Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 15-11-2024 12:56
al.galauwiAvatar border
sibli.lpuAvatar border
uang500ratusAvatar border
uang500ratus dan 92 lainnya memberi reputasi
83
186K
3.2K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#507
Jelang Final_Part 9
Gue menjalani hari-hari setelah adanya pemberitahuan dari kampus dengan kurang semangat dan terasa amat berat. Bagaimana gue bisa semangat ketika banyak pikiran yang terkait dengan keuangan dan gue sama sekali belum tahu solusinya. Ini membingungkan sekaligus membuat stres. Pastinya. Tetapi, beruntungnya gue punya Emi adalah, dia yang membantu gue mencari solusi. Salah satunya adalah, Emi kembali membantu gue untuk menuliskan tesis. Emi mengerjakan sebagian tugas ilmiah akhir gue tanpa pernah ikut kuliah. Ini merupakan hal yang membanggakan dan harus disyukuri mengingat Emi sama sekali tidak punya dasar ilmu kuliah S2 gue.

Perasaan haru sekaligus minder kemudian terlintas di dalam benak gue berulang kali. Bagaimana bisa seorang Emi mampu membantu mengerjakan dengan hanya modal sering membaca di perpustakaan, membaca diktat kuliah gue, dan juga berdiskusi dengan gue. Pernah memang Emi sekali dua kali masuk ke dalam kelas, tetapi gue tidak yakin ilmu yang dia serap sebanyak itu hanya dengan 2 pertemuan yang mana dosennya lebih banyak mendongeng daripada mengajar.

Setidaknya satu beban perlahan terangkat, walaupun denda perkuliahan karena tak selesai tepat waktu terus berjalan dan bahkan saat ini sudah menyentuh angka belasan juta. Gue masih harus memikirkan urusan refinancing mobil yang belum kunjung ada kabar baik. Ini menjadi harapan satu-satunya gue untuk mendapatkan pemasukan dari rencana pernikahan yang akan kami gelar. Sungguh sebuah situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi gue dan Emi, demi untuk menyenangkan orang lain, tanpa orang-orang lain ini berpikir bagaimana kehidupan gue dan Emi setelah pernikahan nanti. Sepertinya juga tidak ada yang peduli.

Biasanya orang mengadakan resepsi dan yang datang ke resepsi itu lebih peduli visual yang mereka lihat, rasa yang mereka kecap, dan kematangan acara yang diselenggarakan. Tidak peduli apa yang terjadi di balik layar, yang penting kalau datang ternyata dekor pelaminannya kurang, langsung diomongin dan jadi gosip, makanan kurang sedap langsung jadi obrolan warung kelontong komplek BTN selama berbulan-bulan dan sebagainya yang bernada negatif. Kesalahan kecil selalu saja jadi perbincangan, sementara sisanya yang positif malah dilupakan. Tipikal manusia yang senang sekali melihat penderitaan orang, dan makanya banyak film atau sinetron yang menjual kesedihan otomatis rating akan tinggi, terlepas dari matang atau tidaknya produksinya.

--

Dua hari berselang, gue mendapatkan informasi dari telepon pihak bank, kalau proses refinancing gue sudah selesai dan gue berhak mendapatkan hak gue. Tentunya ini adalah hal yang sangat membahagiakan. Luar biasa sekali. Pada saat gue sedang bingung berat soal dari mana lagi uang yang harusnya bisa didapatkan, tidak lama solusi datang. Tentunya solusinya diperjuangkan terlebih dulu, bukan datang secara tiba-tiba. Semuanya terencana, tidak ada yang namanya kebetulan.

Namun, hampir seluruh rencana gue dan Emi berantakan karena kenyataan ini. Gue berharap setidaknya gue bisa mendapatkan 200 juta rupiah dari hasil penjaminan mobil. Tetapi gue hanya mendapatkan sekitar 120 juta rupiah saja. Sebetulnya, angka segini cukup untuk mengadakan resepsi. Hanya saja, tuntutan keluarga Emi tidak begitu. Mereka menginginkan anak perempuan satu-satunya ini mendapatkan kelayakan resepsi yang baik. Ya harusnya mereka membantu gue dong, bukan membebankan semuanya ke pihak laki-laki, kan? Ini yang sepertinya sulit sekali gue terima.

“Halo, Mi. Caiiirrrr, Mi!!!!” Seru gue heboh ketika awal memberitahu Emi lewat telepon.

“Apanya maksudnya, Zy?” Tanya Emi keheranan.

“Uang refinancing yang kita ajuin besok cair!!! Hehehehe.”Gue bersemangat sekali.

“HAH? SERIUSAN?! Alhamdulillah!!” Emi membalas dengan antusias.

“Detailnya ntar gue ceritain pas kita pulang ya.”

“WAJIB!” Tegas Emi.

“JADILAH KITA kimpoi INI. HAHAHA.”

“Lah kalo uangnya nggak jadi cair, emang kita nggak jadi kimpoi? Asal bener lo kalo ngomong, Zy!”

“Jadilah, cuma kan kita tetep miskin ya. Hahaha.”

“Nah itu, kan walaupun ntar cair, kita tetep miskin karena utang ini, Zy.”

“Hahaha. Iya. Makanya ntar gue ceritain. Ya udah sana sok sibuk lagi, deh.”

Gue sebenarnya antara senang dan sedih melihat gelontoran fakta yang terjadi di depan gue saat ini. Namun apa daya, gue tidak bisa terus menerus membuat Emi sedih. Setidaknya dia bahagia dulu karena berita positif tentang uang refinancing yang sudah lama kami nantikan akhirnya menemui kejelasannya.

Beberapa jam kemudian gue sudah bertemu dengan Emi. Senyum manisnya dari jauh sudah mengembang seperti sayap burung kuntul yang sedang kasmaran. Penyebabnya tentu saja karena berita baik yang beberapa jam lalu gue sampaikan melalui sambungan telepon. Ah, rasanya gue semakin tidak tega untuk menjelaskan secara detail.

Kami memesan makanan dan minuman dulu sebelum memulai percakapan. Seperti biasa, Emi memesan makanan dengan porsi abnormal kebanyakan cewek di bumi nusantara. Tidak ada masalah karena Emi pasti akan menghabiskan semuanya. Dia hanya butuh waktu lebih lama untuk menghabiskannya. Segera setelah makanan dan minuman diantarkan ke meja kami, kami mulai menyantap sambil bersenda gurau sejenak. Sekitar 15 menitan kami menghabiskan makanan kami. Barulah kami beranjak ke bincang yang lebih serius.

"…tapi Mi…” Gue menggantung kalimat.

“Tapi kenapa Zy?”

“Angkanya nggak sesuai harapan nih.”

“Emang dapet berapa?” Tanya Emi penasaran.

“Cuma 120.”

“Hah? Serius? Itu sisanya kemana?”

“Nih lo lihat aja sendiri deh rinciannya. Gue aja kesel banget. Padahal ini mobil belum ada 2 tahun gue beli. Cash pula. Berasa rugi banget gue. Ini kan awalnya gue juga buat nutup denda dari kampus. Kalo kayak gini bisa-bisa nggak cukup nih.” Ujar gue gusar.

“Waduh. Repot banget ini kalo kayak gini. Keluarga aku udah mana ngerencanain tambahan-tambahan lagi.”

“Hah? Rencana tambahan apaan? Kontribusi aja nggak, malah minta yang aneh-aneh.”

“Iya katanya nanti mau coba pake cucuk lampah buat resepsinya.”

“Cucuk lampah? Buset. Bayar timnya aja itu mahal. Udah kayak kebanyakan duit aja keluarga lo. Eh, nggak punya duit malah. Haha. Malah sok-sokan mau cucuk lampah.”

“Makanya, gue dari kemarin mau ngomongin ini sama lo tapi gue bingung, karena gue sendiri nggak mau. Cuma ini katanya dari keluarga besar gue, nggak cuma Papa gue doang yang mau.”

“Keluarga besar lo ini di masa depan setelah kita menikah mau kasih kontribusi apa? Ini bukan masalah mau pamrih atau apa, tapi mereka emang peduli sama kita setelah kita menikah kalo seandainya kita down karena nggak bisa bayar utang segini banyak?”

“Iya ngerti, makanya ini mesti diomongin baik-baik.”

“Lo tuh kebanyakan ngomongin ini itu. Udah jelas kita nggak mampu, apa lagi yang mau diomongin? Buang lah jauh-jauh stigma kalo gue itu anak orang kaya. Iya, gue anak orang kaya, sebelum bapak gue meninggal, mobil gue banyak, rumah gue gede dan canggih. Tapi sekarang gue udah nggak punya apa-apa. Jangan juga ngeliat saudara-saudara gue yang kemarin ini datang ke lamaran sebagai orang kaya, mereka juga nggak kasih kontribusi buat gue secara finansial. Logika harus berbanding lurus dengan realitas, hanya lo dan gue, bukan siapa dan dari mana gue berasal atau siapa saudara-saudara bahkan bapak ibu gue dengan segala predikat yang melekat di mereka. Nanti yang jalanin kehidupan juga kita, nggak ada urusannya sama keluarga lo atau keluarga gue. Jadi please lah, nggak usah intervensi yang aneh-aneh.”

“Zy, gue ngerti banget concern ini. Gue kan juga sepemikiran sama lo. Tapi…”

“Lo kebanyakan tapi, Mi. Makanya lo terus-terusan ditekan sama bokap lo. Selamanya lo akan dianggap anak kecil yang nggak becus ngurusin ini itu sendiri. Karena lo nggak pernah bisa speak up. Gue ngerti lo itu introvert. Gue menerima lo apa adanya, vice versa, tapi itu nggak berarti kita tahan dengan kehidupan yang gitu-gitu aja, kita melangkah, bertumbuh besama ke level yang lebih baik. That’s why we’re getting married, right?! Tujuan kita kan itu, kita punya satu persepsi yang sama, kita sama-sama melangkah. Gue bisa speak up, ya gue bantu lo buat bisa speak up juga. Jangan terus-terusan jadi anak kecil bapak ibu lo, Mi. Mau sampai kapan lo terus-terusan hidup sebagai alter ego lo yang gue pertama kali kenal via sosmed itu? Lo harus jadiin alter ego lo sebagai lo yang utama. Disana lo bisa ngomong apapun, nulis apapun, bahkan lo bisa jadi admin fanbase band besar dari jepang untuk skala internasional yang anggotanya kebanyakan orang-orang bule ketika lo masih SMA dulu. Lo bisa itu semua di kehidupan alternatif lo. Kenapa nggak lo bawa itu semua ke kehidupan real lo?”

“Lo tau kan Papa gue kayak apa? Egonya gede. Makanya itu gue punya alter, walaupun nggak semuanya karena keluarga gue tapi emang mostly karena orang tua gue, itu karena gue nggak bisa melakukan apa yang alter gue lakukan, Zy. Lo kan juga udah paham…” balas Emi lirih.

“Ya makanya lo ketemu sama orang yang vokal kayak gue Mi. Yang kepercayaan dirinya tinggi. Biar lo juga bisa ke-trigger buat melakukan hal-hal yang sebelumnya rada mustahil lo lakuin.”

“Terus sekarang harus gimana?”

“Ya ngomong Mi. Duit kita nggak akan cukup untuk resepsi yang pake kayak gituan.”

“……….”

“Masih overthinking juga? Buset. Kita harus jalanin dulu Mi seadanya. Yang penting kamu konfirmasi kalau untuk atraksi yang lain-lain kayaknya nggak bisa. Udah untung bisa ngejalanin resepsi, pake minta yang aneh-aneh aja, heran.”

Emi tidak lagi membalas perkataan gue. Mungkin dia juga sadar kalau ini semuanya harus segera dikonfirmasi. Jika tidak, takutnya malah ada omongan-omongan yang tidak mengenakkan. Seperti umumnya terjadi, banyak keluarga kita sendiri yang merasa kecewa dengan resepsi pernikahan, karena tidak ada ini itu, atau tidak sesuai adat, padahal mereka hanya tamu undangan biasa dan tidak dilibatkan dalam perhelatan sebagai panitia. Harusnya, yang begini tidak perlu di akomodir. Tapi mungkin karena Emi itu orangnya tidak enakan, apalagi sama saudara sendiri, semuanya jadi seperti memanfaatkan kelemahan Emi yang satu ini untuk seenaknya menekan Emi.

--

Hari – hari berikutnya kami habiskan untuk melakukan down payment atau DP dari mulai gedung, WO beserta kateringnya, serta kami meminta bantuan salah satu sepupu gue untuk menyediakan alat musik lengkap dengan bandnya, karena kebetulan memang pekerjaan sampingan sepupu gue ini adalah seorang penyanyi di pernikahan dan juga kafe-kafe.

“Alhamdulillah sekarang udah beres DP WO plus kateringnya ya, Mi.” ujar gue lega.

“Iya, ternyata masih bisa ngasih diskon mereka. Soalnya kita milih paket lengkap juga sih ya. Sama baju pengantinnya juga.” timpal Emi.

“Nah itu dia, kalo paket lengkap begitu biasanya ya ada aja potongan harganya. Tapi udah ya, jangan ada intervensi lagi soal baju pengantin kita. Aku nggak mau kalo nanti diganti-ganti lagi pake baju pengantin yang umumnya di pake orang-orang gitu, yang ada pake peci terus ada sarung setengah, tapi atasannya kegedean. Kampungan. Haha.”

“Jangan yang kayak gitu, ah, aku juga nggak mau. Udah umum banget pake baju yang kayak gitu kalo resepsi.”

“Iya, makanya itu, mestinya nggak ada yang protes. Ini kan resepsi kita, duit kita juga. Hehe.”

“Mudah-mudahan keluarga aku untuk urusan ini juga nggak banyak ikut campur lah.”

“Ingetin keluarga lo, Mi, kalo mau banyak cingcong, nyumbang dulu sepeser. Jangan gede di mau doang tapi malah ngebebanin orang seumur-umur pernikahan. Soal duit utangan kayak gini bisa bikin kita bubar di kemudian hari. Udah banyak kejadiannya.”

“Kamu mau kita bubar?”

“Yeee, ini ngingetin, lebih baik nggak kejadian, daripada ntar udah terlanjur. Jadi kita mencegah aja, Mi.”

“Iya. Iya. Terus habis ini mau kemana?”

“Aku mau ke rumah sepupu aku. Kan deket tuh dari rumah kamu. Buat ngobrolin rencana pake band dia sama sewa alat dari dia.”

“Jadi mau sewa jasanya sepupu kamu? Itu dia yang dulu pernah di idolain sama temen kamu Shella bukan sih?”

“Iya bener. Yang dulu si Shella ngebet banget pingin ngenalin orang yang dia idolain karena suara sama skill main pianonya ciamik punya untuk ukuran penyanyi di kafe dan mall.”

Sekedar intermezzo, teman kuliah gue yang cukup dekat dengan gue sebagai sahabat yang bernama Shella Tizana, yang dulu gue ceritakan di seri Muara Sebuah Pencarian, pernah dengan sangat antusias ingin memperkenalkan gue dengan idolanya. Idola yang dia temui dan lihat di sebuah pertunjukan musik di mall. Entah bagaimana caranya, Shella berhasil berkenalan dengan sang pianis. Nah, orang inilah yang ingin dikenalkan juga ke gue, karena dia menganggap sama-sama bisa bermain musik.

Waktu itu Shella mengajak gue pergi dengannya untuk menonton pianis ini di salah satu mall. Ternyata, pada saat gue melihat, alangkah kagetnya gue karena pianis yang diidolai oleh teman gue ini adalah sepupu gue sendiri.

“Ija, lo kesini juga? Haha. Kok nggak bilang lo?” sapanya.

“Lah. Kalian sudah saling kenal? Kok bisa?” Ujar Shella keheranan.

“Haha. Ya bisa lah Shell, gue kan sepupunya Ija.” Kata sepupu gue menambahkan.

“Oh iya? Hahaha. Ija kok lo nggak bilang sih? Kan tadi kita juga udah liat banner buat peluncuran album debutnya. Kok lo diam aja sih?”

“Haha. Buat kejutan aja Shell. Gue udah tau pas lo bilang tadi di depan banner orang ini yang mau lo kenalin ke gue. Masalahnya, gue udah kenal dia dari kecil. Hehehehe.” Ejek gue santai.

“Begitulah. Haha. Bedanya, kalo gue serius mau di musik, kalo si Ija mah angin-anginan. Padahal peluangnya lebih gede dari gue untuk masuk ke industri (musik).”

“Ya gue kan kuliahnya juga bener, Bang Dana. Sayang gue udah kuliah capek-capek, susah payah, eh taunya malah selesainya jadi musisi. Tau gitu gue terima dulu tawaran jadi musisi dari awal pas gue SMA kan.”

“Iya sih, padahal bakat musik Ija ini lebih gede dari gue, Shell, kalo lo mau tau. Cuma ya gitu, dia ini nggak memanfaatkan itu semua. Malahan pingin kuliah yang tinggi. Hobinya sekolah terus, sama kayak abang gue.” lanjut Bang Dana sembari melihat Shella.

Bang Dana ini kakak beradik dengan Bang Ozy, salah satu sepupu gue yang juga punya andil dalam perkenalan keluarga gue tempo hari ke rumah Emi dan juga pada saat lamaran. Dia menyumbang materi yang cukup untuk melaksanakan acara lamaran tersebut. Gue sangat berterima kasih kepada Bang Ozy terhadap bantuan yang tidak di duga-duga tersebut. Mungkin itu sebagai balas budi terhadap keluarga gue yang banyak membantu Bang Ozy ketika dulu sewaktu sekolah tingkat SMP ditinggal meninggal oleh ayahnya, salah satu kakak Papa, kecelakaan pesawat di Gunung Rinjani. Termasuk sampai menyekolahkan Bang Ozy S2 ke luar negeri, sesuatu yang bahkan Papa tidak bisa lakukan ke anak-anaknya, karena beliau sudah keburu meninggal dan tidak meninggalkan apa-apa selain kebaikan dan jasa-jasa bagi orang lain. Pada saat ini saja Bang Ozy sudah menduduki jabatan tertinggi asosiasi profesi yang saat ini gue geluti juga. Sementara Bang Dana, dulu sempat juga magang di kantor Papa, tapi hanya beberapa bulan saja, lalu memilih tidak melanjutkan karena dia bilang passion dia bukan di pekerjaan seperti itu. Jadilah dia seperti sekarang, sukses dengan caranya sendiri menjadi musisi indie yang ternyata memiliki banyak penikmat musiknya.

--
Hari ini gue ke kampus dengan izin terlebih dulu ke kantor untuk datang setengah hari. Gue akan menyelesaikan denda gue dan berencana untuk tidak menambah denda lagi. Mudah-mudahan tesis gue ini juga memudahkan gue dalam perencanaan pernikahan gue, bukan malah jadi hambatan. Gue juga menunggu deal desain yang ditawarkan oleh pembuat merch undangan dan souvenir untuk pernikahan. Mereka menawarkan desain yang katanya akan sesuai dengan permintaan gue dan Emi. Semoga saja desainnya tidak mengecewakan.

Kampus ini terasa sangat lengang, karena memang perkuliahan sedang berlangsung. Gedung universitas ini hanya di khususkan untuk kuliah pascasarjana saja, tidak ada program Diploma maupun Sarjana, masing-masing juga sudah punya gedung. Gue sedikit bernostalgia ketika dulu kuliah disini dengan segala dinamikanya. Termasuk bersama Fani dan Mila. Berbeda dengan teman-teman S1 gue, teman-teman S2 gue ini sepertinya tidak terlalu berkesan banyak untuk gue. Atau bisa jadi karena frekuensi bertemu dengan mereka yang lebih sedikit, waktu kuliah yang lebih singkat, dan juga pekerjaan yang membuat gue jarang sekali bisa berkumpul bersama mereka dalam waktu yang lama. Tidak ada ospek yang sebenarnya juga tidak perlu, praktikum lab dan juga tidak ada praktikum lapangan, yang menyebabkan keakraban di kampus ini terasa kurang sekali.

Intinya, semua yang disini ingin memenuhi ambisi pribadinya masing-masing, tidak banyak kerjasama, tidak banyak saling diskusi, dan tentunya tidak banyak buang-buang waktu bersama walau hanya sebatas nongkrong di coffee shop. Semua hanya fokus ke studi masing-masing karena memang bayaran di kampus ini cukup mahal. Harus diingat, walaupun ada embel-embel kampus negeri, tetapi jika tingkatannya S2, hampir semua orang memungkinkan untuk dapat diterima masuk, asal punya uang. Makanya banyak sekali dosen gue di S1 dulu yang mengeluh ketika mengajar di S2 tidak sesuai harapan dan standar mereka. Wajar saja, karena yang diterima kebanyakan orang punya uang, bukan yang punya kemampuan otak lebih baik layaknya seleksi masuk S1.

Gue menuju ke ruangan TU atau administrasi untuk menyelesaikan semuanya. Asalkan sudah membawa sejumlah uang yang ditagihkan, urusan amat sangat lancar dan cepat selesai. Semua urusan denda gue terselesaikan hanya dalam waktu tidak sampai 10 menit. Memang ada himbauan lagi untuk menyelesaikan tesis, kalau tidak maka akan ada denda lagi yang ditagihkan. Hal ini membuat gue menjadi semangat lagi, karena lumayan nyesek juga ketika harus membayarkan sejumlah uang seharga dua motor matic yang tidak ada manfaatnya sama sekali bagi gue.

Butuh waktu sekitar satu jam bagi gue untuk berkeliaran di kampus ini, sampai akhirnya gue memilih untuk segera keluar dari kampus karena tidak ada yang diperlukan lagi. Gue menjatuhkan pilihan untuk mampir ke rumah Emi, walaupun Emi tidak ada di tempat. Hal yang sudah biasa gue lakukan selama ini. Kalau sedang bosan di kantor, biasanya gue akan ke rumah Emi untuk sekedar tidur-tiduran atau ngobrol dengan keluarganya, ada atau tidak Eminya sendiri. Tetapi saat ini, gue seperti agak kurang simpati dengan keluarganya, apalagi keluarga besarnya, semenjak banyak sekali tuntutan yang tidak melihat keadaan gue dan Emi dalam proses persiapan pernikahannya. Kembali lagi isunya, kalau mereka mau menyumbang tidak jadi masalah, ini masalahnya mereka hanya menuntut tanpa memberi solusi, pokoknya ada A, B, C, D, tidak peduli bagaimana cara mengadakannya.

Gue memilih untuk langsung masuk saja ke kamar Emi dan beristirahat sejenak. Kamar Emi tidak memakai pendingin ruangan, tetapi selalu sejuk walaupun dalam keadaan tertutup total pintu dan jendelanya. Hal ini bisa disebabkan karena memang cuaca di kota ini lebih dingin daripada di kota-kota lainnya. Kasur Emi juga masih kasur single bed yang cukup untuk satu orang saja, keadaannya pun sudah tidak sebagus dulu, karena mulai banyak pegas yang tidak berfungsi dengan baik untuk model springbed seperti ini. Gue merebahkan diri di rumah yang nyaman ini sejenak. Rasanya memang luar biasa sekali, walaupun tidak sebaik dan sebagus rumah gue menurut pandangan gue, tetapi rumah ini selalu menawarkan ketenangan dan kesejukan yang pada akhirnya bisa membuat hati serta pikiran gue lebih cerah. Setidaknya satu permasalahan gue, yakni denda yang diberikan kampus, sudah selesai. Sekarang beban pikiran selanjutnya adalah bagaimana bisa mendapatkan lebih banyak uang lagi dalam waktu kurang dari 3 bulan untuk menutup biaya yang masih harus dikeluarkan untuk resepsi yang sama sekali tidak gue harapkan ada ini?
kaduruk
khodzimzz
itkgid
itkgid dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.