Selamat menikmati Bagian Lima gan...mohon kritik dan sarannya ya agan-agan maklum kite masih amatiran buat nulisnya.
Quote:
"Nuwun sewu (mohon maaf) sebelumnya, tapi sepertinya Dusun saya ini belum butuh ada anak-anak KKN. Selain karena secara administratif induk Desa kami bukan di Jatiasih, adik-adik juga bisa lihat warga di sini masih cukup mampu untuk menghidupi diri mereka sendiri. Bahkan saya berani bilang, kalau dibandingkan dengan Jatiasih, di sini lebih makmur masyarakatnya."
Kepala Dusun Srigati itu, Pak Gunardi namanya, berbicara dengan nada yang sedikit tidak mengenakkan telinga, ketika Gilang mencoba menawarkan program kerja di tempat ini. Tapi ia tak lantas sakit hati. Gilang belum mau menyerah. Dia coba mengajukan pertanyaan lain.
"Kalau sebelumnya sudah pernah ada anak KKN atau semacam penelitian dari kampus di Srigati, Pak?"
Inilah kuncinya! Batin Gilang.
Pertanyaan ini adalah pembuka dari pertanyaan-pertanyaan lain yang sebenarnya dia cari di Dusun ini. Karena sebenarnya, basa-basi tentang tawaran proker KKN itu tak lebih dari omong kosong.
Gilang punya agenda lain.
"Tidak pernah ada!" Pak Gunardi menjawab tegas tanpa tedeng aling-aling.
Pak Gunardi bohong! Di detik itu, Gilang langsung tahu bahwa berdusta ketika mengatakan bahwa di dusun ini belum pernah ada penelitian atau observasi.
Sekilas, garis muka kepala dusun ini berubah sedikit mengeras. Hanya beberapa detik, sebelum dia berusaha melunak dan kembali melemparkan senyumnya. Kembali berusaha nampak ramah. "Lagipula, arep gawe program opo di sini, dek? (mau bikin program apa di sini?) Ini cuma dusun kecil, tidak ada apa-apa di sini. Tidak ada yang bisa diteliti, hehehe..."
Tidak ada apa-apa? Yakin? Gilang membatin dalam hati.
Nyaris bersamaan, suara bising sepeda motor terdengar mendekat ke arah rumah Pak Gunardi. Perhatian Gilang langsung teralih, dia arahkan pandangannya ke halaman depan. Tak lama, motor itu berhenti di depan sana. Seorang lelaki muda memboncengkan lelaki lain yang jauh lebih tua, bahkan lebih tua dari Pak Gunardi sekalipun.
Hanya saja, langkah mereka terhenti tepat di samping motor. Seakan mereka berdua tak menduga bahwa sedang ada tamu (atau dua orang asing) yang sedang duduk di rumah Pak Gunardi.
Dea, yang bahkan sempat terlupakan keberadaannya karena dari tadi diam saja tanpa bicara sepatah katapun, berbisik pelan dengan getar ketakutan yang sangat kentara terdengar di telinga Gilang. "Ketoke mending awakedewe ndang pamit wae, Gil..." (Kelihatannya mending kita segera pamit saja, Gil)
Mungkin memang sudah saatnya pulang, batin Gilang. Nyaris dia bangkit dari duduknya dan berpamitan, ketika si kakek tua itu maju beberapa langkah. Menghunjamkan pandangan tajam dari sepasang mata keriput, yang anehnya mampu membuat nyali Gilang sedikit goyah. Apalagi ketika melihat penampilannya. Blangkon hitam dan baju surjan lengan panjang. Lalu jenggot putih yang dibiarkan memanjang tak terurus, serta teken (tongkat kayu untuk membantu orang tua berjalan) yang digenggam erat di tangan kanannya.
"Sopo bocah-bocah iki?" (Siapa anak-anak ini?)
Suaranya besar, tebal dan intonasinya begitu tegas. Jelas menandakan bahwa Kakek ini, siapapun dia, tidak begitu berkenan dengan kehadiran Gilang dan Dea. Dan ketika Gilang melihat Pak Gunardi langsung berdiri dan sedikit menundukkan kepalanya, Gilang tahu Kakek ini bukan orang sembarangan di Srigati.
"Namung tamu, Kung. Sekedap maleh sampun badhe wangsul." (Hanya tamu, Kek. Sebentar lagi juga sudah mau pulang.)
Pak Gunardi melirik tajam ke arah Gilang. Dia sadar diri, bangkit dan lalu langsung berpamitan dengan kepala dusun itu. Dia tarik tangan Dea dan langsung menuju motornya yang terparkir tepat di samping motor si Kakek. Tak mau buang waktu terlalu lama, Gilang sedikit menganggukkan kepala lalu memacu motornya keluar dari rumah Pak Gunardi.
"Ayo bali wae, Gil! Aku wegah ning kene suwe-suwe!!" (Ayo balik saja, Gil! Aku enggak mau di sini lama-lama!!)
Dea bahkan sudah mau menangis di belakang. Tapi Gilang tidak peduli, pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain.
"Kadus kui ngapusi!" Desisnya tajam. "Ngapusi yen ora pernah enek KKN opo penelitian ning Srigati!" (Kadus itu bohong kalau tidak pernah ada KKN atau penelitian di Srigati!)
"Ngomong opo to kowe?! Ayo balik wae, wis Maghrib iki! Anak-anak sing liyane mesti wis nunggu dewe ning Jatiasih!" (Ngomong apa sih kamu?! Ayo pulang aja, udah Maghrib ini! Anak-anak yang lain pasti udah nunggu kita di Jatiasih!!)
Motor mereka kini tepat berada di luar tapal batas dusun Srigati. Gilang berhenti seketika, ketika ia menyadari sesuatu dari omongan Dea barusan.
"Wis Maghrib, ya De?" (Udah Maghrib ya, De?)
Dia menoleh ke Dea di belakang yang matanya sudah basah oleh air mata dan tubuhnya gemetar karena ketakutan.
"Tapi ora enek suara Adzan ning kene, ya to? Ora ono masjid!" (Tapi enggak ada suara Adzan di sini, ya kan? Tidak ada masjid di sini!)
Dea, yang mendengar ucapan Gilang, sedikit terperangah. Menyadari bahwa memang dia tadi juga tidak menemukan satupun masjid atau tempat ibadah. Kecuali hanya rumah-rumah warga, kandang kambing...
...dan bekas bangunan yang terbakar di sisi kanan perempatan Dusun.
Lalu kesalahan terbesar itu dimulai di detik ini. Di detik dimana Gilang mengambil keputusan yang akan menjerumuskan mereka dalam kisah panjang nan gelap ini.
"Aku ra iso mulih saiki, De! Wis kadung adoh!" (Aku enggak bisa pulang, De! Udah kepalang tanggung!)
Dea memandang Gilang dengan tatapan tak percaya sekaligus ngeri setengah mati ketika gagasan itu tiba-tiba meluncur dari mulut Gilang.
"Aku pengen liat apa yang Pak Gunardi dan Kakek-Kakek tadi mau lakukan..."
Quote:
Di sebuah warung kopi di dekat gerbang desa Jatiasih, Mereka duduk melingkar sambil menghadap gelas masing-masing yang masih utuh tak tersentuh. Melia, Adil, Gilang dan Dea. Ada sunyi yang kemudian tercipta ketika Dea dan Gilang telah genap menyelesaikan cerita mereka.
Kemudian, Melia menghela nafas.
"Jadi, kalian membuntuti kepala dusun dan si kakek itu?" Dia memecah kebekuan. Dipandanginya Dea dan Gilang satu persatu.
Tapi yang ditanya tidak segera menjawab. Mereka menundukkan kepala, sambil sesekali saling melempar tatap satu sama lain.
"Iya, Mbak..." Dan Dea yang menjawab terlebih dulu.
"Saya sampai mohon-mohon sama Gilang buat pulang saja. Tapi saya juga gak punya pilihan. Saya ada di sebuah desa di tengah hutan. Enggak mungkin saya balik ke Jatiasih sendirian!"
Gilang yang merasa diserang oleh Dea, nyaris angkat bicara. Sebelum Adil menyadarinya dan langsung menengahi. "Wis, wis! Rasah podo tukaran! (Sudah, sudah enggak usah berantem!) Sekarang aku mau nanya, kalian kan tidak mungkin putar balik masuk dusun itu lagi setelah sambutan yang tidak hangat seperti itu..."
"Memang kita enggak putar balik, Mas..." Gilang langsung menyambar. "Aku milih lewat jalur tikus. Aku parkirin motor agak masuk ke dalam kebun jagung warga. Di sana ada jalan setapak yang langsung tembus di jalur hutan di sebelah kanan perempatan Dusun."
"Yang ada bangunan bekas kebakar itu tadi. Tapi lebih masuk ke dalam." Dea menambahkan.
Melia langsung merasa ada yang tidak beres di sini. Pandangannya tajam menyelidik ke arah Gilang.
"Lo kok tahu Pak Gunardi sama si Kakek itu mau pergi? Dan lo juga tahu ada jalan rahasia di kebun jagung?" Nada bicara Melia kian menajam. "Itu bukan pertama kali lo datang ke Srigati kan??"
Gilang pasrah. "Iya, Mbak...itu kedua kalinya saya kesana..."
Quote:
Nafas Dea tersengal. Rasa lelah, takut menguasai seluruh tubuhnya. Dadanya bahkan makin terasa sesak, seakan pohon-pohon jagung yang tumbuh lebih tinggi dari dirinya ini akan mengurung dirinya di sini selamanya. Dea merasa tersesat, dan saat ini hanya punggung Gilang-lah yang menjadi kompasnya menyusuri pematang tanah yang bahkan tak cukup lebar untuk dua telapak kaki.
Ayo mulih! Ayo mulih! (Ayo pulang! Ayo pulang!)
Kalimat itu nyaris ratusan kali Dea mohonkan kepada Gilang. Tapi sahabat yang ia kenal sebagai kutu buku di kampus ini, seakan tuli. Dia begitu berbeda saat ini, bahkan Dea sampai tak mengenalinya lagi.
"Bentar lagi sampai, De...bentar lagi!"
Hanya itu yang Gilang ucapkan, walau Dea tahu dia tak menginginkan jawaban itu. Sedangkan senja mulai berganti malam. Membuat pandangan keduanyapun kian terbatas. Hanya dengan setitik cahaya dari layar ponsel Gilanglah satu-satunya bantuan mereka agar tidak jatuh terguling ke pinggiran pematang kebun.
Dea sudah sampai batasnya. Benar-benar sampai batasnya. Dia merasa dia nyaris pingsan karena kelelahan dan ketakutan. Tapi, Gilang buru-buru merengkuh tubuhnya dan menundukkan kepala Dea.
"Tenang, De! Tenang..."
Dalam kesadarannya yang tinggal separuh itu, dalam pandangannya yang sudah mulai kabur, Dea menatap ke arah yang sama dengan yang Gilang tatap.
QUOTE IN QUOTE
Quote:
Dari balik jejeran pohon jagung, dan dihujani tempias cahaya pucat rembulan, sebuah gubuk dengan dinding beranyam bambu berdiri di ujung sana. Berjarak cukup jauh dari tempat mereka berdua melakukan pengintaian. Gilang berhitung, bahwa dari jarak sejauh ini, dan ditutupi pohon jagung yang cukup rapat, dia dan Dea akan baik-baik saja.
Mata dan telinga terpasang baik-baik. Deru mesin sepeda motor, mungkin dua buah, sayup terdengar dari kejauhan. Lalu kian dekat, kian mendekat dan kini tampaklah sudah dua motor itu di pandangan Gilang dan kemudian berhenti tepat di depan gubuk bambu tadi.
"Dea, delengen kae...Pak Gunardi, Mbah-mbah karo wong lanang sing ngeterne simbahe mau!" (Dea, lihat itu...Pak Gunardi, Kakek-kakek dan lelaki yang nganterin si Kakek tadi!)
Tapi Dea tak menjawab. Gilang menoleh ke arah temannya itu. Memastikan bahwa dia tidak pingsan atau bahkan kesurupan.
Oke, Dea masih sadar dan bahkan ikut mengamati ke arah depan sana. Hanya saja, tampaknya Dea sudah kepayahan. Wajahnya basah kuyup oleh keringat bercampur air mata. Tubuhnya bersimpuh di tanah kebun jagung sambil tangannya memegang erat lengan Gilang. Seakan tak mau lepas barang sedikitpun.
"Asu..ayo mulih, Gil!" (Anjing...ayo pulang, Gil!)
Hanya itu yang bisa diucapkan Dea, bahkan dengan nada merintih dan memelas.
"Bentar lagi, bentar lagi!" Gilang masih keras kepala.
Dan yang terjadi kemudian, Pak Gunardi dan Si Kakek misterius itu berbicara namun tak terdengar apa yang mereka bicarakan. Tapi sepenglihatan Gilang, mereka sedang mendiskusikan tentang apapun yang ada di dalam gubug itu.
Lima menit berlalu, sampai akhirnya tangan Si Kakek mengayun. Seakan memberi perintah kepada Pak Gunardi dan lelaki muda satunya untuk membuka pintu gubuk yang tampaknya dikunci dengan rantai besi.
Jantung Gilang berdegup kencang. Apa yang ada di dalam sana?! Apa yang ada di dalam sebuah gubug yang tampaknya sengaja di bangun jauh dari pemukiman warga dan masuk ke dalam hutan?!
"Gilaaaaang...!!" Dea mendesis, nadanya menakutkan. Menegakkan bulu roma Gilang, yang langsung menoleh panik ke arah Dea yang dia kira benar-benar kesurupan atau nyaris pingsan.
Tapi tidak...
Mata Dea melotot. Jari telunjuknya mengarah ke satu titik, yang ketika Gilang ikuti, dia melihat gubug itu terbuka dan di dalam sana, dengan diterangi sinar redup dari lampu petromak yang tergantung di langit-langit gubug; tampak seorang perempuan muda dengan rambut panjang berantakan. Wajahnya menegang ketika Gunardi, Si Kakek dan pria satunya masuk ke dalam.
Yang kemudian membuat Gilang ngeri setengah mati adalah, perempuan itu tampak telanjang bulat. Payudaranya kendor dan kedua kakinya...
...Ya Tuhan!! Kedua kaki itu dipaksa mengangkang lebar dalam alat pasung yang terbuat dari kayu!!
"SOPO KAEEE??!!" (SIAPA ITU??!)
Sial! Gilang terlalu fokus pada apa yang terjadi di dalam gubug, hingga melupakan bahwa si pemuda yang selalu bersama Si Kakek itu masih ada di luar dan kini...
...dia mulai mengarahkan senternya ke tengah-tengah kebun jagung. Ke arah dia dan Dea sedang mengintai!!
Dan entah energi dari mana, Gilang refleks menarik tangan Dea dan berlari secepat babi hutan. Menembus lebatnya hutan jagung menuju motor yang ia parkir di pinggir kebun, tak peduli walau kulitnya tergores dan Dea separuh ia seret. Seumur hidup Gilang belum pernah setakut ini, dan tak ada hal lain di kepalanya kecuali segera kabur dari desa ini.
Malam kian gelap. Suara lolongan anjing bergema di udara. Yang terakhir Gilang dengar sebelum ia mencapai motornya dan ngebut keluar dari Srigati, adalah teriakan penuh amarah yang ia yakin keluar dari mulut Pak Gunardi.
"BEDHESSSS...!!! CEPET DIGACAR!!”