Quote:
Satu jam sebelum bapak menghubungi dan meminta untuk pulang, Astria masih duduk di ruang kerjanya. Jari-jari dan matanya tak lepas dari laptop, dengan latar belakang gedung-gedung beton dan langit mendung Ibukota yang terbingkai indah dari balik jendela. Beberapa map berwarna kuning tertumpuk di sudut meja, isinya berkas laporan yang belum sempat diperiksa dan ditandatangani. Sedang di sisi yang lain, terpampang sebuah tanda berbentuk persegi panjang dengan tulisan yang terukir dengan jelas; Astria Nur Wardani. Marketing Supervisor.
Umurnya masih 27. Lulus kuliah baru tiga tahun lalu. Tapi Astria sadar, mau secerdas apapun, posisi yang ia tempati saat ini jelas terlalu cepat untuk ia raih. Orang-orang di kantor, terutama para karyawan senior, sering berbisik di belakang. Mungkin menduga-duga, apa yang telah perempuan muda ini korbankan atau jalan pintas apa yang ditempuh sehingga ia mampu melompati piramida jenjang karir dalam waktu yang teramat singkat. Tak jarang pula, Astria menerima pandangan sinis setiap ia tanpa sengaja berada dalam satu lift dengan karyawan-karyawan yang lain. Tapi Astria tak bergeming. Dia sadar dia punya otoritas, dan di posisi seperti sekarang, Astria tahu bahwa ia tak akan mudah digoyang oleh siapapun.
Ini bukan pertarungan yang seimbang. Mereka hanya bisa untuk bergunjing di belakang, sedangkan aku mampu membuat mereka kehilangan pekerjaan dengan mudah. Batin Astria sambil menyunggingkan senyuman tipis.
Lalu kemudian ponsel yang tergeletak di meja dekat laptop itu berdering kencang. Astria mendengarnya, tapi ia lebih memilih untuk mengetik dua kalimat terakhir dari laporan bulanan itu terlebih dahulu, sebelum akhirnya menoleh dan menemukan nama bapaknya tertera di layar ponsel. Seketika, wajah mulusnya berubah menjadi tegang. Matanya menyernyit, dan otaknya berusaha menebak-nebak. Bapak tidak pernah menelepon di jam kerja seperti ini, kecuali ada hal penting yang ingin dibicarakan.
Buru-buru ia raih ponselnya dan menekan tombol terima sebelum dering itu berhenti berbunyi.
"Halo...Bapak?" Astria tampak ragu untuk berucap. Karena di saat bersamaan, firasatnya berkata ada sesuatu yang tidak beres. Apalagi yang ia dengar pertama dari seberang sana bukanlah sebuah kalimat, tapi hembusan nafas berat.
"Halo nduk, lagi sibuk ya?"
Kali ini giliran Astria yang menghela nafas berat. Dia melirik tumpukan map di meja yang mulai menggunung, tapi tidak sopan rasanya jika ia harus berkata jujur bahwa kesibukan di kantor memang sedang menggila beberapa hari terakhir.
"Mboten, Pak. Bapak pripun wonten griyo? Sehat?" (Enggak, Pak. Bapak sendiri gimana di rumah? Sehat?)
"Sehat kok, nduk..." Ada jeda tercipta di sana. Beberapa detik saja, sebelum bapak melanjutkan kalimatnya. "Mung ono masalah sithik ning ngomah." (Cuma ada sedikit masalah di rumah.)
Ada beberapa kemungkinan buruk yang langsung terlintas di kepala Astria. Tapi diantara kemungkinan-kemungkinan itu, ia memilih menanyakan yang paling buruk terlebih dahulu. Dengan harapan bahwa ia akan langsung mendapat jawaban /bukan/.
"Soal Yuli?"
Sayangnya, bapak memberikan jawaban yang sebaliknya.
"Iya."
Punggung Astria langsung terhempas ke senderan kursi. Matanya kosong seketika dan semua tumpukan pekerjaan ini terlupakan dalam sekejap mata. Bahkan kini, dia kehabisan kalimat untuk diucapkan.
"Awakmu bali mulih seg iso ora, nduk? Secepatnya..." (Dirimu pulang dulu bisa enggak, nak? Secepatnya...)
Suara itu jadi terdengar begitu jauh sekarang. Astria butuh beberapa waktu untuk mencerna semuanya, walau ia paham betul apa yang dimaksud oleh bapak dengan permintaan itu. "Gelar Pendem mau bapak percepat? Memang Yuli sudah siap?"
"Wis iso kok, nduk. Tapi kan awakmu kudu mulih disik. Ketemu mbah Gondo disik." (Sudah bisa kok, nak. Tapi kan dirimu harus pulang dulu. Ketemu Mbah Gondo dulu.)
Astria masih diselimuti keraguan. Pekerjaannya menumpuk, pencapaian timnya masih jauh dari target perusahaan. Tidak mungkin dia pergi meninggalkan kantor dalam keadaan seperti ini. Tapi seakan mengetahui isi hati putri semata wayangnya itu, Bapak langsung memberi Astria jawaban atas keresahannya.
"Yen soal gawean, kowe ora usah khawatir. Bapak wis telepon Pak Hendardi..." (Kalau soal kerjaan, kamu enggak usah khawatir. Bapak udah telepon Pak Hendardi...)
Tapi kalimat itu tak pernah selesai. Pintu ruangan tiba-tiba dibuka dari luar, dan sosok yang berdiri di sana itulah yang membuat Astria refleks memutus sambungan telepon dan langsung berdiri dari duduknya.
"Pak Hendardi..." Hanya itu yang terucap dari mulut Astria, ketika ia melihat pria tegap dengan rambut beruban itu berjalan pelan memasuki ruangan. Langkahnya mantap tanpa keraguan, sorot matanya yang mulai dipenuhi keriput itu tajam. Seakan terlalu banyak hal yang tersimpan dan tergambar di dalam sana.
Dialah yang bernama Hendardi. Presiden Direktur dari Bahtera Finance, perusahaan tempatnya saat ini bekerja.
"Duduk saja, Astria." Yang disebut namanya menurut. Dia duduk tepat setelah Pak Hendardi duduk terlebih dahulu di seberang meja. "Pak Gunardi baru saja telepon kamu, ya? Katanya ada masalah di Srigati."
Senyum hangat itu berkembang di bibir Pak Hendardi, walaupun jelas terlihat ada rasa gelisah yang terlalu kentara dari gestur tubuhnya.
"Kamu pulang saja. Biar nanti aku suruh Denny buat gantiin tugas kamu untuk sementara waktu."
"Tapi, pak..."
"Jangan membantah, Astria! Pulanglah, dan jangan lupa sampaikan salam hormatku untuk Bapakmu dan Mbah Gondo."
Quote:
Mas Supri, seperti warga dusun yang lain, tentu lebih memilih untuk mendapat bagian di tapal masuk desa, tidak masalah mau di sebelah selatan maupun utara. Atau kalau bisa malah di pos ronda saja, walaupun setiap satu jam sekali harus berkeliling dari ujung dusun ke ujung lainnya.
Dia ada di baris kedua ketika semua warga dikumpulkan di depan rumah Pak Gunardi siang tadi, untuk mendengarkan pembagian jatah ronda yang mendadak saja digalakkan kembali. Entah apa alasannya. Ada yang bilang karena akhir-akhir ini sedang ramai maling dan rampok di mana-mana, ada juga yang memberi duga bahwa ini ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di kandang kambing beberapa hari lampau. Tapi ketika Sarmin, yang hari itu ditunjuk sebagai juru bicara, menyebut bahwa ada empat titik yang harus dijaga oleh para warga -termasuk kandang kambing-, gugur sudahlah dugaan yang pertama tadi.
"Aku wegah yen kudu jogo ning omahe Yuli..." (Aku enggak mau kalau jaga di rumahnya Yuli...)
Bisik salah seorang warga yang duduk bersila tepat di samping Mas Supri, menyebut satu tempat yang tentu saja merujuk pada kandang kambing yang letaknya tepat di pinggir hutan jati itu. Mas Supri hanya tersenyum kecil. Dalam hati dia merutuk, siapa juga yang mau dapat jatah jaga di sana?
Tapi bukan Mas Supri namanya jika tidak tinggi bicara. Harga diri dan gengsi harus dipertahankan. Dia tak mau disebut pengecut. Apalagi kalau sedang nongkrong bersama di ladang atau warung kopi, Mas Supri sering menjadikan tempat itu sebagai bahan guyonan untuk ditertawakan bersama-sama. Seakan dia tak ada takutnya sama sekali.
"Lha ngopo kok kudu wedi, ki?" (Emangnya kenapa kok harus takut?)
Namun yang tidak disangka Mas Supri adalah karma yang kemudian bergerak sekencang angin di musim pancaroba. Melibas habis kesombongan Mas Supri tak lebih dari dua detik setelah sesumbar itu keluar dari kerongkongannya.
"Dados, jatah ronda wonten omahe Yuli kangge malem sepisan nggih meniko Tarto, Agus....lan Mas Supri!" (Jadi, jatah ronda di rumah Yuli untuk malam yang pertama yaitu Tarto, Agus...dan Mas Supri!)
Modaaarrr!! Mas Supri memejamkan mata dalam-dalam sambil berharap ini hanya sekadar mimpi belaka. Tapi suara Sarmin tadi rasanya terlalu lantang dan jelas, selantang dan sejelas sebuah kenyataan.
Kemudian terdengar sebuah bisikan lirih bercampur tawa yang ditahan, tepat dari arah sampingnya.
"Yuli ki yen bengi sok bengok-bengok, opo meneh panggonane cedhak alas sing dudu lumrahe panggonan manungso. Sampeyan lak ora wedi to?" (Hati-hati lho, Mas. Yuli tuh kalau malam suka teriak-teriak, apalagi tempatnya dekat hutan yang bukan lumrahnya tempat manusia. Kamu enggak takut, kan?)
Seketika, hati Mas Supri menjadi panas. Tiga perasaan sekaligus sedang bergolak di balik dadanya; marah karena merasa dilecehkan, malu karena sudah terlanjur sesumbar...dan takut membayangkan sengeri apa menghabiskan malam di kandang kambing pinggir hutan dengan perempuan gila yang dipasung di dalamnya.
Tapi tak ada yang bisa Mas Supri lakukan. Tidak mungkin dia mengamuk di tempat ini. Lebih tidak mungkin lagi kalau mau menyalahkan Sarmin atau Pak Gunardi. Dia bukan siapa-siapa di antara mereka semua. Bahkan Mas Supri bukan orang asli Srigati. Istrinyalah yang lahir dan besar di dusun ini.
Jadi dia memilih untuk diam dan memandang ke belakang. Ke arah barisan para perempuan, dimana di sana istrinya tampak menundukkan kepala usai mendengar nama suaminya disebut. Sepasang mata Mas Supri makin memerah. Dadanya makin panas tidak karuan.
Kini jelas sudah, dimana dia harus melampiaskan semuanya.
Dan benar saja, seusainya acara kumpul warga selesai, Mas Supri langsung mengamuk tepat setelah pintu rumah mereka ditutup dari dalam. Dengan kedua lengan kekar yang genap legam akibat sengatan matahari itu, Mas Supri menjambak rambut istrisnya dan melemparkannya ke lantai tanah.
Sang istri, yang badannya kecil kurus itu sama sekali tidak memberi perlawanan dalam bentuk apapun. Tak juga dia mencoba lari keluar rumah. Yang bisa diharapkannya adalah amarah suaminya cepat mereda. Kedua lengan kecilnya itu digunakannya untuk menutupi area kepala, sekadar untuk berjaga andai amukan sang suami sampai mengenai kepala dan dia mati karenanya.
Alih-alih merasa iba, melihat tubuh istrinya tersungkur dan meringkuk di atas lantai seperti itu malah membuat semangat Mas Supri kian berkobar-kobar. Dia mengambil ancang-ancang, dan mengayunkan sebuah tendangan tepat ke perut. Sang istri merintih kesakitan, tanpa melepaskan kedua lengan dari kepalanya.
Mas Supri makin menjadi. Bergantian, kaki kanan dan kiri menyepak dan menginjak seluruh bagian tubuh wanita yang dinikahinya setahun tahun lalu itu. Dada, punggung, paha, kaki, wajah...semuanya dapat bagian yang rata dan sama kerasnya.
"Wedokan gathel!! Goro-goro rabi karo kowe aku kudu pindah ning dusun kene! Asu kowe!!" (Perempuan tai! Gara-gara menikahi kamu aku harus pindah ke dusun ini! Anjing kamu!!)
Mas Supri terus berteriak sembari terus memperlakukan sang istri layaknya sebutir bola sepak. Dia sepenuhnya gelap mata, suara malang yang terus meminta ampun itupun tak mampu menghentikan luapan emosinya.
"Asu! Asu! Asuuu!!" (Anjing! Anjing! Anjiiing!!)
Tubuh istrinya berkali-kali terhempas ke belakang, dan Mas Supri baru berhenti ketika ia sadar bahwa sebentar lagi malam akan datang. Dia teringat masih harus mengasah celurit dan mandi sebelum bersiap berangkat untuk melaksanakan sesuatu yang sama sekali tak ingin dia laksanakan.
"Ojo mati kowe, Jum! Ora usah nambah-nambahi masalahku!!" (Jangan mati kamu, Jum! Tidak usah menambah masalahku!!)
Ucap Mas Supri dengan terengah-engah, sambil meludah ke arah sang istri yang meringkuk tak berdaya di hadapannya sebelum ia berlalu ke halaman belakang rumah. Mengasah celurit dan berharap emosinya bisa sedikit mereda.