- Beranda
- Stories from the Heart
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
...
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami
私のスレッドへようこそ
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!
Quote:
Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):
Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):
Spoiler for PERATURAN:
1. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di hidup gue dan Emi (@dissymmon08), tapi mohon maaf kami nggak menulis keseluruhan kejadian aslinya demi kepentingan privasi. Namun semua cerita di sini telah kami pilah sebagaimana mestinya agar tidak merusak jalannya cerita.
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 
7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:
HAPPY READING! 
Quote:
Original Posted By yanagi92055►
TERIMA KASIH BANYAK GANSIS READERS SEMUANYA. DENGAN APRESIASINYA TRIT INI BERHASIL HT UNTUK PERTAMA KALINYA. SEMOGA PRESTASI INI DAPAT MENJADI SEMANGAT UNTUK KAMI MENGEMAS CERITA MENJADI SEMAKIN SERU UNTUK DIBACA DAN DIIKUTI.
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.2K
3K
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•41.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#316
Kehilangan_Part 5
“Kamu ngapain ada di sini?”
Hampir gue ngamuk karena mikir kalo beberapa hari ini gue lagi kena karmanya, hubungan gue dengan cewek-cewek itu satu per satu mulai ketauan. Dan suara cewek yang manggil gue ini, gue pikir adalah cewek lain lagi. Mungkin Ana atau cewek lain lagi yang sekiranya mau bikin perkara lain di hidup gue. Tapi Tuhan masih sayang sama gue.
“Emi? Kok udah di sini? Kapan kamu sampe?”
“Jawab dulu pertanyaan gue. Kenapa lo ada di sini? Jemput cewek yang mana lagi lo? Hana?”
“Ya lo lah! Kenapa jadi Hana sih? Dia mah bodo amat mau kemana juga! Ga peduli gue!” Gue mendadak membentak dia. Dia duluan yang bikin moodgue rusak karena pertanyaan retoriknya tersebut.
“………” Dia hanya menatap gue tanpa ekspresi apapun. Tapi dari balik kacamata dia, gue bisa melihat kalo dia habis menangis.
“Makanya nggak usah sok ngebahas orang lain. Udah ayo buru pulang.” kata gue sembari menarik tangan dia. Ternyata dia membawa cukup banyak barang sepulang dari Bali. Ada satu dus seukuran mie instant ditenteng di tangan kanan.
“Gue nggak mau pulang bareng sama lo! Gue pulang sendiri aja!”
“Gimana mau pulang sendiri sih—”
“Emiii!” Ada suara bapak-bapak memanggil Emi dari kejauhan. Siapa lagi kalo bukan Bapaknya Emi yang ternyata memutuskan turun dari mobil. Meninggalkan Ibunya sendirian di dalam mobil.
Emi menengok ke arah gue. “Kok ada Papa? Lo ngapain segala ngajak Papa?”
Gue memengang kepala Emi. “Gue udah bilang kalo gue pasti jemput lo. Jadi mau lo ngeronta, mau lo ngebentak gue, mau lo ngamuk-ngamuk sama gue, gue akan tetep jemput lo dan bawa pulang lo ke rumah. Ngerti?”
Emi mendorong badan gue menjauh dan lari ke arah Bapaknya. Gue emang nggak seharusnya ngomong begitu sama dia. Dia pasti amat sangat lelah dengan perjalanannya. Belum lagi, sebelumnya kami baru saja berdebat dan dia dengan jelas mengatakan pada gue kalo dia sedang lelah menghadapi gue. Emi mungkin memang butuh waktu sendiri dulu.
“Padahal gue mau kasih tau dia kalo hari besar kita berdua udah ditentuin.” gumam gue perlahan.
---
(EMI CHAT)
Gue mengirimkan chat tersebut tepat ketika dia baru saja turun dari mobil untuk membantu Ibunya turun. Gue mengurus barang-barang yang dibawa Emi, sedangkan Bapaknya Emi mengambil kursi roda dari dalam rumah. Semoga Emi tidak langsung mengusir gue setelah ini. Toh gue memang berniat untuk menginap dulu malam ini di rumah dia. Gue harus menyelesaikan masalahnya sekarang juga.
“Makasih ya, Ji.” kata Bapaknya Emi sambil menepuk pundak gue.
“Sama-sama, Om. Saya kayaknya mau nginep lagi malem ini, Om. Besok saya berangkat kerja dari sini.”
“Oh iya bagus kalo gitu. Ada yang mau Om omongin sama kamu, Ji.” Gue dan Emi yang baru aja mau naik ke lantai atas langsung terdiam.
“Emi capek, Pa. Emi mau istirahat. Udah mau tengah malem ini. Besok Emi harus kerja…” Tujuan Emi bukan mau istirahat, tapi antara mau berantem sama gue atau males ngebahas pernikahan kami. Karena apa lagi yang mau dibahas dengan gue dan Emi selain urusan pernikahan?
Bapaknya Emi mengantarkan Ibunya masuk ke dalam kamar sebelum akhirnya keluar lagi dan meminta kami duduk di ruang keluarga bawah, seperti biasa. “Bentar doang, Mi…”
“Kenapa sih, Pa?” Emi keliatan sudah tidak tertarik dengan ajakan Bapaknya.
“Tadi di mobil kan Pirji udah cerita ke Papa kalo Kakeknya Pirji udah kasih tanggal untuk Lamaran dan Akad Nikah kalian nanti.” Emi auto nengok ke gue ketika mendengar pernyataan Bapaknya tersebut. Gue yakin banget Emi pasti mau nanya ‘KAPAN MBAH NELPON? KOK LO DIEM AJA???’. Tapi untuk menghindari tatapan tajamnya Emi, gue tidak menengok ke arahnya. Gue fokus pada Bapaknya. “Tapi ternyata tanggal Akad Nikah nya teh masih belum pas.”
“Emang belum pas gimana, Pa?”
“Ya sebenarnya mah nggak apa-apa kalau mau Akad Nikah nya dijadiin hari Minggu kayak yang Firzy bilang. Cuma emang sebenarnya mah lebih baik di hari Senin kalau dari itung-itungan Papa mah…”
“Senin? Nikahan di hari Senin mau siapa yang dateng, Pa?” Bener kan tebakan gue? Emi pasti protes kalo kami mengadakan nikahan di hari Senin.
“Ya udah nggak apa-apa kalo di hari Minggu juga. Ini Papa tulisin ya jadinya tanggal pasti Lamaran sama Akad Nikah kalian ya.” Bapaknya Emi mengambil kertas dan pulpen kemudian menuliskan tanggal-tanggal tersebut sebagai kesepakatan kami. “Tapi…” Mendadak Bapaknya memulai bahasan lainnya. Mau bahasan apa lagi nih yang dimulai dengan kata ‘tapi’ begini?
“Tapi kenapa lagi, Pa? Udah cukup kan?”
Bapaknya melontarkan senyum ketika orang ngerasa nggak enak hati untuk diucapkan. Gue punya bad feeling tentang ini. Entah kenapa. “Tapi… Tadi Papa sama Mama ngebahas lagi di mobil, pas lagi nunggu kamu…”
“Ngebahas apa, Om?”
“Papa sama Mama mau kalian tetep ngadain Resepsi Pernikahan.”
“Hah?!” Emi keliatan kaget dengan pernyataan Bapak dan Ibunya sendiri. Gue? Nggak perlu gue jabarkan lagi ya?
---
Malam itu gue putuskan untuk pulang ke rumah gue. Semalam apapun gue akan sampai di rumah. Mood gue dan Emi sedang sangat amat tidak baik. Lebih baik kami berpisah dulu untuk malam ini. Gue dan Emi tidak bisa membuat keputusan atau berdebat ketika dalam kondisi saat itu.
“Ma… Lagi sibuk nggak?”
“Kenapa, Kak? Ini Dania nggak masuk kerja hari ini. Sumeng (demam) badannya. Mama lagi ngurusin Dian dulu.”
“Dian-nya masih tidur kan?”
“Paling sebentar lagi bangun. Biasanya kan jam 9. Kenapa, Kak?” Mama duduk di hadapan gue. Kami kali ini sedang duduk di meja makan kami. Dania dan Dian masih di kamar mereka.
“Ma, kemarin Ija udah bilang ke keluarganya Emi tentang tanggal Lamaran sama Akad Nikah Ija…”
“Oh terus gimana, Kak?” Mama yang tadinya masih sibuk sama HP nya pun akhirnya meletakkan HP nya tersebut.
“Awalnya Papanya Emi maunya Akad Nikah nya hari Senin…”
“Ya jangan hari Senin lah, Kak! Emang kalian nikahan di Kampung pada suka nikah di hari kerja? Weekend lah.”
“Ya denger dulu makanya, Ma. Kan Ija belom selesai cerita…”
“Ya udah, terus gimana?”
“Emi juga nggak setuju pas denger Bapaknya minta hari Senin. Jadinya kita tetep hari Minggu.” Gue mengeluarkan kertas yang ditulis sama Bapaknya Emi tadi malam. “Ini tanggal fix dari Bapaknya Emi ya, Ma. Lamaran dan Akad Nikahnya fix tanggal segini.”
Mama mengambil kertas yang gue sodorkan tadi dan membacanya. “Alhamdulillah. Ini sebentar lagi loh, Kak. Gimana persiapan kamu?”
“Sebentar dulu. Nggak usah ngebahas kearah persiapan dulu.”
“Loh? Kenapa, Kak? Jangan macem-macem kamu ya. Mama nggak mau ada aneh-aneh. Mama udah pusing ngurusi Dian. Awas aja kalo kamu sampe—” Gue harus memotong omelan Mama.
“Bapak Ibunya Emi minta ada Resepsi, Ma.” Mama mendadak berhenti bicara. Dania yang adem ayem di dalem kamar mendadak keluar dan ikut berdiri di ruang makan bersama kami.
“Kok lo jadi mau ada Resepsi, Kak? Katanya nggak usah? Katanya mau ada makan-makan aja bukan? Emi yang minta?”
“Kok malah Emi yang minta sih? Bokap nyokapnya Emi sendiri yang minta. Bahkan mereka baru banget ngomong sama Emi sendiri coba di depan gue. Puyeng anjir gue…”
“Terus Resepsi nya mau kapan?”
“Masih lama sih. 4 bulan abis Akad Nikah itungan Bapaknya.”
“Mama sih bukannya nggak setuju, Kak. Tapi keputusan Resepsinya dadakan banget. Emang yakin pasti dapet gedungnya? Jangan bilang kalo Akad Nikah kalian di kampungnya Emi, Resepsi nya mau di sana juga lagi? Mau kapan kalian survey gedungnya? Terus pakaian, catering, MUA, undangan, souvenir, dekor? Ini aja Mama masih mau nanyain kamu gimana cincin, mahar, sama hantarannya? Mau bagi-bagi tugas sama keluarga buat nanti Lamarannya. Sekarang mesti mikirin yang lebih ribet lagi.” Mama memakai lagi kacamata beliau dan mengambil HPnya. “Ngomong deh sama Om Reza. Sini Mama teleponin.”
Gue tahan tangan Mama. “Jangan ngomong sama Om Reza dulu, Ma…”
“Ya ngomong lah, Kak. Lo harus minta pendapatnya Om Reza. Om Reza sendiri yang bilang ke keluarga besar kalo nikahan lo pada usahain dateng, soalnya kayaknya nggak ada Resepsi karena kondisi mertua lo. Masa lo mendadak mau ngadain Resepsi aja? Lo mau nggak ngundang keluarga sendiri?”
“Apaan sih main pada asumsi sendiri? Gue belom selesai ngomong ini. Sekarang masalahnya BUKAN di MAU ADA RESEPSI ATAU NGGAK. Tapi ditarik jauh ke belakang lagi. ADA UANGNYA NGGAK buat ngadain Resepsi Pernikahan.” kata gue sembari menekankan beberapa kata gue. Biar mereka paham dimana titik keberatan gue.
“………” Tidak ada jawaban dari Dania dan Mama.
“Bingung kan?” tanya gue.
“Sori, Kak. Gue nggak bisa banyak bantu. Lo tau sendiri kan kalo gue juga masih ada cicilan bekas Resepsi gue sendiri taun kemaren ini.”
“Kalo harta Papa ada yang bisa dijual buat bantu kamu mah jual aja, Kak. Mama ikhlas. Kalo ada itu juga. Kamu tau sendiri Mama udah habis-habisan banget buat menghidupi keluarga kita. Mama aja udah ngejual beberapa barang buat bantu nikahannya Dania. Mama udah nggak punya apa-apa lagi, Kak.”
“Karena nggak mungkin juga kan minta tolong bantuan sama keluarga kita?”
“Bentar…” Dania memotong pertanyaan gue. “Kenapa harus lo yang mikirin biaya? Kan Resepsi tuh urusannya pihak cewek loh. Mana yang kepingin Resepsi juga kan dari pihak cewek, si Bapak Ibunya Emi. Kenapa lo yang ribet nyari pinjaman uang?”
Belum sempet gue jawab pertanyaan Dania, Mama udah langsung melontarkan pertanyaan lain pada gue. “Emang uang kamu udah habis banget, Kak? Terus kamu kenapa maksain nikah kalo dananya masih nggak cukup?”
“Ija itu udah survey dan tanya-tanya. Modal nikah itu nggak gede, Ma. Cuma perlu beli cincin sebagai mahar dan hantaran nikahan secukupnya. Ditambah uang untuk bayar ke KUA sebagai biaya administrasi. Udah beres. Nggak perlu mewah-mewah atau banyak persiapan ini itu. Lamaran juga aslinya nggak perlu ada catering, tenda, atau dekorasi. Akad Nikah juga niatnya makan-makan keluarga doang kan? Ya masak sendiri aja. Apa bedanya sama ngadain acara keluarga besar di rumah? Sama aja kan?”
“Terus kamu ada uangnya buat itu semua? Lamaran, hantaran, mahar, sampe ke Akad Nikah?”
“Udah, Ma. InsyaAllah buat itu Ija sama Emi ada uangnya. Tapi nggak banyak untuk ngebiayain Resepsi ya.”
“Terus kamu ngeiyain ke Bapak Ibunya Emi?”
“Ih Kak. Gue tanya juga, kok lo yang ribet sih, Kak? Suruh lah Emi nyari pinjeman ke keluarganya sendiri. Suruh Emi minta keluarganya papatungan buat bantuin keluarga dia. Tau sendiri kan kondisi Ibunya Emi kayak gimana masa—”
“Bapak Ibunya Emi baru aja ngelunasin utang ke keluarga besarnya (Emi) Rp75.000.000,-, Dan… Itu make uang hasil jual rumah mereka. Mereka ngutang segede itu entah sejak kapan.” Dania dan Mama cuma bisa diam aja nggak bisa ngomong apa-apa lagi.
“Masa hasil jual rumah abis gitu aja?”
“Ya nggak abis. Tapi emang lo pikir selama menuju sampai nanti abis Resepsi Emi, Ibunya Emi nggak butuh pengobatan?”
“Ya minta sama Emi lah.”
“Biaya buat ngurusin keperluan rumah dan kehidupan mereka sehari-hari ngandelin siapa lagi kalo bukan Emi? Mau Emi juga yang ngebiayain pengobatan Ibunya? Minus yang ada gajinya. Makanya uang dari penjualan rumah disimpan buat ngobatin Ibunya sampe sembuh. Mudah-mudahan.”
Mama menggenggam tangan gue. “Mereka sekarang tinggal dimana kalo rumah mereka dijual, Kak?”
“Oh bukan rumah yang ditinggalin sama mereka sekarang, Ma. Mereka punya 3 rumah. 1 rumah yang tadinya dikontrakin, itu dijual buat ngobatin Ibunya Emi. Tadinya mikirnya sekitar Rp50.000.000 sampe Rp75.000.000 dipake lah buat Resepsinya Emi. Tapi ternyata, Ibunya Emi sakit lagi—”
“Sakit lagi?” tanya Dania.
“Dulu Mamanya Emi udah sempet koma di rumah sakit. Itu biayanya sampe puluhan juta. Nah biaya segitu belum termasuk sakitnya yang sekarang ya, Dan…”
“Ya Allah…”
“Udah abis banget harta mereka. Tinggal ngandelin rumah yang mereka tinggalin doang sekarang mah.”
“Terus kalo tau kondisinya begitu, kenapa masih maksain Resepsi sih? Udahlah, keluarga kita juga ngerti kok kalo misalnya nggak ada Resepsi. Yang penting tetep adain kumpul-kumpul abis Akad Nikah. Udah cukup kok.”
“Emang keluarga besar Papa udah pada tau kalo kita nggak ada Resepsi?”
“Om Reza cerita ke keluarga besar kalo kemungkinan nggak ngadain Resepsi soalnya lokasi Akadnya jauh dan kondisi mertua kamu emang lagi sakit. Jadi lebih baik nggak ada. Keluarga sih paham, walaupun berharap tetap ada. Tapi kalo kondisi keuangan keluarganya Emi begitu mah, mending jangan, Kak.” jelas Mama.
“Masalahnya, Bapak Ibunya Emi minta banget kita tetap ngadain…” Gue mengurut kening gue. Pusing banget gue mikirin ini. Belom juga beres nyelesein urusan cewek-cewek nggak penting itu sama Emi. Udah mesti mikirin duit buat Resepsi yang gue sangat amat tidak setuju buat diadain. Elah anj*ng.
“Terus uang darimana???” Dania ikutan gregetan kayak gue.
“Pilihan terakhir…”
“Apaan?” tanya Mama.
“Ija mesti ngejaminin, semacam refinancing gitulah, mobil Ija ke bank buat dapet pinjeman uang.”
Banyak banget pelajaran yang gue alami dalam weekend kali itu. Kehilangan Arasti, Hana, dan Edna di hari yang sama, ditambah kayaknya gue harus merasakan kehilangan (sementara) kepemilikan mobil gue yang dijaminkan ke bank. Ini sih baru rencana, tapi gue pikir inilah satu-satunya cara. Setidaknya gue masih bisa menggunakan mobil gue. Karena gue selalu ingat pesan Papa ke Mama dan kemudian disampaikan ke anak-anaknya, kalau apapun yang terjadi, jangan pernah menjual atau menjaminkan rumah yang pertama kami, jika memang sudah habis-habisan. Persetan dengan kehilangan cewek-cewek itu. Selama gue tidak kehilangan Emi juga, gue akan selalu bisa survive.
Hampir gue ngamuk karena mikir kalo beberapa hari ini gue lagi kena karmanya, hubungan gue dengan cewek-cewek itu satu per satu mulai ketauan. Dan suara cewek yang manggil gue ini, gue pikir adalah cewek lain lagi. Mungkin Ana atau cewek lain lagi yang sekiranya mau bikin perkara lain di hidup gue. Tapi Tuhan masih sayang sama gue.
“Emi? Kok udah di sini? Kapan kamu sampe?”
“Jawab dulu pertanyaan gue. Kenapa lo ada di sini? Jemput cewek yang mana lagi lo? Hana?”
“Ya lo lah! Kenapa jadi Hana sih? Dia mah bodo amat mau kemana juga! Ga peduli gue!” Gue mendadak membentak dia. Dia duluan yang bikin moodgue rusak karena pertanyaan retoriknya tersebut.
“………” Dia hanya menatap gue tanpa ekspresi apapun. Tapi dari balik kacamata dia, gue bisa melihat kalo dia habis menangis.
“Makanya nggak usah sok ngebahas orang lain. Udah ayo buru pulang.” kata gue sembari menarik tangan dia. Ternyata dia membawa cukup banyak barang sepulang dari Bali. Ada satu dus seukuran mie instant ditenteng di tangan kanan.
“Gue nggak mau pulang bareng sama lo! Gue pulang sendiri aja!”
“Gimana mau pulang sendiri sih—”
“Emiii!” Ada suara bapak-bapak memanggil Emi dari kejauhan. Siapa lagi kalo bukan Bapaknya Emi yang ternyata memutuskan turun dari mobil. Meninggalkan Ibunya sendirian di dalam mobil.
Emi menengok ke arah gue. “Kok ada Papa? Lo ngapain segala ngajak Papa?”
Gue memengang kepala Emi. “Gue udah bilang kalo gue pasti jemput lo. Jadi mau lo ngeronta, mau lo ngebentak gue, mau lo ngamuk-ngamuk sama gue, gue akan tetep jemput lo dan bawa pulang lo ke rumah. Ngerti?”
Emi mendorong badan gue menjauh dan lari ke arah Bapaknya. Gue emang nggak seharusnya ngomong begitu sama dia. Dia pasti amat sangat lelah dengan perjalanannya. Belum lagi, sebelumnya kami baru saja berdebat dan dia dengan jelas mengatakan pada gue kalo dia sedang lelah menghadapi gue. Emi mungkin memang butuh waktu sendiri dulu.
“Padahal gue mau kasih tau dia kalo hari besar kita berdua udah ditentuin.” gumam gue perlahan.
---
(EMI CHAT)
Quote:
Gue mengirimkan chat tersebut tepat ketika dia baru saja turun dari mobil untuk membantu Ibunya turun. Gue mengurus barang-barang yang dibawa Emi, sedangkan Bapaknya Emi mengambil kursi roda dari dalam rumah. Semoga Emi tidak langsung mengusir gue setelah ini. Toh gue memang berniat untuk menginap dulu malam ini di rumah dia. Gue harus menyelesaikan masalahnya sekarang juga.
“Makasih ya, Ji.” kata Bapaknya Emi sambil menepuk pundak gue.
“Sama-sama, Om. Saya kayaknya mau nginep lagi malem ini, Om. Besok saya berangkat kerja dari sini.”
“Oh iya bagus kalo gitu. Ada yang mau Om omongin sama kamu, Ji.” Gue dan Emi yang baru aja mau naik ke lantai atas langsung terdiam.
“Emi capek, Pa. Emi mau istirahat. Udah mau tengah malem ini. Besok Emi harus kerja…” Tujuan Emi bukan mau istirahat, tapi antara mau berantem sama gue atau males ngebahas pernikahan kami. Karena apa lagi yang mau dibahas dengan gue dan Emi selain urusan pernikahan?
Bapaknya Emi mengantarkan Ibunya masuk ke dalam kamar sebelum akhirnya keluar lagi dan meminta kami duduk di ruang keluarga bawah, seperti biasa. “Bentar doang, Mi…”
“Kenapa sih, Pa?” Emi keliatan sudah tidak tertarik dengan ajakan Bapaknya.
“Tadi di mobil kan Pirji udah cerita ke Papa kalo Kakeknya Pirji udah kasih tanggal untuk Lamaran dan Akad Nikah kalian nanti.” Emi auto nengok ke gue ketika mendengar pernyataan Bapaknya tersebut. Gue yakin banget Emi pasti mau nanya ‘KAPAN MBAH NELPON? KOK LO DIEM AJA???’. Tapi untuk menghindari tatapan tajamnya Emi, gue tidak menengok ke arahnya. Gue fokus pada Bapaknya. “Tapi ternyata tanggal Akad Nikah nya teh masih belum pas.”
“Emang belum pas gimana, Pa?”
“Ya sebenarnya mah nggak apa-apa kalau mau Akad Nikah nya dijadiin hari Minggu kayak yang Firzy bilang. Cuma emang sebenarnya mah lebih baik di hari Senin kalau dari itung-itungan Papa mah…”
“Senin? Nikahan di hari Senin mau siapa yang dateng, Pa?” Bener kan tebakan gue? Emi pasti protes kalo kami mengadakan nikahan di hari Senin.
“Ya udah nggak apa-apa kalo di hari Minggu juga. Ini Papa tulisin ya jadinya tanggal pasti Lamaran sama Akad Nikah kalian ya.” Bapaknya Emi mengambil kertas dan pulpen kemudian menuliskan tanggal-tanggal tersebut sebagai kesepakatan kami. “Tapi…” Mendadak Bapaknya memulai bahasan lainnya. Mau bahasan apa lagi nih yang dimulai dengan kata ‘tapi’ begini?
“Tapi kenapa lagi, Pa? Udah cukup kan?”
Bapaknya melontarkan senyum ketika orang ngerasa nggak enak hati untuk diucapkan. Gue punya bad feeling tentang ini. Entah kenapa. “Tapi… Tadi Papa sama Mama ngebahas lagi di mobil, pas lagi nunggu kamu…”
“Ngebahas apa, Om?”
“Papa sama Mama mau kalian tetep ngadain Resepsi Pernikahan.”
“Hah?!” Emi keliatan kaget dengan pernyataan Bapak dan Ibunya sendiri. Gue? Nggak perlu gue jabarkan lagi ya?
---
Malam itu gue putuskan untuk pulang ke rumah gue. Semalam apapun gue akan sampai di rumah. Mood gue dan Emi sedang sangat amat tidak baik. Lebih baik kami berpisah dulu untuk malam ini. Gue dan Emi tidak bisa membuat keputusan atau berdebat ketika dalam kondisi saat itu.
“Ma… Lagi sibuk nggak?”
“Kenapa, Kak? Ini Dania nggak masuk kerja hari ini. Sumeng (demam) badannya. Mama lagi ngurusin Dian dulu.”
“Dian-nya masih tidur kan?”
“Paling sebentar lagi bangun. Biasanya kan jam 9. Kenapa, Kak?” Mama duduk di hadapan gue. Kami kali ini sedang duduk di meja makan kami. Dania dan Dian masih di kamar mereka.
“Ma, kemarin Ija udah bilang ke keluarganya Emi tentang tanggal Lamaran sama Akad Nikah Ija…”
“Oh terus gimana, Kak?” Mama yang tadinya masih sibuk sama HP nya pun akhirnya meletakkan HP nya tersebut.
“Awalnya Papanya Emi maunya Akad Nikah nya hari Senin…”
“Ya jangan hari Senin lah, Kak! Emang kalian nikahan di Kampung pada suka nikah di hari kerja? Weekend lah.”
“Ya denger dulu makanya, Ma. Kan Ija belom selesai cerita…”
“Ya udah, terus gimana?”
“Emi juga nggak setuju pas denger Bapaknya minta hari Senin. Jadinya kita tetep hari Minggu.” Gue mengeluarkan kertas yang ditulis sama Bapaknya Emi tadi malam. “Ini tanggal fix dari Bapaknya Emi ya, Ma. Lamaran dan Akad Nikahnya fix tanggal segini.”
Mama mengambil kertas yang gue sodorkan tadi dan membacanya. “Alhamdulillah. Ini sebentar lagi loh, Kak. Gimana persiapan kamu?”
“Sebentar dulu. Nggak usah ngebahas kearah persiapan dulu.”
“Loh? Kenapa, Kak? Jangan macem-macem kamu ya. Mama nggak mau ada aneh-aneh. Mama udah pusing ngurusi Dian. Awas aja kalo kamu sampe—” Gue harus memotong omelan Mama.
“Bapak Ibunya Emi minta ada Resepsi, Ma.” Mama mendadak berhenti bicara. Dania yang adem ayem di dalem kamar mendadak keluar dan ikut berdiri di ruang makan bersama kami.
“Kok lo jadi mau ada Resepsi, Kak? Katanya nggak usah? Katanya mau ada makan-makan aja bukan? Emi yang minta?”
“Kok malah Emi yang minta sih? Bokap nyokapnya Emi sendiri yang minta. Bahkan mereka baru banget ngomong sama Emi sendiri coba di depan gue. Puyeng anjir gue…”
“Terus Resepsi nya mau kapan?”
“Masih lama sih. 4 bulan abis Akad Nikah itungan Bapaknya.”
“Mama sih bukannya nggak setuju, Kak. Tapi keputusan Resepsinya dadakan banget. Emang yakin pasti dapet gedungnya? Jangan bilang kalo Akad Nikah kalian di kampungnya Emi, Resepsi nya mau di sana juga lagi? Mau kapan kalian survey gedungnya? Terus pakaian, catering, MUA, undangan, souvenir, dekor? Ini aja Mama masih mau nanyain kamu gimana cincin, mahar, sama hantarannya? Mau bagi-bagi tugas sama keluarga buat nanti Lamarannya. Sekarang mesti mikirin yang lebih ribet lagi.” Mama memakai lagi kacamata beliau dan mengambil HPnya. “Ngomong deh sama Om Reza. Sini Mama teleponin.”
Gue tahan tangan Mama. “Jangan ngomong sama Om Reza dulu, Ma…”
“Ya ngomong lah, Kak. Lo harus minta pendapatnya Om Reza. Om Reza sendiri yang bilang ke keluarga besar kalo nikahan lo pada usahain dateng, soalnya kayaknya nggak ada Resepsi karena kondisi mertua lo. Masa lo mendadak mau ngadain Resepsi aja? Lo mau nggak ngundang keluarga sendiri?”
“Apaan sih main pada asumsi sendiri? Gue belom selesai ngomong ini. Sekarang masalahnya BUKAN di MAU ADA RESEPSI ATAU NGGAK. Tapi ditarik jauh ke belakang lagi. ADA UANGNYA NGGAK buat ngadain Resepsi Pernikahan.” kata gue sembari menekankan beberapa kata gue. Biar mereka paham dimana titik keberatan gue.
“………” Tidak ada jawaban dari Dania dan Mama.
“Bingung kan?” tanya gue.
“Sori, Kak. Gue nggak bisa banyak bantu. Lo tau sendiri kan kalo gue juga masih ada cicilan bekas Resepsi gue sendiri taun kemaren ini.”
“Kalo harta Papa ada yang bisa dijual buat bantu kamu mah jual aja, Kak. Mama ikhlas. Kalo ada itu juga. Kamu tau sendiri Mama udah habis-habisan banget buat menghidupi keluarga kita. Mama aja udah ngejual beberapa barang buat bantu nikahannya Dania. Mama udah nggak punya apa-apa lagi, Kak.”
“Karena nggak mungkin juga kan minta tolong bantuan sama keluarga kita?”
“Bentar…” Dania memotong pertanyaan gue. “Kenapa harus lo yang mikirin biaya? Kan Resepsi tuh urusannya pihak cewek loh. Mana yang kepingin Resepsi juga kan dari pihak cewek, si Bapak Ibunya Emi. Kenapa lo yang ribet nyari pinjaman uang?”
Belum sempet gue jawab pertanyaan Dania, Mama udah langsung melontarkan pertanyaan lain pada gue. “Emang uang kamu udah habis banget, Kak? Terus kamu kenapa maksain nikah kalo dananya masih nggak cukup?”
“Ija itu udah survey dan tanya-tanya. Modal nikah itu nggak gede, Ma. Cuma perlu beli cincin sebagai mahar dan hantaran nikahan secukupnya. Ditambah uang untuk bayar ke KUA sebagai biaya administrasi. Udah beres. Nggak perlu mewah-mewah atau banyak persiapan ini itu. Lamaran juga aslinya nggak perlu ada catering, tenda, atau dekorasi. Akad Nikah juga niatnya makan-makan keluarga doang kan? Ya masak sendiri aja. Apa bedanya sama ngadain acara keluarga besar di rumah? Sama aja kan?”
“Terus kamu ada uangnya buat itu semua? Lamaran, hantaran, mahar, sampe ke Akad Nikah?”
“Udah, Ma. InsyaAllah buat itu Ija sama Emi ada uangnya. Tapi nggak banyak untuk ngebiayain Resepsi ya.”
“Terus kamu ngeiyain ke Bapak Ibunya Emi?”
“Ih Kak. Gue tanya juga, kok lo yang ribet sih, Kak? Suruh lah Emi nyari pinjeman ke keluarganya sendiri. Suruh Emi minta keluarganya papatungan buat bantuin keluarga dia. Tau sendiri kan kondisi Ibunya Emi kayak gimana masa—”
“Bapak Ibunya Emi baru aja ngelunasin utang ke keluarga besarnya (Emi) Rp75.000.000,-, Dan… Itu make uang hasil jual rumah mereka. Mereka ngutang segede itu entah sejak kapan.” Dania dan Mama cuma bisa diam aja nggak bisa ngomong apa-apa lagi.
“Masa hasil jual rumah abis gitu aja?”
“Ya nggak abis. Tapi emang lo pikir selama menuju sampai nanti abis Resepsi Emi, Ibunya Emi nggak butuh pengobatan?”
“Ya minta sama Emi lah.”
“Biaya buat ngurusin keperluan rumah dan kehidupan mereka sehari-hari ngandelin siapa lagi kalo bukan Emi? Mau Emi juga yang ngebiayain pengobatan Ibunya? Minus yang ada gajinya. Makanya uang dari penjualan rumah disimpan buat ngobatin Ibunya sampe sembuh. Mudah-mudahan.”
Mama menggenggam tangan gue. “Mereka sekarang tinggal dimana kalo rumah mereka dijual, Kak?”
“Oh bukan rumah yang ditinggalin sama mereka sekarang, Ma. Mereka punya 3 rumah. 1 rumah yang tadinya dikontrakin, itu dijual buat ngobatin Ibunya Emi. Tadinya mikirnya sekitar Rp50.000.000 sampe Rp75.000.000 dipake lah buat Resepsinya Emi. Tapi ternyata, Ibunya Emi sakit lagi—”
“Sakit lagi?” tanya Dania.
“Dulu Mamanya Emi udah sempet koma di rumah sakit. Itu biayanya sampe puluhan juta. Nah biaya segitu belum termasuk sakitnya yang sekarang ya, Dan…”
“Ya Allah…”
“Udah abis banget harta mereka. Tinggal ngandelin rumah yang mereka tinggalin doang sekarang mah.”
“Terus kalo tau kondisinya begitu, kenapa masih maksain Resepsi sih? Udahlah, keluarga kita juga ngerti kok kalo misalnya nggak ada Resepsi. Yang penting tetep adain kumpul-kumpul abis Akad Nikah. Udah cukup kok.”
“Emang keluarga besar Papa udah pada tau kalo kita nggak ada Resepsi?”
“Om Reza cerita ke keluarga besar kalo kemungkinan nggak ngadain Resepsi soalnya lokasi Akadnya jauh dan kondisi mertua kamu emang lagi sakit. Jadi lebih baik nggak ada. Keluarga sih paham, walaupun berharap tetap ada. Tapi kalo kondisi keuangan keluarganya Emi begitu mah, mending jangan, Kak.” jelas Mama.
“Masalahnya, Bapak Ibunya Emi minta banget kita tetap ngadain…” Gue mengurut kening gue. Pusing banget gue mikirin ini. Belom juga beres nyelesein urusan cewek-cewek nggak penting itu sama Emi. Udah mesti mikirin duit buat Resepsi yang gue sangat amat tidak setuju buat diadain. Elah anj*ng.
“Terus uang darimana???” Dania ikutan gregetan kayak gue.
“Pilihan terakhir…”
“Apaan?” tanya Mama.
“Ija mesti ngejaminin, semacam refinancing gitulah, mobil Ija ke bank buat dapet pinjeman uang.”
Banyak banget pelajaran yang gue alami dalam weekend kali itu. Kehilangan Arasti, Hana, dan Edna di hari yang sama, ditambah kayaknya gue harus merasakan kehilangan (sementara) kepemilikan mobil gue yang dijaminkan ke bank. Ini sih baru rencana, tapi gue pikir inilah satu-satunya cara. Setidaknya gue masih bisa menggunakan mobil gue. Karena gue selalu ingat pesan Papa ke Mama dan kemudian disampaikan ke anak-anaknya, kalau apapun yang terjadi, jangan pernah menjual atau menjaminkan rumah yang pertama kami, jika memang sudah habis-habisan. Persetan dengan kehilangan cewek-cewek itu. Selama gue tidak kehilangan Emi juga, gue akan selalu bisa survive.
caporangtua259 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Tutup