- Beranda
- Stories from the Heart
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
...
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami
私のスレッドへようこそ
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!
Quote:
Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):
Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):
Spoiler for PERATURAN:
1. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di hidup gue dan Emi (@dissymmon08), tapi mohon maaf kami nggak menulis keseluruhan kejadian aslinya demi kepentingan privasi. Namun semua cerita di sini telah kami pilah sebagaimana mestinya agar tidak merusak jalannya cerita.
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 
7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:
HAPPY READING! 
Quote:
Original Posted By yanagi92055►
TERIMA KASIH BANYAK GANSIS READERS SEMUANYA. DENGAN APRESIASINYA TRIT INI BERHASIL HT UNTUK PERTAMA KALINYA. SEMOGA PRESTASI INI DAPAT MENJADI SEMANGAT UNTUK KAMI MENGEMAS CERITA MENJADI SEMAKIN SERU UNTUK DIBACA DAN DIIKUTI.
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#367
Kabar Kampus_Part 4B
Emi terus menerus melirik kaki kiri gue yang gue pake untuk menginjak pedal kopling. “Kamu yakin kuat nyetir sampe rumah aku?”
“InsyaAllah kuat.”
“Sampe rumah kamu lagi?”
“InsyaAllah kuat…” Gue menjeda omongan gue. “Tapi gue mau istirahat dulu di rumah lo beberapa hari ini. Minimal Senin lah gue pulang.”
“Apa nggak mending lo istirahat di rumah lo sendiri aja? Nanti gue mampirin. Soalnya nggak mungkin gue nginep di rumah lo kayaknya.”
“Nggak usah. Mending gue yang nginep di rumah lo.”
“Apa nggak mendingan kita sama-sama nggak nginep?”
“Udah deh, jangan bikin moodgue rusak. Gue udah punya rencana begitu, soalnya di rumah gue juga kondisinya nggak kondusif. Kita seminggu loh nggak ngobrol. Lo nggak mau apa ngobrol lama-lama sama gue?”
Dia tidak menjawab pertanyaan gue. Kemudian kami hanya saling berdiam diri selama beberapa menit. “Aku mau tanya sesuatu. Tapi aku nggak mau kamu mendadak marah-marah, kebut-kebutan, atau ngamuk-ngamukin orang di jalan karena aku nanyain ini ke kamu.”
Gue, bahkan semua laki-laki kayaknya, paling benci ketika pasangannya bilang ‘Aku mau tanya sesuatu…’ atau ‘Ada yang mau aku omongin…’ Karena BIASANYA, tidak berakhir dengan baik atau bukan bahasan yang baik. Hehehe.
“Iyee… Kenapa sih? Masih aja curiga sama calon suami. Kayak baru kenal aku satu dua hari aja. Heran banget.” I have no idea dia mau ngebahas urusan apaan. Mungkin Ana atau malah jangan-jangan dia tau gue lagi ada chat dengan Diani?
“Ya karena aku UDAH KENAL KAMU, makanya aku tau kalo kamu nggak suka sama bahasan aku pasti kamu kayak begitu. Buat mastiin, makanya aku bilang begitu dulu sama kamu…”
Gue melirik dia sesaat, memastikan dia memang benar-benar serius. “Iye apaan?”
Dia merubah posisi duduknya untuk full menghadap pada gue. “Kamu nggak lagi berusaha mancing simpati dari aku bukan? Kamu nggak sengaja nabrakin diri kamu biar kamu bisa ngobrol sama aku lagi bukan?”
“Hah? Mancing simpati? A*jing amat, Mi! Gila banget gue kalo gue sampe sengaja nabrakin diri gue sendiri cuma demi mancing simpati lo! Sumpah itu udah gila banget namanya! Nggak mungkinlah! Gue mending mancing simpati lo dengan ngikutin lo kemanapun lo pergi daripada ngebahayain diri gue sendiri! Kalo gue aja sampe ngebahayain diri gue sendiri, gimana gue bisa ngejagain lo seumur idup gue?”
“………”
“Kok bisa-bisanya sih lo mikir kalo gue kecelakaan ini disengaja buat mancing simpati lo? Aneh banget mikirnya.” Gue menggenggam jemari tangan dia yang sedikit dingin. Gue yakin, dia benar-benar khawatir dengan kondisi gue. “Aku bukan orang yang manipulatif, Mi. Aku nggak suka jualan simpati demi cari untung kayak orang-orang di jalanan sana. Aku kayak gini ya emang lagi kayak gini aja. Lagi apes kalo kata orang bilang. Udah malem-malem berangkat dari rumah hujan-hujan buat ketemu kamu, eh kamunya nggak ada. Di jalan pulang, malah kecelakaan. Murni ini mah beneran. Bukan di bikin-bikin. Lagian siapa juga sih yang mau kena musibah jelang hari besar? Nggak ada kan?”
“Maafin aku…” katanya singkat, dan gue mengelus punggung tangannya. “Soalnya mantan aku, si Fandi, pernah se-freak itu. Dia pernah entah ngapain sampe bikin tangannya digips cuma demi bisa ketemu sama aku. Demi mancing simpati dari aku. Sumpah itu kejadian paling nggak penting dan nggak banget deh. Kok bisa-bisanya dia mikir begitu biar aku luluh…”
“Tapi yang lebih gobl*k ya kamu lah.”
“Hah? Maksudnya?”
“Kamu lebih gobl*k lagi. Soalnya kamu luluh kan?”
“………” Skakmat. Gue bener.
“Kalo kamu kenal aku sebegitunya, harusnya kamu paham dan ngerti. Aku nggak akan kayak begitu. Aku rela ngelakuin APAPUN YANG LOGIS, demi dapetin kamu balik selain begitu. Emang selama ini kita pacaran aku pernah kayak gitu? Nggak kan? Semarah apapun kamu, sengambek apapun kamu, aku nggak pernah pake cara kayak gitu buat dapetin simpati dan perhatian kamu. Udahlah, sekarang ini aku udah seneng bisa kesini dan ngobrol sama kamu.”
“Emang aku sesering itu marah sama ngambek?”
“Ya KALO LAGI marah sama ngambek maksud aku.”
“Lagian biasanya juga aku nggak pernah marah sama ngambek nggak jelas kali. Semuanya pasti ada alasannya…” Dia menjeda omongannya sembari mengalihkan pandangannya ke luar mobil. “Dan alasannya selalu kamu.”
“Iya, aku yang salah. Selalu aku yang salah…”
“Selalu kamu yang salah? Jadi kamu ngerasa selama ini aku berusaha nyalah-nyalahin kamu? Kamu nggak ngerasa bersalah sama sekali? Kamu ngerasa aku suka random nyalah-nyalahin kamu?”
“Aku nggak bilang gitu loh. Aku nggak nyindir. Aku emang ngaku kalo SELALU AKU YANG SALAH.”
“Ya udah.” Jawab dia singkat.
Gue ambil inisiatif duluan, sebagai bukti kalo gue emang serius buat nemuin dia tanpa ada maksud yang lain. “Aku minta maaf ya sayang…” Permulaan yang baik dan TIDAK PERNAH gue lakuin ke cewek lain. Kurang spesial apa lagi lo di hidup gue, Mi? “Kemaren kamu emang bener. Aku emang bohong kalo aku dapet notifikasi dari grup, padahal aku emang dapet notifikasi chat dari temen kantor aku. Namanya Ana…”
Dia memejamkan mata dia dan melepas genggaman tangan gue. “Cewek…” gumam dia perlahan banget. “Kamu mau jujur kalo dia pacar kamu selama ini?”
“Bukan… Dia bukan pacar aku dan nggak akan pernah jadi pacar aku.”
“Hmm.” Hanya jawaban dari dia.
“Dia chat aku… Bagi aku, chat dia itu nggak jelas banget.”
“Nggak jelas kayak gimana sampe aku nggak boleh baca chat dia?”
“Kalo kamu baca sekilas isi chat dia, kamu pasti ngerasa ambigu. Kamu pasti langsung nuduh yang nggak-nggak…”
“Aku nggak akan mikir yang nggak-nggak kalo emang kalian ngebahas urusan kerjaan. Sekarang, urusan kerjaan apa yang bikin aku mikir aneh dan kamu ngerasa chat itu nggak jelas? Emang kalian lagi ngebahas apaan sampe kamu mikirnya begitu?”
"’Masih berasa sakit banget, Mas.’ kata dia."
“Sakit? Kamu abis ngapain dia? Kamu abis make dia?” JACKPOT! Ini Emi saudara-saudara sekalian! Ini Emi! Terbukti kan omongan gue tempo hari? Chat Ana ini super duper ambigu. Kalo Emi yang baca, dia bisa mikir gimana coba? Sakit diapain si Ana ini sama gue? Bener kan si Emi mikirnya si Ana abis dipake sama gue?
“Aku nggak ada apa-apa sama dia. Aku juga nggak make dia. Nggak pernah kepikiran buat make dia. Rugi banget kalo kamu marah sama aku gara-gara mikir kalo aku bakalan make dia padahal nggak. Tau gitu, mending sekalian aku make dia aje dari dulu—”
“TUH KAN! KAMU PENGEN MAKE DIA KAN!”
“NGGAAAAK! Susah banget dikata nggak?”
“Aku itu sebenernya bingung kalo mau interaksi sama cewek manapun sekarang, Mi. Gara-gara aku banyak banget kesalahan sama kamu urusan cewek-cewek itu, makanya daripada aku bikin perkara lagi dan kamu malah mikir yang nggak-nggak, mendingan kalo ada chat mereka ya aku end chat aja semuanya. Asli kok nggak ada apa-apa. Dia cuma ngerasa sakit karena suka sama aku dan aku udah punya kamu. Makanya dia ngerasa sakit.” Tetep gue sulit untuk ceritain keseluruhan cerita aslinya. “Efeknya emang jelek banget. Dia jadinya nahan insentif pekerjaan aku dan kurang profesional urusan kerjaan di kantor. Padahal insentif aku itu ya buat nambah-nambah uang nikahan kita…”
“Beneran? Bukan sakit urusan pakai memakai?”
“Beneran, Mi. Ini chat terbaru aku kalo nggak percaya. Kamu buka aja.”
Gue menyerahkan HP yang sudah terbuka chat antara gue dengan Ana. Memang yang tersisa hanya itu saja, pembahasan kami mengenai fee gue yang memang sempat tertahan (dengan sengaja) oleh dia. Sisanya semua terhapus. Karena memang cukup berbahaya dan bisa memicu pertempuran baru lagi.
“Terus Edna itu siapa?” tanya Emi tenang tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar HP gue.
Gue sangat kaget. Luar biasa kaget. Kenapa dia bisa tau juga keberadaan Edna?
“Ha? Itu teman aku ketemu di Facebook…” Selanjutnya gue menceritakan bagaimana urusan gue dengan Edna. Tentang dari awal ketemu di media sosial sampai dengan curhat-curhat nggak penting anak SMA, dan ke urusan sok-sokan jadi pacar yang memang Edna klaim sendiri.
“Kok dari awal kamu nggak pernah cerita ada lagi yang lain? Emang apa susahnya sih jujur sama aku? Ceritain semuanya tanpa sisa? Kenapa sih harus sesusah itu? Jangan-jangan abis ini masih ada lagi. Terus nunggu aku nemuin dulu baru deh kamu ngaku. Kapan kamu bisa jujur duluan?”
“Iya maafin aku, Mi. Aku akui kalo aku emang salah banget, Mi. Apalagi aku nggak bisa jujur duluan sama kamu… Aku… Nggak mau kamu terus-terusan marah sama aku. Aku juga nggak mau kamu jadi sakit hati karena kebodohan aku yang nggak bisa jaga kepercayaan kamu.”
“Terus? Mau kayak begitu mulu?” Dia kembali menjeda omongan dia. “Tapi ini nggak menjawab kenapa Edna nggak kamu ceritain sekalian.”
“Aku emang sengaja nggak cerita tentang dia sama kamu. Karena hubungan aku sama dia itu bener-bener nggak ada apa-apa dan nggak penting. Apalagi sekarang udah nggak ada apa-apa lagi antara aku sama dia, makanya aku nggak ceritain.”
“Edna nggak penting? Berarti yang lain lebih penting dari Edna.”
“Yang lain emang ada niat dari aku untuk ngehubungin mereka juga. Aku emang salah sama kamu. Tapi… Kalo Edna ini bener-bener kesalahan nggak penting karena aku juga nggak niat ngehubungin dia. Salahnya aku ya aku nggak jujur sama kamu karena aku nggak mau bikin perkara baru lagi ke kamu.”
“Terus udah aja gitu? Nggak ada bekasnya sama sekali?”
“Ya bekas apaan? Aku kan nggak pernah ketemu sama dia, Mi. itu aja cuma chat doang, nggak pernah ketemu. Orangnya bentuknya kayak apaan juga aku nggak pernah tau.”
“Emang nggak bisa manfaatin teknologi video call?”
“Bisa. Dia juga mau begitu. Tapi akunya yang nggak mau. Karena memang aku nggak anggep sebagai sesuatu yang penting. Biar dia juga nggak ngarep banyak, Mi. Aku nggak mau terlalu banyak keganggu konsentrasinya untuk hal-hal yang nggak aku anggep penting.”
“Kamu nggak mikirin perasaan dia kayak gimana, Zy?”
“Perasaan dia? Dia yang dateng sendiri ke aku. Terus dia yang nyerocos terus. Masih untung aku tanggepin. Sekarang kalo aku mau udahan, ya udah. Ngapain mikirin perasaan orang lain sih kamu?” kebiasaan banget si Emi selalu kayak gini.
“Ya coba aja kalo posisinya di balik gimana, Zy. Kamu pasti ngerasa sakit banget kan kalau tau-tau ditinggalin gitu aja sampe nggak ada kabar sama sekali.”
“Emang iya pasti. Aku juga ngerasa kok. Bagi dia sekarang kan aku ini kayak tukang PHP. Mendadak pergi gitu aja.” Ghosting kalau anak jaman sekarang bilang. “Tapi ya biar aja lah! Toh sekarang udah selesai semuanya. Dan aku nggak mau berhubungan lagi sama dia. Percuma juga buang-buang waktu ngeladenin anak labil…”
“Jadi lo maunya ngeladenin cewek dewasa aja?”
“Nggak usah nambah-nambah bahasan nggak penting.” Kebiasaan jelek Emi. Sok ngejodoh-jodohin gue sama orang, padahal udah jelas pasti bikin dia sakit hati.
“Ya udah lah. Mau ngapain lagi sih? Masih aja di pikirin. Lagian sekarang aku udah jujur, jawab apa adanya soal si Edna ini. Kalo kamu masih nggak mau percaya juga nggak apa-apa. Toh juga kalo aku kasih nomer Edna ke kamu, yang mana kamu juga pasti punya karena gmail aku di sync di HP kamu, kamu juga nggak akan konfrontasi langsung. Kamu itu intelektualnya tinggi, jadi nggak mungkin ngurusin urusan remeh temeh kayak gini cuma cari klarifikasi.”
“Kalo ternyata aku mau gimana?” Dia menantang gue.
“Ya udah. Sekarang aja telpon atau chat dia sepuas kamu. Bebaslah mau ngebahas gimana. Bia raja sekalian kamu liat aku dikata-katain sama dia. Biar kamu puas. Emang kamu pengen kan liat aku dibegituin sama cewek?” Tantang gue (yang terus berusaha) santai. “Yang penting kamu nggak ngejauhin aku lagi.”
“………” Emi hanya diam, dan kemudian ada senyum kecil di wajah baby face dia.
“Kenapa lo tiba-tiba nyengir? Jangan bilang Edna ternyata lo ya? Alter lo?”
“Apaan sih lo! Buru pinggirin mobil!”
“Hah? Apaan?”
“Pinggirin mobilnya sekarang!” pinta dia.
Saat itu kami sedang melewati perumahan elit yang masih cukup jauh dari rumahnya Emi. Perumahan elit yang jalanannya lumayan sepi. Sengaja kami lewat situ karena dilalahnya dimana-mana jalanan sudah mulai macet. Crossing perumahan elit tersebut bisa memotong waktu tempuh kami 10 hingga 15 menit.
Entah apa maksud dia meminta gue untuk menghentikan mobil. Apa dia mau melanjutkan perjalanannya dengan angkutan umum? Atau malah dia mau jujur hal lain yang bisa mengejutkan gue? Ah dia sangat tidak bisa gue baca jalan pikirannya.
Ketika mobil sudah benar-benar berhenti…
Dia mendekatkan muka dia ke muka gue yang agak gelap karena kurangnya penerangan disekitar mobil. Secara spontan dan insting di dalam diri gue (yang bisa menebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya), dia mendekatkan bibir dia ke bibir gue. Dia mencium bibir gue di kegelapan malam yang dihiasi alunan musik yang sama seperti ciuman kami pertama kali dulu di parkiran kampus. Dejavu.
Bedanya, kali ini dia tidak menunggu balasan dari gue.
Dia menggerakkan bibir seirama dengan pergerakan bibir gue. Bibirnya yang tipis mulai bergerak untuk mengimbangi pergerakan bibir gue yang sudah lebih dulu bekerja. Lidah sudah mulai terlibat dalam permainan. Bentuk ciuman french kiss seperti ini yang biasanya bisa meyakinkan pasangan kalo dia sudah serius. Tapi kali ini bukan karena dia sudah serius menjalani hubungan dengan gue. Tetapi serius memaafkan gue untuk melanjutkan perjuangan kami di depan.
Selama beberapa lama kami melakukan pergerakan bibir senada dan seirama. Sebelum semuanya akhirnya berakhir (lagi) dengan tak terduga. Dan kali ini bukan karena satpam. Tetapi…
“Nggak usah sok buka-buka baju gue ya lo! Dikasih hati malah minta jantung! Dikasih cipok malah minta ews! Buru pulang dulu! Jelasin kenapa lo bisa kecelakaan, baru dah entar—”
“Dikasih ews?”
“Ya diobatin lukanya lah! Masa langsung dikasih ews?” Tapi tiba-tiba secara tak terduga, dia membuka kedua kaki gue hingga terbuka lebar dan menundukkan kepalanya di antara kaki gue tersebut.
“It’s gonna happen! It’s gonna happen!” kata gue dalam hati.
PUK!
“SAKIT B*NGSAAAAT!”
Bukannya ngebuka celana gue, dia malah nepuk luka yang ada di kaki kiri gue! “Kaki masih sakit aja, udah eweeee mulu pikirannya! Mana kuat lo!”
“Emang nggak bisa manfaatin kreativitas seperti Women On Top?” tanya gue sembari meniru gaya dia sebelumnya ketika dia menanyakan ke gue kenapa gue tidak video call dengan Edna.
“Enak aja! Gue capek baru balik kerja. Gue mau istirahat.” Kata dia sembari menjauh dari kedua kaki gue yang sudah terbuka lebar untuk dia.
“Yaelah.” Gue menunjukkan Rocky yang sudah mulai dadah-dadah pada dia. “Gimana coba ini? Nggak mau tanggung jawab lo?”
“Tuhan menciptakan dua tangan buat apa? Tangan kanan buat makan, tangan kiri berarti buat?”
“Nyokrai.”
"Apaan tuh?"
"C*li lah...haha.."
“Nah tuh pinter! Buru jalan.”
“T*i.”
“Tapi cinta kan?”
“Selamanya.”
“Buru jalan, Pir.”
“Bangs*t.”
Dan momen kayak begini, nggak akan pernah gue dapetin ketika gue sama siapapun lagi. Kayaknya, gue nggak akan ngebahas tentang tesis gue ini malem ini ke dia. Gue nggak akan merusak momen ini. Tapi soon, gue akan ceritain sama dia. Bukan untuk dikerjain sama dia, untuk diarahin sama dia. Gue nggak mau dia ngerasa kalo gue hanya manfaatin dia buat ngerjain tesis gue, seperti apa yang diprediksikan orang-orang. Gue nggak mau.
Karena dia, lebih dari itu.
“InsyaAllah kuat.”
“Sampe rumah kamu lagi?”
“InsyaAllah kuat…” Gue menjeda omongan gue. “Tapi gue mau istirahat dulu di rumah lo beberapa hari ini. Minimal Senin lah gue pulang.”
“Apa nggak mending lo istirahat di rumah lo sendiri aja? Nanti gue mampirin. Soalnya nggak mungkin gue nginep di rumah lo kayaknya.”
“Nggak usah. Mending gue yang nginep di rumah lo.”
“Apa nggak mendingan kita sama-sama nggak nginep?”
“Udah deh, jangan bikin moodgue rusak. Gue udah punya rencana begitu, soalnya di rumah gue juga kondisinya nggak kondusif. Kita seminggu loh nggak ngobrol. Lo nggak mau apa ngobrol lama-lama sama gue?”
Dia tidak menjawab pertanyaan gue. Kemudian kami hanya saling berdiam diri selama beberapa menit. “Aku mau tanya sesuatu. Tapi aku nggak mau kamu mendadak marah-marah, kebut-kebutan, atau ngamuk-ngamukin orang di jalan karena aku nanyain ini ke kamu.”
Gue, bahkan semua laki-laki kayaknya, paling benci ketika pasangannya bilang ‘Aku mau tanya sesuatu…’ atau ‘Ada yang mau aku omongin…’ Karena BIASANYA, tidak berakhir dengan baik atau bukan bahasan yang baik. Hehehe.
“Iyee… Kenapa sih? Masih aja curiga sama calon suami. Kayak baru kenal aku satu dua hari aja. Heran banget.” I have no idea dia mau ngebahas urusan apaan. Mungkin Ana atau malah jangan-jangan dia tau gue lagi ada chat dengan Diani?
“Ya karena aku UDAH KENAL KAMU, makanya aku tau kalo kamu nggak suka sama bahasan aku pasti kamu kayak begitu. Buat mastiin, makanya aku bilang begitu dulu sama kamu…”
Gue melirik dia sesaat, memastikan dia memang benar-benar serius. “Iye apaan?”
Dia merubah posisi duduknya untuk full menghadap pada gue. “Kamu nggak lagi berusaha mancing simpati dari aku bukan? Kamu nggak sengaja nabrakin diri kamu biar kamu bisa ngobrol sama aku lagi bukan?”
“Hah? Mancing simpati? A*jing amat, Mi! Gila banget gue kalo gue sampe sengaja nabrakin diri gue sendiri cuma demi mancing simpati lo! Sumpah itu udah gila banget namanya! Nggak mungkinlah! Gue mending mancing simpati lo dengan ngikutin lo kemanapun lo pergi daripada ngebahayain diri gue sendiri! Kalo gue aja sampe ngebahayain diri gue sendiri, gimana gue bisa ngejagain lo seumur idup gue?”
“………”
“Kok bisa-bisanya sih lo mikir kalo gue kecelakaan ini disengaja buat mancing simpati lo? Aneh banget mikirnya.” Gue menggenggam jemari tangan dia yang sedikit dingin. Gue yakin, dia benar-benar khawatir dengan kondisi gue. “Aku bukan orang yang manipulatif, Mi. Aku nggak suka jualan simpati demi cari untung kayak orang-orang di jalanan sana. Aku kayak gini ya emang lagi kayak gini aja. Lagi apes kalo kata orang bilang. Udah malem-malem berangkat dari rumah hujan-hujan buat ketemu kamu, eh kamunya nggak ada. Di jalan pulang, malah kecelakaan. Murni ini mah beneran. Bukan di bikin-bikin. Lagian siapa juga sih yang mau kena musibah jelang hari besar? Nggak ada kan?”
“Maafin aku…” katanya singkat, dan gue mengelus punggung tangannya. “Soalnya mantan aku, si Fandi, pernah se-freak itu. Dia pernah entah ngapain sampe bikin tangannya digips cuma demi bisa ketemu sama aku. Demi mancing simpati dari aku. Sumpah itu kejadian paling nggak penting dan nggak banget deh. Kok bisa-bisanya dia mikir begitu biar aku luluh…”
“Tapi yang lebih gobl*k ya kamu lah.”
“Hah? Maksudnya?”
“Kamu lebih gobl*k lagi. Soalnya kamu luluh kan?”
“………” Skakmat. Gue bener.
“Kalo kamu kenal aku sebegitunya, harusnya kamu paham dan ngerti. Aku nggak akan kayak begitu. Aku rela ngelakuin APAPUN YANG LOGIS, demi dapetin kamu balik selain begitu. Emang selama ini kita pacaran aku pernah kayak gitu? Nggak kan? Semarah apapun kamu, sengambek apapun kamu, aku nggak pernah pake cara kayak gitu buat dapetin simpati dan perhatian kamu. Udahlah, sekarang ini aku udah seneng bisa kesini dan ngobrol sama kamu.”
“Emang aku sesering itu marah sama ngambek?”
“Ya KALO LAGI marah sama ngambek maksud aku.”
“Lagian biasanya juga aku nggak pernah marah sama ngambek nggak jelas kali. Semuanya pasti ada alasannya…” Dia menjeda omongannya sembari mengalihkan pandangannya ke luar mobil. “Dan alasannya selalu kamu.”
“Iya, aku yang salah. Selalu aku yang salah…”
“Selalu kamu yang salah? Jadi kamu ngerasa selama ini aku berusaha nyalah-nyalahin kamu? Kamu nggak ngerasa bersalah sama sekali? Kamu ngerasa aku suka random nyalah-nyalahin kamu?”
“Aku nggak bilang gitu loh. Aku nggak nyindir. Aku emang ngaku kalo SELALU AKU YANG SALAH.”
“Ya udah.” Jawab dia singkat.
Gue ambil inisiatif duluan, sebagai bukti kalo gue emang serius buat nemuin dia tanpa ada maksud yang lain. “Aku minta maaf ya sayang…” Permulaan yang baik dan TIDAK PERNAH gue lakuin ke cewek lain. Kurang spesial apa lagi lo di hidup gue, Mi? “Kemaren kamu emang bener. Aku emang bohong kalo aku dapet notifikasi dari grup, padahal aku emang dapet notifikasi chat dari temen kantor aku. Namanya Ana…”
Dia memejamkan mata dia dan melepas genggaman tangan gue. “Cewek…” gumam dia perlahan banget. “Kamu mau jujur kalo dia pacar kamu selama ini?”
“Bukan… Dia bukan pacar aku dan nggak akan pernah jadi pacar aku.”
“Hmm.” Hanya jawaban dari dia.
“Dia chat aku… Bagi aku, chat dia itu nggak jelas banget.”
“Nggak jelas kayak gimana sampe aku nggak boleh baca chat dia?”
“Kalo kamu baca sekilas isi chat dia, kamu pasti ngerasa ambigu. Kamu pasti langsung nuduh yang nggak-nggak…”
“Aku nggak akan mikir yang nggak-nggak kalo emang kalian ngebahas urusan kerjaan. Sekarang, urusan kerjaan apa yang bikin aku mikir aneh dan kamu ngerasa chat itu nggak jelas? Emang kalian lagi ngebahas apaan sampe kamu mikirnya begitu?”
"’Masih berasa sakit banget, Mas.’ kata dia."
“Sakit? Kamu abis ngapain dia? Kamu abis make dia?” JACKPOT! Ini Emi saudara-saudara sekalian! Ini Emi! Terbukti kan omongan gue tempo hari? Chat Ana ini super duper ambigu. Kalo Emi yang baca, dia bisa mikir gimana coba? Sakit diapain si Ana ini sama gue? Bener kan si Emi mikirnya si Ana abis dipake sama gue?
“Aku nggak ada apa-apa sama dia. Aku juga nggak make dia. Nggak pernah kepikiran buat make dia. Rugi banget kalo kamu marah sama aku gara-gara mikir kalo aku bakalan make dia padahal nggak. Tau gitu, mending sekalian aku make dia aje dari dulu—”
“TUH KAN! KAMU PENGEN MAKE DIA KAN!”
“NGGAAAAK! Susah banget dikata nggak?”
“Aku itu sebenernya bingung kalo mau interaksi sama cewek manapun sekarang, Mi. Gara-gara aku banyak banget kesalahan sama kamu urusan cewek-cewek itu, makanya daripada aku bikin perkara lagi dan kamu malah mikir yang nggak-nggak, mendingan kalo ada chat mereka ya aku end chat aja semuanya. Asli kok nggak ada apa-apa. Dia cuma ngerasa sakit karena suka sama aku dan aku udah punya kamu. Makanya dia ngerasa sakit.” Tetep gue sulit untuk ceritain keseluruhan cerita aslinya. “Efeknya emang jelek banget. Dia jadinya nahan insentif pekerjaan aku dan kurang profesional urusan kerjaan di kantor. Padahal insentif aku itu ya buat nambah-nambah uang nikahan kita…”
“Beneran? Bukan sakit urusan pakai memakai?”
“Beneran, Mi. Ini chat terbaru aku kalo nggak percaya. Kamu buka aja.”
Gue menyerahkan HP yang sudah terbuka chat antara gue dengan Ana. Memang yang tersisa hanya itu saja, pembahasan kami mengenai fee gue yang memang sempat tertahan (dengan sengaja) oleh dia. Sisanya semua terhapus. Karena memang cukup berbahaya dan bisa memicu pertempuran baru lagi.
“Terus Edna itu siapa?” tanya Emi tenang tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar HP gue.
Gue sangat kaget. Luar biasa kaget. Kenapa dia bisa tau juga keberadaan Edna?
“Ha? Itu teman aku ketemu di Facebook…” Selanjutnya gue menceritakan bagaimana urusan gue dengan Edna. Tentang dari awal ketemu di media sosial sampai dengan curhat-curhat nggak penting anak SMA, dan ke urusan sok-sokan jadi pacar yang memang Edna klaim sendiri.
“Kok dari awal kamu nggak pernah cerita ada lagi yang lain? Emang apa susahnya sih jujur sama aku? Ceritain semuanya tanpa sisa? Kenapa sih harus sesusah itu? Jangan-jangan abis ini masih ada lagi. Terus nunggu aku nemuin dulu baru deh kamu ngaku. Kapan kamu bisa jujur duluan?”
“Iya maafin aku, Mi. Aku akui kalo aku emang salah banget, Mi. Apalagi aku nggak bisa jujur duluan sama kamu… Aku… Nggak mau kamu terus-terusan marah sama aku. Aku juga nggak mau kamu jadi sakit hati karena kebodohan aku yang nggak bisa jaga kepercayaan kamu.”
“Terus? Mau kayak begitu mulu?” Dia kembali menjeda omongan dia. “Tapi ini nggak menjawab kenapa Edna nggak kamu ceritain sekalian.”
“Aku emang sengaja nggak cerita tentang dia sama kamu. Karena hubungan aku sama dia itu bener-bener nggak ada apa-apa dan nggak penting. Apalagi sekarang udah nggak ada apa-apa lagi antara aku sama dia, makanya aku nggak ceritain.”
“Edna nggak penting? Berarti yang lain lebih penting dari Edna.”
“Yang lain emang ada niat dari aku untuk ngehubungin mereka juga. Aku emang salah sama kamu. Tapi… Kalo Edna ini bener-bener kesalahan nggak penting karena aku juga nggak niat ngehubungin dia. Salahnya aku ya aku nggak jujur sama kamu karena aku nggak mau bikin perkara baru lagi ke kamu.”
“Terus udah aja gitu? Nggak ada bekasnya sama sekali?”
“Ya bekas apaan? Aku kan nggak pernah ketemu sama dia, Mi. itu aja cuma chat doang, nggak pernah ketemu. Orangnya bentuknya kayak apaan juga aku nggak pernah tau.”
“Emang nggak bisa manfaatin teknologi video call?”
“Bisa. Dia juga mau begitu. Tapi akunya yang nggak mau. Karena memang aku nggak anggep sebagai sesuatu yang penting. Biar dia juga nggak ngarep banyak, Mi. Aku nggak mau terlalu banyak keganggu konsentrasinya untuk hal-hal yang nggak aku anggep penting.”
“Kamu nggak mikirin perasaan dia kayak gimana, Zy?”
“Perasaan dia? Dia yang dateng sendiri ke aku. Terus dia yang nyerocos terus. Masih untung aku tanggepin. Sekarang kalo aku mau udahan, ya udah. Ngapain mikirin perasaan orang lain sih kamu?” kebiasaan banget si Emi selalu kayak gini.
“Ya coba aja kalo posisinya di balik gimana, Zy. Kamu pasti ngerasa sakit banget kan kalau tau-tau ditinggalin gitu aja sampe nggak ada kabar sama sekali.”
“Emang iya pasti. Aku juga ngerasa kok. Bagi dia sekarang kan aku ini kayak tukang PHP. Mendadak pergi gitu aja.” Ghosting kalau anak jaman sekarang bilang. “Tapi ya biar aja lah! Toh sekarang udah selesai semuanya. Dan aku nggak mau berhubungan lagi sama dia. Percuma juga buang-buang waktu ngeladenin anak labil…”
“Jadi lo maunya ngeladenin cewek dewasa aja?”
“Nggak usah nambah-nambah bahasan nggak penting.” Kebiasaan jelek Emi. Sok ngejodoh-jodohin gue sama orang, padahal udah jelas pasti bikin dia sakit hati.
“Ya udah lah. Mau ngapain lagi sih? Masih aja di pikirin. Lagian sekarang aku udah jujur, jawab apa adanya soal si Edna ini. Kalo kamu masih nggak mau percaya juga nggak apa-apa. Toh juga kalo aku kasih nomer Edna ke kamu, yang mana kamu juga pasti punya karena gmail aku di sync di HP kamu, kamu juga nggak akan konfrontasi langsung. Kamu itu intelektualnya tinggi, jadi nggak mungkin ngurusin urusan remeh temeh kayak gini cuma cari klarifikasi.”
“Kalo ternyata aku mau gimana?” Dia menantang gue.
“Ya udah. Sekarang aja telpon atau chat dia sepuas kamu. Bebaslah mau ngebahas gimana. Bia raja sekalian kamu liat aku dikata-katain sama dia. Biar kamu puas. Emang kamu pengen kan liat aku dibegituin sama cewek?” Tantang gue (yang terus berusaha) santai. “Yang penting kamu nggak ngejauhin aku lagi.”
“………” Emi hanya diam, dan kemudian ada senyum kecil di wajah baby face dia.
“Kenapa lo tiba-tiba nyengir? Jangan bilang Edna ternyata lo ya? Alter lo?”
“Apaan sih lo! Buru pinggirin mobil!”
“Hah? Apaan?”
“Pinggirin mobilnya sekarang!” pinta dia.
Saat itu kami sedang melewati perumahan elit yang masih cukup jauh dari rumahnya Emi. Perumahan elit yang jalanannya lumayan sepi. Sengaja kami lewat situ karena dilalahnya dimana-mana jalanan sudah mulai macet. Crossing perumahan elit tersebut bisa memotong waktu tempuh kami 10 hingga 15 menit.
Entah apa maksud dia meminta gue untuk menghentikan mobil. Apa dia mau melanjutkan perjalanannya dengan angkutan umum? Atau malah dia mau jujur hal lain yang bisa mengejutkan gue? Ah dia sangat tidak bisa gue baca jalan pikirannya.
Ketika mobil sudah benar-benar berhenti…
Dia mendekatkan muka dia ke muka gue yang agak gelap karena kurangnya penerangan disekitar mobil. Secara spontan dan insting di dalam diri gue (yang bisa menebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya), dia mendekatkan bibir dia ke bibir gue. Dia mencium bibir gue di kegelapan malam yang dihiasi alunan musik yang sama seperti ciuman kami pertama kali dulu di parkiran kampus. Dejavu.
Bedanya, kali ini dia tidak menunggu balasan dari gue.
Dia menggerakkan bibir seirama dengan pergerakan bibir gue. Bibirnya yang tipis mulai bergerak untuk mengimbangi pergerakan bibir gue yang sudah lebih dulu bekerja. Lidah sudah mulai terlibat dalam permainan. Bentuk ciuman french kiss seperti ini yang biasanya bisa meyakinkan pasangan kalo dia sudah serius. Tapi kali ini bukan karena dia sudah serius menjalani hubungan dengan gue. Tetapi serius memaafkan gue untuk melanjutkan perjuangan kami di depan.
Selama beberapa lama kami melakukan pergerakan bibir senada dan seirama. Sebelum semuanya akhirnya berakhir (lagi) dengan tak terduga. Dan kali ini bukan karena satpam. Tetapi…
“Nggak usah sok buka-buka baju gue ya lo! Dikasih hati malah minta jantung! Dikasih cipok malah minta ews! Buru pulang dulu! Jelasin kenapa lo bisa kecelakaan, baru dah entar—”
“Dikasih ews?”
“Ya diobatin lukanya lah! Masa langsung dikasih ews?” Tapi tiba-tiba secara tak terduga, dia membuka kedua kaki gue hingga terbuka lebar dan menundukkan kepalanya di antara kaki gue tersebut.
“It’s gonna happen! It’s gonna happen!” kata gue dalam hati.
PUK!
“SAKIT B*NGSAAAAT!”
Bukannya ngebuka celana gue, dia malah nepuk luka yang ada di kaki kiri gue! “Kaki masih sakit aja, udah eweeee mulu pikirannya! Mana kuat lo!”
“Emang nggak bisa manfaatin kreativitas seperti Women On Top?” tanya gue sembari meniru gaya dia sebelumnya ketika dia menanyakan ke gue kenapa gue tidak video call dengan Edna.
“Enak aja! Gue capek baru balik kerja. Gue mau istirahat.” Kata dia sembari menjauh dari kedua kaki gue yang sudah terbuka lebar untuk dia.
“Yaelah.” Gue menunjukkan Rocky yang sudah mulai dadah-dadah pada dia. “Gimana coba ini? Nggak mau tanggung jawab lo?”
“Tuhan menciptakan dua tangan buat apa? Tangan kanan buat makan, tangan kiri berarti buat?”
“Nyokrai.”
"Apaan tuh?"
"C*li lah...haha.."
“Nah tuh pinter! Buru jalan.”
“T*i.”
“Tapi cinta kan?”
“Selamanya.”
“Buru jalan, Pir.”
“Bangs*t.”
Dan momen kayak begini, nggak akan pernah gue dapetin ketika gue sama siapapun lagi. Kayaknya, gue nggak akan ngebahas tentang tesis gue ini malem ini ke dia. Gue nggak akan merusak momen ini. Tapi soon, gue akan ceritain sama dia. Bukan untuk dikerjain sama dia, untuk diarahin sama dia. Gue nggak mau dia ngerasa kalo gue hanya manfaatin dia buat ngerjain tesis gue, seperti apa yang diprediksikan orang-orang. Gue nggak mau.
Karena dia, lebih dari itu.
caporangtua259 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Tutup