Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#390
Pencarian Koin_Part 3
Tidak lama setelah gue melihat Debby melintas, gue melihat Bimo keluar dari pintu yang sama dengan pintu dimana Debby masuk. Pintu yang sama juga dimana Emi masuk sebelumnya. Sepertinya Bimo akan keluar untuk memeriksa kondisi lapang. Iya, mulai bisa membayangkan bagaimana pekerjaan Emi ini berdasarkan penuturan dia beberapa hari ini.

Untuk ukuran cowok, Bimo adalah orang yang amat sangat rupawan, sekilas mirip dengan Bisma SMASH. Hanya saja, karena kelakuannya yang agak feminin, membuatnya jadi kurang gahar dan seperti tertutup aura ketampanannya. Gue pernah dengar cerita dari Emi kalo penggemar Bimo amatlah banyak. Tetapi entah kenapa anak ini selalu bergeming menghadapi cewek-cewek (yang berdasarkan cerita Emi) punya wajah rupawati.

Gue (yang dulu) sebagai cowok normal, jika disukai oleh cewek yang cantik, tidak munafik. Gue akan langsung merespon. Gue tekankan sekali lagi, gue yang dulu ya. Soalnya gue yang sekarang adalah seorang Ija yang sedang memegang teguh omongannya para petugas SPBU ‘mulai dari nol ya’. Hahaha. Menurut gue, disukai oleh cewek-cewek sepertu itu adalah prestasi untuk seorang cowok. Lain dengan Bimo. Dia sangat bisa untuk mengabaikan cewek-cewek cantik ini.

Pemandangan yang selanjutnya gue lihat adalah Emi, yang juga keluar dari pintu yang sama selang beberapa menit kemudian. Tetapi, ada sedikit perbedaan yang gue rasakan saat itu. Begini, Emi memang punya banyak teman. Apalagi dengan mereka yang lebih tua, dia yang sangat pandai menempatkan diri membuat dia mudah akrab dengan siapapun dari segala kalangan.

Hanya saja, ada satu pemandangan yang membuat gue melihat perbedaan. Dia seperti sangat dekat dengan salah satu cowok yang lumayan oke lah penampilannya, walaupun tidak se-oke Bimo. Kalo gue tidak salah, ini yang dia bilang Ifan. Karena gue yakin, dia tidak akan sedekat itu dengan Pak Irwan yang notabenenya suami orang, begitu juga dengan Fadil yang jelas-jelas adalah suami dari temannya Emi itu sendiri. Jadi, ini cowok pasti Ifan.

Ini membuat perasaan gue sangat tidak nyaman. Apa ya namanya? Apa ini bisa dibilang jealous? Tapi jujur, gue hampir tidak pernah jealous dengan Emi selama ini. Gue selalu percaya dengan Emi. Emi itu orang yang sangat jujur dan paling setia yang gue tau. Hanya gue saja yang selalu gagal mengemban kepercayaan Emi dengan berulang kali membohongi dan mengkhianati dia.

Bangs*t memang gue.

Gue sangat tidak nyaman dengan apa yang sedang gue lihat. Mungkin Emi bisa dekat dengan banyak cowok. Selama ini juga gue tidak ada masalah sama sekali dengan ini. Tetapi kali ini sangat berbeda. Seperti ada kenyamanan tersendiri yang dirasakan Emi ketika bersama cowok ini. “Elah, gue harusnya nggak mikirin yang kayak begini. Fokus gue harusnya ke urusan proses rekrutmen hari ini.” kata gue dalam hati.

Emi kemudian bertemu mata dengan gue. Dia mengerling lucu yang tandanya dia ingin menyemangati gue. Hanya saja, dia harus menjaga profesionalitasnya. Seperti apa yang sudah kami bicarakan sebelumnya. Makanya dia sama sekali tidak mendekat ke arah gue. Tidak ada masalah kalo memang harus seperti itu. Supaya gue juga membuktikan diri, kalo gue bisa melalui seluruh proses ini tanpa bantuan orang dalam. Tanpa bantuan Emi.

Gue sangat anti dengan urusan ‘orang dalam’ ketika ada rekrutmen seperti ini. Gue mencoba menghargai perjuangan mereka di luar sana yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan dengan mengikuti tahap demi tahap proses rekrutmen yang ada. Tapi gue tidak buta, kalo di urusan pekerjaan, namanya nepotisme seperti ini sudah lumrah dan sering sekali gue jumpai. Gue hanya bisa berharap, gue tidak bersaing dengan calon yang berurusan dengan ‘orang dalam’ seperti itu.

Gue yakin, banyak yang menyadari juga kalo saat ini banyak orang yang masih muda (bahkan jauh lebih muda dari gue dan berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas) yang sudah bisa memimpin sebuah perusahaan. Setelah gue telusuri, banyak juga di antara mereka yang ternyata masih ada hubungan darah dengan keluarga besar dari seorang konglomerat negara kita/dunia atau mereka hanya menjalankan perusahaan sebagai penerus usaha ayah mereka.

Tetapi banyak pula pemuda/pemudi (yang berasal dari keluarga kalangan menengah ke bawah) yang berhasil merintis usahanya dari nol, hingga akhirnya bisa membangun relasi untuk memudahkan usaha yang mereka bangun. Yang ini namanya sukses tanpa bantuan ‘orang dalam’. Dan gue ingin menjadi salah satu bagian dari mereka, di masa depan nanti. Mungkin. Semoga saja ada jalan untuk mewujudkan mimpi gue tersebut.

Mungkin kesuksesan mereka (pemuda/pemudi milenial yang gue ceritakan di atas), masih agak sulit mengejar kesuksesan mereka (yang berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas) yang memulai nol-nya di titik yang berbeda. Jadi wajar saja ada penelitian yang menyatakan, anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa, dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin. Dengan kata lain, perbedaan kesejahteraan orang tua menyebabkan kondisi ekonomi anak-anak mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar. (sumber)

Terbukti bukan? Ini yang sudah gue antisipasi dari jaman SMA dan kuliah dulu mengingat saat itu Papa adalah orang yang sangat bisa memberikan gue privilegemacam-macam.

---

Hampir 3 jam gue melaksanakan proses rekrutmen ini. Gue harus menjalani psikotest yang berisi ratusan pertanyaan dengan segala macamnya, yang cukup menguras mental gue. Maklum, terakhir kali gue mengikuti tes seperti ini adalah ketika gue mendaftarkan diri di Pascasarjana dulu. Namun, gue sudah berusaha se-optimal yang gue bisa.

“Baik Bapak Ibu, kita break makan siang dulu. Wawancara akan dilanjutkan setelah makan siang nanti, sekitar pukul 13.30.” kata HRD yang bertanggungjawab hari itu, Ibu Yuni. Kemudian dia keluar dari ruangan dan satu per satu dari kami pun ikut keluar.

Gue agak rancu juga memanggil dia dengan sebutan ibu. Kalo dia adalah Yuni yang sama dengan Yuni yang diceritakan oleh Emi, berarti dia seumuran dengan Emi. Tapi karena demi profesionalitas, gue harus tetap memanggil dia dengan sebutan Ibu Yuni. Selain itu, memang dari segi perawakan dia sudah pantas dipanggil ibu. Haha.

“Masih jam 11-an. Emi dimana ya?” tanya gue dalam hati. Gue tidak langsung keluar ruangan. Gue menghubungi Emi terlebih dahulu. Gue tidak ingin menyapa dia (mungkin kalau gue beruntung) yang ada di ruangan sebrang.

(EMI CHAT)
Quote:


Emi tidak membalas chat gue sama sekali. Gue khawatir dia sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Jadi gue sengaja keluar sendiri dari ruangan. Dan gue tidak sengaja melihat apa yang ada di hadapan gue.
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


Iya. Gue melihat Emi dan cowok yang namanya Ifan tadi sedang membelakangi gue. Mereka tertawa bersama sambil melihat entah-apa-itu-yang-ada-di-meja. Iya. Gue melihat Emi sedang tertawa akrab sekali dengan cowok lain.

Ah, gue tidak tau bagaimana caranya menuliskan bagaimana perasaan gue sekarang. Gue tidak ingin marah, tapi hati gue merasa sakit. Gue tidak ingin berteriak, tapi otak gue seakan merangsang badan gue untuk melakukan tindakan kasar. Gue benar-benar tidak tahu harus menjelaskan perasaan gue. Yang gue tahu.

BRAK. Gue menutup pintu ruang meeting mereka cukup kencang, hingga menarik perhatian Emi dan Ifan.

“Zy?” kata Emi sembari menengok ke arah gue tanpa sama sekali memberikan jarak lebih luas antara dia dan Ifan.

“Eh ini calon lo, Mi? Kenalin lah.” kata Ifan. Dia berdiri dan menghampiri gue. Gue sebenarnya tidak enak hati untuk menyapa dia. Tapi sangat tidak sopan kalo gue menolak niat baik dia.

“Hahaha. Bisa aja.” Emi dan Ifan yang sedang jalan ke arah gue pun kebingungan dengan jawaban gue. Ifan tidak sedang memberikan gue compliment. Dia sedang menanyakan fakta. Jadi, gue seharusnya tidak menjawab demikian. Gue benar-benar sudah tidak terkontrol.

“Kok bisa aja, Zy? Maksudnya apaan?” tanya Emi.

Tetapi gue tidak menggubris pertanyaan Emi tersebut. “Ija. Hmm. Firzy maksud gue. Takutnya lo bingung. Emi kan manggil nama gue lengkap. Hahaha.” kata gue berusaha basa basi sembari mengulurkan tangan gue.

“Iya, Emi udah banyak dan sering cerita tentang lo.”

“Oh iya. Berarti harusnya lo udah tau gue dong? Minimal tau lah muka gue.”

“Emangnya kenapa muka lo?” tanya dia bingung (lagi). Iya juga sih. Emangnya kenapa kalo dia tahu muka gue? Gue mau sok rupawan atau mau mengintimidasi dia karena dia sudah terlalu dekat dengan calon istri gue?

“Apaan sih lo, Zy? Hahaha.” Emi berusaha mencairkan suasana. “Lieur ya lo abis tes ini itu? Hahaha. Lo tunggu di lobi dulu yak. Abis ini kita makan siang bareng.”

“Rame-rame?” tanya gue untuk memastikan. “Apa bertiga doang?” Dan mulut gue kembali bergerak tanpa komando dari gue.

“Bertiga doang? Lo mau ngajak gue makan siang bareng lo berdua maksudnya, Zy?” tanya Ifan, lagi.

“Atau bertiga sama gue, Bang?” Mendadak Bimo ada dari arah kanan gue.

“Ya bebaslah. Hahaha. Gue tunggu di lobi ya.” Gue sudah kehabisan jawaban. Gue khawatir kalo terus dilanjutkan, akan banyak kalimat-kalimat aneh yang keluar dari mulut gue. Jadi, saatnya gue mengundurkan diri dari perbincangan awkward tersebut.

Tidak lama setelah gue duduk di lobi, ada chat masuk ke HP gue.

(EMI CHAT)
Quote:


“Gue kacau bener dah. Buset.” gumam gue perlahan sembari menggaruk rambut gue yang tidak gatal sama sekali ini.

---

Emi mengajak gue makan di salah satu bedeng (rumah makan semi permanen beratap seng gelombang) di luar kantor mereka. Iya, dia bukan mengajak gue untuk makan di ruko-ruko yang menjajakan makanan enak, mewah, dan mahal di deretan kantor dia. Dia juga tidak mengajak gue makan di kantin pegawai yang berada di belakang kantor dia, ya mungkin khawatir dapat omongan tidak enak mengingat gue masih mengikuti proses rekrutmen di sana. Tetapi dia mengajak gue makan di bedeng yang tidak jauh dari kantor dia. Kurang lebih 200m dari kantor dia.

Emi mengajak gue makan mie ayam yang ada di deretan bedeng yang ada di pinggir jalan raya. Iya, bedeng bisa dibilang bangunan liar yang biasanya dipakai oleh para pedagang untuk berjualan makanan. Nah bedeng yang Emi maksud ini berjualan di atas saluran drainase komplek mereka.

Di sana ada beberapa pedagang yang menjajakan dagangan mereka, ada warung nasi, warung nasi padang, minuman ringan (kopi, teh, Pop Ice, dsb), buah potong, dan mie ayam bakso. Dan gue langsung paham, akan diajak makan dimana oleh Emi saat itu. Apalagi kalau bukan mie ayam bakso.

Emi meminta gue untuk memilih tempat duduk lebih dulu, sebelum nanti banyak orang yang datang untuk makan siang. Maklum, tempatnya sempit dan bangku yang tersedia jadinya terbatas. Kalo tidak beruntung, ya harus makan di kendaraan sendiri atau duduk lesehan di trotoar yang ada.

Awalnya gue berpikir, masa iya tempat kayak begini bisa penuh? Tapi pas mie ayam pesanan gue dateng dan gue cobain rasanya, gue tahu kenapa ini orang-orang sampe rela duduk di kendaraan mereka makan mie ayam ini.

“Kamu kenapa sih, Zy?” tanya Emi mendadak. Gue tidak sadar kalo gue mendiamkan Emi terus. “Kamu aneh banget tadi di kantor. Kenapa emang? Si Yuni bangkek itu bilang apaan?”

“Nggak apa-apa kok. Biasa aja kali. Aku malah nggak banyak interaksi sama dia.” jawab gue sembari mengaduk mie ayam porsi normal gue. Karena Emi porsi abnormal. Dia makan mie ayam satu porsi dan bakso satu porsi sendiri.

“Terus kenapa aneh?”

“Apa gue bilang aja ya yang gue rasain? Tapi apa nggak bikin hubungan Emi jadi nggak enak nanti sama Ifan? Soalnya yang gue rasain itu aneh banget. Padahal gue udah biasa ngeliat Emi dipeluk sama Bimo atau bahkan gue juga masih bisa kok biasa aja pas Teguh bisa sedeket itu sama dia. Walaupun emang gue akui sih, gue pernah marah ke Emi karena Emi sempat membuka kerudungnya di depan Teguh.” Gue tenggelam dalam pikiran gue.

“Oy, Zy?” Emi melambaikan tangannya di depan gue.

“Hah? Kenapa?”

“Kok lo bengong sih? Kenapa sih lo, Zy?”

Tapi gue tidak menggubris pertanyaan Emi. Gue lebih fokus pada orang yang mendadak duduk di sebelah Emi. “Oy, Fan… Udah di sini aje lo.”

“Gue nggak ganggu kan, Zy? Itu si Bimo lagi pesenin mie ayam gue. Doi duduk di samping lo nggak apa-apa kan ya, Zy?” Dia ikut memanggil gue dengan panggilan yang dipakai Emi, Firzy.

Gue melihat ke arah yang ditunjuk Ifan tadi. Benar, Bimo sedang mengantri bersama pembeli lainnya. “Ah iya nggak apa-apa kok.”

“Sekalian mengenal lebih dekat. Ya nggak, Mi?” Gue bisa melihat sikutnya Ifan menyenggol sikut Emi yang sedang menikmati mie ayamnya sembari tersenyum penuh kode yang gue tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan.

“Bacot, Fan!” kata Emi dengan mulutnya yang masih penuh.

Gue dengan sigap memberikan dia tisu. DAN KAGETNYA GUE, Ifan juga memberikan tisu pada Emi. “Apa sih maksudnya ini cowok? Maunya apa sih dia bangs*t?!” kata gue dalam hati.

“Eh lo juga ngambil tisu. Hahaha. Tenang, gue nggak mau ngelap bibir dia kok. Itu kan hak milik lo. Gue cuma mau ngelap meja aja. Jijik gue kena jigongnya Emi!” kata Ifan sembari mengelap meja di sekitar dia.

“ENAK AJE LO! JIGONG GUE WANGI KELEUS!”

“Tau darimana emang wangi? Kalo testimoni itu dapetnya dari orang lain.” celetuk Bimo yang sudah tiba di meja kami. “Emang iya, Bang? Pasti udah pernah dicobain kan?”

“BIMO!” teriak Emi.

Kami pun tertawa bersama. Emi kembali melanjutkan memakan makanan dia sedangkan gue menunggu makanan Ifan dan Bimo datang ke meja kami. Ya maklum, Emi makan dua porsi jadinya dia pasti mengabiskan waktu lebih lama.

Ifan dan Bimo mencoba untuk mengakrabkan diri dengan gue. Mereka menceritakan lingkup kerja mereka dan pengalaman proses rekrutmen yang telah mereka lalui. Tetapi gue tidak fokus pada cerita mereka. Entah kenapa gue malah lebih fokus mengamati setiap gestur yang ditunjukkan oleh Ifan, pada Emi.

UHUK. UHUK. UHUK.

Emi tersedak dan minuman dia sudah habis! Ketika gue akan bergegas untuk membantu mengambilkan dia minum, Ifan sudah lebih dulu menawarkan minuman air putih botolan pada Emi. Emi langsung meminum minuman tersebut sembari tertawa.

“Ini anak tuh lagi sengaja mau bikin gue cemburu atau hubungan pertemanan mereka emang kayak begini? Ifan apa selalu sesiaga ini? Bahkan Bimo aja masih butuh memproses gerakan reflek dia pas ngeliat Emi keselek. Heran gue. Bikin hati gue makin panas aja.” kata gue dalem hati.

“Yah namanya umur. Maklum yak, makan aja gampang keselek.” celetuk Bimo.

“Enak aja lo!” jawab Emi.

“Gue udah kenyang. Nih abisin, Mi. Gue mau beli buah dulu.” kata gue tanpa sama sekali menengok ke arah mereka bertiga.

Tetapi sebelum gue pergi ke arah buah potong untuk membelikan Emi pepaya potong (buah favorit Emi), gue membayar semua pesanan mereka. Gue tidak ingin itu cowok mendadak sok jadi pahlawan kesiangan dengan membayar pesanan gue juga.

Tidak lama setelah gue selesai membeli buah. Emi, Ifan dan Bimo jalan menghampiri gue. Tetapi Emi menghampiri gue dengan ekspresi bingung, sedangkan Ifan dan Bimo dengan ekspresi senang. “Kamu bayarin makanan kita semua, Zy?”

“Iya, sekalian.”

“Makasih ye, Zy.” kata Ifan.

“Tengs ye, Bang Ija. Biar dilancarin semua prosesnya hari ini.”

“Amiiin…” kata gue sembari merangkul Emi. “Yuk balik ke kantor. Gerah bener gue. Mau ngadem di lobi.” Kami berempat pun jalan kaki kembali ke kantor mereka.

“Kamu aneh banget, Zy, sumpah. Lagian tumben banget kamu mau ngerangkul begini sih? Aku udah biasa kali jalan kaki di sini.”

“Tapi, kalo nyebrang sendiri emang udah bisa?” tanya gue sebelum kami menyebrang jalan.

“Ya kalo nggak ada Sekuriti, ya gue minta disebrangin sama siapapun.”

“Kalo sama Ifan, lo digandeng juga nggak?” Mendadak pertanyaan itu keluar dari bibir gue. Aneh banget dan tidak ada juntrungannya.

Emi terdiam dan mengerenyitkan kedua alis dia. Tetapi karena gue sudah menggandeng tangan dia untuk menyebrang jalan, dia menurut tanpa mempertanyakan balik maksud pertanyaan gue sebelumnya.

Dan tiba-tiba…

“Mi! Lo liat nggak itu barusan?” tiba-tiba Bimo lari dari arah belakang kami sembari menunjuk ke arah parkiran mobil.

“Apaan?”

“Si Debby turun dari mobil mersi!” bisik Bimo yang cukup kencang dan bisa didengar oleh gue dan Ifan.

“Terus masalahnya?”

“Itu pacar barunya Debby ya?”

“Ya mana gue tau.” jawab Emi sembari melepas genggaman tangan gue. Maklum, kami sudah mau sampai ke lobi kantor mereka. “Gue nggak peduli juga sih.”

“Dia pede banget ngajak pacar barunya ke kantor. Kalo ketauan Pak Irwan gimana ya?” bisik Ifan di antara Bimo dan Emi yang sedang berdekatan.

Dan gue kembali tidak ada juntrungannya menarik pundak Ifan, “Apaan, Fan?”

“Kaget gue, Zy! Hahaha.” Dia pun kembali membisikkan omongannya tadi pada kami.

Debby nengok ke arah kami dan jalan sembari menggandeng pacar barunya tersebut. Kami sama-sama jalan menuju pintu masuk kantor dan sampai di meja Sekuriti di waktu bersamaan.

“Gue nunggu di sini ya.” kata gue pada Emi.

“Sip, semangat ya!” jawab Emi sembari meninggalkan gue.

“Pak. Dicatet ya plat nomor mobil pacarnya saya.” kata Debby lantang, sepertinya sengaja agar didengar oleh kami semua. “Biar nggak ditanya-tanya lagi di Pos Masuk sana. Capek bolak-balik ditanyain ‘Ada keperluan apa, Pak?’…”

“Hahaha. Baik, Bu Deborah. Mobilnya yang mana?”

“Mobil MERCENDEZ BENZ hitam yang di sana ya!” kata Debby sembari menunjuk mobil yang dia maksud.

“Yang dua pintu?”

“Ah bukan, yang di sampingnya.”

“Yang mersi lama, Pak.” celetuk Ifan tanpa nengok ke arah Debby sama sekali. Emi, Ifan, dan Bimo jalan beriringan masuk ke dalam ruangan mereka.

Gue bisa lihat, Debby terlihat kesal dengan jawaban Ifan. Apalagi ketika Sekuriti yang sedang berbicara dengan mereka tersenyum seakan ikut mengejek Debby. Kemudian dia melirik ke arah gue dengan muka judes ala sinetron. “Pergi yuk sayang, di sini PANAS.”
jiyanq
oktavp
caporangtua259
caporangtua259 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.