Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#418
Simpang Siur_Part 3
(DIANI CHAT)
Quote:


Gue sama sekali tidak membalas chat dari Diani tersebut. Mendadak gue blank. Gue nggak tau mau ngebalas dia apa dan gimana. Padahal tadinya gue benar-benar berniat untuk mengajak ngobrol Diani lagi. Padahal tadinya gue pun ingin membawa Diani ke nikahan Tyo, walaupun gue juga belum tau akan jawab apa kalau orang-orang mempertanyakan siapa Diani sebenarnya. Padahal, tadinya gue juga sempat berkeinginan untuk mengkhianati hubungan pertemanan gue dengan Dani. Tapi sekarang saat (mungkin) rencana gue akan berjalan dengan lancar, gue malah balik bingung apa yang sekiranya akan gue lakukan.

“Ja? Woy! Ja!”

“Eh iyak! Sori! Gue jadi bengong begini. Kalau kata si Emi, ‘Lagi enak bengong dulu…’ Hahaha. Bentar bro, lagi dipanasin dulu mobilnya.”

“Bengong kenapa sih lo? Emi ngamuk? Apa Emi digodain sama bule? Sini coba gue liat.” kata dia sembari hampir menyambar HP gue.

“Eh bentar!” Gue auto ngejauhin HP gue dari Drian. “Ini… Bukan Emi.”

“Bukan Emi?”

“Iya. Temen gue barusan. Ha! Ha!” Ketawa gue agak awkward barusan.

“Ja… Lo nggak kayak gitu lagi kan? Jangan bilang kalau lo…”

“Apaan? Gue apaan?”

“Jangan bilang kalau apa yang selama ini Emi bilang bener?”

“Apaan sih? Bener apaan? Emi emang bilang apaan?!” Gue paling tidak suka orang yang suka main nuduh begitu aja tanpa tau kebenarannya. Hmm. Siapa pula yang suka dituduh seperti itu?

“Katanya… Lo jangan-jangan chat cowok lain ya selain Emi! Hahaha. Demen bener Emi ngomong begitu kan ke lo. Hahaha.”

“HAHAHAHA.” Lega juga gue ternyata yang dimaksud Drian itu becandaannya Emi ke gue yang selalu nuduh gue selingkuh sama cowok lain. Emi itu suka mengaku di depan anak-anak kalau dia lebih takut gue selingkuh dengan cowok lain daripada cewek.

“Kok ketawa lo aneh gitu? Jangan-jangan lo malah lagi chat sama cewek yak?”

“Ya nggak lah bro! Ngapain gue chat sama cewek lain lagi? Gue udah mau nikah kali bro! HAHAHA.”

Drian pun masang seatbelt dia. “Jangan sakitin Emi lagi ya, Ja.” gumam dia perlahan. “Sori nih gue bilang begini. Gue ga kenal Emi baru satu atau dua tahun, Ja. Udah cukup banyak gue ngedampingin up and down nya hubungan lo berdua.”

“………”

“Kalau emang kalian beneran mau nikah, gue harap sih nggak usah ada iseng-isengan lagi dari lo. Bahkan untuk sekedar chat biasa sama cewek lain. Mungkin lo bilang Emi itu orangnya baperan, tapi bagi gue hati Emi itu kuat. Kuat untuk terus bertahan. Dia keliatan kayak baperan ya karena dia bolak balik sakit hati. Gue pribadi, sekali aja sakit hati pasti udah nggak akan pernah mau lagi berhubungan sama orang itu. Gue nggak pernah ngebayangin akan bolak balik sakit hati sama pasangan gue dan MASIH AJA BERUSAHA TERUS BERTAHAN sama pasangan gue itu. Tapi lo sadar kan apa yang Emi lakuin selama ini? Hmm. Yaa… Emi juga kan emang mau dinikahin sama lo. Jadi…”

“Iya bro… Gue paham.” Gue potong omongan Drian sampai di situ.

Gue paham maksud dia. Gue tidak sakit hati atau tersinggung sama sekali. Omongan dia tidak ada yang salah. Drian pun tidak berusaha ikut campur dengan urusan gue. Drian hanya ingin yang terbaik untuk adik kecil kami yang kini sudah jadi bagian persahabatan kami. Dia pun ingin yang terbaik untuk gue, sahabat dia sendiri.

Gue paham itu. Lagipula, Drian pun bukan bersikap sok tau. Soalnya Emi dan Drian memang cukup dekat. Mungkin lebih dekat dibandingkan hubungan Emi dan Arko. Apalagi mereka sempat terlibat pada insiden gosip ‘Emi pacar Drian’ dulu di komunitas.

“Gue nggak bermaksud gimana-gimana ya, Ja. Nggak bermaksud sok ikut cam—”

“Santai aja bro. Kali ini gue serius kok.” Tanpa sepengetahuan Drian, gue membalas chat Diani.

(DIANI CHAT)
Quote:


Setelah memastikan chat gue terkirim pada Diani, gue hapus chat dia. Terakhir, gue kembali memblokir nomor dia bersama dengan nomor-nomor cewek lainnya. Gue sudah membuat keputusan. Cukup. Masih banyak yang harus gue urus untuk pernikahan gue selain urusan cewek begini.

Gue yang salah. Dari awal memang gue yang salah. Gue menuduh Emi balas dendam dengan gue, tetapi yang terjadi malah sebenarnya gue yang balas dendam pada Emi. Kenapa gue mendadak jadi menghubungi Diani dan berniat untuk membawa dia ke nikahan Tyo? Apa yang ada di pikiran gue ya? Emi tidak salah.

Gue kembali membuka chat dengan Emi. Gue membaca ulang chat terakhir yang Emi kirimkan pada gue.

(EMI CHAT)

Quote:


Dia bahkan jujur kalau dia memang lagi chat dengan Ifan, cowok yang membuat gue emosi beberapa waktu belakangan ini. Apa gue masih perlu untuk marah dengan Ifan? Apa gue tidak perlu mengkhawatirkan hubungan mereka? Apa gue masih punya hak untuk marah dengan hubungan mereka?

Sebenarnya, apa yang sedang gue rasakan saat ini???

Dret. Dret. Dret.

(ARKO CHAT)
Quote:


“Wah grecep amat si Arko, udah sampe disana tuh dia. Ini barusan chat gue.”

“Ya lo sih bolak balik bengong mulu. Hahaha.”

“Sori-sori.”

Drian mendadak nepuk pundak gue dan gue mendadak pingsan. Hahaha. Nggak lah, emang gue dihipnotis? Hahaha. “Santai aja, bro. Tenang… Emi orangnya setia. Emi baik-baik aja di sana. Besok juga lo jemput dia kan di bandara?”

“Iya bro.”

“Percaya deh sama gue.”

“Iya… Emi bakalan baik-baik aja.”

---

Kami sampai di lokasi pukul 15.20. Kurang 10 menit lagi acara akan segera dimulai, kalau sesuai rundownsih begitu. Tetapi biasanya, acara yang diadakan di gedung dilaksanakan tepat waktu karena selalu ada charge tambahan jika melebihi waktu yang ditentukan. Lagipula, biasanya digedung suka sudah dibooking untuk beberapa acara dalam 1 hari sehingga pengelola gedung sering menolak overtime atau penambahan waktu.

Sebelumnya, Tyo dan istrinya sudah mengucap janji suci sekitar jam 13.00 siang. Gue, Arko, dan Drian memutuskan untuk tidak hadir pada akad nikah Tyo, tetapi kami harus hadir mengikuti seluruh rangkaian resepsi pernikahan Tyo.

“Yuk langsung aja masuk. Nggak enak gue di luar terus dari tadi. Mbak-mbak penerima tamunya udah dadah-dadah ke gue tuh. Katanya ‘Mas ganteng… Sini ayo masuk, ambil souvenir dari akuuu~’ Hahaha.” kata Arko sambil mempraktekan omongan dia. Geli juga gue melihat dia seperti itu.

“Mana ada, Ko! Hahaha. Apaan sih lo!”

“Abis kelamaan lo berdua buset. Boker lo yak?”

“Ija kelamaan bengongnya gara-gara ditinggalin sama Emi.”

“Elah, masih aja lo, Ja? Kenapa sih lo? Si Emi cabut sama temen kantor yang demen sama dia yak makanya lo kepikiran mulu?”

“Nggak, apaan sih? Gue biasa aja nih buset. Ayo lah masuk! Laper gue.”

“Amplop jangan lupa amplop!” bisik Arko seraya melipat amplop dari saku celana dia.

Karena tidak ada Emi, gue berkeliling lokasi resepsi tersebut sendirian. Biasanya kalau datang ke undangan seperti ini, gue suka iseng inspeksi gubukan yang ada dengan dia. Kami akan menebak, gubukan mana saja yang sekiranya akan chaos dihantam tamu undangan. Hahaha.

Tapi kali ini gue sendiri. Jadi, gue lebih memilih untuk mengamati bagaimana jalannya sebuah acara resepsi pernikahan lebih detail. Selain itu, gue juga memperhatikan bagaimana koordinasi dari masing-masing kru Wedding Organizer (WO) yang disewa oleh keluarga Tyo dan istri ini.

Gue takjub. Kesinambungan antara WO dengan seluruh elemen pendukung pernikahan berjalan sangat baik untuk acara resepsi pernikahan Tyo ini. Seluruh makanan telah siap disajikan, bahkan sebelum rangkaian resepsi pernikahan dimulai. Jadi, sudah terlihat beberapa tamu undangan yang berjejer di sekitar gubukan maupun prasmanan yang ada. Kacau sih mereka. Not recommended ya kelakuan kayak begini. Asli dah.

Lanjut. Seluruh kru yang bertugas (dekorasi, gubukan, prasmanan, dessert, dan lain sebagainya) berkoordinasi menggunakan walkie-talkie. Master of Ceremony (MC) dan supervisor di masing-masing bagian membawa rundown agar seluruh acara berjalan tepat waktu. Semuanya berjalan dengan baik. Sekarang yang menentukan hanya rasa pada makanan. Hahaha.

Gue mengambil brosur yang ada di salah satu meja yang ada di dekat photo booth yang telah disediakan. Di sana sudah tersedia brosur dan kartu nama WO, catering, dan band pengisi acara resepsi pernikahan hari ini. Ini akan gue jadikan referensi, walaupun memang lokasi resepsi pernikahannya terlalu jauh dengan kota tempat tinggal Emi. Namun, tidak ada salahnya bukan?

“Si Tyo ini ngabisin berapa ratus juta ya?” celetuk Drian tiba-tiba sambil menghampiri gue yang sedang berdiri dengan Arko.

“Gede ini pasti biayanya. Gedungnya aja bisa kapasitas 1.000 orang begini. Entah berapa orang yang mereka undang hari ini. Mereka juga nggak mau ribet nih, makanya semua full dibantu sama WO. Barusan gue keliling, banyak bener gubukannya kaya desa wisata. Bisa abis 100 juta kayaknya sih ini.” jawab gue sambil masih fokus pada brosur yang sedang gue baca.

“Enteng bener lo ngomongin duit segitu? Hahaha.”

“Ngomong doang mah enteng bro. Kan yang berat mah ngeluarinnya.” celetuk Arko.

“Eh iya, resepsi lo dulu juga make WO kan?”

“Kagak gue mah. Gue mah panitianya ya keluarganya bini gue doang. Nikahannya di kampung, Ja. Ratusan juta orang yang tinggal di kampungnya bini gue, diundang semua. Hahaha. Mana acaranya juga sehari semalem. Klenger bisa-bisa WO nya. Hahaha.”

“Eh iya ya, lo nikahan di kampungnya bini lo ya?”

“Iya… Soalnya abis itu kita download mantu juga di kampung gue. Gantian.”

“Anjay, download mantu! Hahaha.” Drian ketawa ngakak dengan celetukan Arko ini. Celetukan yang diajarkan oleh gue. Masih inget aja dia.

“Jadi ya semua acaranya memang diatur sama disiapin keluarga.”

“Nabung berapa lama ya si Tyo? Mereka pacarannya udah lama banget kali ya?” tanya Drian lagi.

“Tapi kan taun kemaren si Tyo juga baru aja beli mobil juga kan?” tanya gue ikutan.

“Ya elah bro. Kalau nikahan begini mah biasanya juga dapet bantuan dari keluarga dan orang tua lah.” jawab Arko sambil ngecek HP dia. “Gue juga begitu. Tabungan gue sama bini gue mah nggak seberapa, tapi orang tua juga ngejual tanah di kampung dan keluarga besar kita masing-masing juga urunan buat nambahin untuk acaranya. Gila kali tabungan manten berdua. Apalagi kalau ternyata Tyo entar punya acara kayak gue, sampe download mantu, bisa tekor doi.”

“Ya siapa tau Tyo emang udah nabung dari lama bukan?”

“Ya pilihannya kalau nggak nabung, ya ngutang ke bank. Cuma sayang aja mobil baru setaun udah dia jaminin. Jadi 2 dong cicilannya? Hahaha.” tambah Arko. Gue seperti tersindir dengan omongan Arko tersebut. Gue menjaminkan mobil yang sudah dibeli cash demi mendapatkan dana untuk acara resepsi pernikahan yang gue dan Emi tidak pernah inginkan. Kalau Arko tau ini, dia pasti jadi tidak enak hati sempet berkata demikian.

“Emang Tyo gajinya udah berapa digit lo pikir? Apalagi doi sama ceweknya juga baru pacarannya berapa bulan, hebat bener tabungannya udah mendadak segitu aje. Hahaha.” jawab gue.

“Hush udah ah! Acaranya udah mau mulai. Kita malah sibuk ngegosipin rejeki orang. Hahaha. Ya yang penting mah sekarang pernikahan mereka langgeng atau minimal bertahan selama cicilan hutang biaya resepsi pernikahannya lunas bener-bener. Biar nggak rugi! Hahaha.” Arko emang kalau becanda suka betul juga omongannya. Hahaha.

“Tapi kalau gue sih walaupun sederhana nanti resepsi pernikahan gue, rasa-rasanya bakal lebih keren aja gitu kalau pake duit hasil keringet sendiri.” gumam Drian perlahan.

Gue dan Arko menengok ke arah Drian, sepertinya Drian sedang merancang pernikahannya? Entahlah. “Itu sih hebat banget kalau lo bisa biayain sendiri acara resepsi pernikahan lo bro.”

“Iya sih, gue emang udah mikir sampe kesana juga. Makanya gue bilang, walaupun sederhana, kalau pake uang sendiri itu kayaknya lebih keren. Gue juga mikir, dapet duit sebanyak itu kalau nggak dibantu ortu kayaknya rada susah. Iya kalau ortunya kaya, nah kalau nggak?” Gue dan Arko kaget dengan omongan Drian ini. Tumben banget Drian bilang begini.

Gue sempat terdiam dengan pernyataan Drian ini. Bagaimana tidak? Kurang apa dia dalam hidupnya dari segi materi? Tetapi dia punya pemikiran ala masyarakat biasa pada umumnya. Mungkin karena prinsip dia bahwa uang orang tuanya bukan uang milik dia sehingga dia nggak berhak untuk memakai uang orang tuanya secara serampangan. Sudut pandang berpikir ini rasa-rasanya untuk anak beruntung seperti Drian sudah langka sekali ditemukan, apalagi di kota besar seperti ibukota negeri ini dengan segala kebisingan dan keglamoran gaya hidup masyarakatnya yang kadang lebih besar pasak daripada tiang.

“Hahaha. Bisa-bisanya lo mikir begitu. Padahal kurang tajir apa ortu lo, bro?”

“Kan mereka yang tajir. Gue mah nggak. Jadi kalau gue mikir begitu ya sebenernya gue mikir dari sudut pandang gue sendiri. Gue selalu memposisikan diri seandainya ortu gue nggak ada, tapi gue selalu bergantung sama mereka. Nanti pada akhirnya gue yang repot sendiri karena nggak bisa ngapa-ngapain kan? Jadi mending gue nunggu mapan dulu aja.”

“Ya ya ya. Cuma kalau seandainya mereka mau bantuin lo kan juga nggak apa-apa. Kalau lo nunggu mapan, sampe kapan? Standar mapan lo kayak gimana dulu? Kalau semua urusan mapan kaitannya sama materi yang dipunyai, lo bakal susah sih menurut gue, Dri.” kata Arko.

“Ya setidaknya gue bisa biayain pernikahan gue sendiri, dan gue bisa menghasilkan duit sendiri buat ngidupin bini gue nanti. Kalau nggak, ya mending tunda dulu.”

“Buset, mau nunda berapa lama lagi? Kita udah nggak muda cuy. Kalau gue sih mikirnya, nanti pas lo udah umur nggak produktif tapi anak lo masih kecil, lo masih ada biaya nggak? Ini sih gue mikir kalau kita nggak punya perusahaan sendiri ya. Kalau punya sih kayaknya aman-aman aja.” jelas gue berdasarkan pengalaman Papa yang pergi meninggalkan gue ketika gue dan Dania masih sekolah.

“Bener noh kata Ija. Gue malah nggak kepikiran sampe di sana. Hahaha. Iya ya, kalau nanti seandainya gue udah pensiun tapi anak-anak gue masih pada butuh biaya, repot juga. Apalagi kalau nggak punya tabungan. Bener... Bener...” Omongan gue diaminkan oleh Arko.

“Nah iya kan? Hahaha. Makanya gue memutuskan untuk menikah, ya sebenarnya bukan target juga sih, tapi lebih ke perencanaan masa depannya aja. Biar nanti kalau seandainya gue udah pensiun dan nggak ada penghasilan lagi, anak-anak gue udah pada mapan masing-masing. Inget, kita bukan PNS yang selalu dapat tunjangan ketika pensiun.”

“Hahaha. Iya ya. Bener. Gue malah baru kepikiran ini.” Kali ini Drian ikut setuju dengan pernyataan gue.

“Yang penting abis ini, kita dapet undangan lagi nih dari Emi sama lo, Ja! Hahaha. Mau ngundang siapa nih artisnya entar? the GazettE apa Dir en Grey? Hahaha.” canda Arko seraya merangkul gue.

Gue tidak menjawab candaan dia tersebut karena gue pribadi pun masih memikirkan darimana biaya acara untuk resepsinya itu sendiri. Boro-boro mikirin mau mengundang band luar untuk acara resepsi pernikahan kami, untuk acaranya sendiri aja kami masih belum punya apapun. Semoga aja, semuanya segera mendapatkan jawaban.
lumut66
oktavp
caporangtua259
caporangtua259 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.