Lelaki berbadan tinggi tegap dengan kacamata bening dan rambut hitam mengkilat yang disisir rapi ke belakang itu bernama Herlambang. Atau lebih tepatnya, Dokter Herlambang. Salah seorang kenalan Ibu Sari, sekaligus ahli kejiwaan terbaik yang dihubunginya pertama kali.
"...karena itu, saya minta tolong sekali sama Dokter. Sekarang pasien ada di Panti, baru diantar kesini kemarin malam. Kondisinya cukup memprihatinkan, tapi tadi pagi sudah mau mandi dan makan. Jadi kalau tidak sibuk dan tidak merepotkan, saya berharap Dokter Herlambang bisa datang ke Panti sore ini."
Telepon itu datang tadi pagi. Tepat ketika Dokter Herlambang bersiap untuk berangkat praktek di salah satu Rumah Sakit Jiwa Negeri di sebuah kota yang terkenal dengan lumpianya. Dan atas segala rasa hormat kepada sahabat karib ayahnya itu, Dokter Herlambang mengiyakan dan mengatakan bahwa dia akan meluangkan jadwal untuk datang ke Panti Kasih Bunda. Tak masalah walau harus menempuh perjalanan selama satu jam dari Rumah Sakit tempat prakteknya.
Jadi, tepat pukul tiga sore selepas semua pekerjaannya selesai, Dokter Herlambang memacu mobilnya menuju selatan. Tak lupa dia mampir sebentar ke sebuah minimarket untuk membeli sekadar oleh-oleh untuk anak-anak di sana. Walaupun terhitung cukup jarang, ini bukanlah kali pertama Dokter Herlambang mengunjungi Panti milik Ibu Sari. Dulu awalnya, dia mengenal perempuan berdarah Jawa-Belanda itu dari sang ayah. Sebelum akhirnya Dokter Herlambang semakin mengenal beliau dan mulai mengagumi pribadi serta dedikasinya terhadap kemanusiaan.
Termasuk Panti Sosial itu. Dokter Herlambang selalu menemukan sebuah kehangatan di sana. Terlepas dari keadaannya yang kian sepi karena semakin banyak anak-anak yang keluar setelah mendapat keluarga baru, Dokter Herlambang selalu berusaha terlibat dan ikut memberikan bantuan sebisanya. Salah satu alasan kenapa dia memutuskan untuk menjadi salah satu donatur Yayasan. Sama seperti yang ayahnya lakukan dulu.
Dan seperti tempat paling tepat untuk melarikan diri sejenak dari penatnya pekerjaan di kota besar, rindangnya pohon mangga di tengah Panti serta sambutan meriah anak-anak yang langsung menyerbu ketika melihatnya keluar dari mobil sambil membawa macam-macam jajanan membuat Dokter Herlambang merasa rileks dan bahagia.
Si gendut Amsal, si ompong Nuel, si manis berkepang Maria dan anak-anak lainnya berbaris rapi sambil memasukkan tangan mungil mereka ke dalam plastik besar yang terbuka. Beberapa dapat coklat, beberapa lainnya dapat permen. Sederhana, namun tawa dan raut bahagia yang tergaris di wajah-wajah polos nan mungil itu adalah hadiah paling mewah yang ada di dunia ini.
"Dok, Dok!" Amsal Gendut mendekat, ketika teman-temannya yang lain masih sibuk dengan apa yang mereka dapatkan dari dalam plastik. "Ada mbak-mbak aneh lho di kamar belakang sana. Tadi aku sama temen-temen ngintip pas dia dimandiin Ibu sama Mbak Rissa. Medeniiii banget, dia senyum-senyum sama ketawa-ketawa sendiri!"
Tiba-tiba, Dokter Herlambang teringat kembali dengan tujuan utamanya datang ke tempat ini.
"Oh, ya?" Ucapnya singkat sambil memalingkan pandangan ke arah kamar yang dimaksud Amsal. Kamar paling pojok yang berdempetan dengan pagar belakang panti, dimana tampak pintunya terbuka separuh.
"Iya, Dok! Aku sih penasaran, tapi Mbak Rissa rese banget. Aku ndak pernah boleh mendekat kesana!" Amsal sepertinya begitu antusias berbagi cerita.
Bersamaan, dari balik pintu kamar itu tampak keluar tubuh seseorang. Itu Ibu Sari, yang seperti biasa, begitu cantik dengan rambut pendek sebahu yang dibiarkan tergerai di umurnya yang sudah lebih dari setengah abad. Dokter Herlambang langsung bangkit, menganggukkan kepala penuh takzim ketika Ibu Sari mendekat ke arahnya.
"Kok repot-repot bawa oleh-oleh segala to, Dok? Aku malah ndak enak kalau begini!" Perempuan ini berusaha berbasa-basi sambil melemparkan senyum hangat, walau garis-garis keresahan itu tak dapat disembunyikan. Keresahan yang Dokter Herlambang tak tahu dari mana asalnya.
"Mboten nopo-nopo, Bu Sari. Oh iya, bisa langsung?"
Ibu Sari mengangguk dan berjalan di depan, sedang Dokter Herlambang mengekor sambil memeriksa isi koper kulitnya. Memastikan bahwa semua peralatan yang dibutuhkan sudah terbawa.
"Mari masuk, Dok..." Tangan kanan Ibu Sari mendorong pintu ke dalam, membuatnya kini terbuka lebar-lebar. Selain Rissa yang menyenderkan punggung di tembok dengan kedua tangan yang ditaruh di belakang punggung, Dokter Herlambang juga menemukan satu perempuan asing yang baru dilihatnya sekali ini di dalam ruangan ini.
"Namanya Yuli." Ibu Sari memperkenalkan mereka tanpa diminta. Tapi Dokter Herlambang tak bereaksi. Perhatiannya sudah terlanjur terenggut ke arah perempuan bernama Yuli itu, yang kini duduk dengan tenang di tepi ranjang. Rambutnya yang panjang berombak itu tampak basah, sedang tubuhnya yang kurus kering dibalut daster dengan motif bunga-bunga. Semuanya tampak baik-baik saja, kecuali dua hal; bau prengus yang keluar dari tubuh Yuli dan bagaimana cara dia tersenyum.
"Sehari ini sudah saya mandiin tiga kali, Dok. Tapi bau prengusnya ndak mau hilang." Kini giliran Rissa yang angkat bicara, mungkin karena dia melihat Dokter Herlambang tampak tidak nyaman dengan aroma yang memenuhi seisi kamar.
"Oke, oke. Ndak apa-apa. Bisa tolong ambilkan saya kursi, Riss?" Ucapnya mencoba maklum dan kembali mengedarkan pandangan ke setiap inci tubuh Yuli. Benar-benar dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Sampai mata Dokter Herlambang berhenti di satu titik. Dimana di sana, terlihat perut Yuli membesar dan sedikit menonjol dari balik pakaian yang terhitung cukup longgar itu.
"Astagfirullah!" Desisnya ngeri campur prihatin. Seakan tak percaya dengan apa yang tersaji di hadapannya saat ini. "Dia hamil, Bu?"
Terdengar helaan nafas berat dari Ibu Sari sebelum dia memberi jawaban. "Menjelang delapan bulan, Dok. Maaf saya belum sempat ngasih tahu."
Baru sekali ini, benar-benar baru sekali ini, Dokter Herlambang merasa tidak nyaman berlama-lama berada di Panti. Ada semacam perasaan jengah, resah dan gentar yang menggelayuti hati. Seakan ruangan ini adalah dunia yang berbeda. Dunia yang gelap dan kelam.
Tapi Dokter Herlambang tidak punya pilihan, dia sudah terlanjur ada di sini dan berhadapan dengan pasien yang membutuhkan bantuan. Sejenak memejamkan mata, dia berusaha mengalihkan perhatian dan mulai fokus pada apa yang harus dia kerjakan. Toh, dirinya juga bukan dokter kandungan. Dia ada di sini untuk memeriksa kondisi kejiwaan seseorang, dan lebih baik untuk fokus di persoalan itu saja. Tidak usah peduli ke hal lain yang bukan urusannya.
Tanpa buang waktu lagi, Dokter Herlambang segera menarik kursi yang dibawa Rissa ke dalam kamar. Dia ambil posisi duduk di titik paling dekat dengan pintu keluar.
Aku sudah menangani banyak pasien gangguan jiwa dengan berbagai macam tindakan-tindakan mereka. Tapi entah kenapa, cara Yuli memandang dan tersenyum itu membuat jantungku berdesir. Sepasang mata itu tidak kosong, tapi begitu dalam. Bibir yang membentuk seulas senyum itu seakan ingin menunjukkan bahwa dia tidak takut pada apapun dan siapapun. Kemudian dengan gestur yang ia tunjukkan, dimana dia lebih memilih menaruh kedua telapak tangannya di atas ranjang daripada memegangi perutnya yang membesar itu menunjukkan bahwa dia...
...tak peduli atau mungkin malah membenci dengan apa yang ada di dalamnya.
Dokter Herlambang menguatkan hati. Dia arahkan pandangan ke Rissa dan Ibu Sari, meminta mereka untuk mendekat.
"Sekarang saya mau melakukan analisis awal dulu, kalau memungkinkan bisa dilanjutkan ke anamnesis." Ibu Sari mengangguk tanda mengerti, kemudian Dokter Herlambang berpindah ke Rissa. "Dan Rissa, sebelum mulai, saya bisa minta tolong? Sepertinya tangan Yuli lebih baik diikat saja. Sekadar untuk menghindari kemungkinan pasien mengalami agitasi yang tidak kita duga."