Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#345
Maju Mundur Resepsi_Part 6
Hari-hari berikutnya adalah hari ketidaktenangan gue dalam bekerja di kantor. Apa pasalnya? Ana, yang gue pikir sudah tidak ada urusan lagi dengan gue, malah bersikap kebalikannya. Dia selalu saja merongrong gue dengan beragam pertanyaan (yang sama sekali tidak ada urusannya dengan pekerjaan di kantor kami) dan sebenarnya tidak perlu gue jawab. Karena memang tidak ada kewajiban juga untuk menjawabnya.

Sudah jelas terlihat, Ana termakan api cemburu.

Beberapa hari yang lalu ketika gue bertemu dengan Diani, entah bagaimana ceritanya, ternyata Ana ada di mall yang sama dengan kami. Hebatnya dia, dari begitu banyak mall di Selatan Ibukota, kami bisa berada di mall yang sama pada waktu yang sama dan bisa saling menemukan satu sama lain tanpa janjian. Kebetulan? I don’t think so. Jodoh? It’s too much to think about that.

Dia (yang saat itu sudah mendengar desas desus mengenai pernikahan gue) pun berasumsi kalo Diani adalah calon istri gue. Bahkan dia mengakui kalo Diani cukup cantik. Well, couldn’t agree more. Diani memang cukup cantik. Gue tidak mempermasalahkan ini. Permasalahan di sini bukan karena gue ingin semua orang jadi menganggap Diani adalah calon istri gue, karena Diani cukup cantik. Tetapi… kalo sampai semua orang sampai benar-benar berpikir demikian karena gosip yang mereka terima dari Ana, itu akan menjadi sebuah masalah.

Mengapa?

The hell. DIANI INI ISTRI ORANG, DUDE! Dia istrinya teman dekat gue di kampus dulu! Siapa tau kalo di kantor atau network kami ternyata menemukan fakta kalo Diani sudah menikah dengan Dani dan tiba-tiba ada gosip kalo gue akan menikahi Diani? Apa namanya gue kalo bukan pebinor. Karena entah kenapa gue yakin, Diani bisa saja memilih untuk menikah dengan gue jika gosip itu gue aminkan.

Kembali pada Ana.

Sifat Ana yang lebih berani dan agresif tersebut, membuat sebagian besar waktu gue di kantor menjadi banyak dihiasi oleh drama-drama tidak penting yang dibuat oleh dia. Salah satu contohnya adalah ketika gue akan berangkat meetingkemarin siang. Dia banyak sekali mengajukan pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu di jawab. Pertanyaan itu seperti gue akan meeting kemana, bertemu dengan siapa saja, kapan sekiranya meeting itu selesai, dan apakah gue nanti akan kembali lagi ke kantor. Buat ukuran rekan kerja di kantor, semua pertanyaan itu sangat tidak perlu gue jawab.

Lagipula gue sudah menginformasikan pada Hapsari untuk setiap urusan gue di luar kantor pada jam kerja. Untuk urusan kembali ke kantor, itu urusan gue sendiri. Kantor gue memiliki kebijakan, jika urusan di kantor sudah selesai (baik ke lapang maupun meeting), tidak diharuskan untuk kembali ke kantor jika sudah lewat jam 15.00. Kembali lagi, ini urusan gue sendiri. Dia tidak punya hak untuk mengontrol presensi gue di kantor. Dia bukan Om-nya yang memang atasan gue dan secara profesional pun dia bawahan gue alias dia satu tim dengan gue.

Itu satu dari sekian drama di kantor. Belum termasuk dia yang berulang kali masuk tanpa ijin ke ruangan gue atau dia yang memaksa gue untuk makan siang berduaan di ruangan gue. Lama-lama gue juga muak banget sama kelakuannya ini. Gue yang jadi tidak enak dengan orang di kantor. Mungkin gosip mengenai gue yang akan segera menikah ini sudah didengar dengan mereka. Tapi kalo melihat sikap Ana ini, apa tidak membuat mereka berpikir negatif pada gue? Ana ini tidak ubahnya seperti anak kecil yang gagal dibelikan mainan oleh orang tuanya, lalu kemudian membuat perkara atau masalah dengan tujuan untuk cari perhatian.

“Mas, aku capek kalau gini terus…” ucapnya ketika mendadak dia masuk ke ruangan gue suatu siang.

“Apaan sih, Na? Gue baru balik survey loh. Gue capek banget seharian di luar. Terus sekarang lo main nyelonong aja masuk ruangan gue terus bilang capek? Gue yang survey, kok lo yang malah bilang capek duluan?” kata gue dengan nada malas.

Berangkat ke lapang dan meeting apapun gue lakukan. Gue jadi mengejar semua pekerjaan tambahan. Memang masing-masing orang sudah mendapatkan porsinya masing-masing di kantor. Tetapi ketika ada pekerjaan yang masih kosong, gue segera menawarkan diri untuk mengerjakannya. Demi apa? Ya demi mendapatkan tambahan uang. Gue sangat khawatir karena gue sama sekali belum mendapatkan informasi dari bank dimana gue mengajukan refinancing mobil gue.

“Ya abis kamu kok makin dingin sama aku. Makin nggak jelas sikapnya sama aku. Terus makin kesini, kamu malah makin jauhin aku. Kenapa sih, Mas? Mungkin karena aku udah tau kali ya, calonnya Mas yang mana. Terus karena calonnya Mas lebih cantik dan dewasa daripada aku, makanya Mas nggak mau lagi deket sama aku? Iya?” Dia duduk di hadapan gue.

Saat gue pikir dia sudah selesai, gue salah besar. Dia melanjutkan kembali omongan dia. “Kalo dari tampangnya sih, dia keliatan pinter banget. Udah sempurna banget. Pantesan ditutupin terus sama Mas. Pasti susah banget ngejagainnya. Makanya Mas diam aja. Nggak mau ketauan sama orang-orang. Untung aku yang mergokin Mas lagi jalan sama dia. Kapan nikahnya, Mas?” Tolong baca semua pertanyaan di atas ala Bu Tejo di film Tilik. Biar berasa gimana resenya ditanyain begini dengan nada seperti itu.

“Lo ini apa-apaan sih, Na?” Dia berhasil mendapatkan perhatian gue. “Kalopun iya gue mau nikah, terus kenapa? Apa urusan lo? Lo mau jadi pelakor emang? Lagian kan gue udah bilang, hubungan kita itu cuma rekan kerja di kantor, nggak lebih. Dari awal kan gue juga udah bilang, kalau lo mau godain gue kayak apapun, gue nggak mau.”

“………” dia hanya tertunduk, dan mungkin mau nangis kali.

“Gue juga nggak pernah ngasih harapan apapun sama lo, Na. Kenapa lo jadi kayak gini sih? Seolah-olah sudah memiliki gue seutuhnya? Nggak gitu, Na. Itu sama aja lo nyakitin diri sendiri. Lagian kan gue udah bilang, lo harus coba sama yang lain.”

“Dari semua orang yang lo kenal di kantor ini, kenapa harus gue? Gue masih nggak dapet logikanya pas lo udah tau kalo gue bakalan nikah, eh lo masih aja keukeuh ngejar gue. Padahal gue sama sekali nggak mengiyakan keinginan lo ketika lo nembak gue waktu itu loh, Na.”

“Tapi aku sayangnya sama Mas. Perasaan orang kan juga nggak bisa di bohongin, Mas. Aku nggak mau sama yang lain lagi.”

“Iya ngerti. Disitu lo harus meredam ego lo. Gue punya ego yang gede, Na. Tapi gue tau gue salah, makanya selalu berusaha perbaiki keputusan dan kesalahan gue, walaupun berat dan kadang kesalahannya masih berulang. Nah, kalo lo nggak mau berusaha introspeksi sama perasaan lo sendiri, gimana lo mau let it go?” Gampang sekali menasehati orang ternyata.

“Emang segampang itu?”

“Kan gue bilang nggak gampang, Na.”

“Mas malu berdampingan sama aku? Aku emang harus bener-bener memantaskan diri aku. Harusnya aku sadar dari dulu! Harusnya aku langsung ubah mindset kampungan aku biar aku lebih gaul dan bisa lebih pantas buat mendampingi cowok kayak Mas Ija!”

“Hadeeeh. Kenapa jadi balik lagi ke omongan yang dulu sih? Udah, Na. Cukup ya. Gue tegasin sekali lagi, hubungan kita itu sebatas rekan kerja profesional.” Gue merapihkan meja kerja gue. Memang lebih baik gue lanjut kerja dari rumah saja daripada harus menghadapi orang kayak dia.

“Tuh kan… Pasti gara-gara—” Ucapnya lirik dan air mata langsung menetes di pipinya yang putih.

Gue segera memotong omongan dia. “Dari awal gue nggak pernah bilang gue jomblo loh! Gue nggak pernah juga memberikan harapan sama siapapun di kantor ini, termasuk lo. Tapi apa? Lo kan selalu agresif dan nggak takut-takut kalau berinteraksi dengan gue. Apalagi banyak aksi lo yang berani kayak ganti baju di ruangan ini demi mendapatkan perhatian gue. Nggak akan bisa kayak gitu, Na. Perasaan nggak bisa dipaksain. Gue nggak ada perasaan apapun. Kalaupun gue mau Na, gue cuma mau fisik lo aja, bukan hati lo. Karena hati gue udah ada yang miliki, Na. Kalau kejadiannya kayak gitu, ujung-ujungnya apa? Lo pasti sakit hati banget. Dan efeknya apa? Pekerjaan di kantor ini nggak akan bisa profesional selamanya. Lo ngerti kan sampai disini?”

Ana hanya mengangguk sambil menyeka air matanya.

“Okelah, kayaknya ini saatnya untuk bilang ke lo ya. Sebenernya nggak ada kewajiban gue juga untuk bilang ke lo. Tapi biar lo tenang dan nggak baper lagi, oke deh gue ngomong.”

“………” Ana terlihat kaget dengan mendongakkan kepalanya secara tiba-tiba.

“Gue memang mau menikah. Gue bilang Hapsari untuk bantuin gue mengurus rencana refinancing mobil gue, untuk tambahan biaya menikah gue. Sebelumnya, gue juga pacaran hampir 4 tahun sama calon gue ini. Dan yang lo liat tempo hari di mall itu, itu bukan pacar gue. Dia temen lama gue. Temen waktu jaman kuliah. Jadi sekarang udah ya, lo udah tau semuanya kan? Mudah-mudahan lo lebih tenang, Na. let it go.”

“Sakit banget dengernya, Mas.”

“Ya pasti. Karena lo udah penuh asumsi duluan. Coba kalo lo nggak agresif dan nggak asumsi sendiri, akhirnya nggak akan kayak gini, Na.” Gue sudah siap untuk pergi dari ruangan gue ini. Banyak urusan yang lebih penting daripada ngurusin cewek baperan begini.

“Mungkin akunya aja emang yang kepedean bisa dapetin Mas. Soalnya selama ini aku kalo ada urusan sama cowok, nggak pernah nggak aku dapetin mas. Pasti aku dapetin.”

“Ya, kalo kayak gitu ceritanya sih lain urusan, Na. Sekarang urusan selalu bisa dapetin cowok kan beda dari urusan maksain perasaan. Ketertarikan fisik doang nggak cukup, Na. Setidaknya bagi gue, urusan perasaan itu bakal lebih baik kalo disampaikannya baik-baik, nggak maksa apalagi sampe agresif. Kadang ada memang cowok yang seneng kalo ceweknya agresif dan lama-lama jadi suka karena itu. Tapi kalo gue, makin ceweknya agresif, guenya makin menghilang, Na.”

“Aku nggak tau kalo Mas kayak gitu. Tau gitu dari awal aku kalem-kalem aja. Pelan-pelan--”

“Kayaknya nggak bakal kena juga sih, Na. Karena memang dari awal gue mau bersikap profesional aja sama semua orang di sini, baik itu cowok maupun cewek. Terlepas dari urusan gue udah punya calon istri atau belum, gue akan tetap bersikap kayak gitu sih.”

“Berarti emang nggak akan ada peluang ya? Kalo seandainya aku resign, tapi aku mau tetep deketin Mas, gimana? Kan udah beda kantor tuh?”

“Lo ngerti ga sih? Sekarang status gue UDAH MAU NIKAH, Na! Ya nggak akan bisa lah!” tegas gue.

Ana hanya mengangguk saja. Sepertinya dia mulai belajar menerima fakta-fakta ini.

“Jadi clear ya, Na? Udah ya. Gue nggak mau ngasih apapun lagi. Apalagi harapan. Karena dari awal memang gue nggak ngasih harapan apapun sama lo. Belajar menerima keadaan kayak gini, Na. Gue juga kalo nerima fakta yang nggak sesuai mau gue, memang berat. Tapi bisa kok.” Kata gue sembari menepuk bahu kanan Ana, dan kemudian tangan gue dipegang oleh Ana.

Sejurus kemudian, Ana tiba-tiba memeluk gue. Dia menangis sejadi-jadinya di dada gue. Tidak terdengar keluar karena suaranya teredam di dada gue. Gue mau sekali membalas pelukannya, tapi lebih baik tidak, daripada nanti ada perkara lain lagi. Takutnya ini juga merupakan trik Ana untuk memancing simpati gue, dan merubah pikiran gue.

---

(DIANI CHAT)
Quote:


“Dia ngerti nggak sih kalo dia itu udah jadi istri orang? Istri teman deket gue di kampus dulu? Dia nggak mikir ya kalo kita ketauan diam-diam jalan di belakang bisa jadi masalah kedepannya?” kata gue di dalam hati. Gue kembali tidak menggubris chat dia.

Iya, dia sudah berulang kali chat gue semenjak pertemuan kali beberapa waktu lalu. Dia terus berusaha menghubungi gue. Kalo sedang jam kerja, dia akan berusaha menghubungi gue dengan menjadikan pekerjaan dia sebagai alasan.

Memang benar, pekerjaan kami ada di ruang lingkup yang sama. Walaupun beda bidang. Gue sebagai konsultan yang mendapatkan pekerjaan dari bank, sedangkan dia sebagai pihak bank yang membutuhkan jasa konsultan untuk memvalidasi pekerjaan mereka. Mutualisme sih. Tapi masa iya, dia yang sudah belasan tahun bekerja di dunia perbankan masih juga membutuhkan bantuan gue untuk menyelesaikan pekerjaan dia? Atau ini hanya excusesaja agar dia bisa terus keep in touch dengan gue?

Awalnya dia mulai menghubungi gue karena dia mendengar desas desus dari para alumni (yang gue kurang tahu juga bagaimana bisa ini terjadi) kalo gue membutuhkan anak jurusan gue yang pekerjaannya berhubungan dengan refinancing atau semacamnya. Ada beberapa nama yang sudah gue hubungi dan berujung memang gue berusaha sendiri pada proses refinancing tersebut.

Kemudian, muncullah dia memberikan beberapa suggestion versi dia sebagai pihak bank, yang pada saat itu sama sekali tidak membantu karena proses refinancing gue sudah berjalan. Tetapi karena istilahnya ‘sudah terlanjur membuka bahasan’, kami berujung banyak diskusi mengenai pekerjaan. She knows that I really love teaching. Gue sangat suka membagi ilmu dan pengetahuan kepada orang lain, walaupun memang gue masih jauh dari pintar (kalo dilihat dari nilai IPK ketika di kampus dulu).

Namun, memang kepintaran orang hanya bisa dinilai dari IPK saja?

Dia akhirnya terus menghubungi gue, mostly pada saat jam kerja, untuk mengajak gue diskusi mengenai pekerjaan. Telepon, chatting, dan video call hampir kami lakukan setiap hari di sela kesibukan gue antara mengerjakan pekerjaan gue di balik laptop, ke lapang, ataupun meeting. Dan di antara rutinitas kami selama beberapa hari tersebut, dia selipkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, seperti :

Kamu udah makan apa belum?

Kamu sekarang lagi dimana?

Kamu udah sholat?

Ati-ati di jalan ya.

Mau pulang bareng nggak kalo suami aku nggak ngajak bareng?

Jujur, pertanyaan terakhir menjadi paling horor setiap harinya.

Yap. Obrolan kami yang sedari dulu menggunakan ‘lo-gue’ kini berubah menjadi ‘aku-kamu’. Mungkin bagi gue, Emi, dan beberapa golongan orang di luar sana, perubahan penggunaan panggilan tersebut doesn’t matter. Tapi bagi beberapa orang, ini artinya next level of relationship. Kayaknya gue sudah pernah membahas ini sebelumnya.

Bodoh dan jeleknya gue adalah gue dengan mudahnya mengikuti flow yang dibuat oleh Diani tersebut karena gue tidak enak kalo gue tolak. Jadi gue pun ikut menggunakan ‘aku-kamu’ di sepanjang obrolan kami.

Diani calling.

Diani mencoba video call gue.

Gue tidak mungkin menjawab video call dia ketika gue sedang di rumah. “Eh nggak gitu juga! Gue seharusnya memang harus menjaga jarak dengan Diani, di manapun gue berada. DIANI ITU ISTRI DANI! For F*ck sake! Nggak mungkin gue video call sama ISTRINYA TEMEN DEKET GUE, ketika suaminya lagi di luar rumah! Ini udah nggak bener! Gue harus ngejauhin dia!” kata gue sembari mengambil kunci motor gue dan pergi dari rumah.

Gue harus pergi menemui orang yang sudah sedari awal gue temui. Dia tidak bisa terus menerus menghindari gue dan mendiamkan gue terus seperti ini. Kali ini gue harus berhasil meyakinkan dia kalo gue sudah berusaha mencari cara untuk resepsi pernikahan kami. Jangan sampai dia berpikir sebaliknya lagi, untuk kesekian kalinya.

“Mi, lamaran, akad, bahkan sampe resepsi kita nanti bakalan tetep terlaksana! No matter what!” Sudah tidak ada keraguan lagi di hati gue.

Semoga begitu juga di hati Emi.
kaduruk
hayuus
caporangtua259
caporangtua259 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.