- Beranda
- Stories from the Heart
TOR DOLOK MALEA
...
TS
semutbulat
TOR DOLOK MALEA

Permisi agan2...kali ini aku kembali berbagi kisah petualanganku dan seorang sahabatku, iya kami hanya berdua mendaki gunung yang sebenarnya bukan merupakan gunung yang lazim didaki orang, belum tentu dalam setahun, dua tahun bahkan 5 tahun ada orang yang mau mendakinya.
Perkenalkan nama aku Anto, asli Medan dan kini mengais rezeki di Kabupaten Mandailing Natal yang merupakan wilayah paling ujung dari Sumatera Utara.
Ok langsung aja ke ceritanya, cekicrottt...
Part I : Bukan Kaum Rebahan
Part II : Tertindih
Part III : Bisikan dan Tawa Makhluk Halus
Part IV : Kembali ke Tenda
Part V : Sarapan Sultan Mirip Sesajen
Part VI : Taman di Tengah Hutan
Part VII : Mencari Tempat Camp
Part VIII : Suara Itu Terdengar Kembali
Diubah oleh semutbulat 14-07-2021 11:44
Rohmatullah212 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
4.3K
60
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
semutbulat
#2
Part II : Tertindih
Di awal jalan kami melewati perkebunan karet milik toke-toke besar di kota ini, kebun karet dengan medan yang landai dan terawat dengan rapi, dan sekarang setelah berjalan 2 jam lebih, kami memasuki kebun karet milik masyarakat setempat, kebun karet yang berada di medan curam yang menanjak dan jauh dari desa.
Sepanjang jalan kami saling bercerita, ada saja yang menjadi bahan perbincangan kami, dan kami benar-benar berjalan dengan sangat santai diiringi tawa dan obrolan yang tak tentu arahnya.
Jalur yang dilalui kini mulai benar-benar tidak bersahabat dengan dengkul, walaupun ujung kaki belum bersilaturahmi dengan jidat, tapi medan yang menanjak dan hari yang panas sudah cukup membuat nafas menjadi ngos-ngosan serta mandi keringat (ngos-ngosan, mandi keringat, serasa baca Any Arrow dan nonton kakek sugiono).
Setelah berjalan melewati perkebunan, kini kami memasuki hutan yang benar-benar lembab, sinar matahari seolah tidak berhasil masuk menembus lebatnya pepohonan, dan disini aku merasakan udara yang lebih dingin dari tempat sebelumnya.
Kami terus berjalan menembus pekatnya hutan, terkadang kami menyeberangi sungai yang tidak terlalu lebar dan dangkal dengan air yang sangat jernih.
Di sungai ini terdapat banyak ikan yang berenang secara bebas dengan ukuran yang beraneka ragam, dari yang kecil sampai yang besar dan pasir serta bebatuan di dasar sungai sangat terlihat dengan jelas.
Dalam perjalanan ini kami seakan tidak ada memburu waktu, kapan mau berhenti, kami langsung berhenti untuk menikmati alam sekitar, akan tetapi aku merasakan sesuatu keanehan di tempat ini, sehingga aku mengajak Raja untuk berjalan lebih cepat.
Setelah berjalan hampir 4 jam, kami tiba di air terjun yang walaupun tidak terlalu tinggi akan tetapi memiliki keunikan tersendiri, air terjun ini seperti ditampung dalam wadah alami yang berbentuk seperti kolam, lalu mengaliri airnya ke sungai yang kami lewati sebelumnya.
Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tempat ini, dan kami menemukan sebuah dataran terbuka di dekat pohon yang sangat besar, walaupun tidak terlalu lebar, akan tetapi cukup nyaman untuk satu tenda.
Setelah mendirikan tenda, Raja langsung mengumpulkan ranting-ranting pohon yang banyak terdapat disekitar tempat tersebut dan menggali tanah yang tidak telalu lebar untuk membuat api unggun nanti malam.
Kini hari benar-benar gelap, hewan malam mulai mengumandangkan nyanyiannya, sayangnya di tempat ini kupu-kupu tidak termasuk hewan malam.
Kami langsung membuat api unggun dengan modal ban karet sebagai bahan bakarnya kemudian kami menyantap bekal sebagai makan malam yang sudah disiapkan Raja dari rumah.
Bersama anak ini tidak pernah kehabisan bahan obrolan, ada saja yang kami omongi (dibaca ghibah), mulai dari Bupati, Wakil Bupati, Polisi, Camat dan jajarannya, tetangga dibelakang, depan dan samping rumah sampai ke tukang becak serta tukang jual tuak hingga tante di depan gang (kalo ini obrolan wajib) nggak luput dari pembahasan kami.
Nggak terasa waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, dan angin malam makin menusuk ke tulang, lalu kami segera mematikan api unggun agar api tidak menjalar sehingga terjadi kebakaran di saat kami tertidur.
"Bang, tendanya tutup ajalah, dingin kali" kata Raja yang sudah berubah menjadi kepompong di dalam sleeping bagnya di dalam tenda.
"Janganlah Ja, sumuk abang kalo ditutup semua", pintaku yang memang mengalami gangguan pada tempat-tempat yang tertutup.
Lalu aku mengambil jaket dan memberikan kepadanya sebagai lapis, akan tetapi anak ini menolaknya dengan berkata "Udah, nggak usah sok perhatian bang, geli aku nengoknya".
Memang kami berteman cukup dekat, akan tetapi saling punya ego yang tinggi agar tidak terlihat lemah, walaupun tanpa memberitahukan sesuatu kami sudah saling mengetahui apa yang dipikirkan oleh masing-masing, misalnya hanya dengan tatap-tatapan saja, kami sudah sama-sama paham dan bisa menertawakan orang lain tanpa harus berbicara.
"Siapa yang mau nyelimutin kau bambang, aku cuma numpang narok bentar, mau ku pakek begok", jawabku, "Alaaahhhh bilang aja kau takut aku kedinginan, udah kau yang nggak usah sok perhatian" sambungku.
"Tidurlah kita bang, besok masih jauh perjalanan" ajaknya untuk menyudahi obrolan yang unfaedah ini.
Lalu akupun memakai sleeping bag, namun tidak lupa menutup pintu tenda agar tidak terlalu terbuka karena merasa agak takut.
Sebenarnya samar-samar aku memperhatikan keluar tenda, seakan ada mata yang sedang memperhatikan kami sejak tadi dari arah pepohonan di seberang api unggun, namun aku tidak memberitahukan hal ini kepada Raja. Aku juga tidak tahu apakah anak ini merasakan hal yang sama.
Aku mencoba memejamkan mata dan mengingat-ingat, sepertinya ada sesuatu yang berbeda dari si Raja pada pendakian ini, selama perjalanan dia lebih banyak mengalah di setiap obrolan bila kami tidak sepaham, dan sangat kelihatan dia sudah mempersiapkan pendakian ini tanpa memperbolehkan aku ikut campur di dalamnya.
Lambat laun akupun mulai bisa tertidur, namun tiba-tiba saja di dalam tidur aku merasakan sesuatu yang berat menimpa, aku sangat sulit bernafas, dan semuanya menjadi gelap, akan tetapi aku tidak kehilangan kesadaranku.
Di awal jalan kami melewati perkebunan karet milik toke-toke besar di kota ini, kebun karet dengan medan yang landai dan terawat dengan rapi, dan sekarang setelah berjalan 2 jam lebih, kami memasuki kebun karet milik masyarakat setempat, kebun karet yang berada di medan curam yang menanjak dan jauh dari desa.
Sepanjang jalan kami saling bercerita, ada saja yang menjadi bahan perbincangan kami, dan kami benar-benar berjalan dengan sangat santai diiringi tawa dan obrolan yang tak tentu arahnya.
Jalur yang dilalui kini mulai benar-benar tidak bersahabat dengan dengkul, walaupun ujung kaki belum bersilaturahmi dengan jidat, tapi medan yang menanjak dan hari yang panas sudah cukup membuat nafas menjadi ngos-ngosan serta mandi keringat (ngos-ngosan, mandi keringat, serasa baca Any Arrow dan nonton kakek sugiono).
Setelah berjalan melewati perkebunan, kini kami memasuki hutan yang benar-benar lembab, sinar matahari seolah tidak berhasil masuk menembus lebatnya pepohonan, dan disini aku merasakan udara yang lebih dingin dari tempat sebelumnya.
Kami terus berjalan menembus pekatnya hutan, terkadang kami menyeberangi sungai yang tidak terlalu lebar dan dangkal dengan air yang sangat jernih.
Di sungai ini terdapat banyak ikan yang berenang secara bebas dengan ukuran yang beraneka ragam, dari yang kecil sampai yang besar dan pasir serta bebatuan di dasar sungai sangat terlihat dengan jelas.
Dalam perjalanan ini kami seakan tidak ada memburu waktu, kapan mau berhenti, kami langsung berhenti untuk menikmati alam sekitar, akan tetapi aku merasakan sesuatu keanehan di tempat ini, sehingga aku mengajak Raja untuk berjalan lebih cepat.
Setelah berjalan hampir 4 jam, kami tiba di air terjun yang walaupun tidak terlalu tinggi akan tetapi memiliki keunikan tersendiri, air terjun ini seperti ditampung dalam wadah alami yang berbentuk seperti kolam, lalu mengaliri airnya ke sungai yang kami lewati sebelumnya.
Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tempat ini, dan kami menemukan sebuah dataran terbuka di dekat pohon yang sangat besar, walaupun tidak terlalu lebar, akan tetapi cukup nyaman untuk satu tenda.
Setelah mendirikan tenda, Raja langsung mengumpulkan ranting-ranting pohon yang banyak terdapat disekitar tempat tersebut dan menggali tanah yang tidak telalu lebar untuk membuat api unggun nanti malam.
Kini hari benar-benar gelap, hewan malam mulai mengumandangkan nyanyiannya, sayangnya di tempat ini kupu-kupu tidak termasuk hewan malam.
Kami langsung membuat api unggun dengan modal ban karet sebagai bahan bakarnya kemudian kami menyantap bekal sebagai makan malam yang sudah disiapkan Raja dari rumah.
Bersama anak ini tidak pernah kehabisan bahan obrolan, ada saja yang kami omongi (dibaca ghibah), mulai dari Bupati, Wakil Bupati, Polisi, Camat dan jajarannya, tetangga dibelakang, depan dan samping rumah sampai ke tukang becak serta tukang jual tuak hingga tante di depan gang (kalo ini obrolan wajib) nggak luput dari pembahasan kami.
Nggak terasa waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, dan angin malam makin menusuk ke tulang, lalu kami segera mematikan api unggun agar api tidak menjalar sehingga terjadi kebakaran di saat kami tertidur.
"Bang, tendanya tutup ajalah, dingin kali" kata Raja yang sudah berubah menjadi kepompong di dalam sleeping bagnya di dalam tenda.
"Janganlah Ja, sumuk abang kalo ditutup semua", pintaku yang memang mengalami gangguan pada tempat-tempat yang tertutup.
Lalu aku mengambil jaket dan memberikan kepadanya sebagai lapis, akan tetapi anak ini menolaknya dengan berkata "Udah, nggak usah sok perhatian bang, geli aku nengoknya".
Memang kami berteman cukup dekat, akan tetapi saling punya ego yang tinggi agar tidak terlihat lemah, walaupun tanpa memberitahukan sesuatu kami sudah saling mengetahui apa yang dipikirkan oleh masing-masing, misalnya hanya dengan tatap-tatapan saja, kami sudah sama-sama paham dan bisa menertawakan orang lain tanpa harus berbicara.
"Siapa yang mau nyelimutin kau bambang, aku cuma numpang narok bentar, mau ku pakek begok", jawabku, "Alaaahhhh bilang aja kau takut aku kedinginan, udah kau yang nggak usah sok perhatian" sambungku.
"Tidurlah kita bang, besok masih jauh perjalanan" ajaknya untuk menyudahi obrolan yang unfaedah ini.
Lalu akupun memakai sleeping bag, namun tidak lupa menutup pintu tenda agar tidak terlalu terbuka karena merasa agak takut.
Sebenarnya samar-samar aku memperhatikan keluar tenda, seakan ada mata yang sedang memperhatikan kami sejak tadi dari arah pepohonan di seberang api unggun, namun aku tidak memberitahukan hal ini kepada Raja. Aku juga tidak tahu apakah anak ini merasakan hal yang sama.
Aku mencoba memejamkan mata dan mengingat-ingat, sepertinya ada sesuatu yang berbeda dari si Raja pada pendakian ini, selama perjalanan dia lebih banyak mengalah di setiap obrolan bila kami tidak sepaham, dan sangat kelihatan dia sudah mempersiapkan pendakian ini tanpa memperbolehkan aku ikut campur di dalamnya.
Lambat laun akupun mulai bisa tertidur, namun tiba-tiba saja di dalam tidur aku merasakan sesuatu yang berat menimpa, aku sangat sulit bernafas, dan semuanya menjadi gelap, akan tetapi aku tidak kehilangan kesadaranku.
Diubah oleh semutbulat 12-07-2021 16:20
jondolson dan 8 lainnya memberi reputasi
9