Kaskus

Story

bukanrinduAvatar border
TS
bukanrindu
Tanah Selatan (True Story)
Tanah Selatan (True Story)

Quote:


INDEX YOW

Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4

Bagian 5

Bagian 6


Bagian 1


Ini hari ke tujuh meninggalnya Ibu. Gue yang baru menginjak kelas dua SMA harus kehilangan seorang sosok penyayang seperti beliau. Ibu gue, katanya - sakit kanker kelenjar getah bening. Banyak banget benjolan di tubuhnya. Dan pada saat beliau meninggal, tubuhnya seperti tidak berbobot, karena kurus tinggal tulang.

Gue lagi di kantin sekolah bareng ke dua sahabat gue. Yang satu namanya Raini, yang satu lagi namanya Iyan. Oh iya, gue kasih tahu ciri-ciri mereka, Raini adalah yang paling cantik diantara kami bertiga. Rambutnya pendek seperti polwan, hidungnya mancung, dan kulitnya putih. Kalau senyum, lo bakalan lupa sama alam dunia. Kalau Iyan, dia punya kulit sawo matang, rambut ikal, dan ya gitu lah, urakan, tapi kocak abis.

Dan gue, Sena, Sena AntaMahenra. Gue tahu, nama gue kayak cewek. Tapi please, gue cowok dan gue normal. Maksudnya, masih doyan cewek.

"Ntar malem nongki yuk." Ajak Iyan sambil nyeruput jus jambu.

Plak! Raini memukul kepala Iyan, Iyan meringis.

"Gila lo ya, pala anak orang lo tampol seenaknya."

"Lo lupa?" Raini ketus.

"Lupa paan, sih?" Iyan menatap kami bergantian, gue cuma berdehem.

"Hari ini ada pengajian ketujuhnya almarhum nyokapnya Sena. Makanya kalo punya otak itu dipake buat nyimpen memori!" Tukas Raini.

"Oh iya gue lupa!" Iyan lalu memukul pelan jidatnya sendiri.

"Lagian gapapa kalo kalian mau jalan. Gak dateng juga gapapa." Gue menimpali. Karena nggak enak aja takutnya mereka terhalang oleh gue.

"Eh gak gitu mamen. Lo itu sahabat kita, kalo lo sedih, kita juga sedih."

"Alah sok bijak lo. Sini uang gue balikin, gue lagi sedih!" Raini menyodorkan tangannya dengan telapak terbuka ke Iyan sambil memelototkan matanya.

"Nah kalo itu, sama, kantong gue malah lagi menangis."

"Alah bacot lo!" Raini menotor kepala Iyan.

"Serius deh, gue gakpapa kalo misalkan kalian nggak dateng." Jelas gue.

"Nggak, pokoknya kita bakal tetep dateng. Tenang aja Sen." Raini tersenyum menepuk pundak gue.

Gue tersenyum tipis. Jujur aja, semeninggalnya ibu, gue jadi lebih pendiam. Nggak kayak biasanya. Gue masih nggak percaya kalau ini semua terjadi. Gue pernah nanya sama Tuhan, kenapa harus ibu gue? Kenapa? Dan nggak ada jawabannya sama sekali.

Hari itu, sebelum kematiannya, ibu pernah berkata, "Sen, jagain Bapak. Jangan sampe terjadi apa-apa sama bapak. Ini salah ibu."

Dan sampai sekarang, gue masih nggak ngerti apa maksud dari perkataan ibu. Gue jagain bapak? Dan kalimat itu terus menari-nari dipikiran gue. Lalu apa kesalahan yang sudah ibu perbuat? Gue nggak sempat menanyakan hal itu karena ibu langsung tertidur, dan setelah tidur itu, keesokan harinya, ibu tidak sadarkan diri lagi.

Hari sudah gelap. Pulul enam malam. Beberapa bapak-bapak sudah berkumpul di ruang tamu yang sudah lengang, hanya di beri alas karpet dan tikar.

Gue mendapati diri gue tengah berada di depan cermin. Sedang memakai baju koko berwarna putih.

Setelah selesai, gue menatap lamat-lamat cermin, seperti ada bayangan hitam di belakang gue. Seketika bulu roma gue berdiri. Gue menelan ludah. Patah-patah menengok.

Nggak ada siapa-siapa.

Pyuh! Gue menghembuskan napas lega. Lantasan pandangan gue terkunci pada sesuatu yang tergeletak di kasur.

Jantung gue berdebar cepat. Keringat sebesar biji jagung mulai terasa mengucur di pelipis.

"Itu kan, selendangnya ..."

Gue pelan menghampiri selandang itu.

"Ibu."

Gue nggak tahu kapan selendang itu ada di atas kasur gue. Selendang ini kesayangannya ibu. Sedari tadi gue di sini, nggak ada barang itu sama sekali.

Gue raih selendang berwarna hijau lumut itu.
Aromanya melati, sangat menyengat, ini memang parfum ibu.

Tapi ... nggak mungkin. Ibu sudah meninggal. Gue melihat jasadnya sendiri dikafankan dan dimakamkan. Nggak-nggak, ini nggak masuk akal. Gue mencoba nyari alasan yang logis tentang semua ini.

"Woy Sen, malah diem di sini, ayo!"

Gue terperanjat. Kaget bukan main.

"Sialan lo yan, malah ngaget-ngagetin."

"Lo nggak apa-apa, kan, Sen? Pucet banget muka lo soalnya." Raini menyentuh jidat gue memastikan.

"Kebanyakan nonton film kolor lo! Malah pornoan, kan?"

"Eh mulut lo ya, nggak bisa di rem apa?" Raini menampar mulut Iyan.

"Enggak, gue gakpapa, ayo."

Mereka berdua hanya ber oh ria.

"Ayo Sen, malah bengong lagi." Iyan kembali membuyarkan lamunan gue.

"Iya ayo."

"Aromanya kayak kamper ya." Kata Iyan sambil ngeloyor.

"Hus." Sanggah Raini.

Kamper? Jelas-jelas ini aroma melati. Apa hidung si Iyan yang bermasalah atau emang hidung gue yang udah nggak sehat?

###

Malam semakin matang. Ini udah jam sepuluh. Gue masih di ruang tengah dengan bapak.

"Kamu nggak makan Sen? Tadi abis pengajian juga bapak nggak liat kamu makan, nak." Kata bapak sambil menghisap rokoknya.

"Aku nggak laper, pak."

"Makan Sen, kamu akhir-akhir ini bapak lihat jarang makan. Sakit nanti kamu."

"Aku baik-baik aja kok, Pak."

Gue sebenernya udah pengen nanyain sama bapak soal omongan ibu itu. Tapi susah banget keluar dari mulut gue. Gue tahu, ini juga berat buat bapak. Kehilangan wanita yang sangat ia cintai.

Ada apa sih dengan semua ini? Kenapa ibu berkata demikian ke gue?

Bapak mematikan rokoknya.

"Bapak tinggal tidur ya. Udah ngantuk banget. Besok harus udah di kantor jam enam soalnya." Bapak bangkit dari duduknya.

"Iya pak."

"Kamu juga tidur, istirahat Sen." Bapak sambil berlalu.

Gue hanya mengangguk.

Rumah ini terasa semakin sepi. Biasanya gue nemenin ibu tidur pas beliau sedang sakit parah. Dulu gue punya keyakinan kalau ibu pasti sembuh. Tapi sekarang, keyakinan itu pudar, ibu tiada. Gue memandang bingkai foto ibu yang menempel di dinding.

Sebentar.

Gue perhatikan lamat-lamat. Kenapa foto ibu ganti? Sungguh, foto ibu yang dipampang di sini bukan ini, melainkan fotonya yang tengah duduk di atas sofa mengenakan gamis berwarna putih. Tapi ini?

Gue berdiri, pelan berjalan ke arah bingkai foto itu. Gue menelan ludah. Berusaha menopang tubuh gue yang terasa semakin berat ini. Lemas rasanya sekujur kaki.

"Kapan ibu foto pake selendang itu?"
Diubah oleh bukanrindu 20-12-2021 05:07
afrizalhusniAvatar border
sirluciuzenzeAvatar border
khumanAvatar border
khuman dan 51 lainnya memberi reputasi
50
20K
155
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
bukanrinduAvatar border
TS
bukanrindu
#45
Bagian 5


Gue, Raini dan Iyan berkumpul di rumah Iyan. Untung saja ini hari minggu. Jadi kami bisa berangkat saat matahari masih terasa hangat dikulit.

Raini baru saja tiba, dia tadi pagi sekali pulang dan sejam kemudian udah bersama kami lagi.

"Sen, lo tau kita mau ke mana sekarang?"

Gue menggeleng.

"Lah, kemaren malem lo bilang kita berangkat sekarang!" Iyan sewot.

"Tenang, gue udah dapet info, siapa orang yang bisa ngebantuin lo, Sen." Ujar Raini.

Syukurlah, Raini memang selalu bisa diandalkan.

Gue jadi inget, dulu waktu kelas satu semester dua, gue pernah telat hampir setengah jam. Tapi Raini membantu gue untuk bisa masuk. Dia menyelinap ke belakang gerbang waktu satpamnya lagi nggak ada, dan menurut gue itu gokil banget, sih.

"Tapi kabar buruknya, tempatnya jauh banget. Mungkin bisa berjam-jam perjalanan. Dan kita harus jalan kaki agak jauh."

"Buset, jauh amat. Emang daerah mana?" Iyan kaget.

"Gunung manglayang."

Gue dan Iyan mengerutkan dahi. Apa ada manusia yang sengaja hidup di gunung? Mustahil. Kenapa rela jauh dari peradaban? Apa emang orang yang punya keahlian khusus atau indera keenam seperti itu?

Tapi apa salahnya dicoba. Siapa tahu orang yang Raini maksud benar-benar bisa membantu gue.

"Ayo jalan, keburu siang. Kita nggak mau, kan, masih di jalan pas hari udah gelap?"Gue lantas berjalan ke arah mobil dan menaruh tas di bagasi.

"Eh seriusan ini? Telapak kaki lo bakal kerasa tepos banget, Sen. Belum kalo kita nyasar, mampus kita." Iyan nyerocos.

"Kalo gitu, gue aja yang pergi ke sana."

Gue nggak mau kalo masalah mistis ini terus berada di hidup gue. Bisa gila gue lama-lama.

"Gue ikut." Ujar Raini.

"Parah lo berdua, masa iya ... arghhh, shit men! Yaudah gue juga ikutlah." Keluh Iyan.

"Thanks guys,

Setelah semuanya siap, kami segera berangkat.

Hari ini akan terasa panjang. Bagi gue ini adalah sebuah petualangan baru dalam hidup. Tiba-tiba saja pergi ke gunung tanpa ada persiapan apapun. Tanpa rencana. Tapi yang pasti, gue berharap semua ini akan berakhir.

Ini bukan waktunya bersedih. Sedari kemarin, gue mencoba untuk menguatkan hati.

"Yan, ini mobil nggak akan ditanyain nenek lo?" Tanya Raini.

"Ditanyainlah, masa enggak."

"Terus?" Kata gue.

"Ya kan udah bilang minjem." Kata Iyan sambil fokus menyetir.

"Kapan lo bilangnya? Nenek lo kan tadi masih di pasar!" Sanggah gue.

"Ya entar, kalo kita udah balik." Iyan dengan polosnya.

"Lancang lo ya!" Maki Raini sambil terkekeh.

Iyan malah tertawa tanpa dosa. Yasudahlah, Iyan memang selalu seperti itu. Bikin jengkel tapi kocak.

Iyan dengan sigap mengemudikan mobil. Tad tid tad tid menglaksoni pengendara yang menghalangi jalannya.

"Betewe, kira-kira berapa jam kita nyampe?" Iyan membuka obrolan.

"Kurang lebih delapan jam, iya segitulah kira-kira-kira." Jawab Raini.

"Delapan jam?" Kaget Iyan, "udah kek kerja aja sampe delapan jam, tapi feeling gue kita bakalan lembur ini gaes!" Lanjut Iyan kemudian.

"Sorry ya gue ngerepotin kalian." Gue ngerasa bersalah banget harus ngelibatin mereka.

"Nggakpapa Sen, lo kek sama siapa aja deh." Raini angkat suara.

Tatapan Raini selalu meneduhkan. Selalu bikin gue kagum.

Kami sudah mulai melewati jalanan menanjak. Cukup jauh. Melewati rumah penduduk yang tidak terlalu rapat.

"Ini bener jalannya ke sini, Ra?" Tanya Iyan.

"Benerlah. Tenang gue di kasih petanya." Jawab Raini percaya diri.

"Canggih banget otak yang ngasih lo alamat." Iyan takjub.

Gue hanya diam melihat ke jalanan, menyapu setiap inchinya. Perjalanan ini kira-kira sudah memakan waktu sekitar dua jam. Pantat gue udah kerasa panas banget. Pengen rasanya lompat dari jok.

Setelah sampai di ujung perkampungan, Raini meminta agar Iyan memarkirkan mobilnya di dekat patok bertuliskan 'batas kampung'.

"Lo serius Ra kita parkir di sini?" Tanya Iyan ragu-ragu.

"Seriuslah. Lo pikir kita ke sananya bakal pake mobil? Ya enggak lah. Yakali!" Ujar Raini menegaskan.

Kami lantas turun dari mobil. Diantara kami bertiga, yang membawa tas hanya Raini. Isinya udah pasti makanan. Itu untuk berjaga-jaga kalau kami laper di tengah perjalanan.

Baru saja kami akan melangkah, seorang pak tua terbilang 60 tahunan menghampiri kami. Pak tua itu mengenakan baju lengan panjang berwarna putih dan celana berwarna senada dengan bajunya.

"Bade kamarana jang? (Mau pada ke mana, nak?)" tanya pak tua itu dengan suara paraunya.

"Emmm ... mau ke gunung manglayang ki. Lewat sini, kan, ya?" Tanya gue basa- basi.

Pak tua itu terdiam, lalu menengok ke belakang.

"Ilukeun patok nu aya di sisi jalan. Meh teu nyasab. (Ikuti patok yang ada di pinggir jalan, biar gak nyasar.)" pak Tua itu lantas pergi ke arah jalan yang berlawanan dengan kami.

"Ma-makasih, pak." Jawab gue, tapi pak tua itu melangkah pergi tanpa menjawab ucapan terima kasih dari gue.

"Aneh banget sih." Kata Raini.

"Nggakpapa, yang penting dia ngasih tau kita Ra." Jawab gue.

"Hayu cabut." Ajak Iyan.

Kami lantas segera berjalan memasuki jalan yang di tunjukan oleh pak tua itu.

Gue agak aneh sih, pak tua itu dari mana? Padahal di sini nggak ada kebun atau apapun. Hanya ada pohon-pohon tinggi menjulang.

Gue penasaran, menengok ke belakang.
Pak tua itu hilang. Harusnya kalo berjalan, dia masih ada di belakang, karena jalanan ini lurus.

Apa pak tua itu manusia? Siang-siang begini udah dibuat merinding.

Gue lebih memilih diam dan nggak bilang sama Raini ataupun Iyan dengan maksud agar mereka tidak ketakutan atau khawatir.

Perjalanan masih belanjut.

Keringat sudah mulai membasahi sebagian tubuh gue, atau bahkan kami. Gue lihat dari tadi Raini terus mengusap wajahnya dengan sapu tangan. Dia pasti kelelahan.

"Ra mau istirahat dulu?" Tanya gue.

"Enggak ah, kita lanjut aja." Jawab Raini.

"Giliran Raini lo tanyain, lah gue?" Iyan protes.

"Bodo amat elo mah, Yan." Gue melengos.

Ini adalah perjalanan terpanjang gue sepanjang sejarah. Jalan kaki maksudnya. Gue nggak pernah mendaki gunung, ataupun melakukan kegiatan gerak jalan lainnya. Jadi ini akan menjadi kenangan bagi gue, sekaligus pengalaman terburuk.

Kami harus berhati-hati. Jalanan agak sedikit licin bekas diguyur hujan semalam.

Gue menghentikan langkah sebelum jalanan menikung di depan.

Gue menelan ludah.

"Kenapa Sen?" Tanya Raini.

Gue masih terpaku. Melihat pemandangan di depan sana.

Gue menunjuk ke arah samping kiri. Di sana ada sengkedan.

"Anjrit, kuburan semua. Banyak banget!!" Teriak Iyan.

"Husss, Yan. Jaga omongan lo!" Sanggah Raini.

Gue tau, Raini juga pasti lagi nggak baik-baik aja perasaannya. Maafin gue sahabat udah bikin lo pada dalam keadaan buruk kayak gini.

Jadi di sengkedan itu adalah deretan kuburan yang panjangnya sepanjang jalan kami melangkah ke depan. Gue nggak tau itu ujungnya sampai mana. Banyak banget. Mungkin orang-orang yang meninggal dari kampung yang kami lewati di makamkan di sini.

Akan ada apa di depan sana? Kenapa terasa semakin sulit sekarang?

Perasaan gue nggak enak. Tuhan, lindungi kami.
nuryadiari
sirluciuzenze
khuman
khuman dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.