- Beranda
- Stories from the Heart
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
...
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami
私のスレッドへようこそ
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!
Quote:
Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):
Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):
Spoiler for PERATURAN:
1. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di hidup gue dan Emi (@dissymmon08), tapi mohon maaf kami nggak menulis keseluruhan kejadian aslinya demi kepentingan privasi. Namun semua cerita di sini telah kami pilah sebagaimana mestinya agar tidak merusak jalannya cerita.
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 
7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:
HAPPY READING! 
Quote:
Original Posted By yanagi92055►
TERIMA KASIH BANYAK GANSIS READERS SEMUANYA. DENGAN APRESIASINYA TRIT INI BERHASIL HT UNTUK PERTAMA KALINYA. SEMOGA PRESTASI INI DAPAT MENJADI SEMANGAT UNTUK KAMI MENGEMAS CERITA MENJADI SEMAKIN SERU UNTUK DIBACA DAN DIIKUTI.
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
dissymmon08
#355
“HAH? KOK DIA JADI BAWA-BAWA GUE SIH, FAN???”
“Lah gue juga ga ngerti, Mi! Gue ga pernah bawa-bawa lu kok.”
“Kalau lu ga pernah bawa-bawa nama gue, bini lu ga bakalan bilang ‘LEBIH MILIH EMI DARIPADA AKU’!”
“Hmm. Gue cuma cerita tentang kerjaan gue yang PASTINYA ada lu setiap kali gue ditanya urusan kantor… Ya mau gimana? Kita emang bareng terus bukan setiap hari? Salah dimana gue?” jelas dia dengan polosnya.
“Terus lu ga bilang kalau ada Bimo, Pak Iwan, atau siapapun gitu?”
“Ngapain? Kan gue barengnya sama lu mulu… Kenapa gue bawa-bawa mereka?”
Gue kayaknya tau dimana masalahnya. “Jadi lu SELALU CERITA SAMA BINI LU, kalau lu itu di kantor ngabisin waktu sama gue terus?”
“Gue selalu jujur sama dia, Mi. Buat apa gue boongin dia? Kita itu satu grup, beda cabang aja. Kalau dia tau gue boong dengan gue bilang ‘Gue kerja sama Pak Iwan atau Bimo’, apa ga bikin perkara baru? Apa ga bikin dia mikir kalau ada yang gue tutupin dari dia, tentang kita?”
“WAIT! TO BE CLEAR,GA ADA NAMANYA ‘TENTANG KITA’ YA, FAN!”
“Ya kita kan—”
“GA ADA NAMANYA KITA!” Gue langsung motong omongan dia. Gue ga mau ada orang di kantor ini yang mikir ada sesuatu antara gue sama dia cuma karena kata ‘KITA’ barusan.
“Kenapa sih lu?” Dia keliatan bingung. Dia clueless dimana salah dia.
“Kenapa sih kalian?” tanya seseorang dari belakang gue. Bimo lebih tepatnya. “Kita kita apaan sih?”
“Gapapa… Udah lah. Yuk kita ke lapang.” Mendingan gue ngebahas curhatan Ifan ini di lapang aja sambil jalan.
“Nah kan, lu bilang KITA juga!”
“Bacot!” Gue narik tangan Ifan biar dia ga usah banyak cingcong lagi. “Buru jalan!”
Tapi… “Kalian berdua pagi bener mau kemana? Kok segala pegangan tangan begitu sih?” tanya Rina dan Ninda yang kebetulan banget baru mau masuk ke ruangan kami.
“AAARRGGGH! GA ADA APA-APA! APAAN SIH?” Gue ngelepas pegangan gue dari tangan Ifan.
“Lagian kalau ada apa-apanya, apa sih masalah lu pada?” kata Ifan yang bikin KITA SEMUA YANG ADA DI RUANGAN tercengang dan terdiam. “Ayo kerja buru. Banyak yang mesti dicek di lapang.” Kali ini dia yang genggam tangan gue sambil narik gue ke luar ruangan.
“Fan…”
“Mi, ga usah drama deh… Udah cukup bini gue bikin drama ga penting di rumah. Jangan bikin gue juga males ngantor gara-gara lu sok drama gitu di kantor.”
“Fan… Gue ga mau ikut campur urusan rumah tangga lu.”
“Siapa yang mau ngajak lu ikut campur urusan rumah tangga gue? Gue juga ga mau ada yang ikut campur.”
“Tolong lah jelasin sama bini lu kalau lu sama gue emang ga ada apa-apanya…”
“Gampang.” kata dia sambil nyalain motor dia.
“Jangan gampang-gampang aja, Fan. Beneran ga?”
Kali ini dia nengok ke arah gue. “Mi… Bisa ga lu jadi Emi yang asik dulu? Emi yang asik kayak biasanya. Bisa ga lu hibur gue yang lagi rusak banget mood-nya ini? Biar gue juga bisa jadi Ifan yang asik kayak biasanya? Anggep aja masalah tadi ga pernah ada…”
“Tapi Fan—”
“Gue janji kok, Mi… Gue bakalan nyelesein masalah gue tanpa bawa-bawa nama lu lagi. Tapi gue lagi butuh dihibur, bukan didramain lagi. Please ya, Mi…”
Gue paham sih… Ifan lagi ngerasain apa yang lagi gue rasain. Serupa, walaupun permasalah kami ga sama. Tapi kami emang lagi sama-sama LAGI cape banget sama kehidupan percintaan kami yang kebanyakan drama ini. Bedanya, Ifan itu TERLALU JUJUR sama istrinya dan Bang Firzy SUSAH JUJUR sama (calon) istrinya.
Gue pake helm yang Ifan selalu bawa buat gue. Helm istrinya sih lebih pastinya. “Iya, Fan…”
“Lu bisa kok selalu jadi Emi yang be there buat Bimo dan jadi Emi yang selalu asik buat mereka yang curhat sama lu. Anggep aja gue mereka, bukan suami orang. Biar lu bisa jadi support system gue buat saat ini. Emang sih, harusnya bini gue support system gue… Tapi buat saat ini, kayaknya lu yang terbaik buat gue, Mi. Boleh ga?”
“Mau gimanapun… Lu tetep suami orang, Fan.”
“Ya emang. Gue simpen cincin gue di rumah juga bukan karena gue mau berenti jadi suaminya dia. Gue cuma lagi cape banget sama dia, Mi. Gue lagi butuh refresh sejenak…”
Gue naik di boncengan motor dia. “Actually, gue juga lagi butuh refresh dari Firzy sih…”
“Lah lu kenapa? Bukannya lagi hepi-hepi mau ngurus kimpoian?”
“Biasa lah…” Gue lagi males ngebahas Bang Firzy.
“Tapi gue juga pas lagi mau kimpoian, sering ribut juga sih…”
“Oh iya?”
“Walaupun ternyata lebih sering ribut pas udah kimpoi. Hahaha.”
Gue ngelirik dia di spion motornya. “Akhirnya lu bisa ketawa juga pagi ini, Fan.”
“Nah kan... Gue bisa kok asik lagi, asal lu nya juga asik.”
“Yaudah yuk cabut… Katanya banyak yang mesti dicek bukan?”
“Ga juga sih… Gue cuma lagi pengen cabut berdua aja sama lu. Lagi pengen cerita sama lu. Dan gue bolehin lu loh buat cerita sama gue juga, Mi…” kata Ifan sambil ngebales tatapan gue di spion dia.
“Liat entar deh Fan, kalau gue udah mood ceritain tentang Firzy…”
“Lu pasti nanti cerita masalah lu sama Firzy… We’ll see.”
“Apaan sih lu? Ayok ah buru jalan! Nge-mie ayam samping RS yuk?”
“Boleh… Tapi jangan ajak Bimo ya kali ini, Mi. Berdua dulu aja.”
Gue senyum ke arah dia. “Yaudah ayo berdua dulu aja.”
Biasanya, gue paling anti tuh yang namanya pergi main sama anak-anak kantor sepulang kantor. Apalagi kalau mainnya di weekdays. Anti banget. Bukan sok berdedikasi tinggi sama kantor, bukan juga anti-sosialisasi sama orang kantor. Anak-anak di tim gue asik-asik kok. Tapi ya karena kalau gue baru naik kereta sekitar jam 20.00 atau bahkan 21.00, gue bisa keabisan angkutan umum! Agak ragu juga kalau gue harus naik ojek onlineatau taksi online sendirian di atas jam 23.00…
Dan gue ga mau berkegantungan sama Bang Firzy.
Gue masih belum mau minta bantuan dia setiap kali gue pulang kemaleman. Mendingan gue minta dijemput sama bokap gue. Tapi ya gue tetep ga enak kalau minta tolong bokap.
"Lu sendiri yang bikin masalah dengan main setelah jam pulang kerja sampe malem, terus pas kemaleman dan keabisan angkutan umum, lu malah minta tolong dijemput sama bokap lu yang udah ga muda lagi? Ga kasian bokap lu malem-malem kena angin malem mesti jemput lu?Lu anak ga tau diri apa nama durhaka namanya?"
Jadi, daripada gue bikin masalah dan bikin khawatir orang, mending gue menolak setiap ajakan mereka.
Tapi hari itu, gue gagal nolak. Gue ikut temen-temen tim gue (Bimo, Ninda, Rina, Fadil, dan Ifan) karokean buat ngerayain superlate-birthday-party-nya Bimo. Maklum, saat itu bonus baru aja turun juga. Hahaha. Tapi penyebab utama gagal nolak gue adalah Ifan.
“Gue mau ikut, kalau Emi ikut.” kata dia di depan anak-anak. Gue juga kaget sih sama pernyataan dia itu. Gue khawatir anak-anak multitafsir sama pernyataan Ifan itu. Lagian apa hubungannya coba? Emang Ifan mau nganterin gue ke rumah? Rumah dia dimana, rumah gue dimana. Lagian Ifan punya bini lagi bunting sih.
Dan pas Bimo nanyain hal yang sama kayak yang gue bilang tadi, Ifan jawab “Bini gue percayanya sama Emi. Jadi bini gue bisa nanya-nanya Emi buat bukti kalau gue ga pergi ga jelas. Gue pergi bareng tim, yang ada Eminya juga.”
Ini t*i banget sih. Mana ada bininya percaya sama gue? Yang ada malah bininya itu cemburu sama gue! Buset dah! Dia bener-bener bikin perkara.
And here we are… Ada di tempat karaoke yang (masih) ga jauh dari kantor kami. Jadi SAMA SEKALI ga memudahkan gue buat pulang lebih cepet. Hahaha. Soalnya tempat karaoke yang lagi promo cuma di sini. Hahaha.
“Bim, kalau gue ga cinta sama lu mah, ga akan gue ngikut.” Kata gue ke Bimo yang lagi milih-milih lagu.
“Lu cinta sama gue? Lu kan cintanya sama Ifan sekarang, bukan sama gue. Lu kan ga akan pergi kalau Ifan ga pergi. Ifannya juga gitu. Cutau aja lah! Gue udah tergantikan!” jawab Bimo sama sekali ga nengok ke arah gue.
“Dih Bimo maraaah… Sini sayangku cintaku kasihku idamanku pangeranku cemcemanku!” Gue duduk di samping Bimo sambil peluk manja sama dia. “Aku mana pernah cinta sama yang lain? Aku mah cinta sama Firzy seorang, terus kalau lagi ga ada Firzy ya bolehlah kamu…”
“TETEP AJA BUKAN CINTA SAMA GUE! JAUH-JAUH LU! HAROM!”
“Mau aku peluk-peluk Ifan aja?”
“Mau lu dipeluk sama macan arab-nya Ifan?” celetuk Rina.
“Hah? Macan arab? Maksudnya? Emang bini lu orang Arab, Fan?” tanya gue bingung.
“Au nih si Rina… Kenape lu manggil bini gue macan arab?”
“Ga tau… Enak aje ngomongnye, macan arab… Ediyaaan.”
“Rawrrrr dong~” Ninda peragain ala macan gitu ke Fadil, suaminya sendiri.
“Heh! Udeh! Jangan bikin kelakukan tidak senonoh di sini. Ada anak di bawah umur nih…” kata Rina sambil nunjuk ke arah gue.
“Siape lu kata anak di bawah umur? Emi???” Bimo keliatan ga terima. “Buset! Dia itu miminnya situs b*kep! Bisa-bisanya lu kata doi di bawah umur! Tanya Emi soal fake t*xi! Kalau dia ga ngakak!”
“Hah? Fake t*xi apaan, Mi? Penipuan taksi online?” tanya Ninda dengan polosnya.
“Tau Mi, apaan sih?” Fadil ikut nyautin.
“Lu seriusan Dil ga tau fake t*xi?” tanya gue ke Fadil. “Mau gue kirimin koleksi gue terus lu peragain ga sama bini lu?”
“EMILYA!” teriak Ifan, Rina, dan Bimo berbarengan.
“Kalem kenapa sih? Becanda doang gue buset!” Gue nurunin sedikit kacamata gue. “Feel free buat japri gue kalau emang penasaran, Dil.” Bisik gue rada kenceng, biar si Ninda ikut penasaran. Hahaha.
“Yuk kita mulai aje! Alamat Palsu!” ajak Bimo sambil ambil mic.
“Fan… Kenapa?” Gue susulin Ifan yang duduk di semacam ruang tunggu di ujung lorong. Entah buat apa ruang tunggu ini dibuat. Mungkin buat mereka yang sekedar angkat telepon kali. Ada 1 sofa melingkar, 1 meja, dan 1 buah asbak.
“Gapapa…” Dia simpen handphonedia. “Biasa, bini gue…”
“Eh iya…” Gue keluarin handphone gue. “Gue juga belum ngabarin bokap gue kalau gue pulang malem.” Tapi… Pas gue liat handphone gue… “Hmm. Fan… Ini bini lu kan?”
“Fan? Lu bilang ke bini lu kalau lu ada kerjaan di kantor?” Ifan cuma anggukin kepalanya. “Kenapa boong sih, Fan? Kenapa lu ga jujur aja sih?”
“Bingung gue! Jujur salah. Boong juga salah!”
“Loh! Lu kemaren terlampau jujur---”
“Terus sekarang gue boong salah juga, Mi? Jadinya gue mesti gimana sih elah!”
“Fan… Lu itu maunya gimana sih? Lu itu mau memperbaiki hubungan istri lu sama keluarga lu kan? Ya berarti sekarang lu mesti perbaiki hubungan lu sama istri lu dulu… Biar dia juga mau dengerin lu biar dia mau perbaiki hubungan dia sama keluarga lu…”
“Dikata… Dia hampir setiap hari itu bikin setiap obrolan jadi debat dan ujung-ujungnya jadi ribut mulu. Itu yang bikin gue ga betah mulu di rumah. Di kantor juga ga lebih baik… Cuma lu Mi yang tau cerita ini dan bisa ngertiin gue.”
Gue ga mau ini jadi berujung ga baik. Tetep ya, Ifan ini bukan jomblo kayak Bimo yang bisa gue iyain begitu aja. “Bukan karena gue, Fan… Tapi karena emang lu cuma cerita sama gue. Lu ga cerita sama yang lain lagi… Makanya lu jadi mikirnya cuma gue yang bisa ngertiin lu…” kata gue sambil nepuk pundaknya Ifan.
“Gue kayaknya belum siap jadi ayah, Mi.” gumam dia perlahan.
“Lah? Kenapa Fan? Bini lu udah bunting. Dengan lu udah berani nikahin dia dan well… Lu berani… Hmm. Gimana ya enaknya gue ngomong… Hmm. Lu berani… Sori ya, Fan. Cr*t di dalem dimana itu berpotensi menghasilkan calon manusia ke dunia, harusnya lu udah tau resiko yang bakalan lu tanggung ke depannya. Kan nikah itu bukan masalah pacaran halal dan hidup milik berdua sama istri doang., tapi nikah juga tentang menikahi keluarga pasangan lu, plus minusnya pasangan lu, ngidupin pasangan lu plus keturunan lu, dan segala tetek bengek pernikahan lainnya. Jadi, harusnya lu udah siap dengan konsekuensi ini… Lu harusnya udah nyiapin mental lu buat jadi calon ayah, jauh sebelum lu mutusin buat cr*t di dalem, Fan.”
“Gue bingung, Mi. Mau ketawa, tapi yang lu omongin bener. Cuma perkara kalimat cr*t di dalem itu, bikin gue ngakak asli! Hahaha.”
“Ya kan gue udah bilang sori…”
“Iyee gapapa… Jadi lebih bisa dipahami juga.” Ifan mulai senyum. “Gue aja yang ga becus jadi suami…”
“Abis nikah, lu udah pernah sharingsama siapa aja tentang ‘being a husband’ atau ‘being a soon-to-be dad’?”
“Emang harus sharing kayak begitu ya?” tanya Ifan bingung.
“Jadi lu ga pernah sharing apapun sama siapapun?”
“Ngapain gue sharing kayak begituan ke orang lain atau sosmed? Ngumbar-ngumbar aib namanya, Mi.”
“Fan… Sharing yang di sini maksudnya berbagi alias cerita pengalaman. Kalau lu emang belum punya pengalaman, ya lu tanya pengalaman orang. Kalau lu sungkan nanya pengalaman orang, ya lu tanya keluarga lu sendiri. KALAU TERNYATA, lu lebih sungkan lagi tanya sama keluarga lu, di luar sana ada buanyaaak banget buku, situs, atau akun parenting yang SHARING tentang pengalaman orang. Bahkan mungkin juga ada psikolog online yang bisa lu tanya-tanyain…”
“Pernikahan gue kan ga ancur, Mi. Gue doang yang ngerasa belum siap. Lagian kan gue ga gila juga, ngapain ke psikolog sih?”
"Emang kalau lu gila, elu ke psikolog? Kalau lu udah gila mah ya ke Dokter Jiwa, bukan psikolog doang. Ngaco lu jadi orang... Terus apa usaha lu biar lu siap nantinya? Mau kapan lu siap? Kalau lu sendiri aja belum atau mungkin ga mau belajar apapun?” Gue tarik napas dalem-dalem. “Fan, di depan sana… Di masa depan nanti. Masalah lu di pernikahan ga cuma urusan bini-yang-lagi-ngambek doang loh. Ada masalah finansial masa kini, finansial masa depan, kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pendidikan anak, peningkatan karir lu, keputusan bini lu berkarir atau di rumah dulu, hubungan sama keluarga lu dan besan, dan masih banyaaaak lagi yang harus lu diskusiin, pelajarin, dan bikin keputusannya. Kalau lu nunggu siap jadi ayah, mau kapan lu siap jadi ayah-dua-anak atau ayah-dengan-anak-satu-dan-seorang-ibu-rumah-tangga, atau malah ayah-dengan-anak-satu-dan-seorang-ibu-wanita-karir?"
"........." Dia diem ga berkutik.
"Gimana caranya lu bikin keputusan nanti kalau lu ga liat dari pengalaman orang? Gimana caranya kalau lu ga belajar bikin keputusan sendiri? Ga ada teorinya soalnya buat urusan pernikahan begini dan gue yakin banget… Pernikahan lu dan pernikahan adik lu di masa depan nanti juga bakalan beda pengalamannya. Walaupun kalian sedarah…”
Awalnya Ifan diem aja, sampe akhirnya dia menggenggam tangan gue dan bilang “Mi… Lu bisa ngomong begitu sendiri, terus lu ga ngaca sama hubungan lu sendiri? Kalau ada yang lebih baik, kenapa lu harus jadi istrinya Firzy padahal lu selalu disakitin sama dia sih? Lu emang yakin dia bisa berubah?”
"Lagi ngebahas lu, kenapa jadinya ngebahas perkara gue sama Firzy sih, Fan?"
“Lah gue juga ga ngerti, Mi! Gue ga pernah bawa-bawa lu kok.”
“Kalau lu ga pernah bawa-bawa nama gue, bini lu ga bakalan bilang ‘LEBIH MILIH EMI DARIPADA AKU’!”
“Hmm. Gue cuma cerita tentang kerjaan gue yang PASTINYA ada lu setiap kali gue ditanya urusan kantor… Ya mau gimana? Kita emang bareng terus bukan setiap hari? Salah dimana gue?” jelas dia dengan polosnya.
“Terus lu ga bilang kalau ada Bimo, Pak Iwan, atau siapapun gitu?”
“Ngapain? Kan gue barengnya sama lu mulu… Kenapa gue bawa-bawa mereka?”
Gue kayaknya tau dimana masalahnya. “Jadi lu SELALU CERITA SAMA BINI LU, kalau lu itu di kantor ngabisin waktu sama gue terus?”
“Gue selalu jujur sama dia, Mi. Buat apa gue boongin dia? Kita itu satu grup, beda cabang aja. Kalau dia tau gue boong dengan gue bilang ‘Gue kerja sama Pak Iwan atau Bimo’, apa ga bikin perkara baru? Apa ga bikin dia mikir kalau ada yang gue tutupin dari dia, tentang kita?”
“WAIT! TO BE CLEAR,GA ADA NAMANYA ‘TENTANG KITA’ YA, FAN!”
“Ya kita kan—”
“GA ADA NAMANYA KITA!” Gue langsung motong omongan dia. Gue ga mau ada orang di kantor ini yang mikir ada sesuatu antara gue sama dia cuma karena kata ‘KITA’ barusan.
“Kenapa sih lu?” Dia keliatan bingung. Dia clueless dimana salah dia.
“Kenapa sih kalian?” tanya seseorang dari belakang gue. Bimo lebih tepatnya. “Kita kita apaan sih?”
“Gapapa… Udah lah. Yuk kita ke lapang.” Mendingan gue ngebahas curhatan Ifan ini di lapang aja sambil jalan.
“Nah kan, lu bilang KITA juga!”
“Bacot!” Gue narik tangan Ifan biar dia ga usah banyak cingcong lagi. “Buru jalan!”
Tapi… “Kalian berdua pagi bener mau kemana? Kok segala pegangan tangan begitu sih?” tanya Rina dan Ninda yang kebetulan banget baru mau masuk ke ruangan kami.
“AAARRGGGH! GA ADA APA-APA! APAAN SIH?” Gue ngelepas pegangan gue dari tangan Ifan.
“Lagian kalau ada apa-apanya, apa sih masalah lu pada?” kata Ifan yang bikin KITA SEMUA YANG ADA DI RUANGAN tercengang dan terdiam. “Ayo kerja buru. Banyak yang mesti dicek di lapang.” Kali ini dia yang genggam tangan gue sambil narik gue ke luar ruangan.
“Fan…”
“Mi, ga usah drama deh… Udah cukup bini gue bikin drama ga penting di rumah. Jangan bikin gue juga males ngantor gara-gara lu sok drama gitu di kantor.”
“Fan… Gue ga mau ikut campur urusan rumah tangga lu.”
“Siapa yang mau ngajak lu ikut campur urusan rumah tangga gue? Gue juga ga mau ada yang ikut campur.”
“Tolong lah jelasin sama bini lu kalau lu sama gue emang ga ada apa-apanya…”
“Gampang.” kata dia sambil nyalain motor dia.
“Jangan gampang-gampang aja, Fan. Beneran ga?”
Kali ini dia nengok ke arah gue. “Mi… Bisa ga lu jadi Emi yang asik dulu? Emi yang asik kayak biasanya. Bisa ga lu hibur gue yang lagi rusak banget mood-nya ini? Biar gue juga bisa jadi Ifan yang asik kayak biasanya? Anggep aja masalah tadi ga pernah ada…”
“Tapi Fan—”
“Gue janji kok, Mi… Gue bakalan nyelesein masalah gue tanpa bawa-bawa nama lu lagi. Tapi gue lagi butuh dihibur, bukan didramain lagi. Please ya, Mi…”
Gue paham sih… Ifan lagi ngerasain apa yang lagi gue rasain. Serupa, walaupun permasalah kami ga sama. Tapi kami emang lagi sama-sama LAGI cape banget sama kehidupan percintaan kami yang kebanyakan drama ini. Bedanya, Ifan itu TERLALU JUJUR sama istrinya dan Bang Firzy SUSAH JUJUR sama (calon) istrinya.
Gue pake helm yang Ifan selalu bawa buat gue. Helm istrinya sih lebih pastinya. “Iya, Fan…”
“Lu bisa kok selalu jadi Emi yang be there buat Bimo dan jadi Emi yang selalu asik buat mereka yang curhat sama lu. Anggep aja gue mereka, bukan suami orang. Biar lu bisa jadi support system gue buat saat ini. Emang sih, harusnya bini gue support system gue… Tapi buat saat ini, kayaknya lu yang terbaik buat gue, Mi. Boleh ga?”
“Mau gimanapun… Lu tetep suami orang, Fan.”
“Ya emang. Gue simpen cincin gue di rumah juga bukan karena gue mau berenti jadi suaminya dia. Gue cuma lagi cape banget sama dia, Mi. Gue lagi butuh refresh sejenak…”
Gue naik di boncengan motor dia. “Actually, gue juga lagi butuh refresh dari Firzy sih…”
“Lah lu kenapa? Bukannya lagi hepi-hepi mau ngurus kimpoian?”
“Biasa lah…” Gue lagi males ngebahas Bang Firzy.
“Tapi gue juga pas lagi mau kimpoian, sering ribut juga sih…”
“Oh iya?”
“Walaupun ternyata lebih sering ribut pas udah kimpoi. Hahaha.”
Gue ngelirik dia di spion motornya. “Akhirnya lu bisa ketawa juga pagi ini, Fan.”
“Nah kan... Gue bisa kok asik lagi, asal lu nya juga asik.”
“Yaudah yuk cabut… Katanya banyak yang mesti dicek bukan?”
“Ga juga sih… Gue cuma lagi pengen cabut berdua aja sama lu. Lagi pengen cerita sama lu. Dan gue bolehin lu loh buat cerita sama gue juga, Mi…” kata Ifan sambil ngebales tatapan gue di spion dia.
“Liat entar deh Fan, kalau gue udah mood ceritain tentang Firzy…”
“Lu pasti nanti cerita masalah lu sama Firzy… We’ll see.”
“Apaan sih lu? Ayok ah buru jalan! Nge-mie ayam samping RS yuk?”
“Boleh… Tapi jangan ajak Bimo ya kali ini, Mi. Berdua dulu aja.”
Gue senyum ke arah dia. “Yaudah ayo berdua dulu aja.”
XOXOXO
Biasanya, gue paling anti tuh yang namanya pergi main sama anak-anak kantor sepulang kantor. Apalagi kalau mainnya di weekdays. Anti banget. Bukan sok berdedikasi tinggi sama kantor, bukan juga anti-sosialisasi sama orang kantor. Anak-anak di tim gue asik-asik kok. Tapi ya karena kalau gue baru naik kereta sekitar jam 20.00 atau bahkan 21.00, gue bisa keabisan angkutan umum! Agak ragu juga kalau gue harus naik ojek onlineatau taksi online sendirian di atas jam 23.00…
Dan gue ga mau berkegantungan sama Bang Firzy.
Gue masih belum mau minta bantuan dia setiap kali gue pulang kemaleman. Mendingan gue minta dijemput sama bokap gue. Tapi ya gue tetep ga enak kalau minta tolong bokap.
"Lu sendiri yang bikin masalah dengan main setelah jam pulang kerja sampe malem, terus pas kemaleman dan keabisan angkutan umum, lu malah minta tolong dijemput sama bokap lu yang udah ga muda lagi? Ga kasian bokap lu malem-malem kena angin malem mesti jemput lu?Lu anak ga tau diri apa nama durhaka namanya?"
Jadi, daripada gue bikin masalah dan bikin khawatir orang, mending gue menolak setiap ajakan mereka.
Tapi hari itu, gue gagal nolak. Gue ikut temen-temen tim gue (Bimo, Ninda, Rina, Fadil, dan Ifan) karokean buat ngerayain superlate-birthday-party-nya Bimo. Maklum, saat itu bonus baru aja turun juga. Hahaha. Tapi penyebab utama gagal nolak gue adalah Ifan.
“Gue mau ikut, kalau Emi ikut.” kata dia di depan anak-anak. Gue juga kaget sih sama pernyataan dia itu. Gue khawatir anak-anak multitafsir sama pernyataan Ifan itu. Lagian apa hubungannya coba? Emang Ifan mau nganterin gue ke rumah? Rumah dia dimana, rumah gue dimana. Lagian Ifan punya bini lagi bunting sih.
Dan pas Bimo nanyain hal yang sama kayak yang gue bilang tadi, Ifan jawab “Bini gue percayanya sama Emi. Jadi bini gue bisa nanya-nanya Emi buat bukti kalau gue ga pergi ga jelas. Gue pergi bareng tim, yang ada Eminya juga.”
Ini t*i banget sih. Mana ada bininya percaya sama gue? Yang ada malah bininya itu cemburu sama gue! Buset dah! Dia bener-bener bikin perkara.
And here we are… Ada di tempat karaoke yang (masih) ga jauh dari kantor kami. Jadi SAMA SEKALI ga memudahkan gue buat pulang lebih cepet. Hahaha. Soalnya tempat karaoke yang lagi promo cuma di sini. Hahaha.
“Bim, kalau gue ga cinta sama lu mah, ga akan gue ngikut.” Kata gue ke Bimo yang lagi milih-milih lagu.
“Lu cinta sama gue? Lu kan cintanya sama Ifan sekarang, bukan sama gue. Lu kan ga akan pergi kalau Ifan ga pergi. Ifannya juga gitu. Cutau aja lah! Gue udah tergantikan!” jawab Bimo sama sekali ga nengok ke arah gue.
“Dih Bimo maraaah… Sini sayangku cintaku kasihku idamanku pangeranku cemcemanku!” Gue duduk di samping Bimo sambil peluk manja sama dia. “Aku mana pernah cinta sama yang lain? Aku mah cinta sama Firzy seorang, terus kalau lagi ga ada Firzy ya bolehlah kamu…”
“TETEP AJA BUKAN CINTA SAMA GUE! JAUH-JAUH LU! HAROM!”
“Mau aku peluk-peluk Ifan aja?”
“Mau lu dipeluk sama macan arab-nya Ifan?” celetuk Rina.
“Hah? Macan arab? Maksudnya? Emang bini lu orang Arab, Fan?” tanya gue bingung.
“Au nih si Rina… Kenape lu manggil bini gue macan arab?”
“Ga tau… Enak aje ngomongnye, macan arab… Ediyaaan.”
“Rawrrrr dong~” Ninda peragain ala macan gitu ke Fadil, suaminya sendiri.
“Heh! Udeh! Jangan bikin kelakukan tidak senonoh di sini. Ada anak di bawah umur nih…” kata Rina sambil nunjuk ke arah gue.
“Siape lu kata anak di bawah umur? Emi???” Bimo keliatan ga terima. “Buset! Dia itu miminnya situs b*kep! Bisa-bisanya lu kata doi di bawah umur! Tanya Emi soal fake t*xi! Kalau dia ga ngakak!”
“Hah? Fake t*xi apaan, Mi? Penipuan taksi online?” tanya Ninda dengan polosnya.
“Tau Mi, apaan sih?” Fadil ikut nyautin.
“Lu seriusan Dil ga tau fake t*xi?” tanya gue ke Fadil. “Mau gue kirimin koleksi gue terus lu peragain ga sama bini lu?”
“EMILYA!” teriak Ifan, Rina, dan Bimo berbarengan.
“Kalem kenapa sih? Becanda doang gue buset!” Gue nurunin sedikit kacamata gue. “Feel free buat japri gue kalau emang penasaran, Dil.” Bisik gue rada kenceng, biar si Ninda ikut penasaran. Hahaha.
“Yuk kita mulai aje! Alamat Palsu!” ajak Bimo sambil ambil mic.
XOXOXO
“Fan… Kenapa?” Gue susulin Ifan yang duduk di semacam ruang tunggu di ujung lorong. Entah buat apa ruang tunggu ini dibuat. Mungkin buat mereka yang sekedar angkat telepon kali. Ada 1 sofa melingkar, 1 meja, dan 1 buah asbak.
“Gapapa…” Dia simpen handphonedia. “Biasa, bini gue…”
“Eh iya…” Gue keluarin handphone gue. “Gue juga belum ngabarin bokap gue kalau gue pulang malem.” Tapi… Pas gue liat handphone gue… “Hmm. Fan… Ini bini lu kan?”
Quote:
“Fan? Lu bilang ke bini lu kalau lu ada kerjaan di kantor?” Ifan cuma anggukin kepalanya. “Kenapa boong sih, Fan? Kenapa lu ga jujur aja sih?”
“Bingung gue! Jujur salah. Boong juga salah!”
“Loh! Lu kemaren terlampau jujur---”
“Terus sekarang gue boong salah juga, Mi? Jadinya gue mesti gimana sih elah!”
“Fan… Lu itu maunya gimana sih? Lu itu mau memperbaiki hubungan istri lu sama keluarga lu kan? Ya berarti sekarang lu mesti perbaiki hubungan lu sama istri lu dulu… Biar dia juga mau dengerin lu biar dia mau perbaiki hubungan dia sama keluarga lu…”
“Dikata… Dia hampir setiap hari itu bikin setiap obrolan jadi debat dan ujung-ujungnya jadi ribut mulu. Itu yang bikin gue ga betah mulu di rumah. Di kantor juga ga lebih baik… Cuma lu Mi yang tau cerita ini dan bisa ngertiin gue.”
Gue ga mau ini jadi berujung ga baik. Tetep ya, Ifan ini bukan jomblo kayak Bimo yang bisa gue iyain begitu aja. “Bukan karena gue, Fan… Tapi karena emang lu cuma cerita sama gue. Lu ga cerita sama yang lain lagi… Makanya lu jadi mikirnya cuma gue yang bisa ngertiin lu…” kata gue sambil nepuk pundaknya Ifan.
“Gue kayaknya belum siap jadi ayah, Mi.” gumam dia perlahan.
“Lah? Kenapa Fan? Bini lu udah bunting. Dengan lu udah berani nikahin dia dan well… Lu berani… Hmm. Gimana ya enaknya gue ngomong… Hmm. Lu berani… Sori ya, Fan. Cr*t di dalem dimana itu berpotensi menghasilkan calon manusia ke dunia, harusnya lu udah tau resiko yang bakalan lu tanggung ke depannya. Kan nikah itu bukan masalah pacaran halal dan hidup milik berdua sama istri doang., tapi nikah juga tentang menikahi keluarga pasangan lu, plus minusnya pasangan lu, ngidupin pasangan lu plus keturunan lu, dan segala tetek bengek pernikahan lainnya. Jadi, harusnya lu udah siap dengan konsekuensi ini… Lu harusnya udah nyiapin mental lu buat jadi calon ayah, jauh sebelum lu mutusin buat cr*t di dalem, Fan.”
“Gue bingung, Mi. Mau ketawa, tapi yang lu omongin bener. Cuma perkara kalimat cr*t di dalem itu, bikin gue ngakak asli! Hahaha.”
“Ya kan gue udah bilang sori…”
“Iyee gapapa… Jadi lebih bisa dipahami juga.” Ifan mulai senyum. “Gue aja yang ga becus jadi suami…”
“Abis nikah, lu udah pernah sharingsama siapa aja tentang ‘being a husband’ atau ‘being a soon-to-be dad’?”
“Emang harus sharing kayak begitu ya?” tanya Ifan bingung.
“Jadi lu ga pernah sharing apapun sama siapapun?”
“Ngapain gue sharing kayak begituan ke orang lain atau sosmed? Ngumbar-ngumbar aib namanya, Mi.”
“Fan… Sharing yang di sini maksudnya berbagi alias cerita pengalaman. Kalau lu emang belum punya pengalaman, ya lu tanya pengalaman orang. Kalau lu sungkan nanya pengalaman orang, ya lu tanya keluarga lu sendiri. KALAU TERNYATA, lu lebih sungkan lagi tanya sama keluarga lu, di luar sana ada buanyaaak banget buku, situs, atau akun parenting yang SHARING tentang pengalaman orang. Bahkan mungkin juga ada psikolog online yang bisa lu tanya-tanyain…”
“Pernikahan gue kan ga ancur, Mi. Gue doang yang ngerasa belum siap. Lagian kan gue ga gila juga, ngapain ke psikolog sih?”
"Emang kalau lu gila, elu ke psikolog? Kalau lu udah gila mah ya ke Dokter Jiwa, bukan psikolog doang. Ngaco lu jadi orang... Terus apa usaha lu biar lu siap nantinya? Mau kapan lu siap? Kalau lu sendiri aja belum atau mungkin ga mau belajar apapun?” Gue tarik napas dalem-dalem. “Fan, di depan sana… Di masa depan nanti. Masalah lu di pernikahan ga cuma urusan bini-yang-lagi-ngambek doang loh. Ada masalah finansial masa kini, finansial masa depan, kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pendidikan anak, peningkatan karir lu, keputusan bini lu berkarir atau di rumah dulu, hubungan sama keluarga lu dan besan, dan masih banyaaaak lagi yang harus lu diskusiin, pelajarin, dan bikin keputusannya. Kalau lu nunggu siap jadi ayah, mau kapan lu siap jadi ayah-dua-anak atau ayah-dengan-anak-satu-dan-seorang-ibu-rumah-tangga, atau malah ayah-dengan-anak-satu-dan-seorang-ibu-wanita-karir?"
"........." Dia diem ga berkutik.
"Gimana caranya lu bikin keputusan nanti kalau lu ga liat dari pengalaman orang? Gimana caranya kalau lu ga belajar bikin keputusan sendiri? Ga ada teorinya soalnya buat urusan pernikahan begini dan gue yakin banget… Pernikahan lu dan pernikahan adik lu di masa depan nanti juga bakalan beda pengalamannya. Walaupun kalian sedarah…”
Awalnya Ifan diem aja, sampe akhirnya dia menggenggam tangan gue dan bilang “Mi… Lu bisa ngomong begitu sendiri, terus lu ga ngaca sama hubungan lu sendiri? Kalau ada yang lebih baik, kenapa lu harus jadi istrinya Firzy padahal lu selalu disakitin sama dia sih? Lu emang yakin dia bisa berubah?”
"Lagi ngebahas lu, kenapa jadinya ngebahas perkara gue sama Firzy sih, Fan?"
caporangtua259 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup