- Beranda
- Lounge Pictures
Norman Edwin Dulu dan Kini, Catatan Sahabat Sang Alam
...
TS
igunbasae123
Norman Edwin Dulu dan Kini, Catatan Sahabat Sang Alam
Catatan Sahabat Sang Alam
[spoiler =sumber ]Laporan wartawan Kompas.com M.Latief[/spoiler]
tanggapan
Spoiler for cerita 1:
KOMPAS.com - Saat banyak orang di tanah air, baik secara sendiri-sendiri maupun atas nama kelompok
tertentu, berkoar-koar mengumandangkan rencana pendakiannya ke Tujuh Puncak Tertinggi Dunia atau the
Seven Summit, rasanya ada yang "hilang", bahkan hambar lantaran tidak menyebut sama sekali nama Norman
Edwin. Karena memang, kali pertama ide ini muncul di Indonesia datang dari dia, tepat di tengah
ingar-bingarnya gairah pendakian gunung salju di kalangan pencinta atau atau klub pendaki gunung di
seluruh penjuru tanah air.
Membaca buku ini, lembaran-lembaran ingatan tentang ujung pangkal perintisan ide "Tujuh Puncak Dunia"
itu serasa kembali melintas, yaitu ingatan tentang Norman dan proyek pendakian Tujuh Puncak Dunia-nya
ini. Karena dari buku setebal 423 halaman inilah, Rudi Badil, sang editor, meletakkan porsi "Tujuh
Puncak Benua" sebagai awal pembuka ingatan kita akan sosok Norman dan proyek prestisius tersebut.
Tanpa maksud jumawa, mungkin saja, Badil di buku ini mau menegaskan, bahwa rasanya tidak "fair"
melupakan sosok Norman dan Mapala UI, --sebagai bendera yang menaungi ide Norman merancang program
ekspedisi pendakian puncak gunung-gunung bersalju abadi itu, --yang sudah lebih dulu menancapkan
tonggak sejarah pendakian Tujuh Puncak Benua. Apalagi, kebetulan saat itu Norman dan Mapala UI sudah
mengantongi lima dari 7 puncak gunung di tujuh benua yang diincarnya, yaitu Carstenz Pyramid
(Australiasia), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika), serta Elbrus (puncak tertinggi Eropa), dan
Aconcagua (Amerika Selatan).
tertentu, berkoar-koar mengumandangkan rencana pendakiannya ke Tujuh Puncak Tertinggi Dunia atau the
Seven Summit, rasanya ada yang "hilang", bahkan hambar lantaran tidak menyebut sama sekali nama Norman
Edwin. Karena memang, kali pertama ide ini muncul di Indonesia datang dari dia, tepat di tengah
ingar-bingarnya gairah pendakian gunung salju di kalangan pencinta atau atau klub pendaki gunung di
seluruh penjuru tanah air.
Membaca buku ini, lembaran-lembaran ingatan tentang ujung pangkal perintisan ide "Tujuh Puncak Dunia"
itu serasa kembali melintas, yaitu ingatan tentang Norman dan proyek pendakian Tujuh Puncak Dunia-nya
ini. Karena dari buku setebal 423 halaman inilah, Rudi Badil, sang editor, meletakkan porsi "Tujuh
Puncak Benua" sebagai awal pembuka ingatan kita akan sosok Norman dan proyek prestisius tersebut.
Tanpa maksud jumawa, mungkin saja, Badil di buku ini mau menegaskan, bahwa rasanya tidak "fair"
melupakan sosok Norman dan Mapala UI, --sebagai bendera yang menaungi ide Norman merancang program
ekspedisi pendakian puncak gunung-gunung bersalju abadi itu, --yang sudah lebih dulu menancapkan
tonggak sejarah pendakian Tujuh Puncak Benua. Apalagi, kebetulan saat itu Norman dan Mapala UI sudah
mengantongi lima dari 7 puncak gunung di tujuh benua yang diincarnya, yaitu Carstenz Pyramid
(Australiasia), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika), serta Elbrus (puncak tertinggi Eropa), dan
Aconcagua (Amerika Selatan).
Spoiler for cerita 2:
Adalah perkenalan Norman dan Pat Morrow pada 1990, yang kemudian menyuntik Norman dan teman-teman
Mapala UI-nya untuk mengibarkan ide Puncak Tujuh Benua tersebut di Indonesia. Pat, pendaki kawakan
asal Kanada yang pada 1985 telah menuntaskan puncak ketujuh dari Tujuh Puncak Dunia-nya di Carstenz
Pyramid, Papua, itu memompa semangat Norman sebagai orang pertama Indonesia yang menjadi the seven
summiteer.
Selanjutnya, ujung pangkal ide Tujuh Puncak Benua itu pun terurai di buku ini. Mulai dari
keberhasilan-keberhasilan cemerlang pendakian di Carstenz Pyramid, Kilimanjaro, McKinley, Elbrus,
hingga kegagalan dan musibah di Aconcagua, gunung tertinggi di benua Amerika Selatan yang akhirnya
merenggut nyawa Norman sendiri dan sahabatnya, Didiek Samsu.
Sekarang ini, setelah Pat Morrow, memang baru dua orang lainnya yang berhak menyandang gelar the seven
summiteers, yaitu Reinhold Messner (Itaia) dan Oswald Ohl (AS). Di Indonesia, kendati telah dibayar
mahal oleh keberhasilan "pendakian ulang" Mapala UI ke Puncak Aconcagua setahun setelah tewasnya
Norman di gunung itu, gairah pendakian Tujuh Puncak Benua di Indonesia pun perlahan seakan meredup.
Masih dua gunung lagi yang harusnya digenapkan Norman dan Mapala UI untuk mencapai gelar itu, yaitu
Vinsson Massif (Benua Antartika) dan Gunung Everest ( Asia).
Mapala UI-nya untuk mengibarkan ide Puncak Tujuh Benua tersebut di Indonesia. Pat, pendaki kawakan
asal Kanada yang pada 1985 telah menuntaskan puncak ketujuh dari Tujuh Puncak Dunia-nya di Carstenz
Pyramid, Papua, itu memompa semangat Norman sebagai orang pertama Indonesia yang menjadi the seven
summiteer.
Selanjutnya, ujung pangkal ide Tujuh Puncak Benua itu pun terurai di buku ini. Mulai dari
keberhasilan-keberhasilan cemerlang pendakian di Carstenz Pyramid, Kilimanjaro, McKinley, Elbrus,
hingga kegagalan dan musibah di Aconcagua, gunung tertinggi di benua Amerika Selatan yang akhirnya
merenggut nyawa Norman sendiri dan sahabatnya, Didiek Samsu.
Sekarang ini, setelah Pat Morrow, memang baru dua orang lainnya yang berhak menyandang gelar the seven
summiteers, yaitu Reinhold Messner (Itaia) dan Oswald Ohl (AS). Di Indonesia, kendati telah dibayar
mahal oleh keberhasilan "pendakian ulang" Mapala UI ke Puncak Aconcagua setahun setelah tewasnya
Norman di gunung itu, gairah pendakian Tujuh Puncak Benua di Indonesia pun perlahan seakan meredup.
Masih dua gunung lagi yang harusnya digenapkan Norman dan Mapala UI untuk mencapai gelar itu, yaitu
Vinsson Massif (Benua Antartika) dan Gunung Everest ( Asia).
Spoiler for cerita 3:
Meredup atau tertunda? Kenyataannya, lama setelah ide, cita-cita, serta semangat Norman, yang seolah
lenyap ditelan kepergiannya itu, kembali menjadi hiruk pikuk. Hiruk pikuk yang kadang timbul, kadang
pula tenggelam. Perlombaan menduduki urutan berikutnya sebagai pendaki Puncak Tujuh Benua pertama di
Indonesia itu pun masih menjadi "rahasia" yang belum terjawab dan menjadi pekerjaan rumah yang belum
terselesaikan.
Ya, khususnya untuk kelompok Mapala UI, yang secara resmi menjalankan maksud mendiang Norman ini
sebagai proyek Universitas Indonesia yang didukung penuh oleh rektornya sendiri. Sementara umumnya,
Tujuh Puncak Dunia menjadi "proyek besar" tentu nama Indonesia.
Tak ada habisnya
Pada kurun waktu antara 1976-1992, nama Norman Edwin memang sangat identik dengan pendaki gunung,
pengarung jeram, penelusur gua, pengembara ilmiah, pelayar lautan, dan penulis kisah-kisah perjalanan
andal yang sudah punya umat tersendiri di Indonesia. Begitulah Rudi Badil, editor buku ini,
menuliskannya.
lenyap ditelan kepergiannya itu, kembali menjadi hiruk pikuk. Hiruk pikuk yang kadang timbul, kadang
pula tenggelam. Perlombaan menduduki urutan berikutnya sebagai pendaki Puncak Tujuh Benua pertama di
Indonesia itu pun masih menjadi "rahasia" yang belum terjawab dan menjadi pekerjaan rumah yang belum
terselesaikan.
Ya, khususnya untuk kelompok Mapala UI, yang secara resmi menjalankan maksud mendiang Norman ini
sebagai proyek Universitas Indonesia yang didukung penuh oleh rektornya sendiri. Sementara umumnya,
Tujuh Puncak Dunia menjadi "proyek besar" tentu nama Indonesia.
Tak ada habisnya
Pada kurun waktu antara 1976-1992, nama Norman Edwin memang sangat identik dengan pendaki gunung,
pengarung jeram, penelusur gua, pengembara ilmiah, pelayar lautan, dan penulis kisah-kisah perjalanan
andal yang sudah punya umat tersendiri di Indonesia. Begitulah Rudi Badil, editor buku ini,
menuliskannya.
Spoiler for cerita 4:
Kini, setelah hampir 20 tahun sepeninggalannya, nama itu ternyata masih lekat dalam ingatan sebagian
di antara kita yang pernah mengenalnya. Oh, apakah hanya untuk generasi tua yang pantas mengenal baik
Norman?
Jelas saja, tidak. Buat mereka yang ingin dan perlu mengenalnya lagi saat ini pun dianjurkan mengenal
Norman. Karena buku ini kembali mengetengahkan 64 tulisan Norman tentang pengembaraannya di alam
bebas, ihwal persahabatannya dengan banyak manusia di dataran rendah, tinggi, dan puncak, serta perut
bumi yang terangkum dengan apik.
Asyiknya, buku ini tak cuma menuliskan semua keberhasilan disertai kegirangan Norman di setiap
petualangannya, melainkan juga kegentaran dan kesulitan di tiap jengkal penjelajahannya di hutan-hutan
di Sulawesi, mengarungi derasnya Sungai Kapuas di Kalimantan, menyusup ke perut bumi di Luwong Ombo,
serta mendaki puncak-puncak salju dunia di Kilimanjaro atau McKinley, sampai melayari Lautan Hindia di
atas kapal pinisi Ammana Gappa. Semua ditulis dengan jernih, rinci, dan juga menyentuh.
di antara kita yang pernah mengenalnya. Oh, apakah hanya untuk generasi tua yang pantas mengenal baik
Norman?
Jelas saja, tidak. Buat mereka yang ingin dan perlu mengenalnya lagi saat ini pun dianjurkan mengenal
Norman. Karena buku ini kembali mengetengahkan 64 tulisan Norman tentang pengembaraannya di alam
bebas, ihwal persahabatannya dengan banyak manusia di dataran rendah, tinggi, dan puncak, serta perut
bumi yang terangkum dengan apik.
Asyiknya, buku ini tak cuma menuliskan semua keberhasilan disertai kegirangan Norman di setiap
petualangannya, melainkan juga kegentaran dan kesulitan di tiap jengkal penjelajahannya di hutan-hutan
di Sulawesi, mengarungi derasnya Sungai Kapuas di Kalimantan, menyusup ke perut bumi di Luwong Ombo,
serta mendaki puncak-puncak salju dunia di Kilimanjaro atau McKinley, sampai melayari Lautan Hindia di
atas kapal pinisi Ammana Gappa. Semua ditulis dengan jernih, rinci, dan juga menyentuh.
Spoiler for cerita 5:
Boleh jadi, bagi yang belum sempat mengenal Norman, membaca buku ini akan membuat mereka tercengang.
Manusia "ajaib" macam apa Norman ini? Karena, semua yang berbau kegiatan alam bebas (outdoor activity)
dilahapnya bukan semata sebagai penggiat, tetapi ahli.
Ibarat di dunia persilatan, Norman adalah pendekar kampiun. Ia pelaku, tapi juga pionir yang ahli.
Bedanya dengan pendekar lain, Norman tak pernah pelit mengisahkan ilmunya kepada para penggemarnya di
dunia persilatan itu; dunia kegiatan alam bebas Indonesia.
Buku ini akan menjelaskan, betapa Norman memang bukan sekedar suka-suka untuk menggeluti hobi mendaki
gunung, tetapi pendaki yang memang betul-betul menguasai ilmu pendakiannya secara ilmiah. Untuk
membuktikan itu, Norman mampu membagikan ilmu dan pengalamannya itu dengan enak dan nikmat di media
massa tempatnya berkarya, mulai dari majalah remaja seperti Hai atau Gadis, majalah perjalanan dan
lingkungan seperti Mutiara dan Suara Alam, sampai akhirnya berkarir sebagai wartawan di harian Kompas.
Di jeram-jeram sungai, pengalaman Norman sebagai kapten perahu yang andal dibuktikan ketika ia dan
rekan-rekan rafters-nya atau pengarung jeram, mengarungi Sungai Kayan dan Kapuas (Kalimantan), Alas
dan Tripa (Aceh), serta Progo dan Serayu (Yogyakarta). Norman membuktikan, dirinya memang pengarung
yang ahli, tetapi tetap rendah hati dan merasa bukan manusia yang tak punya rasa takut lantaran dua
karibnya tewas saat menaklukkan jeram-jeram Sungai Alas bersamanya pada 1986. Dengan jujur,
keberhasilannya melampaui banyak sungai-sungai ganas itu tak membuatnya alpa untuk menuliskan
ketakutannya di setiap perjalanan yang dia temui.
Manusia "ajaib" macam apa Norman ini? Karena, semua yang berbau kegiatan alam bebas (outdoor activity)
dilahapnya bukan semata sebagai penggiat, tetapi ahli.
Ibarat di dunia persilatan, Norman adalah pendekar kampiun. Ia pelaku, tapi juga pionir yang ahli.
Bedanya dengan pendekar lain, Norman tak pernah pelit mengisahkan ilmunya kepada para penggemarnya di
dunia persilatan itu; dunia kegiatan alam bebas Indonesia.
Buku ini akan menjelaskan, betapa Norman memang bukan sekedar suka-suka untuk menggeluti hobi mendaki
gunung, tetapi pendaki yang memang betul-betul menguasai ilmu pendakiannya secara ilmiah. Untuk
membuktikan itu, Norman mampu membagikan ilmu dan pengalamannya itu dengan enak dan nikmat di media
massa tempatnya berkarya, mulai dari majalah remaja seperti Hai atau Gadis, majalah perjalanan dan
lingkungan seperti Mutiara dan Suara Alam, sampai akhirnya berkarir sebagai wartawan di harian Kompas.
Di jeram-jeram sungai, pengalaman Norman sebagai kapten perahu yang andal dibuktikan ketika ia dan
rekan-rekan rafters-nya atau pengarung jeram, mengarungi Sungai Kayan dan Kapuas (Kalimantan), Alas
dan Tripa (Aceh), serta Progo dan Serayu (Yogyakarta). Norman membuktikan, dirinya memang pengarung
yang ahli, tetapi tetap rendah hati dan merasa bukan manusia yang tak punya rasa takut lantaran dua
karibnya tewas saat menaklukkan jeram-jeram Sungai Alas bersamanya pada 1986. Dengan jujur,
keberhasilannya melampaui banyak sungai-sungai ganas itu tak membuatnya alpa untuk menuliskan
ketakutannya di setiap perjalanan yang dia temui.
Spoiler for cerita 6:
Di dalam perut bumi, Norman juga pionir. Pada periode awal 80-an, Norman sudah menggantung-gantung di
tali untuk menelusuri 150 meter kedalaman Luweng (gua) Ombo, Pegunungan Sewu, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Norman pula yang ikut membidani berdirinya persatuan caving dan speleologi Indonesia;
Specavina, serta klub speleologi Gharbabhumi. Perjalanannya menelusup ke Luweng Ombo bersama para
anggota kedua klub itu menjadikan ekspedisi Norman cs dianggap ekspedisi pertama orang Indonesia di
dalam perut bumi Indonesia. Tonggak sejarah caving atau penelusuran gua pun dimulai oleh Norman.
Memang, tak ada habisnya berbicara soal Norman dan petualangannya. Apalagi, "kegilaannya" menjelajah
itu semakin manjadi-jadi setelah ia menjadi wartawan harian Kompas. Tempat-tempat sunyi di ujung-ujung
terluar wilayah jangkauan manusia pun dijelajahinya tanpa luput dilaporkannya dalam bentuk
tulisan-tulisan yang menarik. Termasuk, bagaiman kisah-kisah heroiknya di beberapa perjalanan layarnya
(sailing) di lautan dan samudera luas di dunia.
tali untuk menelusuri 150 meter kedalaman Luweng (gua) Ombo, Pegunungan Sewu, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Norman pula yang ikut membidani berdirinya persatuan caving dan speleologi Indonesia;
Specavina, serta klub speleologi Gharbabhumi. Perjalanannya menelusup ke Luweng Ombo bersama para
anggota kedua klub itu menjadikan ekspedisi Norman cs dianggap ekspedisi pertama orang Indonesia di
dalam perut bumi Indonesia. Tonggak sejarah caving atau penelusuran gua pun dimulai oleh Norman.
Memang, tak ada habisnya berbicara soal Norman dan petualangannya. Apalagi, "kegilaannya" menjelajah
itu semakin manjadi-jadi setelah ia menjadi wartawan harian Kompas. Tempat-tempat sunyi di ujung-ujung
terluar wilayah jangkauan manusia pun dijelajahinya tanpa luput dilaporkannya dalam bentuk
tulisan-tulisan yang menarik. Termasuk, bagaiman kisah-kisah heroiknya di beberapa perjalanan layarnya
(sailing) di lautan dan samudera luas di dunia.
Spoiler for cerita 7:
Andai (Norman) masih ada
Norman tewas hanya beberap meter menjelang puncak Gunung Aconcagua, 21 Maret 1992. Puncak kelima yang
diharapkan Norman menjadi puncak kelima dari Tujuh Puncak Benua, obsesinya.
Norman tewas bersama rekannya Didiek Samsu di saat dunia pendakian gunung di Indonesia tengah
ingar-bingarnya menorehkan banyak prestasi, mulai dari kalangan anak muda bercelana abu-abu alias SMA,
pecinta alam tingkat mahasiswa, sampai klub-klub pendaki gunung yang tak terhitung jumlahnya.
Lalu kini, setelah hampir 20 tahun Norman tiada, apa manfaatnya "anak-anak sekarang" perlu mengenal
Norman, apalagi hanya lewat sebuah buku?
Kiranya, inilah bagian yang tak kalah pentingnya dari semua tulisan di buku ini. Bahwa Norman adalah
sosok petualangan di "zaman doeloe", memang betul. Tetapi, tentu tidak ada salahnya menyebut Norman
juga sebagai seorang "guru" masa kini yang mau menurunkan ilmunya, karena ilmu itu masih bisa
dimanfaatkan sampai sekarang.
Inilah relevansinya buku ini diterbitkan di zaman 2000-an. Zaman di mana Facebook dan Twitter atau
blog, serta semua tren jejaring internet yang sedang up to date ini tak dikenal baik oleh Norman.
Norman tewas hanya beberap meter menjelang puncak Gunung Aconcagua, 21 Maret 1992. Puncak kelima yang
diharapkan Norman menjadi puncak kelima dari Tujuh Puncak Benua, obsesinya.
Norman tewas bersama rekannya Didiek Samsu di saat dunia pendakian gunung di Indonesia tengah
ingar-bingarnya menorehkan banyak prestasi, mulai dari kalangan anak muda bercelana abu-abu alias SMA,
pecinta alam tingkat mahasiswa, sampai klub-klub pendaki gunung yang tak terhitung jumlahnya.
Lalu kini, setelah hampir 20 tahun Norman tiada, apa manfaatnya "anak-anak sekarang" perlu mengenal
Norman, apalagi hanya lewat sebuah buku?
Kiranya, inilah bagian yang tak kalah pentingnya dari semua tulisan di buku ini. Bahwa Norman adalah
sosok petualangan di "zaman doeloe", memang betul. Tetapi, tentu tidak ada salahnya menyebut Norman
juga sebagai seorang "guru" masa kini yang mau menurunkan ilmunya, karena ilmu itu masih bisa
dimanfaatkan sampai sekarang.
Inilah relevansinya buku ini diterbitkan di zaman 2000-an. Zaman di mana Facebook dan Twitter atau
blog, serta semua tren jejaring internet yang sedang up to date ini tak dikenal baik oleh Norman.
Spoiler for sumber:
http://oase.kompas.com/read/2010/06/30/11125775/Dulu.dan.Kini..Catatan.Sahabat.Sang.Alam-4
[spoiler =sumber ]Laporan wartawan Kompas.com M.Latief[/spoiler]
tanggapan
Quote:
Polling
0 suara
sejarah sang pecinta Alam
Diubah oleh igunbasae123 10-07-2013 14:42
0
4.7K
Kutip
25
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Lounge Pictures
69KThread•11KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru