Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#366
Kabar Kampus_Part 4A
“Ma, bisa anterin Ija ke depan sebentar?” tanya gue ke Mama yang sedang berjemur di depan rumah bersama Dian. Gue masih belum memberi tahu Mama tentang kondisi kaki gue.

“Ke depan mana?” tanya Mama tanpa menengok ke arah gue dan tetap fokus pada Dian.

“Loh, Kak? Kaki lo kenapa itu?” tanya Dania dari arah belakang gue. Gue bahkan tidak sadar sejak kapan dia ada di belakang gue. “Lo semalem kecelakaan?”

Mama panik dan segera masuk ke dalam rumah untuk menghampiri gue. “Kamu kenapa, Kak?”

“Ija semalem nabrak beton pager di pinggir jalan. Lagi kurang fokus jalannya.”

Mama meminta gue duduk untuk memeriksa luka-luka gue. “Kurang fokus apa ngantuk kamu?”

Dania bergantian dengan Mama untuk menggendong Dian. “Main aja terus sampe malem. Makanya ngantuk kan pulangnya. Lagian kenapa baliknya mesti tengah malem sih? Makanya jadi ngantuk kan lo. Nabrak begitu dah!” celetuk Dania.

“Kamu begini, Eminya gimana kondisinya? Biasanya kan yang dibonceng lukanya jauh lebih parah.” Tanya Mama.

“Ija nggak lagi bareng Emi. Ini pas pulang dari rumah dia. Ija lagi sendirian. Jatoh sendiri.”

“Untung nggak lagi bawa anak orang lo!” Kalian tau lah siapa yang komen kayak begini.

“Makanya Le, bela-belain pergi malem-malem nemuin anak orang. Kalo udah begini, yang repot siapa? Mama kan? Dia mah enak-enakan aja di rumahnya paling bilang ‘cepet sembuh ya’. Tapi yang nganterin kamu ke dokter siapa? Yang nggak bisa kerja siapa?”

“Iye, entar lo kerja gimana tuh Senin? Pasti nggak kerja kan lo? Mana bisa lo motoran kondisinya begitu!”

“Mama anterin ke dokter, abis itu udah nggak usah kemana-mana lagi sampe lukanya sembuh. Minta surat sakit sekalian dari dokter buat ke kantor. Makanya diem aja di rumah, jangan maen mulu.”

“Tau, urusan cewek aja dibela-belain amat sih lo, Kak. Heran! Emi aja kayaknya nggak sebegitunya pengorbanannya sama lo!”

Awalnya gue diemin mereka untuk bersaut-sautan (sok) menasehati gue sembari menyangkut pautkan ini semua dengan Emi. Tapi ketika mereka mengatakan kalo Emi tidak punya pengorbanannya sama sekali di hidup gue, gue naik pitam. “Kenapa jadi bawa-bawa Emi sih? Ini aja Emi nggak tau kalo Ija kecelakaan—”

“Nah kan! Dia aja sampe nggak tau. Terus lo masih mau bela-belain dia sebegitunya? Udeh, ngedekem (berdiam) dulu lo di rumah. Istirahat!” tambah Dania.

“Udahlah!” Gue berusaha berdiri sendiri. “Ija ke dokter sendiri aja.”

“Emang kamu bisa, Le? Sini Mama anterin.”

“Nggak usah. Bisa kok Ija kesana sendiri. Tadi Ija pikir Mama masih mau mikirin anak Mama yang satunya ini. Tapi… Ya udahlah.” Gue tidak kuat menyelesaikan kalimat gue tersebut. Gue ambil kunci motor gue dan mengeluarkan motor gue.

“Lah? Kamu nggak naik mobil aja kesananya?”

“Ija mau make motor Ija sendiri aja.”

“Sakit lah, Kak…” Terlihat raut wajah khawatir dari Mama.

“Makanya Ija mau ke dokter biar bisa diobatin. Daripada ribet, mau minta tolong malah nyalahin orang lain.” Gue langsung tancap gas.

---

Dokter Dipta, yang merupakan dokter dinas saat gue ke klinik sekaligus adik kelas satu tahun di bawah gue semasa SMA dulu dan juga teman sekelas Ara, meminta gue untuk beristirahat selama 3-4 hari kedepan. Tapi gue meminta surat sakit dokter tersebut selama 3-4 hari kerja kedepan. Tidak terhitung weekendini, agar istirahat gue lebih panjang. Gue tetap standby dari rumah, tetapi gue tidak bisa melaksanakan inspeksi lapang. Istilah keren saat ini, Work From Home. Nanti baru setelahnya gue diminta check-up kembali luka gue untuk memastikan kondisi lukanya.

Ada-ada aja cobaan orang mau nikah ya.

Gue merebahkan badan gue sepanjang hari. Mama menawarkan membawakan makan siang gue ke kamar. Tetapi gue menolak Mama dengan berjalan tertatih-tatih menuju ruang makan. Gue tidak ingin merepotkan beliau. Pernyataan beliau sebelumnya, "Makanya Le, bela-belain pergi malem-malem nemuin anak orang. Kalo udah begini, yang repot siapa? Mama kan? Dia mah enak-enakan aja di rumahnya paling bilang ‘cepet sembuh ya’. Tapi yang nganterin kamu ke dokter siapa? Yang nggak bisa kerja siapa?” cukup melekat di pikiran gue.

Positive thinking aja. Tuhan kasih gue waktu untuk istirahat dan nyelesaiin tesis gue sebelum nikahan.” Kata gue dalem hati sembari membaca-baca artikel yang berhubungan dengan tesis.

Dret. Dret. Dret.

Tiba-tiba HP gue berbunyi. Kali ini bukan lagi nada dering dari orang-orang, tetapi nada dering yang selama ini gue tunggu.

(EMI CHAT)
Quote:


Melihat chat dari dia membuat gue tersenyum. Tuhan menjawab doa gue. Positive thinking gue membuahkan hasil. Walopun bukan gue yang bisa menyelesaikan tesis saat ini juga, tetapi bertemu dengan Emi adalah salah satu rezeki lain dari Tuhan untuk gue. Bukan! Bukan karena gue berniat menyuruh Emi untuk menyelesaikan tesis gue ya! Tapi hanya bertemu Emi, rasanya semua rasa sakit ini bisa sedikit demi sedikit terobati.

(EMI CHAT)
Quote:


She had no ideaapa yang lagi gue rasakan saat ini.

(EMI CHAT)
Quote:


Dingin banget sih chat dia, udah kayak tukang es doger. Nggak apa-apa, setidaknya gue bisa ketemu sama dia. Gue bisa nyelesein masalah gue sama dia. Gue bisa move onbuat menyelesaikan persiapan pernikahan gue sama dia! Dan mungkin pasca ketemu dia nanti, gue bisa punya semangat buat menyelesaikan tesis gue juga.

“Loh, kamu mau kemana, Kak?” tanya Mama yang bingung melihat gue berganti pakaian.

“Rumah Emi.”

“Emi? Ketemu Emi lagi? Kamu itu lupa kalo abis kecelakaan? Kamu nggak ngerasain itu kaki kamu sakit?”

“Udah lumayan nggak sakit kok. Masih bisa ke rumah Emi.”

“Emang Emi nggak tau kalo kamu abis kecelakaan? Manja banget sih dia sampe minta disamperin melulu orang lagi sakit? Heran deh Mama sama Emi. Nuntutnya banyak banget!”

“Ija yang mau ketemu Emi. Bukan Emi yang nuntut Ija buat ketemu, Ma.”

“Halah! Nggak usah belain Emi mulu, Kak! Nggak boleh! Kamu nggak boleh pergi kemana-mana!”

“Tau sih… Suruh aja Eminya kesini kenapa sih, Kak?” Dania mendadak nimbrung bersama gue dan Mama. “Nggak bisa dia? Minta dijemput juga? Nggak mikir.”

“Nggak mikir? Udah deh jangan pada suka asumsi sendiri! Ija sendiri yang mau nemuin dia. Bukan Emi yang nuntut. Emi yang nggak tau kalo Ija kecelakaan, jadi semuanya bukan salah Emi! Udahlah, Ija mau berangkat sekarang.”

Mungkin gue bisa lebih tenang buat istirahat di sana daripada di sini. Semoga. Kalo tebakan gue salah, entah dimana lagi gue bisa menemukan zona nyaman gue.

---

(EMI CHAT)
Quote:


Gue tidak menjawab chat dia lagi. “Iya maaf… Maafin aku lama ya. Terus gegayaan naik mobil.” Kata gue sembari menghampiri dia dari belakang.

“Apaan sih— Loh? Kaki kamu kenapa diperban begitu???” Emi terlihat panik melihat kaki gue. Gue menggunakan celana pendek kargo hitam gue ketika menjemput dia. Kaki gue yang diperban terekspos sehingga membuat kepo beberapa orang lain di stasiun.

Gue nyengir ke arah dia. “Makanya tadi aku bilang jalannya agak susah terus nggak bisa bawa motor.”

“Kenapa nggak bilang kalo kamu habis kecelakaan? Kapan kecelakaannya? Dimana? Kenapa nggak langsung ngabarin? Kenapa malah iyain aja bilang mau jemput? Tau gitu aku pulang sendiri! Aku yang nyamperin kamu ke rumah! Kamu tuh gimana sih?” Dia nyerocos panjang lebar di hadapan gue.

Kata siapa Emi manja dan nggak peduli sama gue?

Daripada feedingkekepoan orang-orang di sekitar, gue langsung ajak Emi untuk masuk ke mobil. “Aku ceritain semuanya di mobil.”
khodzimzz
hayuus
caporangtua259
caporangtua259 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.