Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175K
3K
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#470
Jelang Final_Part 7
Kecewa, emosi, dan marah adalah perasaan yang tengah gue rasakan saat itu. Bagaimana tidak? Gue merasa semua yang gue usahakan berakhir dengan sia-sia. Kecuali akhirnya pernikahan gue sudah terdaftar di tanggal yang telah kami tentukan. Tapi kami masih belum menemukan lokasi untuk akad nikah kami, kami belum menentukan baju pernikahan kami, kami pun belum menentukan MUA lokal yang akan kami bookinguntuk mendadani Emi dan keluarga inti lain. Masih banyak yang harus kami lakukan!

Kami sedang makan malam bersama sebelum pulang ke rumah. Iya, kami sudah kembali menjalani kehidupan normal kami kembali yaitu bekerja seperti biasa sembari mengurus persiapan akad nikah kami. Ketika gue baru selesai berurusan dengan waiter, gue melihat Emi tengah mencari MUA di Google. Tentunya MUA yang lokasinya berada di sekitar kampung halaman kakeknya tersebut.

Gue tau, teknologi yang ada saat ini sudah sangat maju. Siapapun dapat mendaftarkan usahanya yang terletak dimanapun tanpa harus memikirkan lokasinya ‘cuan’ atau tidak. Selama barang/jasa yang mereka jual memiliki nilai yang tinggi, orang pun akan rela mencarinya dimanapun mereka berada. TAPI, ada yang satu Emi lupa, kemajuan teknologi tersebut tidak merata. Masih banyak pengusaha atau pedagang yang belum berani dan sama sekali belum terpikirkan untuk mendaftarkan usaha mereka di Google. Mereka khawatir akan keamanan atau ya mereka belum terlalu mengerti bagaimana cara mendaftarkannya. Tipikal orang pintar, Emi terkadang suka berpikir dari sudut pandangnya sendiri.

“Aku nemu nih MUA yang nggak jauh dari rumah kakek. Salonnya ada di pinggir jalan. Eh bentar,” Emi kembali fokus pada HP miliknya, “dia juga punya penyewaan baju nih. Apa kita mau sekalian sewa baju aja di sana?”

“Nyusahin kan?” tanya gue tanpa menjawab pertanyaan dari dia sebelumnya.

“Maksud lo apaan?” Ia meletakkan HP miliknya dan mengalihkan fokusnya pada gue.

“Iya, keluarga lo itu pada nyusahin!”

“Lo kenapa sih? Jadi lo dari tadi diem selama di jalan tuh cuma karena pingin ngata-ngatain keluarga gue? Kenapa nggak kemaren aja pas lo di sana?”

“Emang lo nggak bakal ngelarang gue kalo gue ngamuk-ngamuk di sana? Emang lo nggak bakal minta gue sabar?”

“Lo kenapa sih? Anj*ng juga nih! Ada aja yang mesti diributin!” Emi memijat keningnya dengan tangan kiri bertumpu pada pinggangnya, pertanda dia pun tengah kebingungan dan kelelahan. Gue paham dengan apa yang ia rasakan, namun gue juga tidak ingin dia menanggung semua beban yang seharusnya tidak perlu ini.

“2 hari pergi kemarin, kita nggak ngehasilin apapun kan? Tempat akad nikah belum tau, MUA malah nyari di internet padahal kemaren bisa didatengin langsung, baju aja sampe belom kepikiran! Sekarang di kantor kerjaan lo juga makin banyak gara-gara tau lo mau cuti lama, makin pusing kan lo?” Gue menjeda omongan gue. “Kenapa sih kita nggak memposisikan diri kita jadi investor aja?”

“Investor apaan maksud lo? Lo mau ngasih duit lo serta merta ke mereka terus terima beres gitu aja? KATANYA LO NGGAK MAU NIKAH DI KUA? BANGS*T!” Emi sudah mulai mengeluarkan kata-kata mutiara miliknya. Memang benar, emosi negatif itu sangat mudah menular.

“Bukan! Ngerti nggak sih lo? Investor itu kan orang yang punya duit, tapi mereka juga yang suka bikin standar atau target suka-suka mereka. Nah nanti kan akad nikah tuh duit-duit kita, kenapa kita masih harus nurut sama omongan keluarga lo sih? Terutama bokap lo tuh! Buset, keras kepala banget! Kayak yang nanti bakal bantuin kita aja kalo misalnya kita kehabisan duit.”

Emi terkejut dengan kalimat terakhir yang gue lontarkan. “Wow! Lo bilang apaan tadi? Kenapa lo mikirnya jadi kayak begitu sih, Zy? Heran gue. Lo itu sebenernya niat apa nggak sih nikah sama gue? Lo itu nggak cuma nikahin gue doang, tapi lo bakal nikahin kedua keluarga kita! Lo bakal manggil bokap gue, Papa juga! Lo bakal manggil nyokap gue, Mama juga! Jangan suka ngomong asal begitu!”

“Gue nggak pernah mikir dua kali buat nikahin lo. Kalopun lo pergi kemanapun, gue akan terus ngejar lo. Gue nggak akan pernah ngelepasin lo lagi. Tapi gue mohon, bantu gue buat bikin akad nikah ini jadi akad nikah yang kita sama-sama suka. Bismillah, ini bakalan jadi akad nikah pertama dan terakhir buat gue. Jadi gue mohon, lo jangan terus-terusan nurut gitu aja di depan keluarga lo dong, Mi.”

“Gue juga nggak mau kayak begitu, Zy. Tapi lo tau sendiri kan gimana ngadepin bokap dan keluarga gue yang lain. Mereka maunya dimusyawarahin. Mereka maunya gue terima beres.”

“Tapi lo juga mikir, Mi. Di sini ada kepentingan keluarga gue juga. Masa keluarga gue juga mesti nurut sama kemauan keluarga lo cuma karena keluarga lo kedapetan jadi tempat hajat?”

Gue sangat ingin Emi sepemikiran dengan gue. Gue juga ingin Emi dapat memiliki keberanian untuk menyuarakan pendapatnya hingga didengar oleh keluarganya. Emi itu bukan tipikal cewek yang mau terima beres. Emi itu orang yang kreatif, penuh konsep unik dan selalu sukses membuat gue takjub. Emi sudah dewasa. Sebentar lagi ia akan membina keluarganya sendiri. Masa iya dia masih diperlakukan seperti anak kecil yang ingin merayakan ulang tahunnya? This is a f*cking wedding, not a birthday party nonsense!

Gue kembali melanjutkan omongan gue. “Lo bayangin lagi, Mi. Lo bayangin, keluarga gue jauh-jauh dari ibukota ke kampung lo, masa iya cuma buat nyaksiin akad nikah gue yang diadain di KUA doang? Perkara ke Masjid Agung aja nggak setuju! Buset dah!”

“Nanti gue coba omongin ke masjid deket rumah.”

“Mushola?”

“Masjid, di belakang rumah kakek tuh ada masjid yang biasa dipake Jumatan. Jadi bukan mushola lagi.”

“Ya terserahlah. Coba aja dulu lo ngomong sama bokap dan keluarga lo yang lain. Pada setuju nggak.” sindir gue pada Emi.

“Iya.” Emi kembali fokus pada HP miliknya, sepertinya ia sedang merangkai kalimat untuk meminta Omnya mencoba koordinasi dengan pihak DKM sana.

“Nyusahin orang kan jadinya? Harusnya kemarin kan bisa. Harusnya kan kita bisa ngurus sendiri kemaren? Sekarang udah balik kesini, ujung-ujungnya harus koordinasi online juga. Kalo tau gitu mah mending—” Emi memotong omongan gue.

“Sabar dikit bisa nggak?! Ini gue juga lagi coba ngehubungin Om Asep! Anj*ng!”

“Mau sabar kayak gimana lagi sih, Mi? Masih denial kayak bokap lo kalo perjalanan kesana kemaren itu mubazir? Duit kebuang, waktu kesita, tenaga kekuras, tapi masih aja ada yang ketinggalan, nggantung, nggak selesai! Mana sepele banget lagi, masalah tempat ijab kabul! Kalo misalnya kemarin juga nggak dapet penghulu di tanggal yang kita mau, mampus udah. Kacau semuanya pasti.”

“Terus mau lo apa kalo kacau? Mau dibatalin aja nikahannya? Mau nikah sama yang lain aja? Mau nikah sama Ara aja? Atau siapa? Mantan-mantan lo?”

“Lah, kok lo malah ngebawa Ara?”

“Kenapa? Lo nggak terima?”

“Apaan sih? Gue lagi ngebahas nikahan kita loh! Kenapa jadi ngurusin yang lain lagi sih? Kebiasaan banget cewek kalo diajak diskusi tuh pasti—” Emi kembali memotong omongan gue.

“Pasti apa? Lo duluan yang marah-marah ke gue! Lo duluan yang nunjukin hate speech ke keluarga gue!”

Gue meletakkan HP gue dengan sedikit membantingnya ke meja. Gue mencoba menenangkan diri gue agar obrolan yang menuju perdebatan ini tidak terlalu menarik perhatian pengunjung yang lain. “Gue nggak ngebenci keluarga lo, tapi coba lo ada di posisi gue. Mikir sedikit aja dari sudut pandang gue, menurut lo, gue berhak marah nggak? Kapan masukan dan omongan gue BISA DITERIMA atau minimal didengerlah sama bokap lo! KAPAN? Gue belum sepenuhnya jadi anak doi loh! Tapi omongan gue aja udah dimentahin kayak begitu. Apalagi lo? Gue yakin, lo juga kemarin udah berusaha netral dan ngasih masukan yang seirama sama gue, tapi apa? Tetep nggak dianggap kan? Menurut lo, gue nggak akan marah kalo bini gue dibegituin?”

“………”

“Inget Mi, lo itu udah mau nikah! Bukan anak bapak lo yang dikuncir kuda dan harus pulang sebelum jam 9 malem lagi! Lo bukan lagi anak yang harus dipaksa pulang maen sampe diancem make sabetan sapu lidi! Bokap lo itu sekarang udah hampir ngelepas lo sepenuhnya! Tapi apa? Lo tetep dianggap anak ingusan kan sama bokap lo? Bahkan gue! Gue umurnya jauh lebih tua dari lo, tetep aja gue juga nggak dianggap! Mentah semua! Bangs*t!” Gue meneguk sedikit minuman yang gue pesan sebelumnya. Gue sampai tidak sadar kalo seluruh pesanan kami sudah datang.

“Udah, Zy.” ujarnya datar dengan suara kecil.

“Dengerin gue! Lo mau kayak bokap lo juga nggak mau dengerin gue?” gertak gue sambil memegangi kedua bahu Emi.

“………” Dia hanya diam, tidak menjawab satupun pernyataan gue.

“Kenapa sih bokap lo segitu nolaknya ngurus nikahan di Masjid Agung? Takut kurang duit? Kalo takut kurang duit, bukan malah ngelarang kita nikahan di Masjid Agung! Tapi yang jadi masalah itu, KENAPA MAKSAIN MAU DI KAMPUNG HALAMAN HAH? KENAPA JUGA MASIH MAKSAIN NGADAIN RESEPSI?! KENAPA? KARENA AMANAH? AMANAH BANGS*T!”

“Firzy!” Emi berusaha menutup mulut gue dengan lengannya. Tapi gue menangkis lengannya tersebut.

“Gue yakin, kalo kakek nenek lo masih ada atau bisa diajak ngobrol sekarang terus tau gimana kondisi kita, mereka pasti paham dan nggak maksain kayak bokap lo. Kalopun mereka minta kita tetep nikah di sana, mereka nggak akan ngediemin pendapat lo! Buat apa kita ngeluarin duit buat akad nikah jauh-jauh terus resepsi mewah tapi abis itu kita miskin terus nggak bisa memulai perjalanan pernikahan kita? Apa bedanya kita sama mereka yang jungkir balik kerja di ibukota selama setaun cuma demi bisa mudik, abis itu balik dari kampungnya kere lagi dan nggak punya apa-apa lagi karena maksain mudik. Apa bedanya kita sama mereka? Sama aja gobl*knya! Udah tau nggak sanggup tapi maksain.”

“Udah lah, Zy.”

“Kalo kita ngomongin yang bener, kita pasti bisa pertahanin argumen kita. Jangan khawatir kalo kita sampe nggak ada duit cuma buat nyewa Masjid Agung atau masjid belakang rumah. InsyaAllah gue punya duitnya kalo untuk itu, mah. Penting itu adalah, jangan mengakomodir maunya keluarga lo doang! Keluarga gue juga dipikirin! Ngerti nggak sih keluarga lo konsep nikah? Atau jangan-jangan tipikalnya kalo nikah ada yang nggak beres tinggal cerai terus kimpoi lagi? Atau ada yang nanti pasangannya meninggal terus nggak lama udah sibuk nyari jodoh buat kimpoi lagi? Enteng banget tuh kayaknya mau nikah urusannya begitu. Pantesan kemarin ketemu sama ibu-ibu tua masih mau nikah lagi!” Gue meracau tegas karena kesal.

“ZY! Please, jangan judge keluarga gue kayak gitu.”

“Hahaha. Lo liat itu almarhum kakek lo gimana?! Dua kali doi ditinggal mati istri-istrinya, dua kali doi kimpoi lagi! Harusnya makin gede dong keluarga lo? Tapi apa, nggak kan? Lo kenal nggak sama cucu-cucu kakek lo dari dua nenek lo yang baru? Nggak kan? Terus lagi, ada salah satu om lo ketauan juga punya istri lagi setelah belasan taun nggak kedeteksi sama keluarga besar, gimana itu? Enteng banget kayaknya urusan kayak ginian ya. Terus keluarga lo tetep anteng-anteng aja? Ribut sendiri kan akhirnya?”

“Kenapa harus bawa urusan keluarga gue yang lain sih, Zy? Lo kalo ngamuk suka kemana-mana!”

“Oh nggak, gue cuma nunjukin kalo nikah itu nggak mudah. Nggak bisa mereka ngegampangin nikah di KUA karena mudah dan murah. Tanpa kesan! Mungkin karena mikir, nanti juga kalo ditinggal mati tinggal nikah lagi aja gampang. Makanya mereka nggak kepingin nikahannya berkesan iya?”

“Nggak kok, buktinya bokap gue masih mau kita ngadain resepsi biar punya kenangan!” Emi masih juga berusaha membela bapaknya.

“MAKSAIN buat ngadain resepsi. MAKSAIN! Itu harus digarisbawahin! Itupun make duit kita kan? Tapi apa bokap lo mikirin keuangan kita? Apa bokap lo mikirin pendapat keluarga gue masalah resepsi ini? Akad nikah aja suka-suka doi, apalagi resepsi!”

“Nanti gue coba omongin sama bokap gue.” Emi kembali mengurut dahinya. Sepertinya gue hanya menambah beban di kepalanya.

Gue menggenggam kedua tangannya. “Gue bukan mau nambah beban lo. Gue pingin nikahan kita ini juga penuh kesan dan nggak penuh tuntutan yang nggak sesuai keinginan kita. Gue khawatir kalo semuanya bener-bener ngikutin apa maunya keluarga lo, itu nggak bikin keluarga kita nyatu.”

“………” Emi menatap mata gue tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

“Nyatuin dua keluarga itu bukan hal gampang. Bikin satu keluarga besar guyub aja susahnya minta ampun Mi, kayak yang gue pernah ceritain dulu ke lo soal bertahun-tahun keluarga besar Papa bercerai berai soal urusan duit. Om Reza itu sampe berdarah-darah nyatuin keluarga itu sampe guyub lagi. Lah ini, mau nikah aja dipersulit demi ego keluarga lo sendiri tanpa mikirin gimana perasaan keluarga gue? Yang ada abis nikah, langsung slek keluarga kita.”

“Jangan sampe, Zy.”

“Lagian kayak keluarga lo guyub aja. Sok dikit-dikit dimusyawarahin sama keluarga. Emang berapa kali sodara-sodara lo mampir ke rumah selama kita pacaran? Nggak usah yang tinggal di kampung halaman. Yang rumahnya di ibukota aja, ada berapa kali gue tanya? Nggak ada yang bener-bener sering ke rumah lo kan kalo bukan karena ada urusan? Ah, hipokrit!”

“Zy, kenapa jadi melebar banget ke urusan keluarga gue sih? Lo kayak nyari-nyari alesan buat ngebatalin nikahan tau nggak!”

“Nggak ada urusannya sama nikahan, gue cuma kesel aja sama keluarga lo yang sok ngatur, sok musyawarah tapi intinya mah mikirin diri mereka sendiri. Terus sekarang segala mau ngatur-ngatur urusan lo sama gue. Pake duit gue lagi, bukan duit sumbangan mereka! Kalo nanti mau diitung pas repot perkenalan sama lamaran kemarin, itung aja. Konversi ongkos dan tenaga mereka jadi duit. Ntar gue bayar. Tapi please, nggak usah ngatur urusan kita, Mi. Cuma masalah ijab kabul aja sampe rembug dulu semua orang harus mikir. Ribet. Mana nggak mau mikirin urusan dengan keluarga besar gue juga lagi. Mereka mikirnya cuma ‘Pokoknya maunya keluarga kita di A ya A, soalnya keluarga besar Firzy maunya gimana bodo amat, toh mereka tamu.’ Kan nggak gitu konsepnya Mi kalo orang nikah. Keluarga gue juga bagian dari keluarga lo di masa depan nanti.”

“STOP!” Kali ini Emi benar-benar lelah dengan bahasan yang gue angkat. “NANTI GUE OMONGIN SAMA KELUARGA GUE! DENGER NGGAK?”

“Ya silakan. Gue tunggu aja hasilnya gimana. Paling-paling juga ditolak. Maunya pasti sesuai sama saran keluarga lo dan nggak mikirin keluarga gue yang udah jauh-jauh dateng dari sini.”

We’ll see, Zy.”
aibicidicion
caporangtua259
khodzimzz
khodzimzz dan 14 lainnya memberi reputasi
13
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.