- Beranda
- Stories from the Heart
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
...
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami
私のスレッドへようこそ
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!
Quote:
Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):
Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):
Spoiler for PERATURAN:
Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:
HAPPY READING!
Quote:
uang500ratus dan 92 lainnya memberi reputasi
83
181.3K
3.2K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#559
Lost_Part 3
Gue tidak tahu harus menanggapi bagaimana situasi gue dengan Anin kali ini. Tetapi yang jelas, dia telah menyatakan sudah bercerai dengan suaminya, si pilot.
“Mau share?” gue menawarkan. Dia terlihat ragu, tetapi gue tidak memaksa.
“Aku mau memang share ini ke kamu. Tapi aku nggak tau ini bakal ngubah pandangan kamu ke aku, atau nggak. Ini pun sebenarnya ada hubungannya dengan urusan clubbingkemarin.” Ucapnya.
“Take your time, then try me.” Dia tetap tertunduk, lalu sesekali menyelipkan rambutnya di belakang telinganya. Kemudian dia mulai berbicara.
“Aku udah cerai dengan mantan suamiku, karena kesalahanku. Kesalahanku yang menumpuk selama bertahun-tahun. Penyebabnya, ya kamu.”
“Aku?!” Gue kaget dan tidak percaya dengan kalimat yang baru saja dia lontarkan.
“Tunggu dulu. Jangan potong omongan aku.”
“Long story short, sebenarnya dia nggak seratus persen salah. Kesalahan dia sebenarnya ya karena dipicu sama kelakuan aku sendiri. Aku masih selalu mengikuti perkembangan kamu. Bahkan di sela-sela obrolan kami yang waktunya nggak bisa lama karena dia punya jadwal internasional yang padat, aku beberapa kali keceplosan nyebut nama kamu. Awalnya dia bisa berdamai dengan itu semua, tetapi, lama-lama kayaknya dia nganggap aku udah nggak waras. Karena menurut pandangannya, hidupku terlalu disibukkan oleh hal-hal delusional. Mendapatkan cinta kamu. Entah gimana caranya dia selalu nemuin cara untuk berpaling dari aku, dengan alasan aku selalu delusional tentang kamu. Aku berusaha untuk 'waras', tapi dia nggak pernah melihat aku normal.”
“Hmmm… terus gimana?”
“…dari awal pernikahan kami, aku nggak sadar ternyata banyak ngebandingin kamu dengan dia. Padahal kalo secara penampilan, dia jauh lebih oke dari kamu secara fisik, keluarga dia juga orang terpandang di daerahnya, Semarang. Pekerjaan dia juga oke banget, pilot gitu loh, beda banget kan sama kamu yang bahkan waktu itu masih jadi freelance akibat runtuhnya kerajaan bisnis keluarga Papa kamu. Tetapi itu semua nggak ada artinya karena aku nggak bisa dapat kehangatan dan perhatian, serta waktu. Apalagi dari pacaran aja dia udah banyak ngekang aku ini itu. Ngatur ini itu. Sementara aku butuh banyak waktu karena aku harus ngelola beberapa lini bisnis keluargaku, bisnisku sendiri juga, di usia kita yang masih muda banget kan waktu itu. Kalau nggak nurut, dia nggak segan untuk mukul aku. Itu kejadian lagi di club kemarin juga. Setelah itu pun, kalau sedang serah terima anak atau kita janjian ketemu untuk nge-drop anak, nggak jarang kami debat, dan ujung-ujungnya dia mukul aku. Kamu bisa bayangin kan waktu kami masih bersama sebagai suami istri kayak gimana?” dia menjelaskan dengan nada datar, tapi getir. Dia juga memainkan kuku-kukunya dan terus menggerakkan kakinya, tandanya seperti anxiety.
“…………………….”
“Ultimate-nya, pas aku lagi di California buat sekolah S2 aku. Karena mungkin udah nggak tahan atas sikapku yang seperti orang nggak waras menurutnya, dia nekat untuk berselingkuh. Sesuatu yang nggak pernah ada di kamusku sebelumnya. Nggak cuma sama satu, tapi tiga pramugari dari dua maskapai berbeda. Satu orang Indonesia, satu orang Jepang, dan satunya lagi orang Malaysia. Dia seperti sengaja memperlihatkan, atau sengaja biar skandal perselingkuhannya aku bongkar, karena terlalu mudah untuk ketahuan. Atau ya memang pada dasarnya aku kan punya bakat mengamati dengan detail orang lain, which is kamu, jadi ya gampang aja nebak alurnya. Karena biar kata dia pilot, kecemerlangan otaknya beda jauh dengan kita berdua, Ja. Daya kemampuan analisa mendalam kita yang udah jadi makanan kita sehari-hari di kampus dulu, sangatlah beda dengannya. Disitu aku benar-benar hancur. Kayak udah nggak ada harganya lagi. Benar-benar seperti nggak diinginkan, oleh siapapun. Bahkan kuliahku sempat terbengkalai sebentar. Akhirnya kami sepakat untuk pisah, dengan pengasuhan anakku jatuh ke tangan dia menurut keputusan pengadilan.”
“Maafin aku, Nin.” Gue hanya bisa menanggapi lirih.
“Naaah. it’s not your fault. It’s mine. Selama ini yang salah memang aku. Aku terlalu obsesi ke kamu. Makanya segala cara aku lakuin. Tapi semua itu hanya sia-sia. Terlalu banyak yang aku sakitin, salah satunya dia. Terlalu banyak yang aku korbanin demi sesuatu yang nggak akan pernah bisa aku milikin selamanya. Kamu.”
“Terus kenapa kamu jadinya clubbing lagi? Padahal saat ini aja aku udah ada disamping kamu, loh. Kenapa kamu masih ngelakuin hal kayak gitu lagi, sih? Malah sampai kena pukul pula.”
“Itulah yang aku bingung. Aku ini b*go banget atau gimana ya. Aku nggak bisa berpikir jernih. Pikiran aku terlalu terfokus ke kamu. Justru karena kamu datang di saat seperti ini, makanya aku jadi makin nggak karuan perasaannya. Kamu juga tau, aku jauh dari agama, Ja. Makanya aku malah mengalihkan perhatianku kesana. Itu kejadian sehabis aku ketemu anakku. Aku minta mantanku untuk ngantar aku ke club. Disana aku berdalih akan ketemu sama teman-teman alumni Stanford, padahal mah aku mau ngebuang pikiran-pikiran nggak berdasarku ini.”
“Nah, kan urusan sama anak kamu udah selesai, terus kenapa jadi malah kena pukul di club?”
“Itu ada hubungannya dengan map cokelat yang aku bawa ini. Nanti kamu bisa lihat sendiri isinya apa. Inilah yang bikin dia naik pitam dan akhirnya mukulin aku. Intinya dia nggak terima dengan keputusan aku ini, karena dia merasa ikut andil di dalamnya pada saat struggling awal. Walaupun bagiannya kecil, tapi dia tetap merasa memiliki.”
“Tunggu, tunggu. Apa nih maksudnya, besar kecil bagiannya? Ini ada hubungannya sama 40% yang kamu bilang, bukan?” tanya gue penasaran.
“Hhh….Ja. Ini coba baca dulu aja, ya.” Balasnya seraya mengeluarkan beberapa berkas kertas berwarna putih dari map cokelat, lalu memberikannya ke gue.
“Baca-baca dulu aja.” Dia bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju kamarnya.
Gue membaca dengan seksama isi dokumen-dokumen tersebut. Gue sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Gue tidak percaya sama sekali dengan tindakan Anin ini. Menurut gue, wajar mantan suaminya tidak terima. Cuma, tidak usah pakai mukul juga kali. Cemen banget jadi laki-laki.
“Nin, kamu benar-benar yakin sama keputusan ini? Apalagi masa depan yang hampir pasti terjadi itu nggak berpihak sama kamu, lho.” Kata gue kemudian.
“Iya, aku yakin banget.” Ujarnya bersemangat.
“Hmm. Berat banget ini, Nin. Aku aja ngebaca ini nggak yakin sama sekali sama keputusan kamu. Kok kamu bisa seyakin itu, ya?”
“Hei, kita ini belajar di tempat yang sama dulu. Terus lulus juga hampir barengan. Masa sekarang persepsinya beda? Lagipula, dengan begini kan aku jadi nggak terikat lagi sama mantan suamiku.”
“KDRT dan perselingkuhan emang berat buat pasangannya, kayak yang sekarang sedang aku lakukan, tapi aku nggak pakai KDRT loh ya, cuma kalo sampai begini banget sih, kayaknya berlebihan. Sangat tidak fair malahan.”
“Intinya kamu mau terlibat atau nggak?” tanyanya tegas.
“Kasih aku waktu tiga hari, biar aku kasih jawabannya.” Jawab gue, bingung.
Dia hanya tersenyum dan sepertinya sudah tahu apa yang akan jadi jawaban gue nanti.
“Ya udah, sekarang aku mau pulang dulu ya.”
“Lah, udah cuma gini doang kesininya?”
“Aku kan mau tau kamu kenapa semalam. Sekarang aku udah tau dan udah bisa tidur nyenyak. Hehe.”
“Ya tidur nyenyak kan bisa juga disini.”
“Gimana mau tidur nyenyak banget kalo aku cuma tidur di beanbag?”
“Siapa yang suruh kamu tidur di beanbag. Nggak ada, kan?”
“Ini kamu lagi ngarahin buat ngamar maksudnya?”
“Kok kayak orang lugu sih, kamu? Hahaha.” Tiba-tiba Anin tertawa melihat sikap gue.
“Ya aku mastiin dulu.” Ucap gue singkat.
----
“Udah tiga hari nih, Ja. Kamu masih nggak bisa ngasih keputusan?” kata Anin yang tengah memandangi laptop di depannya, sembari sesekali mengedarkan pandangan di bagian dalam restoran yang hanya bisa diakses oleh karyawan saja.
“Aku sebenarnya oke, tapi nominalnya gede banget, Nin. Aku nggak bisa deal di nominal segitu gedenya juga. Aku tuh jadi kayak ada utang budi kalo gitu, tau nggak.”
“Ya anggap aja itu hadiah pernikahan kamu dari aku.”
“Nggak bisa gitu juga lah, masa iya hadiah udah kita tau duluan. Itu mah bukan hadiah namanya.”
“Terus gimana biar aku benar-benar bisa lepas dari dia, Ja?”
“Hmm. Gini deh, mungkin aku bisa call kolegaku, kali aja dia bisa bantu. Kebetulan dia kerja di salah satu kantor venture capital. Nah internal mereka ini sekarang mau coba ngembangin beberapa bisnis startup baru, salah satunya F&B core bisnisnya, mungkin running taun depan kali ya. Kayaknya kamu bisa tuh join dengan modal ini.”
“Tapi kamu involved ya? Untuk yang udah running aja.”
“Aku nggak bisa janji, karena aku kan juga ada cita-cita sendiri, Nin.”
“Ayolah, 25% aja deh..deal?”
“…………………….”
“Come on, Ja. Kenapa sih? Ini aku kasih kamu kesempatan untuk memperbaiki semuanya, memperbaiki kehidupan kamu. Aku bantu kasih jalan, biar kamu bisa coba untuk ngebangun kepercayaan diri lagi. Buktiin kalo kamu bukan nothing. Sekalian beresin S2 kamu.”
“Aku bingung, Nin.” Jelas gue bingung, karena sebelumnya gue belum pernah bermain di ranah investasi seperti ini. Sementara Anin sudah biasa mengurus yang seperti ini. Dia hitungannya sudah top tier, sudah sampai di C level, sementara gue, masih sekedar staf dengan beberapa orang man power saja, belum sampai ke ranah menentukan arah kebijakan perusahaan, apalagi berinvestasi. Suatu hal yang masih sangat asing di kehidupan gue saat ini.
“Kalau kamu banyak keraguan begitu, gimana hidup kamu bakal maju? Nggak bakalan kamu bisa kemana-mana kalau sikap kamu kayak gini terus.”
“Kan udah aku bilang, I’m a loser now.”
“CUT THAT SH*T OFF. MY GOD……!!!” Anin berteriak dengan kencang sambil mengangkat kedua tangan ke atas, membuat perhatian karyawan-karyawannya tertuju padanya, tentunya dengan banyak kasak kusuk dibaliknya.
“Terus gimana?”
“Sayang, kamu itu orang yang cerdas, lulusan salah satu universitas negeri terbaik di negeri ini, sekarang pun lagi sekolah bisnis, pascasarjana, di almamater kita. Terus kamu masih nanya, ‘terus gimana?’ Kamu itu selama ini sekolah ngapain aja? Cuma tebar pesona doang sama cewek-cewek? Cuma sok tegas biar keliatan cool gitu di depan orang-orang sampai mereka akhirnya ribut-ribut demi memperebutkan cowok nggak jelas pola pikirnya kayak kamu gini?” Anin merepet layaknya cewek-cewek yang sedang memergoki pasangannya selingkuh di depan matanya.
Gue hanya mengangkat bahu, tidak tahu harus berbuat apa dan memutuskan apa. Ya, benar kata Anin, gue yang dulu tidak seperti ini. This new me, is complete trash.
((PLAAAAKKK)) ((PLAAAAKKK))
Sebuah tamparan yang amat sangat keras melayang di pipi kiri gue, lalu kemudian berlanjut di pipi kanan gue. Jauh lebih keras dari saat terakhir gue ditampar dulu. Gue agak terhuyung ke belakang, tapi bisa mengendalikan diri kembali setelahnya.
“WAKE UP, JA, WAKE UP! Ya Allaah…..” Anin sepertinya sangat kecewa dengan sikap gue. Dia memukul sangat keras dan kemudian menutupi mukanya dengan kedua tangannya lalu terdengar isakan pelan. Dia mulai menangis kembali. Gue sudah mendengar bisik-bisik karyawannya yang semakin banyak berkumpul di satu titik. Gue kemudian mengisyaratkan ke mereka untuk segera membubarkan diri. Takutnya, Anin lepas kontrol, mereka yang jadi sasaran. Mending kalau hanya dimarahi saja, nah kalau ternyata malah disuruh ambil pesangon saat sore hari, bagaimana?
“Nin, I’m so sorry…” gue merangkulnya dalam dekapan gue. Tangisnya semakin menjadi setelah berada di pelukan gue sepenuhnya.
“Ja, dengan fakta kayak gini, aku jadi makin bersalah tau nggak, kamu?” ucapnya terbata karena dibarengi oleh isakan tangis.
“Hah?! Maksudnya?” tanya gue tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Iya, aku ngerasa amat sangat bersalah sama Emi. Emi bisa sabar banget ngehadapin kamu yang begini, Ja. Aku nggak nyangka dia punya batas kesabaran yang luas banget...” Jawabnya.
“…Aku juga nggak enak banget sama beberapa kolega yang udah bantu memudahkan ini semua. Tapi malah kamunya kayak begini sikapnya. Emang benar mungkin ya, aku hanya benar-benar cinta buta sama kamu. Entah apa yang aku cari sekarang ini dari kamu. Aku hanya ingin bersama kamu. Tapi kamu yang dulu, bukan yang sekarang, yang berada tepat di depanku.” Lanjutnya kemudian.
Gue berpikir keras. Berusaha mencerna semua yang begitu cepat melewati otak dan alam bawah sadar gue. Gue benar-benar tertohok dengan pernyataan Anin barusan. Gue sudah tidak di dalam fase mempertanyakan apa iya gue begini, apa iya gue begitu, tetapi sepertinya gue sudah dalam tahap acceptance. Ini yang Anin tidak suka. Jangankan Anin, semua orang juga pasti tidak suka melihat ada orang seperti ini sikapnya. Emi sudah mengutarakan hal ini berulang kali di sepanjang perjalanan hubungan kami berdua. Namun sepertinya itu selalu gue anggap sebagai angin lalu yang pada akhirnya hanya membuat gue terjerumus lebih dalam lagi.
Ketika Anin datang (lagi) dalam kehidupan gue, kali ini kapasitasnya lebih dari sekedar teman biasa, bukan lagi musuh dan juga bukan lagi penasehat. Lebih dari itu semua. Ketika gue mencoba belajar menyayanginya, walaupun sepertinya sudah terlambat, setidaknya Anin memiliki peran besar menyadarkan gue akan hal ini. Emi sudah berbicara seperti ini, bahkan ketika kami melewati masa-masa sulit kami bersama. Dia tetap stay, sementara gue selalu pergi. Ya benar, gue adalah seorang quitter, cocok sudah seperti yang dibilang oleh Anin. Satu-satunya cara untuk membuktikan perkataan Emi dan Anin salah adalah, menghadapinya. Tetapi pada saat yang sama, gue memiliki ketakutan yang amat besar. Jika tidak dihadapi, artinya gue sudah banyak membuang kesempatan yang bisa saja tidak lagi gue dapatkan. Jika dihadapi, gue takut gagal. Gue benci akan kegagalan. Gue adalah seorang perfectionist. Gue seringkali gagal, dan itu adalah hal yang gue hindari selalu. Makanya untuk keputusan-keputusan besar yang bisa menghadirkan impact yang besar ke orang lain dan bahkan mungkin bisa menentukan jalan masa depan mereka, gue tidak mau berkutat lagi dengan kegagalan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, kapan lo tau lo gagal, kalo lo nggak coba terlibat dalam prosesnya? Semua orang pernah bertemu dengan yang namanya capek, dan hasilnya tidak sesuai harapan. Tidak hanya gue doang. Ini juga yang selalu dibilang oleh Emi. Anin pun kurang lebih sama, tetapi bahasanya lebih teknikal saja. Intinya sama. So, apa gue coba dulu? Gue hanya takut gagal dan mengecewakan banyak orang. Gue sudah terlalu banyak mengecewakan orang-orang di sekitar gue, yang peduli gue, yang sayang gue, sampai yang benci gue sekalipun.
“Aku bisa buktiin kalo aku masih Ija yang dulu kamu kenal!” Kata gue mantap.
“Yakin kamu? Perubahan itu menurutku nggak bisa secepat ini, Ja.” Ujarnya ragu.
“Aku hanya butuh diyakinkan, dikuatkan. Kami bisa ngelakuin itu buat Aku, Nin.”
“So, 15%, you take it? Setelahnya pelan-pelan aja.” tanyanya tanpa basa basi lagi.
“Yes, and I’m in. Tapi walaupun kamu dan mantanmu udah nggak disini, kalian tetap involved, kan?” gue kembali pada keraguan awal gue.
“Dia nggak, Aku iya. Pada dasarnya ini kan usahaku dan kolegaku, dia hanya bantu tambahan modal dan investasi awal aja. Dia juga nggak pernah terlibat dalam operasional perusahaan. Hanya sebagai komisaris aja.”
“Anggap aja ini rejeki buat masa dapan. Hehehe.” Gue sedikit lega mendengarnya berkata seperti itu.
“Modal kamu. Walaupun kamu nanti memulai semuanya dari minus, tapi setidaknya kamu ada pemasukan lainnya, walaupun nggak terlalu banyak. Setidaknya nggak dari satu tempat aja. Syukur-syukur ini bisa jadi modal awal, anggap aja penyertaan awal, kalo kamu mau bangun dan jalan sendiri nanti. Yang penting kamu nggak keberatan bekerja di beberapa tempat, yang berbeda jenis pekerjaannya.”
“Kayaknya kamu nggak perlu ngeraguin kapasitas aku deh kalo untuk itu, Nin. Aku tuh cuma takut making bad decision aja.”
“Udah ya. Aku tau kamu bisa. Aku butuh kemampuan kamu. Kamu kan ambil strategic management di S2 kamu sekarang, sementara aku konsen ke sales and marketing pas di California. Klop. Pun, saat ini kan kamu juga nggak harus bikin keputusan sendirian. Ada meeting-meeting yang bisa kita arrange sama tim yang lain supaya nggak salah langkah. Sekarang kamu udah mantapin hati. So, biar nanti temanku yang urus semuanya.” Katanya seraya mengecup pipi kiri gue dan tersenyum.
“Makasih ya, Nin. Aku nyesel banget jadinya.”
“Nyesel kenapa lagi, sih?” tanyanya, kemudian menghela napas panjang.
“Kenapa aku baru tau semuanya ini sekarang. Kenapa nggak aku coba buka hati aku dari dulu. Kamu support aku sampai begini banget, kamu naikin lagi mental aku, bahkan kamu kasih ini itu ke aku.”
“Kamu sih, dulu benci aku sebegitunya. Eh tapi, ini semua nggak ada yang gratis ya. Work hard and smart dulu kamu, enak aja. Hehehe. Dan ingat, aku cuma nganterin aja.” Ungkapnya, dibarengi dengan seringai lebar yang membuat gigi geliginya terlihat dan menambah segar senyum di wajahnya.
“Iya, siap bu Bos. Eh, by the way, maksud kamu cuma nganterin ini, apa?”
“Mau share?” gue menawarkan. Dia terlihat ragu, tetapi gue tidak memaksa.
“Aku mau memang share ini ke kamu. Tapi aku nggak tau ini bakal ngubah pandangan kamu ke aku, atau nggak. Ini pun sebenarnya ada hubungannya dengan urusan clubbingkemarin.” Ucapnya.
“Take your time, then try me.” Dia tetap tertunduk, lalu sesekali menyelipkan rambutnya di belakang telinganya. Kemudian dia mulai berbicara.
“Aku udah cerai dengan mantan suamiku, karena kesalahanku. Kesalahanku yang menumpuk selama bertahun-tahun. Penyebabnya, ya kamu.”
“Aku?!” Gue kaget dan tidak percaya dengan kalimat yang baru saja dia lontarkan.
“Tunggu dulu. Jangan potong omongan aku.”
“Long story short, sebenarnya dia nggak seratus persen salah. Kesalahan dia sebenarnya ya karena dipicu sama kelakuan aku sendiri. Aku masih selalu mengikuti perkembangan kamu. Bahkan di sela-sela obrolan kami yang waktunya nggak bisa lama karena dia punya jadwal internasional yang padat, aku beberapa kali keceplosan nyebut nama kamu. Awalnya dia bisa berdamai dengan itu semua, tetapi, lama-lama kayaknya dia nganggap aku udah nggak waras. Karena menurut pandangannya, hidupku terlalu disibukkan oleh hal-hal delusional. Mendapatkan cinta kamu. Entah gimana caranya dia selalu nemuin cara untuk berpaling dari aku, dengan alasan aku selalu delusional tentang kamu. Aku berusaha untuk 'waras', tapi dia nggak pernah melihat aku normal.”
“Hmmm… terus gimana?”
“…dari awal pernikahan kami, aku nggak sadar ternyata banyak ngebandingin kamu dengan dia. Padahal kalo secara penampilan, dia jauh lebih oke dari kamu secara fisik, keluarga dia juga orang terpandang di daerahnya, Semarang. Pekerjaan dia juga oke banget, pilot gitu loh, beda banget kan sama kamu yang bahkan waktu itu masih jadi freelance akibat runtuhnya kerajaan bisnis keluarga Papa kamu. Tetapi itu semua nggak ada artinya karena aku nggak bisa dapat kehangatan dan perhatian, serta waktu. Apalagi dari pacaran aja dia udah banyak ngekang aku ini itu. Ngatur ini itu. Sementara aku butuh banyak waktu karena aku harus ngelola beberapa lini bisnis keluargaku, bisnisku sendiri juga, di usia kita yang masih muda banget kan waktu itu. Kalau nggak nurut, dia nggak segan untuk mukul aku. Itu kejadian lagi di club kemarin juga. Setelah itu pun, kalau sedang serah terima anak atau kita janjian ketemu untuk nge-drop anak, nggak jarang kami debat, dan ujung-ujungnya dia mukul aku. Kamu bisa bayangin kan waktu kami masih bersama sebagai suami istri kayak gimana?” dia menjelaskan dengan nada datar, tapi getir. Dia juga memainkan kuku-kukunya dan terus menggerakkan kakinya, tandanya seperti anxiety.
“…………………….”
“Ultimate-nya, pas aku lagi di California buat sekolah S2 aku. Karena mungkin udah nggak tahan atas sikapku yang seperti orang nggak waras menurutnya, dia nekat untuk berselingkuh. Sesuatu yang nggak pernah ada di kamusku sebelumnya. Nggak cuma sama satu, tapi tiga pramugari dari dua maskapai berbeda. Satu orang Indonesia, satu orang Jepang, dan satunya lagi orang Malaysia. Dia seperti sengaja memperlihatkan, atau sengaja biar skandal perselingkuhannya aku bongkar, karena terlalu mudah untuk ketahuan. Atau ya memang pada dasarnya aku kan punya bakat mengamati dengan detail orang lain, which is kamu, jadi ya gampang aja nebak alurnya. Karena biar kata dia pilot, kecemerlangan otaknya beda jauh dengan kita berdua, Ja. Daya kemampuan analisa mendalam kita yang udah jadi makanan kita sehari-hari di kampus dulu, sangatlah beda dengannya. Disitu aku benar-benar hancur. Kayak udah nggak ada harganya lagi. Benar-benar seperti nggak diinginkan, oleh siapapun. Bahkan kuliahku sempat terbengkalai sebentar. Akhirnya kami sepakat untuk pisah, dengan pengasuhan anakku jatuh ke tangan dia menurut keputusan pengadilan.”
“Maafin aku, Nin.” Gue hanya bisa menanggapi lirih.
“Naaah. it’s not your fault. It’s mine. Selama ini yang salah memang aku. Aku terlalu obsesi ke kamu. Makanya segala cara aku lakuin. Tapi semua itu hanya sia-sia. Terlalu banyak yang aku sakitin, salah satunya dia. Terlalu banyak yang aku korbanin demi sesuatu yang nggak akan pernah bisa aku milikin selamanya. Kamu.”
“Terus kenapa kamu jadinya clubbing lagi? Padahal saat ini aja aku udah ada disamping kamu, loh. Kenapa kamu masih ngelakuin hal kayak gitu lagi, sih? Malah sampai kena pukul pula.”
“Itulah yang aku bingung. Aku ini b*go banget atau gimana ya. Aku nggak bisa berpikir jernih. Pikiran aku terlalu terfokus ke kamu. Justru karena kamu datang di saat seperti ini, makanya aku jadi makin nggak karuan perasaannya. Kamu juga tau, aku jauh dari agama, Ja. Makanya aku malah mengalihkan perhatianku kesana. Itu kejadian sehabis aku ketemu anakku. Aku minta mantanku untuk ngantar aku ke club. Disana aku berdalih akan ketemu sama teman-teman alumni Stanford, padahal mah aku mau ngebuang pikiran-pikiran nggak berdasarku ini.”
“Nah, kan urusan sama anak kamu udah selesai, terus kenapa jadi malah kena pukul di club?”
“Itu ada hubungannya dengan map cokelat yang aku bawa ini. Nanti kamu bisa lihat sendiri isinya apa. Inilah yang bikin dia naik pitam dan akhirnya mukulin aku. Intinya dia nggak terima dengan keputusan aku ini, karena dia merasa ikut andil di dalamnya pada saat struggling awal. Walaupun bagiannya kecil, tapi dia tetap merasa memiliki.”
“Tunggu, tunggu. Apa nih maksudnya, besar kecil bagiannya? Ini ada hubungannya sama 40% yang kamu bilang, bukan?” tanya gue penasaran.
“Hhh….Ja. Ini coba baca dulu aja, ya.” Balasnya seraya mengeluarkan beberapa berkas kertas berwarna putih dari map cokelat, lalu memberikannya ke gue.
“Baca-baca dulu aja.” Dia bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju kamarnya.
Gue membaca dengan seksama isi dokumen-dokumen tersebut. Gue sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Gue tidak percaya sama sekali dengan tindakan Anin ini. Menurut gue, wajar mantan suaminya tidak terima. Cuma, tidak usah pakai mukul juga kali. Cemen banget jadi laki-laki.
“Nin, kamu benar-benar yakin sama keputusan ini? Apalagi masa depan yang hampir pasti terjadi itu nggak berpihak sama kamu, lho.” Kata gue kemudian.
“Iya, aku yakin banget.” Ujarnya bersemangat.
“Hmm. Berat banget ini, Nin. Aku aja ngebaca ini nggak yakin sama sekali sama keputusan kamu. Kok kamu bisa seyakin itu, ya?”
“Hei, kita ini belajar di tempat yang sama dulu. Terus lulus juga hampir barengan. Masa sekarang persepsinya beda? Lagipula, dengan begini kan aku jadi nggak terikat lagi sama mantan suamiku.”
“KDRT dan perselingkuhan emang berat buat pasangannya, kayak yang sekarang sedang aku lakukan, tapi aku nggak pakai KDRT loh ya, cuma kalo sampai begini banget sih, kayaknya berlebihan. Sangat tidak fair malahan.”
“Intinya kamu mau terlibat atau nggak?” tanyanya tegas.
“Kasih aku waktu tiga hari, biar aku kasih jawabannya.” Jawab gue, bingung.
Dia hanya tersenyum dan sepertinya sudah tahu apa yang akan jadi jawaban gue nanti.
“Ya udah, sekarang aku mau pulang dulu ya.”
“Lah, udah cuma gini doang kesininya?”
“Aku kan mau tau kamu kenapa semalam. Sekarang aku udah tau dan udah bisa tidur nyenyak. Hehe.”
“Ya tidur nyenyak kan bisa juga disini.”
“Gimana mau tidur nyenyak banget kalo aku cuma tidur di beanbag?”
“Siapa yang suruh kamu tidur di beanbag. Nggak ada, kan?”
“Ini kamu lagi ngarahin buat ngamar maksudnya?”
“Kok kayak orang lugu sih, kamu? Hahaha.” Tiba-tiba Anin tertawa melihat sikap gue.
“Ya aku mastiin dulu.” Ucap gue singkat.
----
“Udah tiga hari nih, Ja. Kamu masih nggak bisa ngasih keputusan?” kata Anin yang tengah memandangi laptop di depannya, sembari sesekali mengedarkan pandangan di bagian dalam restoran yang hanya bisa diakses oleh karyawan saja.
“Aku sebenarnya oke, tapi nominalnya gede banget, Nin. Aku nggak bisa deal di nominal segitu gedenya juga. Aku tuh jadi kayak ada utang budi kalo gitu, tau nggak.”
“Ya anggap aja itu hadiah pernikahan kamu dari aku.”
“Nggak bisa gitu juga lah, masa iya hadiah udah kita tau duluan. Itu mah bukan hadiah namanya.”
“Terus gimana biar aku benar-benar bisa lepas dari dia, Ja?”
“Hmm. Gini deh, mungkin aku bisa call kolegaku, kali aja dia bisa bantu. Kebetulan dia kerja di salah satu kantor venture capital. Nah internal mereka ini sekarang mau coba ngembangin beberapa bisnis startup baru, salah satunya F&B core bisnisnya, mungkin running taun depan kali ya. Kayaknya kamu bisa tuh join dengan modal ini.”
“Tapi kamu involved ya? Untuk yang udah running aja.”
“Aku nggak bisa janji, karena aku kan juga ada cita-cita sendiri, Nin.”
“Ayolah, 25% aja deh..deal?”
“…………………….”
“Come on, Ja. Kenapa sih? Ini aku kasih kamu kesempatan untuk memperbaiki semuanya, memperbaiki kehidupan kamu. Aku bantu kasih jalan, biar kamu bisa coba untuk ngebangun kepercayaan diri lagi. Buktiin kalo kamu bukan nothing. Sekalian beresin S2 kamu.”
“Aku bingung, Nin.” Jelas gue bingung, karena sebelumnya gue belum pernah bermain di ranah investasi seperti ini. Sementara Anin sudah biasa mengurus yang seperti ini. Dia hitungannya sudah top tier, sudah sampai di C level, sementara gue, masih sekedar staf dengan beberapa orang man power saja, belum sampai ke ranah menentukan arah kebijakan perusahaan, apalagi berinvestasi. Suatu hal yang masih sangat asing di kehidupan gue saat ini.
“Kalau kamu banyak keraguan begitu, gimana hidup kamu bakal maju? Nggak bakalan kamu bisa kemana-mana kalau sikap kamu kayak gini terus.”
“Kan udah aku bilang, I’m a loser now.”
“CUT THAT SH*T OFF. MY GOD……!!!” Anin berteriak dengan kencang sambil mengangkat kedua tangan ke atas, membuat perhatian karyawan-karyawannya tertuju padanya, tentunya dengan banyak kasak kusuk dibaliknya.
“Terus gimana?”
“Sayang, kamu itu orang yang cerdas, lulusan salah satu universitas negeri terbaik di negeri ini, sekarang pun lagi sekolah bisnis, pascasarjana, di almamater kita. Terus kamu masih nanya, ‘terus gimana?’ Kamu itu selama ini sekolah ngapain aja? Cuma tebar pesona doang sama cewek-cewek? Cuma sok tegas biar keliatan cool gitu di depan orang-orang sampai mereka akhirnya ribut-ribut demi memperebutkan cowok nggak jelas pola pikirnya kayak kamu gini?” Anin merepet layaknya cewek-cewek yang sedang memergoki pasangannya selingkuh di depan matanya.
Gue hanya mengangkat bahu, tidak tahu harus berbuat apa dan memutuskan apa. Ya, benar kata Anin, gue yang dulu tidak seperti ini. This new me, is complete trash.
((PLAAAAKKK)) ((PLAAAAKKK))
Sebuah tamparan yang amat sangat keras melayang di pipi kiri gue, lalu kemudian berlanjut di pipi kanan gue. Jauh lebih keras dari saat terakhir gue ditampar dulu. Gue agak terhuyung ke belakang, tapi bisa mengendalikan diri kembali setelahnya.
“WAKE UP, JA, WAKE UP! Ya Allaah…..” Anin sepertinya sangat kecewa dengan sikap gue. Dia memukul sangat keras dan kemudian menutupi mukanya dengan kedua tangannya lalu terdengar isakan pelan. Dia mulai menangis kembali. Gue sudah mendengar bisik-bisik karyawannya yang semakin banyak berkumpul di satu titik. Gue kemudian mengisyaratkan ke mereka untuk segera membubarkan diri. Takutnya, Anin lepas kontrol, mereka yang jadi sasaran. Mending kalau hanya dimarahi saja, nah kalau ternyata malah disuruh ambil pesangon saat sore hari, bagaimana?
“Nin, I’m so sorry…” gue merangkulnya dalam dekapan gue. Tangisnya semakin menjadi setelah berada di pelukan gue sepenuhnya.
“Ja, dengan fakta kayak gini, aku jadi makin bersalah tau nggak, kamu?” ucapnya terbata karena dibarengi oleh isakan tangis.
“Hah?! Maksudnya?” tanya gue tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Iya, aku ngerasa amat sangat bersalah sama Emi. Emi bisa sabar banget ngehadapin kamu yang begini, Ja. Aku nggak nyangka dia punya batas kesabaran yang luas banget...” Jawabnya.
“…Aku juga nggak enak banget sama beberapa kolega yang udah bantu memudahkan ini semua. Tapi malah kamunya kayak begini sikapnya. Emang benar mungkin ya, aku hanya benar-benar cinta buta sama kamu. Entah apa yang aku cari sekarang ini dari kamu. Aku hanya ingin bersama kamu. Tapi kamu yang dulu, bukan yang sekarang, yang berada tepat di depanku.” Lanjutnya kemudian.
Gue berpikir keras. Berusaha mencerna semua yang begitu cepat melewati otak dan alam bawah sadar gue. Gue benar-benar tertohok dengan pernyataan Anin barusan. Gue sudah tidak di dalam fase mempertanyakan apa iya gue begini, apa iya gue begitu, tetapi sepertinya gue sudah dalam tahap acceptance. Ini yang Anin tidak suka. Jangankan Anin, semua orang juga pasti tidak suka melihat ada orang seperti ini sikapnya. Emi sudah mengutarakan hal ini berulang kali di sepanjang perjalanan hubungan kami berdua. Namun sepertinya itu selalu gue anggap sebagai angin lalu yang pada akhirnya hanya membuat gue terjerumus lebih dalam lagi.
Ketika Anin datang (lagi) dalam kehidupan gue, kali ini kapasitasnya lebih dari sekedar teman biasa, bukan lagi musuh dan juga bukan lagi penasehat. Lebih dari itu semua. Ketika gue mencoba belajar menyayanginya, walaupun sepertinya sudah terlambat, setidaknya Anin memiliki peran besar menyadarkan gue akan hal ini. Emi sudah berbicara seperti ini, bahkan ketika kami melewati masa-masa sulit kami bersama. Dia tetap stay, sementara gue selalu pergi. Ya benar, gue adalah seorang quitter, cocok sudah seperti yang dibilang oleh Anin. Satu-satunya cara untuk membuktikan perkataan Emi dan Anin salah adalah, menghadapinya. Tetapi pada saat yang sama, gue memiliki ketakutan yang amat besar. Jika tidak dihadapi, artinya gue sudah banyak membuang kesempatan yang bisa saja tidak lagi gue dapatkan. Jika dihadapi, gue takut gagal. Gue benci akan kegagalan. Gue adalah seorang perfectionist. Gue seringkali gagal, dan itu adalah hal yang gue hindari selalu. Makanya untuk keputusan-keputusan besar yang bisa menghadirkan impact yang besar ke orang lain dan bahkan mungkin bisa menentukan jalan masa depan mereka, gue tidak mau berkutat lagi dengan kegagalan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, kapan lo tau lo gagal, kalo lo nggak coba terlibat dalam prosesnya? Semua orang pernah bertemu dengan yang namanya capek, dan hasilnya tidak sesuai harapan. Tidak hanya gue doang. Ini juga yang selalu dibilang oleh Emi. Anin pun kurang lebih sama, tetapi bahasanya lebih teknikal saja. Intinya sama. So, apa gue coba dulu? Gue hanya takut gagal dan mengecewakan banyak orang. Gue sudah terlalu banyak mengecewakan orang-orang di sekitar gue, yang peduli gue, yang sayang gue, sampai yang benci gue sekalipun.
“Aku bisa buktiin kalo aku masih Ija yang dulu kamu kenal!” Kata gue mantap.
“Yakin kamu? Perubahan itu menurutku nggak bisa secepat ini, Ja.” Ujarnya ragu.
“Aku hanya butuh diyakinkan, dikuatkan. Kami bisa ngelakuin itu buat Aku, Nin.”
“So, 15%, you take it? Setelahnya pelan-pelan aja.” tanyanya tanpa basa basi lagi.
“Yes, and I’m in. Tapi walaupun kamu dan mantanmu udah nggak disini, kalian tetap involved, kan?” gue kembali pada keraguan awal gue.
“Dia nggak, Aku iya. Pada dasarnya ini kan usahaku dan kolegaku, dia hanya bantu tambahan modal dan investasi awal aja. Dia juga nggak pernah terlibat dalam operasional perusahaan. Hanya sebagai komisaris aja.”
“Anggap aja ini rejeki buat masa dapan. Hehehe.” Gue sedikit lega mendengarnya berkata seperti itu.
“Modal kamu. Walaupun kamu nanti memulai semuanya dari minus, tapi setidaknya kamu ada pemasukan lainnya, walaupun nggak terlalu banyak. Setidaknya nggak dari satu tempat aja. Syukur-syukur ini bisa jadi modal awal, anggap aja penyertaan awal, kalo kamu mau bangun dan jalan sendiri nanti. Yang penting kamu nggak keberatan bekerja di beberapa tempat, yang berbeda jenis pekerjaannya.”
“Kayaknya kamu nggak perlu ngeraguin kapasitas aku deh kalo untuk itu, Nin. Aku tuh cuma takut making bad decision aja.”
“Udah ya. Aku tau kamu bisa. Aku butuh kemampuan kamu. Kamu kan ambil strategic management di S2 kamu sekarang, sementara aku konsen ke sales and marketing pas di California. Klop. Pun, saat ini kan kamu juga nggak harus bikin keputusan sendirian. Ada meeting-meeting yang bisa kita arrange sama tim yang lain supaya nggak salah langkah. Sekarang kamu udah mantapin hati. So, biar nanti temanku yang urus semuanya.” Katanya seraya mengecup pipi kiri gue dan tersenyum.
“Makasih ya, Nin. Aku nyesel banget jadinya.”
“Nyesel kenapa lagi, sih?” tanyanya, kemudian menghela napas panjang.
“Kenapa aku baru tau semuanya ini sekarang. Kenapa nggak aku coba buka hati aku dari dulu. Kamu support aku sampai begini banget, kamu naikin lagi mental aku, bahkan kamu kasih ini itu ke aku.”
“Kamu sih, dulu benci aku sebegitunya. Eh tapi, ini semua nggak ada yang gratis ya. Work hard and smart dulu kamu, enak aja. Hehehe. Dan ingat, aku cuma nganterin aja.” Ungkapnya, dibarengi dengan seringai lebar yang membuat gigi geliginya terlihat dan menambah segar senyum di wajahnya.
“Iya, siap bu Bos. Eh, by the way, maksud kamu cuma nganterin ini, apa?”
Diubah oleh yanagi92055 30-10-2024 04:58
kaduruk dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup