Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#422
Simpang Siur_Part 5
Gue menatap langit cerah di Minggu siang itu, “Tinggal beberapa jam lagi, Emi udah pulang ke sini. Sekarang, dia lagi ngapain ya?” gumam gue di dalam hati. “Kalau dia ada di sini sama gue, mungkin dia udah pesan pempek lenggang sama tekwan favorit dia.”

Gue mengambil gambar di sudut kantin favorit kami. Ya pastinya kantin yang sama dengan kantin ketika gue kuliah dulu. Hanya saja, gambaran yang terlintas jelas di memori gue adalah kenangan ketika gue menemani dia makan di kantin ini. Mengapa? Karena setiap kali gue menemani dia makan di sini dimana banyak banget senior dan alumni yang mungkin mengenal gue, tidak ada seorang pun ada yang menegur Emi.

Emi paling tidak suka kalau gue tiba-tiba datang ke kampus. Padahal di luar sana, banyak banget cewek yang pingin punya pasangan senior mereka, seperti Emi. Tapi Emi kayak dijauhi oleh orang-orang kalau ada gue. Kasihan sih. Tapi asyik aja buat gue. Hahaha.

Yup. Saat ini gue sedang berada di kampus kami.

Bukan, bukan untuk tebar pesona atau semacamnya. Lagi libur juga kampusnya. Bukan pula untuk nemuin semua cewek-cewek di masa lalu yang udah gue blokirin itu. Bukan kok. Tapi… Gue mau iseng diskusi sama teman-teman gue yang masih ada di kampus ini. Sekalian, gue juga mau nanya kabar tentang lamaran pekerjaan gue. Waktu yang gue punya tidak banyak. Gue harus segera mendapatkan tambahan uang.

“Ja?”

“Eh, Zi!”

Azi adalah teman sekelas gue dulu ketika gue di S1. Kini, dia tidak hanya menjadi teman sekelas gue, tetapi menjadi salah satu anggota keluarga kedua gue di band. Oh tidak, Azi tidak memainkan salah satu instrumen musik. Azi adalah istri Vino. Masih ingat Vino bukan? Si gitaris yang juga merupakan senior gue dan Emi. Ya namanya juga satu kampus.

“Kirain sama Emi, Ja…”

“Emi kan lagi di Singapore, Zi. Lupa lo? Hahaha.”

“Oh iya, A Vino udah bilang. Maaf Azi lupa…” Well, Azi ini adalah salah satu deretan anak paling pintar di Angkatan gue dulu. Tetapi, kepintarannya seakan tidak dipertimbangkan oleh teman-teman di kelas karena ya seperti ini. Dia pelupa dan kadang telat mikirnya. Hahaha.

“Tapi kemaren nikahan Tyo, lo sama Vino bukan lupa kan?”

“Oh nggak kalau itu, Ja.” kata Azi sambil mengarahkan gue untuk jalan menuju ke laboratorium dimana dia biasa bekerja. “Azi ada kerjaan di kampus sini, A Vino lagi diminta lembur di kantor. Jadi ya… Punten ya kami nggak dateng. Emi juga nggak dateng dong?”

Gue terdiam sebentar. Kok nanya Emi lagi sih? Ini anak gimana dah? “Emi itu udah di Singapore dari Jum’at, Zi. Nikahan Tyo kemaren, jadi nggak mungkin Emi ada di sana.”

“Eh iya maaf, Ja. Duh Azi lagi lemot banget ini. Maaf ya.”

“Lo kecapean kali, Zi. Lagian Minggu begini, kenapa lo masih aja di kampus sih?”

“Kerjaan yang kemaren belum beres, Ja. Nggak enak dibawa ke rumah. Jadi mending ngelembur aja di kampus.”

“Terus Vino?”

“Dia di rumah kok. Lemburnya kemaren doang, tapi sampe malem.”

“Nah kenapa lo nggak diselesaiin kemaren aja sampe malem? Kenapa malah dilanjut sampe sekarang? Banyak banget ya?”

“Kan di kampus mah ada batas waktu, Ja. Nggak bisa ngelembur semaleman begitu.”

“Iya sih… Emang banyak ya kerjaannya, Zi? Lo kan belom jadi dosen, emang diminta ngurusin apa sih?”

“Ya kerjaan mah ada aja atuh, Ja. Ya ngurusin nilai mahasiswa, ya bantuin penelitian mahasiswa, ya bantu bimbing praktikum mahasiswa, atau bantu penelitian dosennya juga. Alhamdulillah ada aja pokoknya yang dikerjain, Ja. Hehehe.”

“Lo dibayar kan?”

Azi terdiam dan nengok ke arah gue. “Kok nanya begitu sih, Ja? Hahaha.” Oke, ketawanya terdengar cukup canggung. “Ya dibayar kok…”

“Setara dosen?”

“Ya nggak juga. Hahaha. Bisa aja kamu, Ja. Azi kan masih belum diangkat jadi dosen di sini.”

“Masih belum? Udah berapa taun coba lo di sini?” Azi tidak menjawab pertanyaan gue. Dia sibuk membuka kunci dan pintu laboratorium. “Zi?”

“Eh iya, Ja? Kenapa? Ih maaf tadi Azi lagi fokus ngebuka kunci jadi lupa ngejawab pertanyaan kamu.”

Kebiasaan banget ini anak. Hahaha. Ya udahlah, inappropriatejuga ngebahas urusan gaji orang lain. “Nggak apa-apa.”

“Ayo masuk, Ja…”

Setelah mempersilakan gue masuk ke dalam laboratorium, dia segera memeriksa beberapa penelitian mahasiswa yang ada. Entah untuk controlling atau penilaian. Jujur, gue tidak peduli juga sih. Gue jalan mengelilingi laboratorium dimana dulu gue pernah berjuang demi mendapatkan nilai minimal C. Hahaha.

Berbeda dengan gue, Azi dan Vino pasti tidak perlu sesulit gue untuk berjuang mendapatkan nilai di laboratorium ini. Azi dan Vino adalah pasangan fenomenal dimana mereka berdua ada di deretan mahasiswa dengan otak yang amat sangat moncer. Gue pun masih sangat takjub dan shock ketika mendapatkan berita kalau mereka akan menikah dulu. Mengapa demikian? Karena tidak ada orang yang tahu kalau Azi dan Vino berpacaran!

Azi dan Vino bukanlah tipe orang yang begitu agamis sehingga sangat menjauhi diri dari yang namanya pacaran. Azi memang tidak terlihat berpacaran selama kuliah dulu, tetapi Vino memiliki 2 orang mantan di kelasnya dulu. Tapi satu yang pasti, Azi pernah cerita ke gue kalau dia sangat menyukai Vino si senior satu angkatan di atas kami yang cerdas namun pandai memainkan gitar.

Tetapi sudah. Azi tidak pernah terlihat berusaha mendekati Vino atau sekedar titip salam pun tidak. Bagaimana bisa coba mereka tiba-tiba memutuskan menikah tidak lama setelah mereka berdua menyelesaikan S1 mereka?

Pasangan selebritis ini benar-benar membuat banyak orang iri. Bukan iri karena mereka sama-sama menawan atau bergelimang harta, tetapi karena mereka sama-sama pintar. Gue tidak membayangkan, bagaimana anak mereka nanti di masa depan? Kecerdasannya bisa melebihi rata-rata teman sebayanya. Walaupun probabilitas yang bisa menjadi kebalikannya pun ada juga. Tapi, di sini kita belajar berbaik sangka dulu, oke?

“Teguh nggak ada ya? Biasanya Minggu begini dia ada di sini nggak sih?”

“Eh tadi di laboratorium dia nggak ada ya? Hmm. Kayaknya lagi diminta ke lapangan deh, ada proyek dosen siapa gitu di Sukabumi. Lupa deh Azi dia pergi dari kapan.”

Lupa mulu. Lupa apa emang tidak peduli, Zi? Hahaha. “Oh gitu…”

“Kamu mau ketemu sama siapa emang, Ja?” tanya Azi seraya duduk di salah satu meja laboratorium dan membuka beberapa buku.

“Ketemu sama lo aja lah, Zi.”

Oke, gue terdengar seperti sedang menggoda Azi saat ini. Kalian harus mencoba membaca kalimat gue sebelumnya BIASA SAJA oke? Gue ke kampus di hari Minggu siang memang sengaja untuk bertemu dengan dia. Syukur-syukur bisa bertemu dengan teman-teman gue yang lain. Kebetulan ketika gue bertanya di grup kelas gue, Azi ada di kampus. Jadi, gue putuskan untuk bertemu dengan Azi.

“Azi punya janji ya sama kamu, Ja?”

“Bukan. Gue mau nanyain masalah tawaran ngajar di kampus yang waktu itu lo kasih di grup. Kok sampe sekarang belom ada kabar ya? Katanya butuh cepet bukan buat minggu depan?”

Azi membuka HP dia untuk membuka e-mail. “Azi juga nggak dapet info lagi nih. Entah dipending dulu atau—”

“Atau karena gue nggak qualified ya?” Gue memotong omongan Azi.

“Kok bilang gitu, Ja? Kan ini dosen tamu untuk bantu persiapan studi lapang mahasiswa, semua orang juga bisa kok. Emi juga kalau mau pasti bisa.”

“Mungkin nilai S1 gue yang nggak masuk kualifikasi bagi kampus dan nilai S2 gue nggak dianggep, makanya gue nggak lolos.”

“Sabar, Ja. Jangan marah dong.” Iya sih, ini bukan salah Azi. Ini salah gue aja yang tidak becus mendapatkan nilai saat kuliah dulu sehingga menyusahkan gue di masa depan. Ya seperti sekarang ini.

“Soalnya kapan ya gue sempet dihubungi sama Contact Person-nya yang kayaknya sih orang Tata Usaha kita. Tapi gue nggak kenal siapa dan lupa juga kebetulan. Katanya hasilnya baik diterima atau nggak, bakal tetap dihubungi paling lambat hari ini. Tapi sampe hari ini tetep nggak ada kabar. Gimana coba? Gue hubungi orangnya, direject terus. Ngeselin banget. Makanya gue sengaja dateng kesini, pingin tau aja dari sisi lo gimana. Kan lo udah lama juga kerja di sini.”

Tidak logis. Iya lah. Seharusnya kalau mau protes ya gue datang ke kampus di hari Senin atau weekdays lain bukan di hari Minggu dimana seluruh kampus pun ditutup. Gue disini selain untuk urusan pekerjaan ini juga sekaligus sebagai pelarian gue dari riweuhnya situasi dan kondisi di rumah gue saat ini.

“Nanti aku coba tanyain ya, Ja. Kamu sabar dulu. Azi juga nggak bisa apa-apa soalnya. Azi cuma berbagi info dari dosen yang lagi butuh dosen tamu. Terus kamu masukin lamaran ke mana lagi?”

“Ada satu lagi sih. Bukan di jurusan kita tapi. Yang ini sesuai sama kuliah S2 gue, jurusan bisnis. Itu yang Aloy sempet share lowongan dosen nggak lama habis lo posting juga.”

“Oh iya iya. Azi inget. Gimana ya, Ja. Di sini Azi juga belum ada titik terang kapan mau diangkat jadi dosen. Hehehe.”

“Udah berapa taun coba lo di sini masa belom juga dikasih kejelasan sih?”

“Entahlah, Ja. Dosen seniornya sepertinya masih enggan buat nerima dosen-dosen muda untuk mulai ngajar di kampus. Walaupun…”

“Walaupun?”

“Katanya sih ada desas desus ada adik kelas kita yang sekarang lagi kuliah di Hongkong sana berpotensi untuk langsung jadi dosen pas dia lulus nanti.”

“Seriusan? Siapa?”

“Ada lah. Temen sekelasnya Dee kok. Mantan kamu… Hehehe.” Azi sepertinya berusaha mengalihkan pembicaraan dari gue. “Baidewei, Dee apa kabar, Ja?”

Maaf tapi gue sengaja tidak menggubris omongan dia tentang Dee. Gue tidak suka membahas masa lalu. Kalau ada orang lain dengar, khawatir mereka ngomong yang tidak-tidak pada Emi. Gue tidak ingin Emi diganggu siapapun lagi. “Terus lo masih mau-mau aja disuruh-suruh begini tapi lo nggak dikasih kejelasan sama kampus?”

“Azi yakin kok, kampus kita pasti masih mau angkat Azi pada waktunya nanti.”

“Nah waktunya kapan, Zi? Lo udah nggak muda lagi loh. Udah banyak dosen-dosen muda lain yang mungkin bakalan berdatangan kesini. Ya salah satunya temen sekelasnya Dee itu. Terus lo diem aja tau faktanya begitu?”

“Azi emang pingin banget bisa jadi dosen di kampus sini, Ja…”

“Kenapa sih lo nggak coba ngelamar di kampus lain aja kayak temen-temen kita yang lain? Gue yakin, kampus lain pasti dengan tangan terbuka mau nerima lo yang sepinter ini, Zi. Apalagi tau kalo lulusan kampus kita ini. Lo nggak perlu luntang lantung sendirian tanpa kejelasan begini. Sayang ilmu lo. Sayang diri lo.”

“………” Azi tidak menggubris pernyataan gue dan hanya menjawab pertanyaan gue dengan senyum sembari kembali fokus pada kertas-kertas di hadapannya.

“Kalau orang kayak lo aja susah diterima di sini, apalagi gue, Zi?” celetuk gue.

“Ih nggak boleh gitu dong, Ja.”

“Emang bener kali, gue bukan ada di deretan mahasiswa pintar kayak lo sama Vino malah ngarep jadi dosen. Walaupun sekedar dosen tamu, ya tetep aja dosen. Hahaha.”

“Kalau emang niat di dalem hati kamu pingin ngajar, insyaAllah dikasih jalan sama Tuhan, Ja. Kalau misalnya jalannya sulit, mungkin rejeki kamu bukan di bidang ini. Lagipula, kamu tuh masih kerja di kantor kamu bukan?”

“Iya sih, Zi. Alhamdulillah masih. Cuma emang saat ini gue freelancer, jadi sekarang gue lebih longgar waktunya. Jadinya ya waktu kosong gue niatnya sih mau gue pake buat ngajar. Ya demi dapet tambahan modal.”

“Tambahan modal? Buat apaan nih maksudnya? Kamu mau buka usaha, Ja?”

“Usaha? Mungkin nanti di masa depan. Tapi untuk saat ini ada yang lagi gue kejar.”

“Ya?”

“Gue mau nikah, Zi... Hehehe.”

“Hah seriusan, Ja?! Alhamdulillaaaaaah! Akhirnyaaa ya! Seorang Ija nikah juga! Selamat ya, Ja!”

“Seorang Ija? Hahaha. Bisa aja lo, Zi! Emang dikira gue apaan?”

“Dari dulu kan jadi omongan banget tuh kamu mau nikah sama yang mana saking banyaknya cewek yang ngefans sama kamu. Hehehe.” ledek dia.

“Ah nggak banyak kok. Mantan gue kan sedikit, Zi. Hahaha. Eh iya nggak usah bilang sama siapa-siapa dulu ya, Zi. Dari sekelas kita, baru lo doang yang gue kasih tau. Gue nggak mau gembar gembor dulu.”

“Iya siap. Tapi A Vino nggak apa-apa kan dikasih tau?”

“Itu wajib! Hahaha.”

“Terus-terus kira-kira udah sampe mana nih persiapannya? Siapa tau ada yang bisa Azi bantu? Sebar undangan mungkin? Hahaha.”

Gue senyum miris ke Azi. “Bantuannya ya mungkin minta tolong tanya kejelasan tentang status lamaran gue ke orang Tata Usaha?”

“Oh iya ya, Ja.” Azi menarik napas dalam-dalam. “Azi bantu sebisa Azi ya, Ja…”

“Sebenernya habis ngobrol-ngobrol sama lo sekarang, gue udah pasrah sih, Zi.”

“Pasrah gimana maksudnya? Kamu nggak jadi nikah gitu?”

“Bukan itu. Tapi gue pasrah kalau misalnya lamaran gue nggak diterima di kampus sini…”

“Ih kan belom tau, Ja. Besok Azi bant—”

“Nggak usah dipaksain kalau ternyata nggak diterima oke? Kabarin aja kepastiannya, biar lega hati gue, Zi.”

“Maaf ya, Ja. Azi berasa ngasih harapan palsu ih share lowongan begitu di grup.”

“Bukan lo yang ngasih harapan palsu, gue aja yang emang nggak pantes jadi dosen di sini.”

Kami sempat sama-sama berdiam diri satu sama lain. Azi sibuk dengan pekerjaan dia dan gue sibuk dengan HP gue sendiri. Scrolling social media for nothing.

“Eh iya, Ja. Kamu teh nanti nikahnya sama Emi kan? Bukan sama yang lain lagi? Hehehe.”

Rasanya gue pingin banget ngakak saat itu. “Iyalah sama Emi, Zi! Siapa lagi? Ngaco nih pertanyaannya! Hahaha.”

“Ya kali aja kamu pacarannya sama Emi eh ternyata nikahnya sama mantan gara-gara terngiang masa lalu. Apalagi kamu ada niat buat ngajar di kampus begini. Siapa tau ada tujuan tertentu lainnya? Hehehe. Memori kamu kan banyak banget di kampus ini. Apalagi yang ada urusan pacar-pacaran. Kan dulu tuh banyak, ada yang sama temen kita yang kayak arab, kakak kelas kita yang kayak bule, sampe adik kelas yang kayak selebritis.” Azi nggak tau atau lupa kalo ada Sofi dalam daftar juga. Hahaha.

“Emang sih dengan balik ke kampus begini, jadi ingat banyak kenangan. Tapi alhamdulillahnya lebih banyak kepikiran kenangan-kenangan sama Emi daripada sama yang lainnya atau yang dulu-dulu. Hahaha. Sayang aja dia nggak bisa ikut kesini hari ini. Lagian kalau yang dulu-dulu mah banyakan nggak enaknya. Untungnya udah gue melanglangbuana kesana sini, gue ternyata nemu jodoh di sini juga.”

“Alhamdulillah ya, Ja. Jodohnya nggak jauh-jauh ternyata. Adik kelas sendiri. Hehehe.”

Gue hanya mengangguk. Kemudian kami sedikit bernostalgia membicarakan masa-masa kuliah kami dulu sekalian membandingkan dengan kondisi mahasiswa jaman sekarang. Apalagi ketika membahas mengenai attitude dan kemampuan mereka yang mungkin belum dimiliki sama generasi kami dulu. Bahasan cukup menarik. Walaupun masih bisa lebih menarik kalau gue membahas ini bersama dengan Emi.

Dari obrolan gue dengan Azi ini, ada satu hal yang cukup menggelitik gue yaitu ketika gue menyinggung masalah “Orang pintar yang selalu bilang belum belajar, bingung, pusing, dan segala keluhan ketika ditanya orang lain tetapi ketika ujian selalu keluar ruangan paling duluan dan dapat nilai bagus.” Azi setuju dengan pendapat gue dan tidak suka pada orang yang demikian. Padahal bagi gue dan anak-anak di kelas lainnya, Azi adalah salah satu oknum mahasiswa yang seperti itu. Oportunis sekali bukan?

Bayangan gue akan masa depan negeri ini miris jika banyak orang yang cerdas dan pintar tapi memiliki sifat seperti ini, maka akan semakin hancur saja kedepannya. Sekarang juga sudah terbukti dengan banyaknya orang-orang belagak bodoh di pemerintahan (baik eksekutif, legislatif sampai yudikatif) yang enggan sekali memikirkan kepentingan orang banyak yang notabene harus diutamakan.

Oportunis sudah mengakar sedari muda. Pintar dan cerdas yang tidak dibarengi empati yang besar hanya akan menghasilkan manusia-manusia tamak penuh kelicikan, walaupun tidak semua orang yang masuk kategori ini akan seperti itu kelak.

---

Tanpa terasa, waktu sudah hampir sore. Gue harus segera pergi menuju bandara karena harus menjemput Emi pulang. Malam ini Emi pulang!

“Lo mau balik jam berapa?”

“Paling abis Magrib, Ja.”

“Abis Magrib? Sendirian aja di sini?”

“Ada mahasiswa nanti nemenin Azi, dia baru bisa dateng sekitar jam 5. Azi kasih waktu konsultasi sampe abis Magrib. Biar bisa balik barengan.”

“Terus lo sampe jam 5 nanti sendirian nggak apa-apa, Zi?”

“Nggak apa-apa, Ja. Kan di laboratorium lain juga masih ada orang. Azi nggak sendirian.”

“Perlu gue telepon Vino?”

“Nggak perlu kok, Ja. Biar dia istirahat di rumah. Kan besok kerja lagi.”

“Lo juga besok ngajar kan, Zi?”

“Iya sih, Ja.”

“Pulang sih, Zi.”

Dia tidak membalas omongan gue dan hanya tersenyum pada gue sembari menjawab pamit gue sebelumnya. “Ati-ati di jalan ya, Ja. Salam buat Emi.”

“Yaudah terserah lo ya, Zi. InsyaAllah nanti salamnya gue sampein ke Emi.”

Gue jalan menuju mobil gue di parkiran. Langit sudah mulai gelap walaupun belum sampai jam 4 sore. Langit di daerah sini memang suka aneh sendiri sedari dulu. Hahaha. “Apa Emi udah jalan ke bandara ya?” tanya gue dalam hati.

Dret. Dret. Dret.

(EMI CHAT)
Quote:


Tadi hati gue sempet gundah gulana karena salah satu pintu rejeki gue dengan menjadi dosen sepertinya sulit untuk terbuka. Tapi seketika setelah membaca chat yang Emi kirim, hati gue kembali kuat. “Ya mungkin bener kata Azi tadi. Mungkin rejeki gue bukan di bidang ini. Mungkin di bidang yang lain yang gue sendiri nggak sadari itu. Hmm.”

(EMI CHAT)
Quote:


Baca chat itu bener-bener nguatin hati gue. “Bismillah. InsyaAllah dikasih jalan sama Allah. Udah saatnya gue untuk introspeksi diri bener-bener buat nentuin mana yang bener-bener mau gue kejar. Gue nggak bisa ngejar semuanya cuma karena gue tau kalau gue bisa. Gue harus yakin juga kalau gue memang benar-benar niat mengejar hal yang gue inginkan itu. Kayak yang selalu bocah ini ingetin. Fokus.” Gue tersenyum sembari melihat foto dia. “Mi, Umur lo itu jauh lebih muda dari gue, kenapa lo selalu selangkah lebih maju dari gue sih, Mi?” gumam gue perlahan sembari menghidupkan mesin mobil gue.

(EMI CHAT)
Quote:

panda2703
Tika1909
caporangtua259
caporangtua259 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.