Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#513
Jelang Final_Part 10
Keberkahan seolah mendekat kepada kami berdua. Jelang hari H pernikahan, kami seolah mendapatkan banyak sekali kemudahan. Banyak kejadian yang diluar dugaan kami yang seolah melancarkan seluruh rangkaian rencana pernikahan ini, walaupun itu tetap tidak menutupi kebutuhan finansial untuk resepsi. Tidak masalah bagi kami, karena pada dasarnya semua yang kami inginkan telah tercapai.

Ada satu poin yang amat sangat penting dan unik bagi kami ketika akan melangsungkan pernikahan ini. Ketika Emi menyampaikan kabar bahagia ini ke Pak Edward, atasannya, Emi seperti mendapatkan bonus yang sangat baik. Bagaimana tidak? Pak Edward memberikan apartemen sewanya yang telah tersewa selama satu tahun penuh untuk kami tempati. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana bisa Pak Edward begitu mudah memberikan sesuatu yang harganya amat sangat mahal, ke salah seorang stafnya? Apakah Emi seberharga itu untuk diberikan sebuah hadiah seperti ini? Jawabannya, Ya. Emi adalah orang yang amat sangat berharga bagi gue. Tidak heran dia juga amat berharga bagi orang-orang di sekitarnya. Harusnya gue juga menjadi orang yang berharga bagi dirinya.

Keistimewaan yang Emi dapatkan ini tentunya bukan hasil dari perjuangan satu atau dua hari, melainkan tahunan. Utamanya, walaupun secara kuantitatif Emi telah bekerjasama dengan Pak Edward selama setahun lebih, dan Emi selalu memberikan yang terbaik bagi tim, pada akhirnya memudahkan Pak Edward dalam mengelola timnya menjadi lebih baik. Terbukti dari Divisi yang Pak Edward pimpin sebelum datangnya Emi merupakan divisi yang dipandang sebelah mata, menjadi divisi yang paling baik pengelolaannya, hanya dalam hitungan kurang dari satu tahun. Berarti dengan demikian, bisa membuktikan bahwa Emi memiliki peran yang sangat penting bagi Pak Edward dan itulah yang menyebabkan Pak Edward mudah saja mempercayakan segalanya untuk Emi, termasuk memberikan salah satu asetnya, walaupun itu hanya sewa.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, mengapa tiba-tiba Pak Edward memberikan apartemen yang seharusnya beliau sewa selama satu tahun ke Emi? Apa yang sedang terjadi pada urusan pribadi Pak Edward? Seharusnya ini tidak menjadi urusan gue, tetapi tetap saja, pada akhirnya gue harus tahu, karena memberikan apartemen yang sudah dibayar lunas sewanya untuk satu tahun ke depan kepada salah seorang staf itu adalah sebuah kejanggalan bagi gue. Gue tidak mengarahkan pikiran gue kepada urusan personal antara Emi dan Pak Edward, karena bagi gue itu tidak mungkin terjadi, tetapi lebih kepada hubungan Pak Edward dengan seorang perempuan bernama Bu Astina, yang mana juga salah satu staf senior di kantor Emi.

Sebetulnya, rencana Pak Edward untuk memberikan Emi apartemennya ini sudah diberitahukan oleh Emi beberapa hari lalu. Hanya saja, gue dan Emi belum sempat lagi bertemu untuk membahas urusan ini lebih dalam. Makanya, hari ini adalah hari yang tepat untuk gue dan Emi membahas masalah apartemen ini.

“Jadi kita tinggal bayar IPL sama token listrik aja nih? Seriusan lo, Mi?” Tanya gue penuh semangat.

“Beneran, Zy. Ini kita bener-bener tinggal nempatin doang. Sama bayar IPL dan token sesuai kebutuhan kita. Asyik bener kan? Allah kalo udah kasih kemudahan, kayak air mengalir aja, deras banget. Coba aja deh kita runutin. Pengurusan rencana resepsi semuanya lancar, uang udah cair walaupun nggak tau nih cukup atau nggak, setidaknya kita udah pegang uang. Sekarang? Malah ada rejeki lagi lewat Pak Edward. Hehehe.” Jawab Emi tidak kalah semangat dengan nada bicara yang riang.

“Alhamdulillah deh. Gue nggak nyangka aja bisa sampe kayak gini. Padahal kemarin ini kita kan Cuma rencana untuk cari kostan yang dekat dengan kantor lo, ya. Eh nggak taunya malah dikasih kesempatan buat tinggal di apartemen. Hehehe. Asli ini beneran nggak nyangka dan aku aja masih heran, kok bisa ya? Hehehe.”

“Makanya, Zy. Kita harus optimis terus. Siapa tau nanti ada rejeki yang lain lagi kan.”

“Hehe. Tetep aja, Mi, kalo kita maksain itu nggak akan berakhir baik.”

“Maksain nikah? Kamu mau batalin aja ini semuanya?”

“Nah. Nah. Kan. Kebiasaan ini. Orang maksudnya apa, ini asumsinya kemana-mana. Maksudnya, kita kan udah pegang uang walaupun mepet banget. Dan ini nggak akan bisa untuk mengakomodir kemauan keluarga kamu, makanya aku bilang jadi maksain. Itu nggak baik buat siapapun kan. Jadi kamu bener-bener harus omongin lagi ini. Oh iya, ini berita kita dikasih apartemen nggak usah kamu kasih tau dulu ke keluarga kamu ya. Ntar malah jadi mikir ‘oh iya ini udah dapet tempat tinggal ini, jadi uangnya bisa dialokasiin buat resepsi’. Aku nggak mau ada keluar kalimat kayak gitu dari keluarga kamu. Bisa kan?” Gue sangat mewanti-wanti Emi soal ini.

“Aku coba ya, Zy…..”

“Lo jangan coba-coba doang. Laksanain yang bener dong. Kalo kayak gitu terus nanti lo bakalan susah. Gue juga jadi susah.”

“Iya. Iya. Udah kita sekarang bahas apartemen. Mau kapan rencana pindahnya? Soalnya kan ini nanti kita nempatinnya nggak akan sampai satu tahun. Mau seberapa banyak bawa barang kita. Terus lagi, nanti kalo udah selesai apa mau diperpanjang atau nggak?”

“Itu yang lagi aku pikirin. Kalo diperpanjang itu mestinya lihat keadaan disana dulu. Kalau nyaman bisa lanjut, kalau nggak ya kita minggat. Balik lagi ke rumah. Aku kan beberapa kali ada ngerjain proyek apartemen. Itu tuh lingkungannya bener-bener sepi, nggak kenal tetangga kanan kiri. Lo-lo, gue-gue. Nggak banyak yang bersosialiasi. Paling kalo komunikasi ya sama sekuriti setempat. Kalau antar tetangga nggak bisa. Aku sendiri sebenernya nggak masalah tinggal di lingkungan yang begitu, Cuma kalo bener-bener nggak saling kenal, kayaknya nggak bakal betah lama juga. Kalau ada apa-apa juga repot nanti kan. Mau minta tolong juga repot. Jadi, ya udah kita lihat dulu nanti kayak apa kehidupan setelah tinggal disana.”

“Iya aku juga mikir kayak gitu. Kalau aku kan terbiasanya dari dulu banyak tetangga kanan kiri yang selalu saling ngenal, sekarang kalo begitu juga kayaknya agak gimana gitu. Yah, walaupun aku juga nggak banyak interaksi sama tetangga-tetangga aku sendiri. Kamu kan pernah aku ceritain gimana aku dulu nggak punya banyak teman, cuma gara-gara rajin belajar, dapat peringkat kelas yang bagus dan akhirnya dijadiin contoh sama orang tua teman-teman aku. Malah jadinya aku dibenci temen-temen aku karena selalu dijadiin patokan sama orang tua mereka.”

“Iya aku juga ngerti Mi. Aku kan juga nggak banyak interaksi sama tetangga. Malah kalo bisa nggak tegur-teguran, itu lebih baik. Hehe. Tapi tetap aja, kayaknya kalau misalnya kita tinggal di lingkungan yang kayak gitu kurang sreg. Dulu sebelum balik lagi ke rumah lama kan aku juga tinggal di pemukiman yang sangat lo-lo gue-gue. Awalnya asyik-asyik aja, tapi lama-lama juga nggak terlalu betah karena sepi banget.”

“Kalo gitu apa aku coba untuk ngajuin ke Pak Edward buat survey dulu ya?” Tiba-tiba Emi memunculkan ide ini.

“Hmm. Boleh aja sih, asal Pak Edwardnya nggak keberatan. Soalnya kan takutnya masih ada “barang-barang ghoib” yang nggak bisa dilihat sama sembarang orang, Mi. Hehehe. Ngerti kan maksud gue?” Kata gue sembari mengerling licik.

“Kepikiran amat lo sampe kayak gitu? Hahaha. Ngapain lagian dia nyimpen barang-barang Bu Astina?”

“Lah namanya orang lagi seneng ewita, itu mah jadi hal yang lumrah. Kita aja yang nggak selalu begitu juga sama kan? Aku juga kan banyak nyimpen pakaian dari mulai luar sampai dalam di lemari baju kamu.”

“Eh iya juga ya. Hahaha. Apalagi ini ya, bapak-bapak hampir paruh baya sama janda setengah tua yang gatel. Kemungkinannya lebih gede buat nyimpen barang ghoib. Hahahaha.”

“Makanya lo tanyain dulu deh, Mi, masalah survey ini. Kalo Pak Edward oke, ya kita jalan. Atau kalo mau deket ya lo minta temenin Bimo aja buat survey. Nanti lo foto-fotoin pake teknik ala-ala gue kalo lagi kerja. Lo juga kan tau gimana cara gue kerja. Hehehe.”

“Iya sih. Tapi kayaknya kalo sama kamu lebih enak deh, Zy. Cuma ya nanti liat aja deh. Takutnya kalo weekend malah itu apartemen keisi, sedangkan kamu bisanya kan weekend doang kalo mau survey. Soalnya lumayan jauh ini lokasinya dari kantor kamu, tapi dekat banget sama kantor aku.”

“Mending di omongin dulu sama juaragannya deh, ya. Biar nanti sama-sama enak kalo mau make itu apartemen. Tapi alhamdulillah banget, Mi, asli deh. Kamu ini bener-bener banyak banget datengin keberuntungan buat kita berdua. Orang kalo niatnya baik mah ada aja ya jalannya. Hehe. Bersyukur banget aku, Mi.”

--

Gue dan Emi akhirnya memutuskan untuk survey bersama. Pak Edward sudah menyetujui. Beliau pun sudah memberikan kunci akses apartemen dan juga kunci apartemennya ke Emi. Kunci akses ini adalah kartu seperti emoney yang harus di ‘tap’ di pintu dekat lobi, agar bisa masuk ke area apartemen. Biasanya apartemen yang gue tahu juga seperti itu aturannya, dari mulai apartemen kelas menengah sampai apartemen super mewah di ibukota yang pernah gue datangi, semuanya memiliki aturan seperti ini. Bahkan ada yang tidak bisa untuk sekedar masuk lobi jika tidak ada kepentingan dengan penghuni. Kemudian ada kunci apartemen. Gue berpikir kuncinya berbentuk kartu akses juga, tapi nyatanya ini hanya kunci pintu biasa, yang tidak ada teknologi terkininya sama sekali. Manual dan sederhana seperti membuka pintu rumah biasa.

Setelah bertanya dan minta diarahkan serta dijelaskan aturannya, gue dan Emi masuk melalui pintu kaca dengan ‘tap in’ kartu, kemudian naik ke lantai 8. Kami keluar dari lift kemudian berbelok ke koridor di sebelah kiri lift yang kami naiki tadi. Lorongya cukup sempit untuk ukuran apartemen. Cukup sunyi untuk siang hari pukul 11.00. gue langsung berpikir, siang begini saja sudah sepi begini, bagaimana jika malam hari ya?

Fasilitasnya cukup lengkap dengan dekorasi yang cukup elegan walaupun tidak bisa dibilang mewah. Malah jauh dari kesan mewah. Liftnya pun bukan lift yang berteknologi tinggi. Tidak ada lantai marmer dan granit di lantai-lantai koridor unit. Adanya hanya di lobi saja. Tidak ada pula cat dan wallpapermewah selain di lobi. Semuanya seperti kamar-kamar rumah menengah yang disusun vertikal saja. Gue juga tidak heran ketika melihat pintu masuk unit apartemen yang hanya seperti pintu rumah perumnas yang berbahan dasar plywood rangka kayu. Apartemen ini terdiri dari dua kamar dengan satu buah dapur yang menyatu dengan ruang tamu, serta satu kamar mandi yang kecil seperti kamar mandi di mal atau bandara. Lantainya juga hanya keramik yang finishing-nya bisa dibilang kurang baik, karena ada beberapa bagian yang tidak rata serta masih menyisakan sisa semen yang sudah membatu. Padahal apartemen ini buatan tahun 2015. Untuk perabotannya, sudah termasuk lengkap. Pada masing-masing kamar sudah terdapat tempat tidur. Kamar utama ada kasur queen size, sedangkan yang kamar kedua ada kasur ukuran single bed. Terdapat LED TV 43 inch, tetapi tidak ada sambungan internet sama sekali, dan juga TV Kabel pun hanya disediakan dari pihak apartemen yang gambarnya kadang bagus kadang jelek, padahal tidak pakai antena TV. Gue dan Emi harus mengandalkan koneksi internet dari HP masing-masing. Peralatan di dapur pun sudah cukup lengkap dengan adanya kompor alat makan minum serta alat masak. Sisanya ya standar saja. Ini semua disediakan oleh pemilik, yang mana baru saja datang setelah kami selesai melihat-lihat serta foto-foto unit.

“Mbak Emi ya?” Ujarnya, yang mendadak muncul di depan pintu unit yang tidak kami kunci.

Gue dan Emi kaget. “Eh iya, mbak dengan siapa ya?” Tanya Emi kemudian.

“Saya Febri. Kebetulan saya yang punya unit ini.” Jawabnya ramah dengan senyum penuh arti.

“Oh iya, perkenalkan saya Emi. Dan Ini calon suami saya, Firzy.”

Mulustrasi Ibu febri (96% mirip)


Kami pun bersalaman dan saling melempar senyum. Ibu Febri ini kalau gue tebak umurnya tidak jauh beda dengan gue. Atau bahkan seumur dengan Emi. Tetapi dia sudah punya anak satu orang yang dia bawa saat ini. Perawakannya cukup bisa membuat orang-orang yang melihatnya teralihkan konsentrasinya. Tidak terlalu tinggi, tapi tidak pendek juga. Untuk seorang yang telah memiliki anak, badannya masih sangat terjaga. Kulit kuning langsat khas keturunan tionghoa, tutur kata yang lembut serta ramah ala orang-orang keturunan tionghoa yang jago dagang, membuatnya mudah sekali menarik perhatian orang. Setidaknya itu adalah asumsi gue. Bagi orang yang senang dengan keberadaan chindo, nah inilah representasi yang baik.

“Kalau sudah dilihat-lihat, nanti kita mulai bertransaksi ya.” Lanjutnya.

“Hmm. Maksudnya bertransaksi gimana ya, Bu?” Tanya Emi bingung.

“Iya, jadi kan Pak Edward mau mengalihkan sewanya ke Bapak dan Ibu, itu harus ada uang pengalihannya. Jadi ada biaya tambahan. Karena yang terdaftar diawal untuk penghuni unit no. 8 ini adalah atas nama Pak Edward. Sekarang kan akan dialihkan ke bapak ibu, makanya jadi dikenakan biaya lagi untuk perubahan administrasi.” Terangnya.

Jelas hal ini sangat mengagetkan. Ini berbeda dengan apa yang dijelaskan Pak Edward kepada Emi. Pak Edward jelas bilang tinggal pakai, hanya bayar iuran bulanan (IPL), serta mengisi token listrik sendiri. Selebihnya tidak ada lagi biaya. Namun, sekarang pemilik malah membebankan entah apa ini namanya untuk urusan administrasi. Ini memang aturannya seperti ini di apartemen ini atau hanya aturan pemilik unit saja? Gue dan Emi masih bingung. Pada akhirnya gue memutuskan untuk bertransaksi setelah urusan antara pemilik dengan Pak Edward beres dulu. Gue tidak mau asal mengeluarkan uang walaupun ada, karena hal ini tidak ada dalam perjanjian. Kenapa begitu? Karena ketika gue minta untuk menunjukkan kontrak sewa menyewa antara Pak Edward dan Bu Febri, Bu Febri bilang tidak bawa kontraknya. Lalu gue bilang, biasanya kontrak sewa menyewa akan diketik lalu di print. Setidaknya softcopy untuk ditunjukkan ada. Tetapi Bu Febri tetap berkelit. Hal ini menimbulkan kecurigaan. Untuk itu, gue mengambil jalan tengah untuk berdiskusi dulu dengan Pak Edward mengenai hal ini. Setelahnya gue dan Emi pun berpamitan dengan Bu Febri. Pada saat salaman terakhir dengan gue, Bu Febri memerlukan waktu yang lebih lama daripada ketika berjabat tangan dengan Emi. Gue hanya menganggap angin lalu, atau sekedar kode untuk segera mengambil alih unit ini dari Pak Edward. Entah Emi menyadari ini atau tidak. Gue tidak ambil pusing sama sekali.

“Mi, kok jadi kayak gitu, sih? Kata lo kemaren udah tinggal pake aja. Pak Edward nggak ada bilang apa-apa lagi kan?” tanya gue kebingungan.

“Iya gue juga bingung, Zy. Kenapa kok jadi ada tagihan lain lagi. Lagian kalo ada pengalihan seperti itu kan juga harusnya nggak ada biaya lagi. Kan tinggal ganti nama, serahin copy ktp atau KK kalo perlu. Habis itu udah deh, kita tinggal tempatin. Mending lo coba cari tau apa ada aturan kayak gitu kalo transaksi pengalihan sewa di apartemen.” Emi mencoba mencari solusi.

“Gue juga mau tanya dulu sama temen-temen kantor gue, mungkin nggak ya ada kayak gitu. Setau gue sih nggak pernah ada ya. Soalnya logika gampangnya gini. Sewa itu kan suka-suka kita pengelolaannya. Mau ditempatin sama siapapun ya suka-suka penyewa kan? Nah ini kan ibaratnya saudara Pak Edward mau nempatin apartemen yang udah disewa, tapi dikosongin sama Pak Edward. Kenapa jadi ada biaya lagi? Kasian amat kalo ada asisten rumah tangga yang nempatin apartemen orang-orang kaya di ibukota terus suruh bayar karena dianggapnya bukan penyewa yang lama, ya kan? Bener nggak logika gue, Mi?”

“Itu dia. Anggap aja kita anaknya Pak Edward. Jadi pas mau nempatin harusnya nggak ada masalah. Toh juga nggak ngerubah apapun. Kalopun administrasi atas nama Pak Edward pun kan gue juga nggak ada masalah. Kita tetep bayar iuran, tetep isi token. Semuanya normal. Pemilik juga nggak rugi karena uang sewa udah dibayar lunas dimuka.”

“Ini sih kayaknya juga akal-akalan Bu Febri-nya aja itu.”

“Aku juga curiganya kayak gitu. Dan, hmm... Zy. Kayaknya apa yang dibilang Pak Edward bener, deh.”

“Hah? Maksudnya bilang apa, nih? Tentang Bu Febri? Emang orangnya matre kayak gitu?”

“Bukan. Soal yang lain lagi. Lo emang nggak ngerasa aneh sama sikap Bu Febri ke lo tadi? Salaman pas awal senyumnya manis bener, terus pas salaman terakhir sebelum pamitan juga lama banget. Lo nggak ngeh, atau pura-pura nggak tau?”

“Gue juga ngerasa gitu sih. Serem.”

“Serem, apa enak? Penampilannya favorit wibu tuh.”

“Gue bukan wibu anjir, Mi. Bangkek juga lo. Haha. Tapi emang rada serem dari awal gue ngerasanya juga. Bukan apa-apa. Dia udah punya anak cuy, masih aja rada genit perasaan.”

“Bukannya lo seneng digituin? Apalagi sama chindo gitu? Mantep kan?” Emi berucap datar tanpa ekspresi.

“Nggak usah mulai, Mi. Gue nggak ngapa-ngapain. Diam aja dari tadi. Nggak ada respon yang gimana-gimana juga. Kenapa lo jadi malah curiga dan mikir macem-macem, cuma gara-gara penampilannya kayak cosplayer? Sejak kapan juga gue suka sama cosplayer yang kayak anime-anime gitu? Nggak ada di kamus gue. Kayak baru kenal gue kemarin aja, lo!” Gue sangat tidak senang dengan tuduhan Emi seperti ini, seolah gue masih saja mudah terpengaruh oleh penampilan cewek lain yang kinclong. Walaupun memang harus gue akui Bu Febri ini menggiurkan sekali secara visual.

“Pak Edward bilang ke gue, kalau suruh hati-hati dengan Bu Febri. Orangnya rada genit. Dia nggak gitu ke lo doang, tapi ke Pak Edward juga.”

“Nah ya udah, kalo kayak gitu lo jangan tendensius gitu ke gue, dong. Itu namanya nuduh yang nggak ada buktinya.”

“Gue nggak nuduh...”

“STOP BANGS*T! Kayak ginian lo mulai duluan, nanti ujung-ujungnya gue lagi yang disalahin. Mau keluar kata-kata t*i anj*ng yang keberapa kali lagi untuk urusan remeh temeh kayak gini, hah?! Bingung gue. Orang anteng-anteng malah dipancing, sekalinya bereaksi, malah merasa tersakiti. Anj*ng tau nggak kalo kayak gitu!” Emosi gue kembali meledak setelah sekian lama tenang. Apalagi penyebabnya tidak jelas sama sekali. Bukan gue, tapi ada pancingan dari luar. Emi terpancing, gue tetap yang disalahkan. Memang lah anj*ng sudah kalau urusan cewek bening kayak gini.

“Terserah lo aja, Zy. Gue Cuma ngingetin lo aja.”

“Lah kan, gue lagi. Gue nggak ngapa-ngapain. Pikiran lo yang konyol. Kenapa jadi gue yang diingetin? Kalo mau terserah, ya emang terserah gue. Gue emang nggak ngapa-ngapain, bangs*t!”

Perjalanan pulang kami pada akhirnya sebagian besar dihabiskan dalam diam. Gue lebih berkonsentrasi di jalan dan musik yang terputar di audio mobil, daripada berbicara dengan Emi. Entah ini Emi masih trauma atau bagaimana, atau jangan-jangan sudah menjurus ke psikopat karena senang dengan segala sesuatu yang menyakitkan bagi dirinya, tapi tetap ingin terus diulang. Akhirnya, gue juga yang harus menanggung akibatnya. Entah itu didiamkan, atau disindir berhari-hari tanpa melakukan apapun atau diberi kesempatan menjelaskan. Suka-suka Emi saja. Rezeki yang seperti sia-sia saja kalau Emi terus berpikiran seperti ini. Belum menempati apartemen saja sudah membuat masalah sendiri. Nanti nangis sendiri, kesal sendiri. Padahal semuanya diciptakan sendiri dari yang apa-apa yang sebetulnya tidak pernah terjadi. Hanya dengan asumsi semuanya bisa kacau, sesuai pemikiran dan prakiraan dia sendiri.
jiyanq
kaduruk
khodzimzz
khodzimzz dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.