Eksploitasi Alam Tiada Henti, Masihkah Indonesia Layak Disebut “Paru-Paru Dunia”?

Beranda

...

The Lounge
Eksploitasi Alam Tiada Henti, Masihkah Indonesia Layak Disebut “Paru-Paru Dunia”?

enda.roses

03-02-2016 20:14

Eksploitasi Alam Tiada Henti, Masihkah Indonesia Layak Disebut “Paru-Paru Dunia”?

TO MY THREAD

Eksploitasi Alam Tiada Henti, Masihkah Indonesia Layak Disebut “Paru-Paru Dunia”?

Negara Indonesia dahulu pernah disebut sebagai paru-paru dunia karena hutannya yang sangat luas. Indonesia juga diibaratkan bagai surga dunia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani.

Berdasarkan data dari beberapa sumber, kawasan hutan Indonesia mencapai 162 juta hektar dengan lahan hutan terluas terdapat di Papua (32,36 juta hektar). Bahkan, hutan hujan tropis indonesia adalah hutan terluas ke-3 di dunia setelah Brasil dan Kongo. Sungguh menakjubkan, bukan?

Tetapi itu dulu. Sekarang, apakah julukan “paru-paru dunia” itu masih pantas bagi negara kita? Karena hutan yang dulu lebat sekarang gundul,kekayaan alamnya dikuras oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dan inilah beberapa eksploitasi yang terjadi di Negeri pertiwi kita.

Spoiler for #:

1. Eksplotasi gila-gilaan PT. Freeport di bumi Papua, lingkungan hidup pun ikut tercemar

Saat mendengar kata “Papua”, sebagian besar orang pasti akan bepikir tentang penembakan, perang suku, ketidakadilan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Padahal dibalik itu kabar menyudutkan tersebut, Papua memiliki keindahan dan kekayaan alam yang luar biasa, sehingga tanah Papua dijuluki ‘surga kecil yang turun dari langit.’
Sayangnya, kini masyarakat di Papua telah menjadi miskin di tanah yang kaya tersebut. Sumber daya alam yang terbentang luas menjadi sasaran eksploitasi besar-besaran perusahaan asing, PT Freeport Indonesia (PT. FI) selama 44 tahun. Lebih dari 2,6 juta hektare lahan sudah dieksploitasi, termasuk 119.435 hektar kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektar kawasan hutan konservasi.
Tak hanya itu, eksploitasi tambang yang dilakukan PT FI juga telah merusak lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, sedikitnya 291.000 ton limbah pertambangan Freeport dibuang ke sungai setiap hari. Sementara kawasan yang dijadikan tempat membuang limbah Freeport mencapai 230 kilometer persegi

Spoiler for #:

2. Eksploitasi gas bumi di kawasan Lapindo, Porong, Sidoarjo. Kini menyisakan luapan lumpur yang tak pernah berhenti

Meski sudah 9 tahun berlalu, rasanya tragedi pengeboran lumpur lapindo di wilayah Porong, Kabupaten Sidoarjo masih sangat melekat di ingatan kita. Fenomena luapan lumpur yang menelan kerugian mencapai Rp 32,9 triliun itu bermula ketika PT Medici Citra Nusantara, perusahaan kontraktor yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc melakukan pengeboran tanah dengan kedalaman 9.297 meter.
Lantaran tidak melalui skema yang menjadi standar, 2 hari pasca pengeboran atau 29 Mei 2006 terjadi semburan lumpur di beberapa titik yang berjarak 150 dari lokasi pengeboran sumur utama.
Semburan lumpur panas itu telah menenggelamkan pemukiman, pertanian dan perindustrian di 16 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo. Bahkan kini luas wilayah luapan lumpur lapindo mencapai 640 hektar.
Dikutip dari merdeka.com, dosen Geofisika UI Mangapul Tambunan berpendapat bahwa tak ada teknologi apapun yang mampu menghentikan semburan lumpur tersebut. Semua impossible. Hanya alam yang mampu menghentikannya.

Spoiler for #:

3. Eksploitasi hutan tak terkendali, kualitas udara sempat memasuki level “Sangat tidak Sehat”

Kegiatan tebang dan bakar hutan seperti sudah jadi tradisi yang membudaya dalam pengolahan lahan di Riau. Ya, membakar adalah cara yang paling murah dan banyak ditempuh perusahaan untuk menghemat biaya dalam pengelolaan lahan.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup, Boy Jefri Sembiring mengatakan bahwa selama kurun waktu 30 tahun terakhir, 4,7 Juta hektar hutan Riau luluh lanta menjadi abu dan arang. Berdasarkan data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melihatkan kualitas udara di Riau sudah masuk level “Sangat Tidak Sehat”.
Dan yang terparah pada awal September 2015 lalu, kualitas udara di Pekanbaru sudah masuk ke level “berbahaya”. Dalam sebulan terakhir, tercatat 15.000 lebih warga Riau terserang ISPA. Bahkan yang paling ekstrim, kabut asap menyebabkan warga kritis hingga merenggut korban jiwa.
Kabut asap yang terjadi pada akhir tahun 2015 lalu itu sempat menyelimuti berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Bahkan kabut asap juga go internasional menuju Malaysia, Singapura, dan FIliphina.

Spoiler for #:

4. Bumi Kalimantan hancur oleh tambang batu bara

Pada akhir tahun 2013 lalu, area tambang batu bara yang menyisakan kerusakan hutan dan danau di Samarinda, Kalimantan Timur. Pertambangan menempati lebih dari 70 persen wilayah Samarinda, memaksa desa dan sekolah untuk pindah dari tanah longsor yang beracun dan sumber air yang terkontaminasi.
Dahulu, Samarinda terkenal dengan pesona hutan rimbun dengan orangutan, serta burung-burung eksotis asli Kalimantan. Namun sekarang tak lagi lama. Menurut data WWF, kini wilayah tersebut telah kehilangan sekitar setengah hutannya.
Meskipun telah hancur, Kalimantan tetap menjadi magnet para naturalis dari seluruh dunia untuk melihat hutan hujan tertua di planet ini dengan spesies lebih dari 1.400 hewan dan 15.000 jenis tanaman.

Memanfaatkan kekayaan alam untuk kegiatan komersil atau bisnis tidak masalah. Asalkan dilakukan sesuai standart dan tidak berlebihan. Alam tak membutuhkan manusia, tapi manusialah yang butuh alam. Jika alam terus-terusan dieksploitasi, lalu bagaimana nasib anak cucu kita di masa depan?

Memang sangat miris menyaksikan keadaan alam Indonesia yang semakin rusak demi kepentingan komersial. Jika sudah seperti ini, siapakah yang patut dipersalahkan?

SUMUR