- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:

Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER





INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:





REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann

Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs 

Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%
Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%
Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 15:07
bambu.rindang dan 268 lainnya memberi reputasi
247
321.9K
Kutip
2.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#793
BAGIAN 19
Quote:
Astria memandang hampa ke arah kandang kambing yang kini kosong melompong. Tembok kayu yang rusak ditendang, papan pasung yang terbuka dan rantai penguncinya yang dipotong paksa oleh siapapun yang telah membawa Yuli pergi. Semuanya terpampang nyata di depan matanya, bersama sebuah fakta yang membuat perasaan Astria campur aduk tak karuan;
Yuli hilang. Yuli hilang tepat di saat upacara gelar pendem akan segera dilaksanakan.
Kamu ndak usah khawatir. Yuli pasti ketemu. Semua orang sudah dikerahkan untuk memburu mereka di dalam hutan. Ucap bapaknya beberapa jam lalu, berusaha menenangkan Astria...atau sebenarnya, dia sedang berusaha menenangkan diri sendiri.
Karena ini sudah terlalu lama. Dan di belakang kandang, Astria melihat Mbah Gondo duduk bersila menghadap mulut hutan. Kedua tangannya diangkat ke udara dalam posisi terkatup dan mulutnya komat-kamit merapal mantra. Tak ubahnya seperti seorang yang sedang bertapa. Kemenyan juga sudah dinyalakan, aromanya yang tajam menusuk hidung dan menimbulkan sensasi aneh antara menenangkan dan menakutkan.
Sedangkan sang Bapak, tak hentinya dia mondar mandir di sudut lain. Kegelisahan di raut wajahnya terlalu kentara untuk ditutup-tutupi. Kegelisahan yang kemudian menular kepada Astria sendiri. Membuatnya menjadi tak yakin Yuli akan berhasil diketemukan dan dibawa kembali ke tempat yang seharusnya.
Kilatan cahaya dari senter dan obor warga terlihat bagai segerombolan kunang-kunang dari dalam hutan. Mereka masih dan terus mencari. Tapi Astria sudah terlanjur pesimistis. Dia memilih untuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Menilai dan mempertimbangkan keadaan dengan otak sarjananya. Menelaah sebab dan akibat yang akan ditimbulkan, entah kemungkinan terbaik maupun terburuk yang akan terjadi.
Tak banyak yang tahu tentang semua ini.Astria membatin. Hanya aku, bapak dan Mbah Gondo. Sedangkan orang lain, termasuk Sarmin, hanya percaya pada apa yang bapak katakan kepada mereka. Yuli, sawah di tengah hutan, gelar pendem, dan Astria sendiri. Semuanya saling berhubungan. Dan mereka berdua adalah intinya. Tanpa salah satu atau keduanya, gelar pendem tidak akan bisa dimulai.
Ah, andai mereka tahu seberapa vitalnya peran Yuli di sini! Andai mereka tahu sudah berapa banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya! Andai ini hanya sesederhana Yuli yang gila dan pernah membunuh kedua orangtuanya sendiri dengan sadis seperti yang semua orang kira, semuanya tentu tidak akan menjadi serumit ini.
Tapi sudah terlanjur banyak pihak yang menitipkan kepentingan mereka di sini. Dan nama-nama mereka, adalah nama-nama penting. Politikus sampai pengusaha. Tersebar di kota-kota besar, dan andai Yuli sampai benar-benar hilang, kabar itu tentu akan sampai di telinga mereka. Cepat atau lambat. Dan berikutnya, Astria tidak bisa membayangkan bagaimana semuanya akan menjadi semakin kacau balau.
Semuanya berawal dari 27 tahun yang lalu, dimana Bapaknya membuat satu keputusan terbesar yang tak hanya merubah kehidupan keluarganya, tapi juga merubah seluruh wajah tanah ini...
Bapak tidak punya pilihan. Ucapnya kala itu kepada Astria, di hari dimana bapak memilih menceritakan rahasia besarnya dan meminta Astria untuk menyandang peran sebagai Sang Garwa Prameswari tepat ketika umurnya menginjak 17 tahun.
Kala itu, Astria dibawa menuju sawah pendem. Tepat di tengah malam. Dia berada di barisan paling depan, dengan tubuh yang dibalut pakaian Jawi Jangkep layaknya pengantin yang lengkap dengan tata rias dan berbagai macam selendang dan rangkaian bunga di telinga. Sedang di belakangnya, beriringan Mbah Gondo, Bapak dan mendiang ibu, serta orang-orang yang nyaris semuanya tak dia kenal. Kecuali satu orang; Pak Hendardi. Pemilik perusahaan tempatnya bekerja saat ini.
Suara gamelan bertalu-talu, tepat setelah rombongan melewati tapal batas menuju sawah pendem yang berwujud dua janur kuning melengkung. Suara sinden terdengar merdu, tembang yang dialunkan begitu menusuk hingga sanubari yang paling dalam.
"Jangan takut, nduk. Ada bapak dan ibu di sini..." Astria mendengar bapaknya berbisik, ketika ia tampak ingin mundur dan membatalkan semuanya. Suara gamelan dan sinden itu membuatnya ciut nyali, setelah ia menyadari semua itu hanya berwujud suara. Tak ada siapapun di dalam area sawah pendem kecuali Astria dan rombongannya.
Astria dituntun Mbah Gondo melewati pinggiran sawah, kemudian berbelok menapak satu garis pematang yang terhubung langsung dengan titik pusat. Sebuah batu besar yang tampak tergeletak di atas tanah tepat di bagian tengah persawahan.
"Mandeg disik, nduk..." (Berhenti dulu, nak...)
Mbah Gondho menahannya, sebelum kemudian ibunya maju mendahului mereka. Mendekat ke arah batu sambil membawa tampah bulat berisi kemenyan terbakar dan berbagai macam sesajen ubarampe. Sesampainya di sana, tampah tersebut diletakkan di atas batu, kemudian ibu Astria bersimpuh, mengangkat kedua tangannya yang terkatup sampai setinggi kening.
"Bar iki, uripmu bakal kepenak. Opo sing dadi kekarepanmu lan bapak ibumu bakal kedadian, cah ayu..." (Sehabis ini, hidupmu bakal enak. Semua harapanmu dan kedua orang tuamu akan menjadi kenyataan, anak manis...)
Astria mengangguk. Dia sudah memantapkan hati. Suara gamelan dan gending-gending syahdu yang makin riuh terdengar, tak lagi menakutinya. Dengan digandeng oleh Bapak, Astria maju ke arah batu besar itu. Menyusul ibunda, ikut bersimpuh dan mengangkat kedua tangan yang terkatup ke arah batu.
Mantra-mantra dalam bahasa Jawa Kuno diucapkan oleh Mbah Gondo. Sedangkan orang-orang tak dikenal di belakang menyambungnya di setiap akhir baris mantra...
"Sang Hyang Bendugeni O Sang Hyang Bendugeni"
Yang berikutnya terjadi, Astria merasa tubuhnya disiram dengan air kembang oleh Mbah Gondo. Tiga kali seingatnya, sebelum dia kehilangan kesadaran dan terbangun di sebuah istana megah dengan seorang raja berwajah rupawan yang duduk di atas singgasana berlapis kilauan emas. Raja itu memintanya mendekat.
Siro hang dadi Garwanisun...
"Pak Gun...Pak Gun!!"
Suara itu kemudian membuyarkan lamunan Astria. Refleks, dia menoleh ke arah suara, dimana di sana tampak empat orang warga berhambur keluar dari dalam hutan. Kalau dilihat dari raut muka mereka, sepertinya tidak ada kabar bagus yang dibawa. Bahkan Mbah Gondo sampai terbangun dari tapa bratanya, dan mencoba berdiri walau tampak kesulitan karena faktor usia.
"Ada apa??" Bapaknya langsung sigap mendekat. Begitupun Astria yang ingin tahu kabar apa yang mereka bawa.
"Yuli ketemu?" Astria bertanya terlebih dulu, walau kemudian dijawab dengan gelengan kepala.
"Dereng mbak, pak, Mbah..." Salah satu dari mereka maju untuk menjawab. Kepalanya tertunduk, dan wajahnya pucat pasi. "Tapi Waskito kalih temannya kita temukan tewas. Yang satu kepalanya dibacok sampai pecah, yang satu perutnya ditusuk."
Mbah Gondo melihat langit. Rembulan di atas sana tampak mulai tertutup awan kelabu.
"Yuli wis metu soko alas iki..." (Yuli sudah keluar dari hutan ini...)
Ucap Mbah Gondo dalam, penuh amarah dan penyesalan.
Astria terbengong. Otaknya masih mencoba mencerna semua ini, sebelum tiga detik kemudian kesadarannya seperti disambar petir dengan sangat keras.
Kalau Yuli tidak ada, berarti aku yang akan....
Mata Astria langsung membesar. Dia langsung menoleh kepada Bapak, yang ternyata juga mengarahkan mata kepadanya.
Anak dan bapak saling beradu pandang. Tanpa kata, tanpa suara, tapi Astria mampu membaca apa yang ingin beliau sampaikan lewat matanya.
Pulang ke rumah, dan pergi sejauh mungkin dari dusun ini!!
Yuli hilang. Yuli hilang tepat di saat upacara gelar pendem akan segera dilaksanakan.
Kamu ndak usah khawatir. Yuli pasti ketemu. Semua orang sudah dikerahkan untuk memburu mereka di dalam hutan. Ucap bapaknya beberapa jam lalu, berusaha menenangkan Astria...atau sebenarnya, dia sedang berusaha menenangkan diri sendiri.
Karena ini sudah terlalu lama. Dan di belakang kandang, Astria melihat Mbah Gondo duduk bersila menghadap mulut hutan. Kedua tangannya diangkat ke udara dalam posisi terkatup dan mulutnya komat-kamit merapal mantra. Tak ubahnya seperti seorang yang sedang bertapa. Kemenyan juga sudah dinyalakan, aromanya yang tajam menusuk hidung dan menimbulkan sensasi aneh antara menenangkan dan menakutkan.
Sedangkan sang Bapak, tak hentinya dia mondar mandir di sudut lain. Kegelisahan di raut wajahnya terlalu kentara untuk ditutup-tutupi. Kegelisahan yang kemudian menular kepada Astria sendiri. Membuatnya menjadi tak yakin Yuli akan berhasil diketemukan dan dibawa kembali ke tempat yang seharusnya.
Kilatan cahaya dari senter dan obor warga terlihat bagai segerombolan kunang-kunang dari dalam hutan. Mereka masih dan terus mencari. Tapi Astria sudah terlanjur pesimistis. Dia memilih untuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Menilai dan mempertimbangkan keadaan dengan otak sarjananya. Menelaah sebab dan akibat yang akan ditimbulkan, entah kemungkinan terbaik maupun terburuk yang akan terjadi.
Tak banyak yang tahu tentang semua ini.Astria membatin. Hanya aku, bapak dan Mbah Gondo. Sedangkan orang lain, termasuk Sarmin, hanya percaya pada apa yang bapak katakan kepada mereka. Yuli, sawah di tengah hutan, gelar pendem, dan Astria sendiri. Semuanya saling berhubungan. Dan mereka berdua adalah intinya. Tanpa salah satu atau keduanya, gelar pendem tidak akan bisa dimulai.
Ah, andai mereka tahu seberapa vitalnya peran Yuli di sini! Andai mereka tahu sudah berapa banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya! Andai ini hanya sesederhana Yuli yang gila dan pernah membunuh kedua orangtuanya sendiri dengan sadis seperti yang semua orang kira, semuanya tentu tidak akan menjadi serumit ini.
Tapi sudah terlanjur banyak pihak yang menitipkan kepentingan mereka di sini. Dan nama-nama mereka, adalah nama-nama penting. Politikus sampai pengusaha. Tersebar di kota-kota besar, dan andai Yuli sampai benar-benar hilang, kabar itu tentu akan sampai di telinga mereka. Cepat atau lambat. Dan berikutnya, Astria tidak bisa membayangkan bagaimana semuanya akan menjadi semakin kacau balau.
Semuanya berawal dari 27 tahun yang lalu, dimana Bapaknya membuat satu keputusan terbesar yang tak hanya merubah kehidupan keluarganya, tapi juga merubah seluruh wajah tanah ini...
Bapak tidak punya pilihan. Ucapnya kala itu kepada Astria, di hari dimana bapak memilih menceritakan rahasia besarnya dan meminta Astria untuk menyandang peran sebagai Sang Garwa Prameswari tepat ketika umurnya menginjak 17 tahun.
Kala itu, Astria dibawa menuju sawah pendem. Tepat di tengah malam. Dia berada di barisan paling depan, dengan tubuh yang dibalut pakaian Jawi Jangkep layaknya pengantin yang lengkap dengan tata rias dan berbagai macam selendang dan rangkaian bunga di telinga. Sedang di belakangnya, beriringan Mbah Gondo, Bapak dan mendiang ibu, serta orang-orang yang nyaris semuanya tak dia kenal. Kecuali satu orang; Pak Hendardi. Pemilik perusahaan tempatnya bekerja saat ini.
Suara gamelan bertalu-talu, tepat setelah rombongan melewati tapal batas menuju sawah pendem yang berwujud dua janur kuning melengkung. Suara sinden terdengar merdu, tembang yang dialunkan begitu menusuk hingga sanubari yang paling dalam.
"Jangan takut, nduk. Ada bapak dan ibu di sini..." Astria mendengar bapaknya berbisik, ketika ia tampak ingin mundur dan membatalkan semuanya. Suara gamelan dan sinden itu membuatnya ciut nyali, setelah ia menyadari semua itu hanya berwujud suara. Tak ada siapapun di dalam area sawah pendem kecuali Astria dan rombongannya.
Quote:
Pindha jawata tumurun
Komajaya Komaratih
Dewa dewaning asmoro
Kang tansah andon karonsih
Pepuletan kanten asta
Tuhu dhahat milanggoni
Komajaya Komaratih
Dewa dewaning asmoro
Kang tansah andon karonsih
Pepuletan kanten asta
Tuhu dhahat milanggoni
Astria dituntun Mbah Gondo melewati pinggiran sawah, kemudian berbelok menapak satu garis pematang yang terhubung langsung dengan titik pusat. Sebuah batu besar yang tampak tergeletak di atas tanah tepat di bagian tengah persawahan.
"Mandeg disik, nduk..." (Berhenti dulu, nak...)
Mbah Gondho menahannya, sebelum kemudian ibunya maju mendahului mereka. Mendekat ke arah batu sambil membawa tampah bulat berisi kemenyan terbakar dan berbagai macam sesajen ubarampe. Sesampainya di sana, tampah tersebut diletakkan di atas batu, kemudian ibu Astria bersimpuh, mengangkat kedua tangannya yang terkatup sampai setinggi kening.
"Bar iki, uripmu bakal kepenak. Opo sing dadi kekarepanmu lan bapak ibumu bakal kedadian, cah ayu..." (Sehabis ini, hidupmu bakal enak. Semua harapanmu dan kedua orang tuamu akan menjadi kenyataan, anak manis...)
Astria mengangguk. Dia sudah memantapkan hati. Suara gamelan dan gending-gending syahdu yang makin riuh terdengar, tak lagi menakutinya. Dengan digandeng oleh Bapak, Astria maju ke arah batu besar itu. Menyusul ibunda, ikut bersimpuh dan mengangkat kedua tangan yang terkatup ke arah batu.
Mantra-mantra dalam bahasa Jawa Kuno diucapkan oleh Mbah Gondo. Sedangkan orang-orang tak dikenal di belakang menyambungnya di setiap akhir baris mantra...
"Sang Hyang Bendugeni O Sang Hyang Bendugeni"
Yang berikutnya terjadi, Astria merasa tubuhnya disiram dengan air kembang oleh Mbah Gondo. Tiga kali seingatnya, sebelum dia kehilangan kesadaran dan terbangun di sebuah istana megah dengan seorang raja berwajah rupawan yang duduk di atas singgasana berlapis kilauan emas. Raja itu memintanya mendekat.
Siro hang dadi Garwanisun...
"Pak Gun...Pak Gun!!"
Suara itu kemudian membuyarkan lamunan Astria. Refleks, dia menoleh ke arah suara, dimana di sana tampak empat orang warga berhambur keluar dari dalam hutan. Kalau dilihat dari raut muka mereka, sepertinya tidak ada kabar bagus yang dibawa. Bahkan Mbah Gondo sampai terbangun dari tapa bratanya, dan mencoba berdiri walau tampak kesulitan karena faktor usia.
"Ada apa??" Bapaknya langsung sigap mendekat. Begitupun Astria yang ingin tahu kabar apa yang mereka bawa.
"Yuli ketemu?" Astria bertanya terlebih dulu, walau kemudian dijawab dengan gelengan kepala.
"Dereng mbak, pak, Mbah..." Salah satu dari mereka maju untuk menjawab. Kepalanya tertunduk, dan wajahnya pucat pasi. "Tapi Waskito kalih temannya kita temukan tewas. Yang satu kepalanya dibacok sampai pecah, yang satu perutnya ditusuk."
Mbah Gondo melihat langit. Rembulan di atas sana tampak mulai tertutup awan kelabu.
"Yuli wis metu soko alas iki..." (Yuli sudah keluar dari hutan ini...)
Ucap Mbah Gondo dalam, penuh amarah dan penyesalan.
Astria terbengong. Otaknya masih mencoba mencerna semua ini, sebelum tiga detik kemudian kesadarannya seperti disambar petir dengan sangat keras.
Kalau Yuli tidak ada, berarti aku yang akan....
Mata Astria langsung membesar. Dia langsung menoleh kepada Bapak, yang ternyata juga mengarahkan mata kepadanya.
Anak dan bapak saling beradu pandang. Tanpa kata, tanpa suara, tapi Astria mampu membaca apa yang ingin beliau sampaikan lewat matanya.
Pulang ke rumah, dan pergi sejauh mungkin dari dusun ini!!
Quote:
Sarmin tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Dia tak mengerti senekat apa dirinya barusan.
Segalanya telah genap ia langgar. Menjadi pengkhianat atas kepercayaan yang telah diberikan Pak Gunardi. Bahkan dia teringat betapa dulu dia begitu segan kepada kepala dusun itu, dan juga betapa ia begitu takut kepada Mbah Gondo; kakek tua misterius yang tinggal di tengah hutan.
Tapi malam ini, dia baru saja menyelamatkan Yuli. Menerobos masuk ke tempat paling wingit di Srigati dan menunjukkan jalan keluar kepada mereka yang harusnya dia seret ke perempatan dusun untuk diadili.
Sarmin kemudian menemukan jawabannya sendiri; penyesalan dan rasa bersalah. Dua hal yang merubahnya menjadi sebernyali dan senekat ini. Bahkan dua nyawa bajingan itu terpaksa Sarmin cabut untuk meloloskan mereka semua.
Yuli, Yuli...
Dulu, waktu dia, Imas, Astria dan lainnya masih kecil, hanya Sarminlah yang peduli kepada Yuli di saat nyaris semua penduduk menganggapnya sebagai perempuan aneh dari keluarga paling menderita di Srigati. Dia dijauhi, dikucilkan dan sering tidak mendapatkan kesempatan bermain bersama teman sebayanya karena para orang tua sudah mewanti-wanti; jangan main sama Yuli, nanti badanmu ketularan bau. Tapi Sarmin melihatnya berbeda. Dia tak ingin Yuli hanya melihat dari kejauhan sementara yang lain bermain dengan ceria. Dia tak ingin Yuli kesepian.
Pun, setelah mereka beranjak dewasa dan Yuli dikabarkan pergi merantau ke luar kota. Sebelum kemudian dia kembali dalam keadaan yang tidak begitu waras, Sarmin masih menyambutnya. Dia mengajak yang lain untuk tidak menjauhi Yuli, bahkan mereka sering patungan untuk membelikannya makanan walau sembunyi-sembunyi.
Sampai malam itu...semuanya berubah.
Pak Gunardi berkoar bahwa yang memenggal kepala kedua orang tua Yuli dan memasaknya di dalam dandang mendidih adalah anaknya sendiri. Seperti biasa, semua orang percaya. Tak terkecuali Sarmin, yang begitu menghormati Pak Gun dan menganggapnya sebagai pahlawan dan raja di Srigati.
Tapi, dia telah dibodohi. Dia telah ditipu. Cerita Imas membuka tabir yang membutakan matanya selama sembilan tahun. Dan dadanya kian sesak oleh sesal, ketika Sarmin teringat di saat Yuli diarak keliling desa dan dijebloskan di kandang kambing itu...
Matanya menatap Sarmin dengan nanar. Mulutnya terbuka, mengucapkan sebaris kalimat...
Sarmin, aku luwe...
Awalnya Sarmin pikir, Yuli lapar karena belum sempat memakan kepala bapak dan ibunya yang masih dia masak di dalam dandang. Awalnya Sarmin pikir, kegilaan Yuli membuatnya menjadi iblis bertubuh manusia. Dan pikiran jahat itulah yang membuat Sarmin tak lagi peduli dan malah ikut andil untuk menghukumnya seperti binatang. Memasung dan mengurungnya di dalam kandang kambing di pinggiran hutan.
Kini, setelah mata Sarmin terbuka akan kebenaran, dia jadi berpikir ulang; mungkin saat itu Yuli benar-benar lapar. Makanan yang dibawa Imas tidak pernah sampai ke tangan Yuli karena apa yang ia lihat malam itu.
Rasanya benar-benar menyakitkan.
"Mas, sampeyan nangis?" Suara itu menampar Sarmin dan mengembalikannya ke dunia nyata. Laki-laki bernama Adil ini, entah sudah sejak kapan berjalan di dekatnya dan menatap wajanya lekat-lekat.
"Ndak, kelilipan saja ini." Sarmin langsung berkilah. Dia usap airmatanya, kemudian melihat sekeliling. Eko sudah agak jauh di depan sana sambil menggendong Yuli. "Gimana, Mas?"
"Kayaknya kita udah deket. Mas Sarmin ikut kita, kan?"
Benar saja. Mereka sudah nyaris sampai di kebun warga Giriwatu. Tinggal di depan sana.
"Mboten, Mas..." (Tidak, Mas...)
Adil tampak kaget dengan jawaban itu.
"Saya balik saja ke Srigati. Saya ndak bisa pergi kemana-mana."
Tapi pria ini sepertinya keras kepala. "Kok gitu? Keadaan ndak aman di Srigati sekarang. Mas Sarmin bisa ditangkep kalau sampai kepala dusun lapor polisi..."
Sarmin tersenyum kecil. "Ndak mungkin Pak Gun lapor polisi. Saya kenal dia. Orang seperti Pak Gun lebih memilih mengirimi saya santet daripada harus bawa-bawa polisi masuk ke dusun kami. Itu juga kalau dia tahu saya sudah bantu sampeyan. Dua saksi mata kan sudah saya sikat..."
Adil terdiam. Bahkan Eko yang ada di depan juga ikut berhenti dan menoleh ke belakang.
"Saya nemenin sampai sini saja, nggih? Di depan itu sampeyan belok kanan lalu lurus saja. Melia dan Imas sudah menunggu di sana." Mata Sarmin kemudian menoleh ke arah Eko, tapi bukan! Dia menatap ke seseorang yang ada di gendongannya. Tanpa membuang waktu yang kian sempit, Sarmin mengucapkan pesan terakhirnya kepada mereka berdua sambil melangkah mendekat ke arah Yuli. "Sampeyan berdua jangan buang waktu. Sebentar lagi subuh. Pergi dari sini sebelum warga Giriwatu bangun dan keluar rumah."
Adil dan Eko mengangguk. Sarmin menunduk, membelai rambut Yuli dua kali. Dan dalam tidurnya, Sarmin melihat mulut perempuan itu bergerak. Pelan, lirih namun anehnya gerakan bibir itu terbaca jelas olehnya. Seakan Yuli hanya ingin mengucapkannya kepada Sarmin seorang saja.
"Sudah nggih Mas Sarmin, kita berangkat lagi. Aku sampaikan salammu buat Imas nanti..."
Eko bangkit, membawa Yuli kembali dalam gendongannya. Sedang Sarmin masih terpaku di tempat. Menatap kosong ke arah dua pria yang kian menjauh, kemudian menghilang dari pandangan di belokan depan.
Wajah Sarmin seakan beku. Kalimat itu berdengung di telinga dan ingatannya. Terus menerus.
Segalanya telah genap ia langgar. Menjadi pengkhianat atas kepercayaan yang telah diberikan Pak Gunardi. Bahkan dia teringat betapa dulu dia begitu segan kepada kepala dusun itu, dan juga betapa ia begitu takut kepada Mbah Gondo; kakek tua misterius yang tinggal di tengah hutan.
Tapi malam ini, dia baru saja menyelamatkan Yuli. Menerobos masuk ke tempat paling wingit di Srigati dan menunjukkan jalan keluar kepada mereka yang harusnya dia seret ke perempatan dusun untuk diadili.
Sarmin kemudian menemukan jawabannya sendiri; penyesalan dan rasa bersalah. Dua hal yang merubahnya menjadi sebernyali dan senekat ini. Bahkan dua nyawa bajingan itu terpaksa Sarmin cabut untuk meloloskan mereka semua.
Yuli, Yuli...
Dulu, waktu dia, Imas, Astria dan lainnya masih kecil, hanya Sarminlah yang peduli kepada Yuli di saat nyaris semua penduduk menganggapnya sebagai perempuan aneh dari keluarga paling menderita di Srigati. Dia dijauhi, dikucilkan dan sering tidak mendapatkan kesempatan bermain bersama teman sebayanya karena para orang tua sudah mewanti-wanti; jangan main sama Yuli, nanti badanmu ketularan bau. Tapi Sarmin melihatnya berbeda. Dia tak ingin Yuli hanya melihat dari kejauhan sementara yang lain bermain dengan ceria. Dia tak ingin Yuli kesepian.
Pun, setelah mereka beranjak dewasa dan Yuli dikabarkan pergi merantau ke luar kota. Sebelum kemudian dia kembali dalam keadaan yang tidak begitu waras, Sarmin masih menyambutnya. Dia mengajak yang lain untuk tidak menjauhi Yuli, bahkan mereka sering patungan untuk membelikannya makanan walau sembunyi-sembunyi.
Sampai malam itu...semuanya berubah.
Pak Gunardi berkoar bahwa yang memenggal kepala kedua orang tua Yuli dan memasaknya di dalam dandang mendidih adalah anaknya sendiri. Seperti biasa, semua orang percaya. Tak terkecuali Sarmin, yang begitu menghormati Pak Gun dan menganggapnya sebagai pahlawan dan raja di Srigati.
Tapi, dia telah dibodohi. Dia telah ditipu. Cerita Imas membuka tabir yang membutakan matanya selama sembilan tahun. Dan dadanya kian sesak oleh sesal, ketika Sarmin teringat di saat Yuli diarak keliling desa dan dijebloskan di kandang kambing itu...
Matanya menatap Sarmin dengan nanar. Mulutnya terbuka, mengucapkan sebaris kalimat...
Sarmin, aku luwe...
Awalnya Sarmin pikir, Yuli lapar karena belum sempat memakan kepala bapak dan ibunya yang masih dia masak di dalam dandang. Awalnya Sarmin pikir, kegilaan Yuli membuatnya menjadi iblis bertubuh manusia. Dan pikiran jahat itulah yang membuat Sarmin tak lagi peduli dan malah ikut andil untuk menghukumnya seperti binatang. Memasung dan mengurungnya di dalam kandang kambing di pinggiran hutan.
Kini, setelah mata Sarmin terbuka akan kebenaran, dia jadi berpikir ulang; mungkin saat itu Yuli benar-benar lapar. Makanan yang dibawa Imas tidak pernah sampai ke tangan Yuli karena apa yang ia lihat malam itu.
Rasanya benar-benar menyakitkan.
"Mas, sampeyan nangis?" Suara itu menampar Sarmin dan mengembalikannya ke dunia nyata. Laki-laki bernama Adil ini, entah sudah sejak kapan berjalan di dekatnya dan menatap wajanya lekat-lekat.
"Ndak, kelilipan saja ini." Sarmin langsung berkilah. Dia usap airmatanya, kemudian melihat sekeliling. Eko sudah agak jauh di depan sana sambil menggendong Yuli. "Gimana, Mas?"
"Kayaknya kita udah deket. Mas Sarmin ikut kita, kan?"
Benar saja. Mereka sudah nyaris sampai di kebun warga Giriwatu. Tinggal di depan sana.
"Mboten, Mas..." (Tidak, Mas...)
Adil tampak kaget dengan jawaban itu.
"Saya balik saja ke Srigati. Saya ndak bisa pergi kemana-mana."
Tapi pria ini sepertinya keras kepala. "Kok gitu? Keadaan ndak aman di Srigati sekarang. Mas Sarmin bisa ditangkep kalau sampai kepala dusun lapor polisi..."
Sarmin tersenyum kecil. "Ndak mungkin Pak Gun lapor polisi. Saya kenal dia. Orang seperti Pak Gun lebih memilih mengirimi saya santet daripada harus bawa-bawa polisi masuk ke dusun kami. Itu juga kalau dia tahu saya sudah bantu sampeyan. Dua saksi mata kan sudah saya sikat..."
Adil terdiam. Bahkan Eko yang ada di depan juga ikut berhenti dan menoleh ke belakang.
"Saya nemenin sampai sini saja, nggih? Di depan itu sampeyan belok kanan lalu lurus saja. Melia dan Imas sudah menunggu di sana." Mata Sarmin kemudian menoleh ke arah Eko, tapi bukan! Dia menatap ke seseorang yang ada di gendongannya. Tanpa membuang waktu yang kian sempit, Sarmin mengucapkan pesan terakhirnya kepada mereka berdua sambil melangkah mendekat ke arah Yuli. "Sampeyan berdua jangan buang waktu. Sebentar lagi subuh. Pergi dari sini sebelum warga Giriwatu bangun dan keluar rumah."
Adil dan Eko mengangguk. Sarmin menunduk, membelai rambut Yuli dua kali. Dan dalam tidurnya, Sarmin melihat mulut perempuan itu bergerak. Pelan, lirih namun anehnya gerakan bibir itu terbaca jelas olehnya. Seakan Yuli hanya ingin mengucapkannya kepada Sarmin seorang saja.
"Sudah nggih Mas Sarmin, kita berangkat lagi. Aku sampaikan salammu buat Imas nanti..."
Eko bangkit, membawa Yuli kembali dalam gendongannya. Sedang Sarmin masih terpaku di tempat. Menatap kosong ke arah dua pria yang kian menjauh, kemudian menghilang dari pandangan di belokan depan.
Spoiler for Yuli berucap...:
Ojo lali, dosamu isih tak itung. (Jangan lupa, dosamu masih aku hitung.)
Wajah Sarmin seakan beku. Kalimat itu berdengung di telinga dan ingatannya. Terus menerus.
babet2 dan 43 lainnya memberi reputasi
44
Kutip
Balas
Tutup