berusaha keras kembali bersikap normal.
"Pak Hendardi nitip pesan ke saya, nanti Mas harus diantarkan ke beberapa tempat supaya bisa melacak keberadaan warga saya yang hilang diculik itu. Saya juga masih menyimpan potongan kain yang terakhir dipakai warga saya itu jika Mas membutuhkan..."
Hendardi? Apa dia salah satu teman Kuncoro? Ah, Theo kehilangan fokus dan kendali atas dirinya sendiri!
"Ada berapa tempat yang harus saya kunjungi?" Theo memotong kalimat Gunardi cepat-cepat.
"Sebuah kandang kambing..." Di ujung jalan semen yang membelah hutan itu, mulai tampak berdiri sebuah gapura lain. Gapura yang jauh berbeda daripada gapura pertama di Jatiasih tadi. Gapura yang ini, jauh lebih sederhana bahkan terlihat terbengkalai dengan cat yang memudar dan tumbuhan yang merambat liar. "...dan jalur di dalam hutan yang saya duga jadi jalur pelarian si penculik."
Quote:
Dusun ini tak ada bedanya dengan dusun-dusun terpencil lainnya. Jejeran rumah-rumah yang berbatas kebun satu sama lain, beberapa masih bertembok kayu sedang yang lainnya sudah bertembok bata. Bahkan ada satu dua yang sudah disemen dan berlantai keramik. Walau letaknya berada di tengah hutan jati yang luas, tak ada yang tampak aneh dengan tempat ini. Bahkan suasananya bisa dibilang damai dan tenang.
Tapi semua itu hanya untuk mereka yang tidak tahu menahu tentang sekelam apa rahasia yang disembunyikan di Dusun ini.
Andai saja semua orang memiliki bakat seperti Theo, mereka pasti tak akan tahan berada di Dusun bernama Srigati itu lebih dari setengah jam. Kegelapan, kekejian, dosa dan kesesatan...semuanya bermanifestasi dalam wujud aroma yang tak hanya mengganggu indera penciuman Theo, tapi juga membuat dadanya sesak dan nafasnya menjadi berat.
Aku harus cepat menyelesaikan urusanku dan keluar dari tempat ini. Theo membatin dalam hati. Alasan yang sama, yang membuatnya menolak ketika Gunardi menawarinya untuk mampir ke rumah untuk istirahat sejenak sambil meminum teh hangat atau kopi. “Tidak, terimakasih. Bisa kita langsung ke kandang kambing yang Bapak maksud tadi?”
Wajah Gunardi tampak memerah. Mungkin tersinggung karena usahanya untuk beramah tamah ditolak begitu saja. Tanpa kata, dia langsung memutar kemudi mobil butut ini dan berbelok ke arah kanan, tepat di perempatan desa.
Jalan dusun yang awalnya masih diplester semen di kanan kiri, kemudian berubah menjadi jalur makadam yang panjangnya tak lebih dari lima puluh meter, sebelum berganti lagi menjadi jalan tanah yang menyempit dengan bentangan kebun jagung milik warga di sisi kiri dan deretan pohon-pohon jati ranggas di sisi kanan.
Di ujung jalan tanah itulah, kandang kambing yang dimaksud Gunardi berdiri. Mobil yang sudah tak bisa masuk lebih dekat lagi, berhenti sekitar dua puluh meter dari lokasi. Tanpa disuruh si kepala Dusun, Theo langsung membuka pintu dan melompat keluar bahkan sebelum mesin sempat dimatikan. Dia ambil langkah-langkah panjang, setengah berlari, menuju kandang kambing kumuh di depan sana. Tak dipedulikannya Gunardi yang berjalan menyusulnya di belakang sambil menggumam tidak jelas dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Theo sudah cukup sibuk menjaga diri untuk tetap sadar di bawah gempuran aroma yang makin tajam menyengat.
Kandang kambing itu, berdiri di batas antara dusun Srigati dengan hutan jati. Benar-benar berada di tepi hutan. Saking sunyinya, tak ada suara lain di sini selain kicau burung dan hembus angin yang menggoyang batang-batang jagung. Semakin dekat, Theo bisa melihat bagaimana pintu kayu kandang itu jebol. Terlepas dari tempatnya dan di letakkan begitu saja di salah satu sudut luar kandang. Makin dekat, maka tampaklah suasana di bagian dalam.
Theo meringis, ketika dilihatnya kayu pasung dan rantai yang sudah terlepas di dalam kandang. Dia menoleh ke belakang sebentar, dengan tatapan itu dia seakan bertanya kepada Gunardi yang berdiri seperti orang bodoh di belakang.
Kegilaan apa yang sudah kau perbuat di tempat ini, wahai Bapak Kepala Dusun yang terhormat?
Nafas Theo makin berat. Waktu yang dia miliki makin sedikit. Tak mau lebih lama berada di sini, dia segera masuk dan menekuk lututnya sampai menyentuh tanah. Tangannya menyentuh kayu pasung, matanya terpejam rapat...dan dia hirup sebanyak mungkin udara yang mengambang di kandang kambing ini...
...Perempuan muda yang hamil, dua lelaki yang mengendap masuk, mendobrak pintu, membebaskan si perempuan, dan lari masuk ke dalam hutan...
Cukup disitu!Mata Theo terpejam makin rapat, napasnya tersengal berat. Jangan mundur untuk mencari yang lain, urusanmu hanya sejak perempuan itu hilang dan seterusnya!!
“Pak Theo, sampeyan baik-baik saja?!” Suara Gunardi yang terdengar khawatir itu bahkan hanya terdengar samar-samar. Mungkin dia melihat bagaimana Theo agak limbung, karena kewalahan mengontrol deretan penglihatan-penglihatan di kepalanya agar tidak mundur terlalu jauh ke belakang.
“CUKUP!!” Theo membuka mata dan menarik nafas panjang sekali. Dia kemudian bangkit, keluar dari kandang dan memandang hutan yang terhampar di hadapannya.
“Ada dua orang lelaki yang menculik warga Bapak itu. Mereka kabur lewat sana!” Jari telunjuk Theo menunjuk ke arah jalan setapak kecil yang menuju ke kedalaman hutan.
Tapi semua itu hanya untuk mereka yang tidak tahu menahu tentang sekelam apa rahasia yang disembunyikan di Dusun ini.
Andai saja semua orang memiliki bakat seperti Theo, mereka pasti tak akan tahan berada di Dusun bernama Srigati itu lebih dari setengah jam. Kegelapan, kekejian, dosa dan kesesatan...semuanya bermanifestasi dalam wujud aroma yang tak hanya mengganggu indera penciuman Theo, tapi juga membuat dadanya sesak dan nafasnya menjadi berat.
Aku harus cepat menyelesaikan urusanku dan keluar dari tempat ini. Theo membatin dalam hati. Alasan yang sama, yang membuatnya menolak ketika Gunardi menawarinya untuk mampir ke rumah untuk istirahat sejenak sambil meminum teh hangat atau kopi. “Tidak, terimakasih. Bisa kita langsung ke kandang kambing yang Bapak maksud tadi?”
Wajah Gunardi tampak memerah. Mungkin tersinggung karena usahanya untuk beramah tamah ditolak begitu saja. Tanpa kata, dia langsung memutar kemudi mobil butut ini dan berbelok ke arah kanan, tepat di perempatan desa.
Jalan dusun yang awalnya masih diplester semen di kanan kiri, kemudian berubah menjadi jalur makadam yang panjangnya tak lebih dari lima puluh meter, sebelum berganti lagi menjadi jalan tanah yang menyempit dengan bentangan kebun jagung milik warga di sisi kiri dan deretan pohon-pohon jati ranggas di sisi kanan.
Di ujung jalan tanah itulah, kandang kambing yang dimaksud Gunardi berdiri. Mobil yang sudah tak bisa masuk lebih dekat lagi, berhenti sekitar dua puluh meter dari lokasi. Tanpa disuruh si kepala Dusun, Theo langsung membuka pintu dan melompat keluar bahkan sebelum mesin sempat dimatikan. Dia ambil langkah-langkah panjang, setengah berlari, menuju kandang kambing kumuh di depan sana. Tak dipedulikannya Gunardi yang berjalan menyusulnya di belakang sambil menggumam tidak jelas dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Theo sudah cukup sibuk menjaga diri untuk tetap sadar di bawah gempuran aroma yang makin tajam menyengat.
Kandang kambing itu, berdiri di batas antara dusun Srigati dengan hutan jati. Benar-benar berada di tepi hutan. Saking sunyinya, tak ada suara lain di sini selain kicau burung dan hembus angin yang menggoyang batang-batang jagung. Semakin dekat, Theo bisa melihat bagaimana pintu kayu kandang itu jebol. Terlepas dari tempatnya dan di letakkan begitu saja di salah satu sudut luar kandang. Makin dekat, maka tampaklah suasana di bagian dalam.
Theo meringis, ketika dilihatnya kayu pasung dan rantai yang sudah terlepas di dalam kandang. Dia menoleh ke belakang sebentar, dengan tatapan itu dia seakan bertanya kepada Gunardi yang berdiri seperti orang bodoh di belakang.
Kegilaan apa yang sudah kau perbuat di tempat ini, wahai Bapak Kepala Dusun yang terhormat?
Nafas Theo makin berat. Waktu yang dia miliki makin sedikit. Tak mau lebih lama berada di sini, dia segera masuk dan menekuk lututnya sampai menyentuh tanah. Tangannya menyentuh kayu pasung, matanya terpejam rapat...dan dia hirup sebanyak mungkin udara yang mengambang di kandang kambing ini...
...Perempuan muda yang hamil, dua lelaki yang mengendap masuk, mendobrak pintu, membebaskan si perempuan, dan lari masuk ke dalam hutan...
Cukup disitu!Mata Theo terpejam makin rapat, napasnya tersengal berat. Jangan mundur untuk mencari yang lain, urusanmu hanya sejak perempuan itu hilang dan seterusnya!!
“Pak Theo, sampeyan baik-baik saja?!” Suara Gunardi yang terdengar khawatir itu bahkan hanya terdengar samar-samar. Mungkin dia melihat bagaimana Theo agak limbung, karena kewalahan mengontrol deretan penglihatan-penglihatan di kepalanya agar tidak mundur terlalu jauh ke belakang.
“CUKUP!!” Theo membuka mata dan menarik nafas panjang sekali. Dia kemudian bangkit, keluar dari kandang dan memandang hutan yang terhampar di hadapannya.
“Ada dua orang lelaki yang menculik warga Bapak itu. Mereka kabur lewat sana!” Jari telunjuk Theo menunjuk ke arah jalan setapak kecil yang menuju ke kedalaman hutan.
Quote:
Ternyata, Theo butuh waktu sampai tiga jam di Dusun laknat itu sebelum dia menyelesaikan penelurusan di dalam hutan dan kemudan pamit pergi sambil membawa tiga benda yang akan menjadi pemandu perburuannya.
Secarik kain kusam.
Sebungkus tanah dari dalam hutan jati yang dibungkus rapat di dalam plastik berwarna hitam.
Dan sebuah keris kecil seukuran telapak tangan.
Benda yang terakhir itu diberikan kepadanya oleh seorang kakek tua misterius yang diperkenalkan Gunardi dengan nama Mbah Gondo. Sesepuh dusun, katanya.
Awalnya, Theo menolak mentah-mentah. Selain karena konyol, kenapa dia harus membawa senjata tajam jika tugasnya adalah membawa kembali target dalam keadaan hidup dan sehat walafiat?
"Ini bukan untuk membunuh, Pak Theo. Ini untuk jaga-jaga saja. Karena yang akan Pak Theo hadapi sekarang bukan cuma perkara yang sifatnya nyata. Tapi lebih daripada itu." Gunardi menerjemahkan kepadanya apa yang sebelumnya dikatakan si kakek tua dalam bahasa Jawa. "Tolong, bawa saja. Demi kebaikan bersama."
Theo, yang sudah terlanjur tidak nyaman dengan tempat itu dan hanya ingin segera keluar, menerima ketiganya agar pembicaraan diantara mereka cepat-cepat selesai.
Sesuai instruksi dari Jakarta, Theo diantar oleh Gunardi lagi sampai ke kota. Di mana di sana sudah menunggu mobil yang sengaja disewakan khusus untuknya. Mulai dari sini, perburuan akan dilakukan olehnya seorang diri.
"Mas, kalau boleh tahu kemana Mas akan pergi mencari warga kami itu?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Gunardi, setelah mereka sampai ke titik dimana mereka berdua harus berpisah. Ada harapan besar yang terpancar di sepasang mata berkerut itu, ketika ia menatap Theo dalam-dalam.
"Ke utara. Mereka membawa pergi perempuan itu ke Utara." Dan sebelum ia benar-benar pergi, Theo masih sempat membisikkan informasi terakhir di telinga Gunardi. Informasi yang sepanjang perjalanan kesini tadi sebenarnya dia timbang-timbang betul apakah perlu untuk disampaikan atau tidak. “Ada pengkhianat, dan dia adalah salah satu dari warga Bapak sendiri.”
Theo masih sempat melihat wajah Gunardi memerah dan berubah tegang, tepat setelah dia mendengar informasi yang terakhir tadi. Tapi Theo tak peduli, dia melenggang pergi meninggalkan Gunardi dengan senyum lebar yang mengembang di bibirnya.
Secarik kain kusam.
Sebungkus tanah dari dalam hutan jati yang dibungkus rapat di dalam plastik berwarna hitam.
Dan sebuah keris kecil seukuran telapak tangan.
Benda yang terakhir itu diberikan kepadanya oleh seorang kakek tua misterius yang diperkenalkan Gunardi dengan nama Mbah Gondo. Sesepuh dusun, katanya.
Awalnya, Theo menolak mentah-mentah. Selain karena konyol, kenapa dia harus membawa senjata tajam jika tugasnya adalah membawa kembali target dalam keadaan hidup dan sehat walafiat?
"Ini bukan untuk membunuh, Pak Theo. Ini untuk jaga-jaga saja. Karena yang akan Pak Theo hadapi sekarang bukan cuma perkara yang sifatnya nyata. Tapi lebih daripada itu." Gunardi menerjemahkan kepadanya apa yang sebelumnya dikatakan si kakek tua dalam bahasa Jawa. "Tolong, bawa saja. Demi kebaikan bersama."
Theo, yang sudah terlanjur tidak nyaman dengan tempat itu dan hanya ingin segera keluar, menerima ketiganya agar pembicaraan diantara mereka cepat-cepat selesai.
Sesuai instruksi dari Jakarta, Theo diantar oleh Gunardi lagi sampai ke kota. Di mana di sana sudah menunggu mobil yang sengaja disewakan khusus untuknya. Mulai dari sini, perburuan akan dilakukan olehnya seorang diri.
"Mas, kalau boleh tahu kemana Mas akan pergi mencari warga kami itu?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Gunardi, setelah mereka sampai ke titik dimana mereka berdua harus berpisah. Ada harapan besar yang terpancar di sepasang mata berkerut itu, ketika ia menatap Theo dalam-dalam.
"Ke utara. Mereka membawa pergi perempuan itu ke Utara." Dan sebelum ia benar-benar pergi, Theo masih sempat membisikkan informasi terakhir di telinga Gunardi. Informasi yang sepanjang perjalanan kesini tadi sebenarnya dia timbang-timbang betul apakah perlu untuk disampaikan atau tidak. “Ada pengkhianat, dan dia adalah salah satu dari warga Bapak sendiri.”
Theo masih sempat melihat wajah Gunardi memerah dan berubah tegang, tepat setelah dia mendengar informasi yang terakhir tadi. Tapi Theo tak peduli, dia melenggang pergi meninggalkan Gunardi dengan senyum lebar yang mengembang di bibirnya.
Quote:
Dan di ujung cerita, di sinilah aroma-aroma itu membawa Theo. Aroma-aroma yang saling terhubung satu sama lain membentuk satu jalur pelarian. Dan kini, di sebuah hotel di salah satu sudut kota berhawa sejuk ini, Theo menunggu dengan sabar.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Penyamarannya sedikit banyak berhasil meyakinkan Dokter Herlambang. Dan janji yang telah Dokter muda itu ucapkan kepadanya, adalah tiket terakhir menuju ujung perburuan Theo.
Dan akhirnya, tepat jam lima lebih lima belas menit sore hari, ponsel berdering singkat. Sebuah pesan terpampang di layar, dari Dokter Herlambang. Theo tersenyum lebar membacanya. Tak mau buang waktu, dia mempersiapkan semuanya dan keluar dari kamar hotel yang telah bersih dari barang-barangnya sendiri. Dia tak akan kembali lagi kesini. Sesudah perempuan itu berhasil dia bawa, Theo akan langsung kembali ke kota Y. Ke satu titik temu dimana di sana Gunardi akan menunggu.
Pintu hotel ditutup dari luar. Theo berangkat maju menuju medan perburuan. Tapi sayangnya, dia lupa membawa keris kecil pemberian sesepuh dusun yang tergeletak begitu saja di laci meja.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Penyamarannya sedikit banyak berhasil meyakinkan Dokter Herlambang. Dan janji yang telah Dokter muda itu ucapkan kepadanya, adalah tiket terakhir menuju ujung perburuan Theo.
Dan akhirnya, tepat jam lima lebih lima belas menit sore hari, ponsel berdering singkat. Sebuah pesan terpampang di layar, dari Dokter Herlambang. Theo tersenyum lebar membacanya. Tak mau buang waktu, dia mempersiapkan semuanya dan keluar dari kamar hotel yang telah bersih dari barang-barangnya sendiri. Dia tak akan kembali lagi kesini. Sesudah perempuan itu berhasil dia bawa, Theo akan langsung kembali ke kota Y. Ke satu titik temu dimana di sana Gunardi akan menunggu.
Pintu hotel ditutup dari luar. Theo berangkat maju menuju medan perburuan. Tapi sayangnya, dia lupa membawa keris kecil pemberian sesepuh dusun yang tergeletak begitu saja di laci meja.
jondero dan 39 lainnya memberi reputasi
40
Kutip
Balas
Tutup