yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.5K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#528
..Are You Ready For..._Part 1
Kadangkala, dibalik banyaknya rejeki yang melimpah, ada kesusahan yang nyata, tetapi kita tidak sadar. Kebanyakan dari psikologi manusia ketika banyaknya kemudahan menghampiri, atau paling tidak mereka merasa termudahkan dengan keadaan, maka rangsangan otak seolah akan melupakan segala sesuatu yang sifatnya negatif. Semua tertutupi dengan kehadiran bahagia yang sepertinya sudah lama dirindukan. Selama itu sampai akhirnya membuat banyak orang terlena dengan keadaan yang hanya sementara ini. Semua usaha yang dirasa telah berhasil sangat mudah membawa orang untuk menjadi lupa diri, setidaknya sampai beberapa waktu.

Hal ini sepertinya sekarang menjadi momok bagi gue. Emi juga sepertinya sedang berada di fase seperti itu, tetapi tidak seberapa besar efeknya. Gue sudah menjadi karyawan tetap dengan berbagai macam fasilitas dan kemudahan untuk bekerja optimal, punya penghasilan tetap per bulan, dan lainnya yang membuat semuanya bisa berjalan lancar dan sesuai rencana. Belum lagi usaha untuk pencairan dana dari refinancing yang telah membuahkan hasil.

Apabila semua kemudahan menghampiri, seharusnya kita semakin mawas diri. Tetapi, ada yang sepertinya ingin gue capai dari yang sebelumnya sulit. Gue sendiri bingung itu apa. Gue hanya ingin bersenang-senang sejenak saja dari kepenatan yang beberapa bulan terakhir ini gue alami, sejalan dengan persiapan pernikahan gue dengan Emi. Gue sepertinya ingin melarikan diri dari fakta yang ada dulu. Main game? Sudah rutin. Bertemu Emi? Hampir setiap hari. Ngeband? Panggungan tetap lancar walaupun tidak selancar 2 tahun kebelakang. Ya sudah, mungkin sembari berjalannya waktu, gue akan menemukan apa yang ingin gue lakukan atau miliki.

“Setelah gue hitung-hitung lagi, kayaknya masih kurang nih, Zy.” Emi membuka obrolan ketika berada di sebuah kedai kopi.

“Masa sih? Dari segitu yang kita punya, masih kurang? Apanya lagi?” Tanya gue keheranan.

“Nih, coba lihat aja sendiri hitungannya.” Emi membalikkan layar laptopnya ke arah gue yang duduk berlawanan dengannya.

“Ah gila. Ini mah kurangnya banyak. Segitunya kita udah DP gedung sama WO dan buat ngukur bajunya. Gimana nih kalo gini ceritanya ya?” Gue menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.

“Makanya itu. Ini belum sewa sound systembuat home band. Kamu udah bilang sama sepupu kamu?”

“Iya aku udah bilang sama dia. Katanya dia ready buat jadi home band sama siap nyariin sound system yang udah biasa Kerjasama sama dia kalo bikin konser. Cuman masalahnya, kalo begini, biar kata harga saudara, bakal nggak nutup sih.”

“Aku mau kita diskusi ya, Zy. Bukan malah berantem lagi…” Emi mencoba menenangkan.

“Aku juga nggak mau ribut-ribut, Mi. Aku cuma bingung kenapa bisa begini jadinya.”

“Makanya itu, coba deh kamu utak atik lagi.”

Gue pun mengutak atik pengeluaran yang sudah tersusun itu dengan kepala yang pusing betulan. Ternyata minusnya masih sangat banyak. Gue tidak habis pikir kenapa acara yang katanya mau sederhana malah menghabiskan dana yang lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya. Gue merasa sia-sia saja perjuangan selama ini untuk berusaha mendapatkan semuanya, dari mulai mendapatkan kesempatan diangkat menjadi karyawan tetap, mendapatkan pencairan dana dari refinancing mobil gue yang sangat tidak sesuai harapan, dan hal-hal lainnya.

“Kalau kayak begini, apa mendingan kita nggak usah pake resepsi aja ya? Bakal ada efeknya nggak nanti ke keluarga kamu?” tanya gue ke Emi.

“Aku kan juga maunya gitu. Sekarang itu kita udah harus mulai pernikahan kita dengan kondisi minus. Orang-orang lain aja mulainya banyak plus dengan diberikan rumah, kendaraan, atau bahkan uang deposito, nah kita malah harus melunasi utang-utang.” Jawab Emi yang tidak menjawab pertanyaan gue.

“Nah justru itu. Supaya kita bisa lebih ringan bebannya nanti, mending kita belanjain aja ini uang yang ada untuk keperluan rumah, keperluan mobil sama sekalian buat nabung persiapan kalo kita dikasih rejeki anak nanti. Gimana?” Gue mengusulkan.

“Iya, aku juga mikirnya kayak gitu. Tapi kita harus bisa ngomongin ini ke Papa aku. Soalnya beliau ini udah senang banget mau ngundang banyak orang, dan udah mulai ngasih tau kalo nanti itu kita mau nikah dan ada resepsinya.”

“Aku tau Papa kamu itu senang karena anak satu-satunya mau nikah. Tapi ya ngaca. Mau ngundang sana sini, tapi ngasih modal juga nggak. Malah ngebebanin kita yang jelas-jelas bakal ngarungin kehidupan sebenarnya setelah menikah. Seperti kata aku yang udah-udah, kalo miskin nggak usah banyakan gaya. Keluarga aku aja yang keluarga berada semua kebanyakan, nggak ribet masalah beginian. Mama aku aja santai-santai aja ngadepinnya. Mama udah nyetor juga undangan yang bakal diundang ke aku, tapi aku bilang nanti nggak akan gelar resepsi yang gede, beliau ngerti dan mau untuk ngurangin undangannya. Aku juga udah liat di list undangan yang Mama kasih itu banyak banget relasi Papa yang orang penting, pejabat, ataupun pesohor negeri. Tapi ketika aku bilang mau intimate wedding, Mama ngerti. Ini orang dari keluarga proletar aja banyak nuntutnya. Kebiasaan miskin ya, jadi pas ada easy money yang nggak harus mikirin gimana ngehasilinnya, jadi banyak deh tu mintanya.”

“Zy… Kamu seneng banget sih ngeledekin keluarga aku?” Tanya Emi sembari terkekeh sedikit. Sepertinya omongan gue soal keluarga ini sudah mulai diterima secara logis olehnya.

“Ya emang begitu keadaanya. Mau aku bilang gimana lagi? Hahaha. Makanya sekarang biar aku siapin kalimat-kalimat pamungkas untuk ngehadapin Papa kamu.”

“Tapi nanti kamu jangan emosi ya kalo ada perlawanan.” Emi mengingatkan.

“Tenang aja, InsyaAllah aku udah siap ngehadapin Papa kamu.”

Secara logika, dana yang tidak cukup apabila tetap dipaksakan untuk melaksanakan sebuah acara, pasti hasilnya tidak akan baik. Apalagi efek setelah acaranya, karena akan lebih banyak hutang yang harus dibayarkan. Hal ini seperti yang selalu gue bilang ke Emi sebelumnya, akan membawa banyak masalah di pernikahan. Urusan finansial ini adalah sesuatu yang amat sangat sensitif. Jika kita tidak bisa menyikapinya dengan baik, maka akan berujung kepada petaka.

--

“Jadi begini Om. Untuk rencana resepsinya, sepertinya tidak memungkinkan untuk mengundang banyak orang karena memang keterbatasan dana yang kami bisa siapkan.” Gue memulai pembicaraan di suatu akhir pekan dalam ruang tamu rumah Emi. Sementara Emi sendiri sedang berada di lantai atas.

“Oh begitu. Kalo boleh tau, memangnya ada apa ya? Kemarin katanya bisa mengadakan resepsi. Kenapa sekarang jadi berubah rencananya?” Tanya Papa Emi dengan nada datar tanpa ekspresi. Gue cukup kesulitan untuk membaca air muka yang diperlihatkan oleh Papanya Emi.

“Iya begitu Om, keadaannya. Saya sendiri udah berusaha untuk mengakali dan menghitung ulang dengan keadaan keuangan saya dan Emi. Tetapi ternyata untuk membuat resepsi yang cukup besar, apalagi akad dan resepsi yang berbeda tempat itu, cukup memberatkan, Om.”

“Saya kan cuma minta Emi itu menikah di kampung halamannya, di tempat neneknya. Masa begitu saya jadi sulit?”

“Jadi sulit Om, karena saya dan Emi mempersiapkan ini berdua saja, dengan usaha kami berdua, dan juga perjuangan kami berdua. Tidak ada second opinion yang bisa kami tanyakan, yang ada hanya tuntutan untuk ini dan itu. Setelah kami perhitungkan kembali, bisa kami mengadakan di kampung halaman, tapi tidak mengundang banyak orang, dan bahkan untuk resepsi pun berat.”

“Ah masa iya? kamu katanya udah ngejaminin mobil kamu. Masa saudara kamu juga nggak ada yang bantuin?”

“Memang saya sudah menjaminkan harta benda yang saya punya, dibantu juga dengan saudara saya walaupun tidak seberapa. Tapi itu tidak akan cukup jika menggelar akad dan resepsi beda tempat dan beda waktu. Itu juga akan membuat kami jadi lebih capek, Om, pada saat resepsi. Apalagi rencana resepsi itu adalah di bulan ke-4 pernikahan. Takutnya, jika Tuhan kasih rejeki di awal, nanti Emi akan mengandung anak kami di bulan-bulan kritis kehamilan yang mustahil untuk melakukan resepsi yang menguras tenaga.”

“Yah, coba dulu diusahain. Bukannya apa-apa ya, Emi itu anak Om satu-satunya. Masa momen kayak begini mesti dilewatkan begitu saja. Kan nggak enak. Apalagi disini Om juga kan banyak di kenal orang. Bahkan sampai ke Kelurahan juga banyak yang kenal Om.” Papanya Emi mulai menaikkan nada bicaranya sedikit demi sedikit.

“Tapi kan disini yang mau menikah saya dengan Emi. Secara logika pun harusnya yang banyak diundang itu teman saya dan temannya Emi kan, Om? Nah, sekarang keadaannya, saya dan Emi sudah mengurangi jumlah tamu yang kami kenal, sementara Ibu saya juga sudah saya kurangi. Tetap tidak cukup Om untuk mengadakan resepsi seperti yang keluarga Om mau. Jadi saya berpikirnya kita mengadakan acara yang lebih intim dan dihadiri keluarga terdekat saja, dari pihak saya maupun Emi. Apalagi jika mengadakan di dua tempat, beda kota yang cukup jauh, itu membutuhkan waktu yang banyak, tenaga yang melimpah dan juga uang yang tidak sedikit. Karena kami sudah mengurus izin nikah dan segala macamnya di kampung halaman Emi, maka saya sih nyaraninnya sekalian aja habis akad langsung resepsi kecil-kecilan disitu.”

“Loh, kok gitu jadinya? Dimana-mana juga kalau nikah itu kan ya mengundang kolega-kolega orang tua dong. Emang orang tua kamu nggak punya kolega-kolega orang penting? Masa sebegitunya nggak mau banyak ngundang orang. Memang dulu Papa kamu bukan orang penting?” Lanjut Papa Emi sedikit meledek.

“Wah kalau kolega Papa Mama saya sangat banyak, Om, mana orang penting kebanyakan, ada pejabat pemerintahan, ada artis kawakan, ada juga pengusaha-pengusaha terkenal negeri ini Om. Saya juga udah pernah diajak ketemu sama mereka-mereka ini kok. Maklum, kan Papa saya direktur perusahaan besar yang punya beberapa anak usaha, jadi ya koleganya banyak banget Om. Cuma disini kan yang nikah saya dengan Emi. Jadi ya harusnya yang diundang lebih banyak teman saya dan Emi. Lagian, ngapain juga saya harus banyak-banyak berhutang tapi malah memberi kesenangan buat orang yang nggak dikenal, Om? Kayak Om nih misalnya, ngebiayain resepsi pernikahan Emi, tapi yang diundang teman-teman Emi semua, memang Om rela? Kayaknya nggak kan? Soalnya udah ngeluarin uang banyak, tapi nggak banyak juga orang-orang yang Om kenal di acara. Nah, saya dan Emi juga berpikir demikian. Semua usaha itu kami yang siapkan, bahkan kontribusi finansial pun saya dan Emi yang berpikir, ada sumbangan juga dari keluarga saya. Sedangkan dari pihak keluarga Emi kan belum ada ya, makanya saya berpikir lebih baik acara sederhana, tidak usah ngundang banyak orang, yang penting kesakralannya nggak hilang, terus adil dari dua belah pihak tidak ada yang berat sebelah perkara undangan-undangan ini.” Kata gue mantap sekalian untuk meng-counter pernyataan Papa Emi yang sedikit arogan tadi.

“Hah? Papa kamu direktur? Kok Emi nggak pernah cerita? Nah seharusnya kan kamu cukup lah uangnya untuk ngadain acara gini doang. Masa mau sederhana aja seorang anak direktur.” Ekspresi Papanya Emi antara kaget, sekaligus senang, tapi juga ingin meledek lagi.

“Kembali lagi, yang menikah saya dan Emi, bukan almarhum Papa saya, ataupun Om. Yang punya banyak uang itu dulu Papa saya, bukan saya. Saya itu cuma numpang di rumahnya dulu. Saya juga terbiasa apa-apa sendiri. Saya tidak diajarkan untuk sedikit-sedikit minta orang tua dan kemudian menghambur-hamburkan segala macam yang menjadi keistimewaan untuk saya. Sebagaimana Emi juga diajarkan sama Om seperti itu kan? Nah saya juga mau menerapkan pola seperti ini di keluarga saya, dan di mulai dari rencana akad dan resepsi ini, Om. Jadi bagaimana, oke atau tidak?” Gue tembak langsung Papanya Emi agar segera menyetujui ide gue ini.

Papanya Emi menghela napas panjang dan sepertinya menahan Emosi karena serangan balik gue tadi. Kadang orang yang suka sok tengil dan kebanyakan gaya ini perlu di lawan dengan gagasan yang diluar pemikiran mereka. Sudah tidak berkontribusi, tapi banyak sekali mintanya. Sudah beruntung anaknya ini mau ada yang meminang, bukannya bersyukur malah ada saja maunya. Sesuai dengan penuturan Emi, memang Papanya ini sepertinya adalah tipe-tipe orang yang sulit sekali bersyukur dengan apa yang dipunya. Semuanya disesuaikan standarnya seperti ketika masa jayanya dulu. Punya segalanya menurut standar keluarga ini, dan bahkan memutuskan untuk tidak perlu mempunyai mobil karena bisa bayar taksi kemanapun. Agak lain memang pemikirannya, tapi ya itu kenyataanya.

Namun, kondisinya kan tidak seperti itu sekarang. Untuk menopang hidupnya saja, beliau harus bergantung dengan penghasilan Emi. Untuk membuat dapur ngebul di rumah Emi ini, Emi lah yang harus bekerja. Membiayai Papa, Mama dan juga Om nya yang tidak jelas kelakuannya. Sendirian Emi berjuang di rumah ini. Emi berjuang untuk menghidupi ketiga orang yang sudah tidak produktif ini dengan kesabaran yang luar biasa, perjuangan luar biasa. Tetapi, tetap saja itu tidak banyak dihargai, karena Emi tetap tidak di dengar. Papanya ini masih merasa punya kuasa di rumah. Oke, secara aturan memang beliau masih kepala keluarga di rumah ini, tetapi dengan kontrol keuangan yang berada di tangan Emi sepenuhnya, seharusnya Papanya ini sedikit tahu diri, kalau anaknya pun juga punya pendapat yang ingin di dengar. Bukannya gue mendewakan uang, hanya saja, ketika kontribusi sudah minim, maka sebaiknya menjadi low profile saja, tidak usah kebanyakan gaya tapi mengandalkan orang lain. Itu menurut gue sangat berlebihan. Apalagi Papanya Emi ini sepertinya anti mengucapkan terima kasih, meminta maaf ataupun meminta tolong. Sedangkan ajarannya ke Emi sedari kecil sudah benar sekali, tolong-maaf-terima kasih adalah paket lengkap yang harus ada dalam kepribadian Emi. Aneh bukan? Mengajari anak, tapi tidak mencontohkan dengan perilaku aktual.

“Gini aja deh, kan katanya kamu maunya sederhana? Ya udah kalau begitu, nikahnya di KUA aja ya. Kayak rencana awal. Nggak usah juga ngundang orang-orang.” Ucapnya ketus. Kalimat Papanya Emi yang tiba-tiba ini membuat lamunan gue menjadi buyar.

“Oh..eeeh, kayaknya nggak begitu juga deh, Om. Nanti kan juga ada keluarga saya yang mau datang. Masa udah jauh-jauh ke kampung halaman Emi, nikahnya di KUA doang? Sederhana bukan berarti hanya begitu doang sih Om.” Balas gue.

“Ya katanya kamu mau hemat, ya makanya Om saranin kamu untuk di KUA aja. Ingat nggak cerita Om, Om nya Emi itu dulu nikahnya juga cuma di KUA, dan sampai sekarang langgeng-langgeng aja, kok.” Katanya meneruskan.

“Iya Om saya inget. Saya Cuma mau mengakomodir keluarga saya aja. Kan pastinya nantinya yang ikut nggak Cuma satu atau dua orang, dan itu juga butuh space kan Om untuk menyaksikan prosesi akadnya.”

“Yah kamu nih gimana sih nggak konsisten banget. Katanya mau sederhana. Sekarang udah ditawarin yang amat sederhana, kamu nggak setuju. Kalo nggak konsisten gini gimana kamu mau mimpin rumah tangga sama Emi nanti? Emi itu anaknya cerdas loh, Ja, jangan sampai kamu jadi kalah dominan nanti sama dia.”

“Saya bukan nggak konsisten. Saya Cuma mau keluarga saya nggak kesusahan kalau nanti ikut datang, Om. Saya kan juga mau keluarga saya diperlakukan dengan baik Om. Kalau nggak keluarga Om, minimal saya bisa memperlakukan mereka dengan baik. Makanya saya minta jangan hanya di KUA. Kalo saya Cuma sama Emi aja sih nggak masalah, enak malahan nggak banyak biaya.”

“Kata kamu mau ngirit kan? Ya udah kenapa harus mikirin yang lain? Kalo mau ya nggak usah dipikirin semuanya. Kalian aja berdua mikirin. Kalo nasib acara yang diminta dari pihak keluarga saya saja yang sudah dipikirkan matang-matang nggak kamu gubris, biar adil ya sekalian aja untuk nikahannya sederhana dan nggak usah mikirin keluarga kamu juga dong. Bener nggak?” Papanya Emi semakin terlihat menjengkelkan.

“Om, keluarga saya itu tidak menuntut apapun. Hanya tempat yang lebih besar untuk hadir di acara sakral saya dan Emi. Nggak lebih. Modal juga dari mereka sendiri, nggak minta sepeserpun dari saya. Mereka mau sewa bis untuk jalan ke kampung halaman Emi, pakai uang mereka sendiri. Mereka juga nggak minta disediakan hotel, karena mereka yang akan bayar hotel mereka sendiri. Itu sama sekali nggak menyusahkan kalau menurut saya. Tapi kalau dibandingkan dengan keluarga om seperti yang om bilang barusan, ya jadinya nggak apple to apple, Om. Keluarga Om menuntut banyak sekali. Sementara keluarga saya nggak menuntut apapun. Jadi menurut saya, itu adalah dua hal yang nggak bisa dibandingkan.”

“Keluarga saya menuntut banyak? Masa kamu sama Emi nggak bisa buat ngadain resepsi dengan acara adat khas? Itu kan sudah standar pernikahan di Indonesia, bukan? Semua yang menikah juga biasanya ada resepsi dengan pakai pakaian adat, resepsi di gedung, tersedia catering yang enak dan sesuai dengan maunya keluarga yang punya hajat, dan sebagainya. Masa begitu dibilang menuntut? Saya hanya ingin memori tentang anak saya satu-satunya ini menjadi layak untuk dikenang.”

“Layak dikenang untuk siapa, Om? Toh yang menikah itu saya dengan Emi, bukan keluarga Om atau keluarga saya. Memang, menikah itu menyatukan dua keluarga juga, tidak hanya saya dengan Emi, tapi bukan berarti selamanya kami harus hidup dengan mengikuti apa mau orang atau apa yang orang anggap baik. Baik menurut orang lain, belum tentu baik menurut saya dan Emi kan, Om? Lagian, secara finansial pun kami belum mencukupi, apalagi sekarang udah dekat dengan hari H, nggak bisa diundur lagi karena sudah didaftarkan di KUA sana, masa hanya dengan begini saja malah jadi ribet lagi ngurus sana sini? Saya dan Emi itu orang yang bekerja, Om, bukan pengangguran. Tidak mudah buat kami dapat izin kesana kemari dari masing-masing kantor. Saya rasa, dengan finansial yang ada sekarang, itu bisa digunakan untuk menyewa masjid di belakang selama setengah hari, menyediakan catering rumahan untuk 50-an orang, dan juga ngasih penguhulunya amplop. Sisanya kami bisa manfaatkan untuk membeli keperluan rumah. Setidaknya kami tidak membebani Om atau Ibu saya dalam memenuhi kebutuhan rumah. Toh saya juga sudah setuju untuk tinggal di rumah ini agar Emi bisa terus dekat dengan Om. Jadi mestinya tidak ada lagi masalah bukan? Sekali lagi saya tekankan, ini adalah uang hasil jerih payah kami, dan sudah untung kami mau melanjutkan pernikahan ini walaupun serba terbatas.” Gue berusaha untuk menutup debat tidak penting ini.

“……………….” Tidak ada kata yang keluar dari mulut Papanya Emi selama beberapa saat, sebelum akhirnya beliau bersuara kembali.

“Saya itu sebenarnya agak malu jika tahu anak saya satu-satunya akan menikah, tapi tidak banyak mengundang warga sini, dan juga beberapa kolega di pekerjaan dulu, atau orang-orang kenalan Om di kelurahan. Tapi memang Om juga nggak bisa banyak bantu karena kondisinya seperti ini, nggak ada uang. Kalau memang sulit, mau bagaimana lagi. Daripada nggak jadi, kan? Itu malah bakalan bikin Om lebih malu lagi. Jadi, ya udah, lebih baik dilaksanakan sesuai dengan kemampuan kita aja.” Katanya dengan suara berat dan seperti ada yang tertahan, hanya saja tidak bisa diungkapkan.

“Yang menjalani pernikahan itu saya dan Emi. Kami juga nggak malu untuk mengadakan acara sederhana saja. Percaya sama saya Om, beberapa tahun kedepan juga bakalan banyak pasangan muda yang akan melaksanakan pernikahan sederhana seperti kami. Istilah kerennya itu, intimate wedding. Jadi hanya mengundang keluarga terdekat, tidak memberi makan orang yang nggak pengantin kenal, dan semua bisa mulai hidup baru tanpa harus terbebani utang.” Gue berusaha untuk sebijak mungkin menanggapinya.

“Apa iya bakal kayak gitu orang-orang juga?” Tanya Papa Emi keheranan.

“Bahkan orang-orang kaya di negeri ini pun akan melakukan hal yang sama Om dalam beberapa tahun kedepan, percaya sama saya. Saya dan Emi itu biasanya riset dulu kalo mau ada apa-apa. Ini juga prediksi saya dan Emi kok kalo nanti kedepannya banyak yang nikah sederhana, di rumah saja mengundang beberapa orang terdekat, ataupun pesta kebun.”

---
aibicidicion
suryos
khodzimzz
khodzimzz dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.