- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
winehsuka dan 262 lainnya memberi reputasi
241
309.8K
Kutip
2.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.1KThread•45.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#885
BAGIAN 24.2
Quote:
Quote:
Karena kamu tak tahu, apa yang aku sembunyikan darimu. Akhirnya Ibu Sari kembali menatap Rissa yang bersimpuh di hadapannya dengan mata berkaca dan wajah memelas. Karena kau tak tahu bahwa rahim ibuku pernah melahirkan seorang perempuan lain sebelum aku. Seorang kakak, yang hadir di dunia ini mendahuluiku.
Papa dan mamaku memberinya nama Elena. Artinya cahaya. Seorang anak perempuang pertama yang diharapkan menyinari kehidupan kedua orang tuanya dalam kehangatan, pengharapan dan kebahagian. Tapi nyatanya, Elena tak pernah menjadi cahaya itu. Dokter memvonisnya menderita oligofrenia di umurnya yang baru menginjak 10 tahun. Sebuah penyakit keparat yang menggerogoti jiwa dan kemampuan berpikir Elena.
Si malang itu, kakakku terkasih, terjebak dalam kegelapan sendirian. Kian hari, mentalnya kian ter-retardasi. Dia kesulitan mengungkapkan apa yang dia inginkan. Dia kesusahan mengekspresikan perasaan.
Bahkan, Papa pernah memukuli wajahnya sendiri sambil menangis sesenggukan di kamar mandi setelah dia gagal membuat Elena menghafal dua huruf abjad pertama walau sudah diulang nyaris lima belas kali.
Atau Mama, yang mulai kehilangan Iman pada Tuhan dan nyaris percaya omongan dukun bahwa apa yang terjadi pada Elena adalah akibat kiriman teluh dari orang yang membenci mereka.
Tapi Elena hebat. Kakakku itu adalah perempuan luar biasa. Dengan segala kekurangan yang dimiliki, ia mampu bertahan selama 17 tahun. Dan dia adalah idolaku, tak peduli seberapa anehnya mengobrol dengan wanita muda yang tak bisa mengganti pakaiannya sendiri dan tak mengerti fungsi dari sendok ataupun garpu. Tak peduli seberapa ngerinya ketika dia tiba-tiba mengamuk di tengah malam sambil membanting tubuhnya sendiri ke atas lantai.
Aku mencintainya, Rissa. Aku mencintai Elena. Dan kau tahu? Aku melihat diri kakakku itu dalam diri Yuli. Perempuan malang dengan jiwa yang tersesat dalam gelap. Aku menemukan dia di kedalaman mata Yuli. Aku merasakan dia di tubuh kurus Yuli. Dan aku akan tetap mempertahankan dia apapun yang terjadi. Karena...
...Elena mati bunuh diri tepat tiga haris sebelum ulang tahunnya yang ke-17. Dia melompat dari lantai dua rumah kami, ketika aku, Papa dan Mama sedang sibuk mengobrol di ruang keluarga.
Aku dihantui rasa berdosa. Aku merasa lebih nista daripada iblis, karena dengan santainya aku malah tertawa membahas hal-hal lucu bersama kedua orang tua ketika Elena habis dirajam oleh kesendirian dan kesepian.
Aku tak mau itu terulang. Aku tak mau Yuli berakhir seperti Elena.
Aku tak mau lebih hancur dari sekarang.
Jadi biarkan aku menebus dosa masa laluku. Dan karena itulah Tuhan mengirimkan Yuli ke tempat ini.
Aku percaya itu. Kemarin, malam ini dan yang akan datang. Aku percaya itu.
Papa dan mamaku memberinya nama Elena. Artinya cahaya. Seorang anak perempuang pertama yang diharapkan menyinari kehidupan kedua orang tuanya dalam kehangatan, pengharapan dan kebahagian. Tapi nyatanya, Elena tak pernah menjadi cahaya itu. Dokter memvonisnya menderita oligofrenia di umurnya yang baru menginjak 10 tahun. Sebuah penyakit keparat yang menggerogoti jiwa dan kemampuan berpikir Elena.
Si malang itu, kakakku terkasih, terjebak dalam kegelapan sendirian. Kian hari, mentalnya kian ter-retardasi. Dia kesulitan mengungkapkan apa yang dia inginkan. Dia kesusahan mengekspresikan perasaan.
Bahkan, Papa pernah memukuli wajahnya sendiri sambil menangis sesenggukan di kamar mandi setelah dia gagal membuat Elena menghafal dua huruf abjad pertama walau sudah diulang nyaris lima belas kali.
Atau Mama, yang mulai kehilangan Iman pada Tuhan dan nyaris percaya omongan dukun bahwa apa yang terjadi pada Elena adalah akibat kiriman teluh dari orang yang membenci mereka.
Tapi Elena hebat. Kakakku itu adalah perempuan luar biasa. Dengan segala kekurangan yang dimiliki, ia mampu bertahan selama 17 tahun. Dan dia adalah idolaku, tak peduli seberapa anehnya mengobrol dengan wanita muda yang tak bisa mengganti pakaiannya sendiri dan tak mengerti fungsi dari sendok ataupun garpu. Tak peduli seberapa ngerinya ketika dia tiba-tiba mengamuk di tengah malam sambil membanting tubuhnya sendiri ke atas lantai.
Aku mencintainya, Rissa. Aku mencintai Elena. Dan kau tahu? Aku melihat diri kakakku itu dalam diri Yuli. Perempuan malang dengan jiwa yang tersesat dalam gelap. Aku menemukan dia di kedalaman mata Yuli. Aku merasakan dia di tubuh kurus Yuli. Dan aku akan tetap mempertahankan dia apapun yang terjadi. Karena...
...Elena mati bunuh diri tepat tiga haris sebelum ulang tahunnya yang ke-17. Dia melompat dari lantai dua rumah kami, ketika aku, Papa dan Mama sedang sibuk mengobrol di ruang keluarga.
Aku dihantui rasa berdosa. Aku merasa lebih nista daripada iblis, karena dengan santainya aku malah tertawa membahas hal-hal lucu bersama kedua orang tua ketika Elena habis dirajam oleh kesendirian dan kesepian.
Aku tak mau itu terulang. Aku tak mau Yuli berakhir seperti Elena.
Aku tak mau lebih hancur dari sekarang.
Jadi biarkan aku menebus dosa masa laluku. Dan karena itulah Tuhan mengirimkan Yuli ke tempat ini.
Aku percaya itu. Kemarin, malam ini dan yang akan datang. Aku percaya itu.
"Maaf, Riss. Keputusanku sudah bulat. Yuli akan tetap di sini. Dan kalau kamu merasa tidak nyaman, kamu boleh cari tempat lain."
Rissa tak percaya pada pendengarannya sendiri. Ibu Sari mengucapkannya dengan dingin, tegas dan tanpa perasaan. Mulutnya menganga, dan tak sanggup dia menahan apapun ketika Ibu Sari bangkit dari duduknya dan bersiap meninggalkan ruangan ini.
"Bu! Tunggu, Bu! Aku mohon..."
Tapi belum juga dia menyelesaikan kalimatnya, sebuah jeritan histeris menggema di udara!
Arrgggghhhh!!!!
Langkah Ibu Sari terhenti, begitupun Rissa yang refleks langsung bangkit dan mencoba menelaah suara itu. Dari mana asalnya? Siapa si pemilik suara?
"Itu... suara Amsal??" Ibu Sari mengenalinya lebih dulu, kemudian menoleh ke arah Rissa yang wajahnya telah berubah pucat pasi.
Dia baru saja teringat sesuatu; sebelum pergi menemui Ibu Sari, kamar Yuli lupa dikunci.
Quote:
"Nuel! Tangio!! Ayo sido opo ora?" (Nuel! Bangun!! Ayo jadi apa enggak?)
Nuel belum tidur sama sekali. Kesadarannya masih seratus persen dan dia dengan jelas mendengar suara Amsal dan bagaimana tubuhnya terus digoyang-goyang. Tapi Nuel terpaksa berpura-pura terlelap agar dia tak harus menuruti kemauan dan rasa penasaran si gendut yang paling senior di Panti ini.
Sebenarnya jarak usia mereka tak terlampau jauh; Amsal 12 tahun sedangkan Nuel 10 tahun. Tapi seperti kata Ibu Sari dan kebiasaan di Panti ini, siapa yang umurnya paling tua dialah yang harus dianggap sebagai kakak. Dan sialnya, Amsal adalah jenis kakak yang bandel, pendendam dan keras kepala.
"Ayo, to! Aku ngerti kowe apus-apus turu. Iki lho, Maria wae wani mosok kowe jireh ngono?" (Ayolah! Aku tahu kamu cuma pura-pura tidur. Ini lho, Maria saja berani masak kamu takut gitu?)
Dan sebagai seorang adik, Nuel adalah jenis bocah yang gampang terprovokasi. Dia langsung bangkit dan menghentikan sandiwara pura-pura tidur itu, kemudian membalik badan dengan wajah menahan marah. Di samping ranjangnya, sudah berdiri Amsal dan Maria yang sama-sama tersenyum lebar menyambutnya.
Kenapa sih, si centil ini harus ikut?? Nuel mendumel dalam hati. Kehadiran Maria jadi membuatnya tidak punya alasan untuk menolak rencana Amsal. Mau ditaruh mana mukanya kalau sampai mereka berdua berangkat menjalankan rencana sedangkan dia meringkuk ketakutan di dalam kamar?
"Jare sopo aku jireh? Aku wani kok! Tapi Mbak Rissa piye, Mas?" (Kata siapa aku takut? Aku berani kok! Tapi Mbak Rissa gimana, Mas?)
Kedua alis Amsal terangkat sambil tersenyum puas mendengar perkataan Nuel barusan, sebelum dia menoleh ke arah Maria. Memintanya untuk menjawab pertanyaan itu.
"Udah beres. Udah aku amatin, barusan Mbak Rissa pergi keluar ke ruang makan."
Nuel masih sedikit ragu. "Kalau dia tiba-tiba balik gimana?"
"Enggak, enggak!" Amsal menarik tangan Nuel. Memaksanya benar-benar melepaskan pantat yang menempel di atas ranjangnya yang nyaman. "Makanya ayo cepet keburu Mbak Rissa balik. Kamarnya kan cuma di ujung situ!"
Sudah tak ada pilihan lain. Nuel pasrah saja, keluar kamar dan berjalan mengendap seperti maling mengikuti Amsal dan Maria yang berjalan di depan. Tujuan mereka cuma satu; kamar paling ujung yang langsung dengan pagar belakang Panti. Dimana di sana, berdiam seorang perempuan kurang waras yang dari tubuhnya keluar aroma prengus yang membuat perut mual.
Ini namanya misi balas dendam. Desis Amsal tadi menjelang Maghrib dengan penuh rasa marah, ketika mereka bertiga duduk melingkar di kamar Nuel. Bermufakat diam-diam, setelah kejadian menegangkan sore harinya. Perempuan gila itu mengamuk hebat sebelum berhasil ditenangkan oleh Mbak Rissa.
Tapi bukan itu masalahnya. Bukan itu yang kemudian membuat Amsal terbakar amarah dan nekat untuk menyusun sesuatu yang disebutnya misi balas dendam itu.
Gara-gara perempuan gila itu, aku dimarahi habis-habisan sama Ibu Sari!Itulah akar perkaranya. Amsal dijewer, diomeli dan diancam dengan hukuman membantu Mas Joyo membersihkan seluruh Panti gara-gara dia keceplosan berkata kasar ketika membantu menenangkan si Perempuan Gila.
Amsal tidak terima, kemudian menyusun rencana balas dendam. Kita tunggu Mbak Rissa pergi, kemudian kita takut-takuti dia dari luar kamar! Sebuah rencana yang sederhana dan seharusnya tidak memerlukan waktu yang lama.
Dan beginilah mereka malam ini. Sekitar pukul sepuluh malam dimana seharusnya sudah tidur di kamar masing-masing, ketiga bocah itu malah berjinjit-jinjit melewati pintu kamar demi pintu kamar. Amsal berjalan di depan sebagai pemimpin sekaligus si eksekutor rencana. Di belakangnya Maria memiliki peran sebagai si pengawas yang matanya terus-menerus nyalang menatap bangunan di tengah tempat ruang makan dan tempat kerja pemilik Panti berdiri.
Sedangkan di baris paling belakang...Nuel hanya mengikuti langkah keduanya tanpa tahu apa peran dan tugas yang harus dia jalankan. Kecuali menuruti kemauan Amsal dan mendumel tidak jelas memaki dirinya sendiri dan keadaan sekarang ini. Karena dalam permufakatan sebelumnya, Amsal sudah menjelaskan tugas yang harus dijalankan olehnya dan Maria saja. Nuel memang sengaja tak bertanya, sambil menenangkan diri sendiri bahwa itu berarti malamnya dia tak wajib ikut serta dalam rencana. Tapi kenyataan sekarang, dugaan Nuel salah. Amsal tetap membangunkannya dan memaksanya untuk ikut.
Terus aku harus ngapain?? Kalau aku tidak punya fungsi seperti ini, kenapa aku dipaksa ikut??
Pertanyaan-pertanyaan itu, kemudian terjawab ketika mereka bertiga telah sampai di depan pintu kamar. Sebuah pintu yang terlihat begitu dingin dan entah mengapa membuat bulu kuduk Nuel berdiri tegak. Bukan! Bukan karena dia penakut! Tapi ada sensasi lain yang membuat hatinya berdesir oleh rasa takut dan cemas. Seakan memberitahu bahwa bukan di sinilah mereka seharusnya berada apalagi di waktu malam-malam begini.
"Sepi banget. Kayaknya dia udah tidur, Mas. Apa kita balik aja? Balik aja yuk?" Maria memandang Amsal dan Nuel bergantian. Dan dari ekspresi yang tergaris di wajahnya, Nuel yakin Maria juga merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan. Maria mulai digelayuti ketakutan; entah oleh Mbak Rissa yang bisa datang tiba-tiba, atau oleh apa yang mendiami ruangan di balik pintu ini.
"Malah bagus! Kita bisa nakut-nakutin dia dengan gampang." Tapi sepertinya Amsal tidak peduli. Dengan cepat dia arahkan pandangannya kepada Nuel. "Saiki, ini tugasmu! Kamu kan pinter niru suara ketawanya kuntilanak...
Nuel makin pucat. Firasatnya berkata sesuatu yang buruk akan menimpanya, apalagi ketika Amsal melemparkan senyuman jahat itu.
"...Sekarang coba kamu ketawa pakai gaya kuntilanak. Situ, di dekat pintu!"
Benar saja! Firasat Nuel menjadi kenyataan hanya dalam waktu beberapa detik.
"Jangan aku, Mas!" Tapi sia-sia. Seakan tak menerima keberatan yang diajukannya, Amsal malah menarik tangannya dan mendorong tubuh Nuel ke arah pintu kamar itu. Dan mungkin, karena tenaga besar yang keluar dari tubuh gemuknya itu, tubuh Nuel yang jauh lebih kurus terdorong terlalu kuat. Akibatnya, Nuel malah menabrak pintu...
...dan ternyata pintu itu tidak terkunci. Pintu itu bergerak ke dalam. Berderit lirih dan dalam kondisi terbuka, mata Nuel menangkap perempuan gila itu terduduk di atas kasur dengan kondisi kedua tangan terikat di besi ranjang. Matanya tajam menatap Nuel dengan cara mengerikan. Begitupun senyum lebar itu, benar-benar seperti senyum iblis yang sering dia lihat di film-film horor.
"Jare arep ngguyu koyo kuntilanak?" (Katanya mau ketawa seperti kuntilanak?)
Perempuan itu berbisik tajam ke arahnya. Nuel tak tahan lagi. Dia nyaris berteriak, tapi Maria dengan sigap langsung membungkam mulutnya dan menarik tubuhnya ke belakang. Nuel mengira semuanya telah selesai dan mereka akan menutup pintu itu dan lari sembunyi ke kamar masing-masing.
Tapi tidak! Ternyata Amsal belum selesai dengan urusannya. Rasa dendam karena dimarahi Ibu Sari tadi masih menguasai dirinya. Nuel sebenarnya sudah berusaha mencegah Amsal yang tampak masuk ke dalam kamar dengan satu tangan menutup hidung dan satu tangan lagi bersiap mencengkeram wajah si perempuan gila. Tapi sia-sia, mulutnya dibungkam Maria sedemikian rapat.
"Wedokan stress, edan, mambu wedus! Goro-goro kowe aku diseneni Ibu!" (Perempuan stress, gila, bau kambing! Gara-gara kamu aku dimarahin Ibu!)
Jangan, Mas Amsal! Jangan! Nuel ingin berteriak sekencangnya. Tapi yang keluar hanyalah suara-suara tak jelas akibat tersumpal oleh tangan Maria. Nuel hanya bisa melihat Amsal bersiap mencengkeram wajah perempuan gila itu, sedangkan si perempuan gila bersiap dengan sedikit mengangkat lututnya.
Mereka saling berhadapan, dan tinggal menunggu hitungan detik sebelum konfontrasi itu pecah. Perempuan gila itu tampak bakal kesulitan memberi perlawanan dengan kondisi kedua tangan terikat. Sedangkan Nuel, yang kini telah berdiri tepat di tepi ranjang, mengayunkan tangannya untuk memberi sebuah tamparan keras.
Tapi sayang beribu sayang, di saat bersamaan, si perempuan gila membuka mulutnya lebar-lebar dan mengarahkan kepala ke jalur ayunan tangan Amsal. Dia melawan dengan cara yang tak akan pernah diduga siapapun. Termasuk si gendut itu, yang terperangah tak percaya ketika dua jarinya malah masuk ke dalam mulut si perempuan gila.
"Arrggghhh!!" Amsal berteriak kencang, ketika si perempuan gila mengatupkan mulut. Membuat dua jari Amsal tadi terjebak, terpasung oleh gigitan gigi hitam yang tajam. Kemudian, dalam satu gerakan cepat si perempuan gila menarik kepalanya.
Craaashhh!!
Darah tumpah. Tangan Amsal berhasil kembali tapi tidak dengan dua jari yang ternyata tertinggal di dalam mulut si perempuan gila.
"Arrrrrgggghhhhhhh!!" Jeritan kedua terlontar lebih keras dan lebih menyanyat hati. Tubuh gemuk Amsal terjatuh ke tanah sambil memegangi tangannya yang kini sepenuhnya menjadi cacat. Hanya tinggal tiga batang jari saja di sana.
Nuel menyaksikan semua itu. Dia benar-benar menyaksikannya. Perutnya mual, kepalanya pusing dan pandangannya mulai redup. Dia sadar dia akan pingsan. Tapi sebelum dia benar-benar hilang kesadaran, dia masih bisa melihat teriakan Mbak Rissa dan Ibu Sari dari arah belakang...
...dan perempuan gila itu yang mengunyah jari Amsal dengan lahap sambil tertawa kegirangan.
Nuel belum tidur sama sekali. Kesadarannya masih seratus persen dan dia dengan jelas mendengar suara Amsal dan bagaimana tubuhnya terus digoyang-goyang. Tapi Nuel terpaksa berpura-pura terlelap agar dia tak harus menuruti kemauan dan rasa penasaran si gendut yang paling senior di Panti ini.
Sebenarnya jarak usia mereka tak terlampau jauh; Amsal 12 tahun sedangkan Nuel 10 tahun. Tapi seperti kata Ibu Sari dan kebiasaan di Panti ini, siapa yang umurnya paling tua dialah yang harus dianggap sebagai kakak. Dan sialnya, Amsal adalah jenis kakak yang bandel, pendendam dan keras kepala.
"Ayo, to! Aku ngerti kowe apus-apus turu. Iki lho, Maria wae wani mosok kowe jireh ngono?" (Ayolah! Aku tahu kamu cuma pura-pura tidur. Ini lho, Maria saja berani masak kamu takut gitu?)
Dan sebagai seorang adik, Nuel adalah jenis bocah yang gampang terprovokasi. Dia langsung bangkit dan menghentikan sandiwara pura-pura tidur itu, kemudian membalik badan dengan wajah menahan marah. Di samping ranjangnya, sudah berdiri Amsal dan Maria yang sama-sama tersenyum lebar menyambutnya.
Kenapa sih, si centil ini harus ikut?? Nuel mendumel dalam hati. Kehadiran Maria jadi membuatnya tidak punya alasan untuk menolak rencana Amsal. Mau ditaruh mana mukanya kalau sampai mereka berdua berangkat menjalankan rencana sedangkan dia meringkuk ketakutan di dalam kamar?
"Jare sopo aku jireh? Aku wani kok! Tapi Mbak Rissa piye, Mas?" (Kata siapa aku takut? Aku berani kok! Tapi Mbak Rissa gimana, Mas?)
Kedua alis Amsal terangkat sambil tersenyum puas mendengar perkataan Nuel barusan, sebelum dia menoleh ke arah Maria. Memintanya untuk menjawab pertanyaan itu.
"Udah beres. Udah aku amatin, barusan Mbak Rissa pergi keluar ke ruang makan."
Nuel masih sedikit ragu. "Kalau dia tiba-tiba balik gimana?"
"Enggak, enggak!" Amsal menarik tangan Nuel. Memaksanya benar-benar melepaskan pantat yang menempel di atas ranjangnya yang nyaman. "Makanya ayo cepet keburu Mbak Rissa balik. Kamarnya kan cuma di ujung situ!"
Sudah tak ada pilihan lain. Nuel pasrah saja, keluar kamar dan berjalan mengendap seperti maling mengikuti Amsal dan Maria yang berjalan di depan. Tujuan mereka cuma satu; kamar paling ujung yang langsung dengan pagar belakang Panti. Dimana di sana, berdiam seorang perempuan kurang waras yang dari tubuhnya keluar aroma prengus yang membuat perut mual.
Ini namanya misi balas dendam. Desis Amsal tadi menjelang Maghrib dengan penuh rasa marah, ketika mereka bertiga duduk melingkar di kamar Nuel. Bermufakat diam-diam, setelah kejadian menegangkan sore harinya. Perempuan gila itu mengamuk hebat sebelum berhasil ditenangkan oleh Mbak Rissa.
Tapi bukan itu masalahnya. Bukan itu yang kemudian membuat Amsal terbakar amarah dan nekat untuk menyusun sesuatu yang disebutnya misi balas dendam itu.
Gara-gara perempuan gila itu, aku dimarahi habis-habisan sama Ibu Sari!Itulah akar perkaranya. Amsal dijewer, diomeli dan diancam dengan hukuman membantu Mas Joyo membersihkan seluruh Panti gara-gara dia keceplosan berkata kasar ketika membantu menenangkan si Perempuan Gila.
Amsal tidak terima, kemudian menyusun rencana balas dendam. Kita tunggu Mbak Rissa pergi, kemudian kita takut-takuti dia dari luar kamar! Sebuah rencana yang sederhana dan seharusnya tidak memerlukan waktu yang lama.
Dan beginilah mereka malam ini. Sekitar pukul sepuluh malam dimana seharusnya sudah tidur di kamar masing-masing, ketiga bocah itu malah berjinjit-jinjit melewati pintu kamar demi pintu kamar. Amsal berjalan di depan sebagai pemimpin sekaligus si eksekutor rencana. Di belakangnya Maria memiliki peran sebagai si pengawas yang matanya terus-menerus nyalang menatap bangunan di tengah tempat ruang makan dan tempat kerja pemilik Panti berdiri.
Sedangkan di baris paling belakang...Nuel hanya mengikuti langkah keduanya tanpa tahu apa peran dan tugas yang harus dia jalankan. Kecuali menuruti kemauan Amsal dan mendumel tidak jelas memaki dirinya sendiri dan keadaan sekarang ini. Karena dalam permufakatan sebelumnya, Amsal sudah menjelaskan tugas yang harus dijalankan olehnya dan Maria saja. Nuel memang sengaja tak bertanya, sambil menenangkan diri sendiri bahwa itu berarti malamnya dia tak wajib ikut serta dalam rencana. Tapi kenyataan sekarang, dugaan Nuel salah. Amsal tetap membangunkannya dan memaksanya untuk ikut.
Terus aku harus ngapain?? Kalau aku tidak punya fungsi seperti ini, kenapa aku dipaksa ikut??
Pertanyaan-pertanyaan itu, kemudian terjawab ketika mereka bertiga telah sampai di depan pintu kamar. Sebuah pintu yang terlihat begitu dingin dan entah mengapa membuat bulu kuduk Nuel berdiri tegak. Bukan! Bukan karena dia penakut! Tapi ada sensasi lain yang membuat hatinya berdesir oleh rasa takut dan cemas. Seakan memberitahu bahwa bukan di sinilah mereka seharusnya berada apalagi di waktu malam-malam begini.
"Sepi banget. Kayaknya dia udah tidur, Mas. Apa kita balik aja? Balik aja yuk?" Maria memandang Amsal dan Nuel bergantian. Dan dari ekspresi yang tergaris di wajahnya, Nuel yakin Maria juga merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan. Maria mulai digelayuti ketakutan; entah oleh Mbak Rissa yang bisa datang tiba-tiba, atau oleh apa yang mendiami ruangan di balik pintu ini.
"Malah bagus! Kita bisa nakut-nakutin dia dengan gampang." Tapi sepertinya Amsal tidak peduli. Dengan cepat dia arahkan pandangannya kepada Nuel. "Saiki, ini tugasmu! Kamu kan pinter niru suara ketawanya kuntilanak...
Nuel makin pucat. Firasatnya berkata sesuatu yang buruk akan menimpanya, apalagi ketika Amsal melemparkan senyuman jahat itu.
"...Sekarang coba kamu ketawa pakai gaya kuntilanak. Situ, di dekat pintu!"
Benar saja! Firasat Nuel menjadi kenyataan hanya dalam waktu beberapa detik.
"Jangan aku, Mas!" Tapi sia-sia. Seakan tak menerima keberatan yang diajukannya, Amsal malah menarik tangannya dan mendorong tubuh Nuel ke arah pintu kamar itu. Dan mungkin, karena tenaga besar yang keluar dari tubuh gemuknya itu, tubuh Nuel yang jauh lebih kurus terdorong terlalu kuat. Akibatnya, Nuel malah menabrak pintu...
...dan ternyata pintu itu tidak terkunci. Pintu itu bergerak ke dalam. Berderit lirih dan dalam kondisi terbuka, mata Nuel menangkap perempuan gila itu terduduk di atas kasur dengan kondisi kedua tangan terikat di besi ranjang. Matanya tajam menatap Nuel dengan cara mengerikan. Begitupun senyum lebar itu, benar-benar seperti senyum iblis yang sering dia lihat di film-film horor.
"Jare arep ngguyu koyo kuntilanak?" (Katanya mau ketawa seperti kuntilanak?)
Perempuan itu berbisik tajam ke arahnya. Nuel tak tahan lagi. Dia nyaris berteriak, tapi Maria dengan sigap langsung membungkam mulutnya dan menarik tubuhnya ke belakang. Nuel mengira semuanya telah selesai dan mereka akan menutup pintu itu dan lari sembunyi ke kamar masing-masing.
Tapi tidak! Ternyata Amsal belum selesai dengan urusannya. Rasa dendam karena dimarahi Ibu Sari tadi masih menguasai dirinya. Nuel sebenarnya sudah berusaha mencegah Amsal yang tampak masuk ke dalam kamar dengan satu tangan menutup hidung dan satu tangan lagi bersiap mencengkeram wajah si perempuan gila. Tapi sia-sia, mulutnya dibungkam Maria sedemikian rapat.
"Wedokan stress, edan, mambu wedus! Goro-goro kowe aku diseneni Ibu!" (Perempuan stress, gila, bau kambing! Gara-gara kamu aku dimarahin Ibu!)
Jangan, Mas Amsal! Jangan! Nuel ingin berteriak sekencangnya. Tapi yang keluar hanyalah suara-suara tak jelas akibat tersumpal oleh tangan Maria. Nuel hanya bisa melihat Amsal bersiap mencengkeram wajah perempuan gila itu, sedangkan si perempuan gila bersiap dengan sedikit mengangkat lututnya.
Mereka saling berhadapan, dan tinggal menunggu hitungan detik sebelum konfontrasi itu pecah. Perempuan gila itu tampak bakal kesulitan memberi perlawanan dengan kondisi kedua tangan terikat. Sedangkan Nuel, yang kini telah berdiri tepat di tepi ranjang, mengayunkan tangannya untuk memberi sebuah tamparan keras.
Tapi sayang beribu sayang, di saat bersamaan, si perempuan gila membuka mulutnya lebar-lebar dan mengarahkan kepala ke jalur ayunan tangan Amsal. Dia melawan dengan cara yang tak akan pernah diduga siapapun. Termasuk si gendut itu, yang terperangah tak percaya ketika dua jarinya malah masuk ke dalam mulut si perempuan gila.
"Arrggghhh!!" Amsal berteriak kencang, ketika si perempuan gila mengatupkan mulut. Membuat dua jari Amsal tadi terjebak, terpasung oleh gigitan gigi hitam yang tajam. Kemudian, dalam satu gerakan cepat si perempuan gila menarik kepalanya.
Craaashhh!!
Darah tumpah. Tangan Amsal berhasil kembali tapi tidak dengan dua jari yang ternyata tertinggal di dalam mulut si perempuan gila.
"Arrrrrgggghhhhhhh!!" Jeritan kedua terlontar lebih keras dan lebih menyanyat hati. Tubuh gemuk Amsal terjatuh ke tanah sambil memegangi tangannya yang kini sepenuhnya menjadi cacat. Hanya tinggal tiga batang jari saja di sana.
Nuel menyaksikan semua itu. Dia benar-benar menyaksikannya. Perutnya mual, kepalanya pusing dan pandangannya mulai redup. Dia sadar dia akan pingsan. Tapi sebelum dia benar-benar hilang kesadaran, dia masih bisa melihat teriakan Mbak Rissa dan Ibu Sari dari arah belakang...
...dan perempuan gila itu yang mengunyah jari Amsal dengan lahap sambil tertawa kegirangan.
Spoiler for iseng:
Jadi, suatu hari nanti, kalau ada di antara agan-agan yang ketemu pria berumur25-an tahun dengan dua jari di tangan kanan yang hilang di sekitar kota if-you-know-what-i-mean, agan bisa tanya...
"Dulu digigit sama siapa?"
"Dulu digigit sama siapa?"
BALI999 dan 49 lainnya memberi reputasi
48
Kutip
Balas
Tutup