Quote:
Hujan turun untuk kedua kalinya.
Jam dinding di sudut sana menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit.
Jari-jari Adil lincang menaik-turunkan layar ponselnya. Mencari-cari nama seseorang yang dia kenal, yang memungkinkan untuk dimintai bantuan di deretan daftar kontaknya. Jantungnya berdegup kencang akibat adrenalin yang bergejolak. Bagaimana bisa di jam sekarang ini, masih ada orang yang memperlakukan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dengan cara yang tidak beradab seperti itu? Apalagi korbannya adalah seorang perempuan. Fakta itu menambah kegusaran yang dirasakan Adil.
Tak lebih dari dua menit, Adil menemukan nama yang dia cari. Seorang kawan sekaligus rekan sesama organisasi, dan kebetulan lokasi tempat tinggalnya paling dekat dengan lokasi Dea menjalankan program KKN-nya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia segera memencet tombol PANGGIL. "Halo, Eko? Lagi neng ngendi Ko? (Lagi dimana Ko?)"
"Halo, Adil. Piye Kabarmu, Dil? Biasa, aku masih di kota Y*******. Gimana, gimana?" Suara serak itu terdengar begitu ramah. Suara milik Eko, seseorang yang dia kenal ketika gathering organisasi setengah tahun lalu.
"Baik, Ko. Dadi ngene (Jadi begini) Ko, aku butuh bantuan evakuasi. Bisa? Tadi temen adikku telepon, katanya butuh bantuan evakuasi ODGJ yang dipasung. Lokasinya masih satu daerah sama tempatmu."
Eko terdengar antusias. Sama antusiasnya dengan Adil sendiri ketika pertama mendengar kabar itu dari Dea. "Boleh, boleh! Ini aku juga lagi ndak ada kegiatan. Kirimin saja nama lokasinya sama kontak temennya adikmu itu. Nanti biar aku follow-up..."
"Namanya Dea. Nomornya nanti aku kirim lewat BBM wae. Lokasinya di Kabupaten G*********. Nama desanya Srigati..."
"Kosek, kosek (bentar, bentar)! Desa mana??"
Adil kaget omongannya dipotong seperti itu, apalagi dengan nada yang seperti kaget dan tak menduga. "Desa Srigati. Ngopo emangnya?"
"Sepurane, Dil. Aku ndak bisa kesana."
Dan panggilan diputus begitu saja.
Adil termangu di tempatnya duduk. Dia bingung setengah mati dan butuh waktu baginya untuk mencerna apa yang barusan terjadi. Adil mencari-cari jawaban, kenapa nada bicara Eko langsung berubah ketika mendengar nama desa itu. Apa yang salah? Apa yang membuat Eko begitu tiba-tiba keras menolak untuk memberi bantuan ketika mendengar nama desanya?
Tapi belum juga dia mendapat jawaban, ponselnya kembali berdering. Ada pesan BBM masuk. Dari Eko.
"Aku ndak mau ikut campur kalau udah menyangkut desa itu, Dil. Maaf."
BBM kedua masuk sepuluh detik kemudian.
"Lagian, ngopo kancane adikmu pecicilan tekan kono? Aku ra percoyo yen mereka mung KKN thok neng desa kui! (Lagian, kenapa teman adikmu itu pecicilan sampai ke sana? Aku tidak percaya kalau mereka cuma KKN di desa itu!) Dan saranku, kamu mending ndak usah ikut-ikut campur...”
Belum juga dia menemukan jawaban atas kebingungan-kebingungan sebelumnya, kini ada pertanyaan lain yang menghantam kepala Adil...
ADA APA SEBENARNYA DENGAN DESA ITU?
Quote:
Karena memang pada awalnya, nama desa Srigati bahkan tidak disebut dalam proposal KKN mereka. Program kegiatan hanya meliputi tiga desa, dan untuk tempat tinggal dan program utama mereka dipusatkan di satu desa yang paling besar yaitu desa Jatiasih (bukan nama sebenarnya).
Dua desa lain yang lebih kecil, yaitu dusun Waru dan Giriwatu (bukan nama sebenarnya) hanya mendapatkan program minor karena dua daerah itu secara lokasi dianggap sebagai daerah satelit dan tak bisa dipisahkan dari Jatiasih itu sendiri.
Selain itu, ketiga desa tersebut memiliki kesamaan. Secara kontur, tanah di sana adalah tanah karst yang kering dan tandus. Setiap musim kemarau datang, dapat dipastikan para warga mengalami kesulitan air bersih.
Begitupun di bidang pertanian, tak banyak yang bisa diharapkan. Mereka hanya bisa menggarap tanah ketika musim penghujan tiba, itupun hanya beberapa komoditas seperti jagung, ubi atau singkong. Selain itu tak ada yang bisa mereka lakukan. Para orang tua memilih mengurus ternak, yang muda nekat merantau ke kota.
Dari hasil observasi awal, ternyata sudah ada tiga kali KKN yang dilakukan di Jatiasih. Dua yang awal bahkan dari kampus yang sama dengan kampus Dea. Jadi, otomatis mereka tinggal melanjutkan program-program yang dulu sudah dijalankan. Seperti perbaikan saluran air yang diambil dari sumur-sumur yang ada serta edukasi tentang pertanian di tanah kapur kepada para petani.
Dua minggu berlalu, semuanya berjalan sesuai rencana. Warga dan Pak Kusno, Kepala Desa Jatiasih, begitu ramah dan kooperatif. Lalu hari itu tiba...
Malam dimana Gilang menarik tangan Dea. Mengajaknya menyingkir sejenak dari anak-anak yang lain. Menuju ke halaman belakang rumah salah satu warga yang mereka tumpangi. Ada yang ingin dia bicarakan kepada Dea secara pribadi, karena dia pikir cuma Dea-lah yang bisa diajak diskusi soal ini.
"Di sebelah selatan desa ini ada satu Dusun. Kemarin aku ndak sengaja kesana pas jalan-jalan. Aku lihat dusun itu sepertinya lebih butuh bantuan."
Dea sedikit kaget. Baginya ini terasa begitu tiba-tiba. "Dusun apa sih, Gil? Kemarin pas diantar keliling Pak Kusno, seingatku di selatan Jatiasih cuma ada Dusun Waru dan abis itu hutan."
Gilang menelan ludah. Dia tampak ragu melanjutkan kalimat berikutnya. "Habis hutan itu, De. Kan ada jalan itu, jalan kecil yang diplester semen. Ingat, kan?"
"Maksudnya jalan masuk hutan?? Dusun itu masuk hutan??"
Gilang jadi tambah ragu. "I..Iya. Tapi ndak jauh kok. Masuknya paling dua kilometer aja. Habis itu udah ketemu sama gerbang dusunnya."
Kamu juga ngapain jalan-jalan sampai sana sih, Gil? Batin Dea. Tapi itu tak ditanyakannya langsung.
"Besok kamu lihat sendiri deh, De. Tapi berdua aja. Jangan bilang anak-anak yang lain dulu. Pak Kusno juga."
Dahi Dea berkerut. Dan sepertinya Gilang paham kalau lawan bicaranya itu curiga kepadanya.
"Ora-ora yen kowe tak rudapaksa! (Enggak-enggak kalau kamu aku rudapaksa!) Kamu tahu sendiri kan aku udah punya pacar!"
Dea menyeringai. "Tapi pacarmu ndak ada disini, kan?" Ucapnya sambil berbalik badan dan masuk kembali ke dalam rumah.
Quote:
Dan entah apa yang merasuki Dea, besoknya, di sore setelah mereka kabur sembunyi-sembunyi dari kegiatan kerja bakti bersama warga Jatiasih, dia sudah duduk di jok belakang motor Gilang.
"Udah? Ayo berangkat..." Gilang menoleh ke belakang sambil melempar senyum. Tampaknya anak ini sudah siap membawanya pergi ke dusun antah berantah itu.
Dea hanya menjawab dengan anggukan kepala, dan motor Gilang melaju meninggalkan markas KKN. Walau pikiran-pikiran jelek itu masih nongkrong di kepala, tapi setidak-tidaknya Dea sudah pasang tameng untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Dan terlepas dari itu, semalaman tadi Dea terus berpikir; kenapa Gilang begitu tertarik dengan dusun itu, dan kenapa tak boleh ada orang lain yang tahu? Bahkan Pak Kusno kepala desa...
Dan tak lebih dari sepuluh menit perjalanan melewati Jatiasih dan Waru, Gilang menghentikan tarikan gasnya tepat di depan sebuah hutan jati yang terakhir kali Dea lihat di hari pertama mereka datang ke Jatiasih. Ketika itu Pak Kusno mengajak seluruh anak-anak KKN berkeliling sambil memberikan penjelasan singkat tentang keterkaitan antara Jatiasih dan dua dusun di sekelilingnya. Kalau mau pengabdian di Jatiasih, maka otomatis Waru dan Giriwatu juga harus masuk dalam proker mereka. Begitu kata Pak Kusno dulu.
Dan dari apa yang masih diingat Dea, tur singkat itu berakhir di sini. Tepat di tempat dimana saat ini motor Gilang berhenti.
"Kenapa berhenti, Gil?"
Di hadapan Dea kini terbentang sebuah hutan yang dipenuhi deretan pohon-pohon jati raksasa yang nyaris semuanya meranggas. Hanya ada beberapa daun yang masih bertahan, seolah menolak gugur di tengah gersangnya tanah ini. Dahan-dahannya meliuk, menyeramkan, seakan tampak seperti figur ratusan manusia raksasa yang sedang menari. Dan di antara rapatnya deretan pohon-pohon itu, nampak satu jalan kecil yang diplester dengan semen membelah lebatnya hutan.
Memori-memori di hari pertama itu terputar kembali di kepala Dea. Bagaimana di tempat ini dulu, Pak Kusno menghentikan langkahnya. Mengehela nafas panjang sambil membenarkan posisi kopiah warna hitam yang selalu dipakainya itu.
“Ini adalah batas dusun Waru. Saya harap adik-adik ini mampu memaksimalkan program kerja dan selalu ingat untuk menjaga diri dan lingkungan. Tetap fokus dan jangan aneh-aneh. Batas kalian di sebelah selatan adalah hutan ini. Jadi saya ingatkan sekali lagi...”
Butuh beberapa saat bagi Dea untuk mengingat utuh kalimat terakhir dari Pak Kusno.
“...jangan melewati batas!”
Sekarang, Dea benar-benar menyesali pilihannya. Tak ada hal lain yang dia inginkan kecuali segera berbalik ke Jatiasih. Bulu kuduknya meremang. Tapi belum juga sempat ia mengutarakan niatnya, Gilang lebih dulu angkat bicara.
"Jalan aspalnya cuma sampai sini, De. Habis ini kita masuk ke dalam sana..."
"Bentar, Gil! Aku ingat Pak Kusno pernah..."
"Wis, to! (Sudahlah!)" Gilang memotong omongan Dea, dan entah kenapa Dea tak memprotes sedikitpun. Sepertinya rasa takut itu lebih menguasai dirinya. "Pokoknya nanti di sana, bilang saja kita mau memeriksa sumber air untuk dialirkan ke Waru, Giriwatu dan Jatiasih. Bicara saja seperlunya."
"Gil, aku gak mau kalau..."
Terlambat. Gilang menarik kembali gas motornya kencang-kencang. Membiarkan mereka berdua ditelan hutan Jati yang bagi Dea seakan begitu luas dan tak memiliki ujung ini.