Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#247
Quality Time Tak Berkualitas_Part 2
Malamnya, debat pun tidak terhindarkan. Gue sudah terbawa emosi setiap kali Emi mulai mengarahkan omongan seakan ada orang lain lagi di antara kami. Gue penuh tekanan. Gue sebenarnya tidak keberatan kalau Emi tahu semua hubungan gue dengan cewek-cewek ini. Gue sangat amat tidak keberatan untuk meninggalkan mereka. TETAPI, gue tidak ingin ada yang tersakiti. Terutama Emi.

Gue tidak ingin, Emi merasa terkhianati lagi karena merasa gue masih berusaha meninggalkan dia dan kemudian dia pergi meninggalkan gue untuk terakhir kalinya. Gue sangat tidak ingin hal ini terjadi. Gue hanya perlu mencari waktu terbaik untuk melepas mereka satu per satu. Toh, no hard feeling. Gue memang tidak berniat untuk serius dengan mereka. Mereka hanya menjadi penghibur gue yang penat dengan keadaan ketika Emi pun sedang menjadi Emi yang nggak asik kalau gue boleh bilang.

Jelas ini beda dengan tujuan gue iseng sebelum gue berkomitmen untuk menikahi Emi. Beneran beda kan? Dulu, gue iseng dan berharap Emi tidak tahu, supaya gue bisa menaklukan mereka baru nantinya gue lepas. Gue hanya memastikan bisa menaklukan segala jenis perempuan. Kalau sekarang, gue hanya butuh teman cerita. Kalau mereka rese atau mau pergi, silahkan. Kalau Emi meminta gue untuk meninggalkan mereka, it’s okay. I’ll do it for sure.

Gue hanya berharap, tidak ada yang tersakiti. Terutama Emi. Jadi, sebisa mungkin gue harus memenangkan debat ini biar Emi tidak jadi menghindar dari gue atau malah membuat gue hilang kendali. Gue sudah cukup berdosa dengan (masih) ada hal yang gue tutupi dari dia. Gue nggak mau lebih berdosa lagi dengan menyakiti perasaan dia karena sikap dan perkataan gue. Apalagi kejadian perkenalan kemarin pun sudah menambah rentetan dosa-tidak-sengaja dari gue sekeluarga.

Entah terbuat dari apa hati dia hingga dia masih memaafkan gue dan terus mencintai gue yang penuh kesalahan pada dia ini.

“Zy… Aku itu sayang banget sama kamu. Sangat sayang sama kamu. Kamu masih cinta sama aku kan?” ucapnya. Wajah dia terlihat lelah. Either karena pekerjaan atau ya mungkin karena menghadapi gue yang pecundang ini.

“Nggak usah ditanyain kan yang kayak begitu?”

Gue orang yang sulit untuk menyatakan perasaan. Gue orang yang memilih untuk take actiondaripada penuh janji. Apalagi janji palsu. Hey, janji gue dengan Emi untuk memenuhi syarat dari dia itu JANJI ASLI ya bukan janji palsu! Hanya saja, belum gue laksanakan sepenuhnya. Nanti, pada saatnya ketika ijab kabul sudah terlaksana, insyaAllah gue akan melaksanakannya. No debate!

“Aku cuma lagi pingin denger kamu bilang kayak begitu…” ucap Emi, penuh harap.

Gue paling benci kalau Emi sudah bersikap seperti ini, karena hati gue pasti lemah. Gue nggak bisa menolak permintaannya. “Cuman kamu yang aku sayang. Satu-satunya yang aku sayang. Nggak pernah berubah dari dulu.” Ini serius. Ini amin gue paling serius.

“Hmm. Makasih ya, Zy… Jujur ya, kemaren pasca keluarga kamu pulang, keluarga aku itu pertimbangin ulang komitmen kamu. Telat 2 jam itu nggak sebentar. Itu cukup loh bikin keluarga aku yang tinggal di Jakarta dan Bekasi buat balik ke rumah mereka masing-masing, ninggalin kamu. Tapi mereka terus nungguin kamu karena apa? Mereka percaya kamu anak yang baik. Kamu bisa dipercaya. Pas keluarga kamu dateng eh malah fokus ngurusin… Maafin aku ya, Zy… Ngurusin Dian sama Kak Dania, mereka jadi bingung. Sebenernya gimana sih hubungan kamu sama nyokap kamu? Mereka nanyain ulang ke aku, aku masih tetep mau lanjut apa nggak.”

Bener kan? Gue sayang Dian dan Dania, tapi untuk kasus ini gue seakan terpaksa menumbuhkan rasa kesal dan benci pada mereka secara tidak gue sadari. Walaupun gue benci faktanya, tetapi mereka adalah penyebab gue HAMPIR jomblo seumur hidup kalau tahu begini ceritanya. “Terus kamu jawab apaan?”

“Menurut kamu?” tanya dia tanpa menatap gue lagi. Dia menatap gelas Avocado Creme Joe yang sebentar lagi habis.

Dia masih menerima gue. Dia masih memperjuangkan hubungan ini. Pernikahan gue masih bisa dilanjut. Karena kalau tidak, Emi tidak akan mau menemui gue lagi. Sama seperti ketika Emi meminta putus dari gue. Ini pertanda baik bukan? Gue masih punya kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

“Hmm. Aku janji, Mi. Aku nggak akan gitu lagi. Potong kuping aku kalau aku kecewain kamu lagi di acara Lamaran dan Akad Nikah nanti…” Janji gue dengan tegas. Malaikat pun sudah mencatat niat gue tersebut malam itu. Kejadian Perkenalan Keluarga ini gue jadiin pembelajaran kalau kedepannya, nggak boleh ada kejadian seperti ini lagi. NGGAK BOLEH!

Dia menatap gue. Tapi tatapan dia mendadak berubah, antara marah dan sedih ketika mendengar janji gue tadi. Gue salah dimananya? “Gue nggak tau lo beneran bisa janji apa nggak buat nggak ngecewain gue lagi. Tapi gue mohon banget, jangan kecewain nyokap sama bokap gue, Zy. Mereka berharap banget ada yang mau nikahin anak tunggal mereka. Kalau tujuan lo nikahin gue cuman buat pura-pura atau status doang, mending lo mundur aja. Udah cukup, acara kemaren udah cukup ngena banget di keluarga gue. Udah cukup, jangan lagi. Tapi kalau lo emang mau serius, tolong banget pegang janji lo. Gue mohon dengan sangat, jangan bikin nyokap sama bokap gue sedih LAGI, Zy.”

Ah, orang tua nya. Berarti ada sesuatu nih dari penilaian orang tua Emi. Gue paham banget, bapaknya Emi itu sangat menginginkan anak laki-laki. Keberadaan gue, setelah mantan-mantan dia sebelumnya, cukup berkesan bagi bapaknya Emi. Katanya sih beliau menyukai gue dan berharap gue memang serius dengan Emi. Ini testimoni beliau ya, bukan gue yang mengada-ada. Kalau rencana pernikahan kami gagal, bukan hanya perkara merusak nama baik keluarga Emi dan menyakiti hati Emi, tetapi gue sangat melukai serta mengecewakan perasaan kedua orang tua Emi. Terutama bapaknya Emi.

Bapaknya Emi sudah menerima gue layaknya Papa. Beliau pun banyak mengajarkan gue hal yang belum sempat diajarkan oleh Papa. Walaupun kami belum resmi menikah, gue sudah menganggap beliau adalah Papa kedua gue. Di luar kejadian-kejadian salah paham antara kami dulu. Gue nggak akan sanggup menyakiti beliau. Lagipula, gue memang menyayangi Emi dan wajib menikahi anak semata wayangnya ini. Lalu apa lagi yang harus gue pertimbangkan?

Never.” jawab gue tanpa ragu.

“Lo liat kondisi beliau kemaren? Setelat apapun lo, mereka tetep sumringah nerima kedatangan keluarga lo kan? Walaupun gue tau, mereka sempet khawatir. Tapi mereka tetap berharap sama lo. Gue mohon, jangan sakitin hati mereka. Sekali lagi gue tanya. Lo mau mundur apa lanjut?”

“Aku nggak akan pernah mau mundur.”

“Janji?”

“Potong kuping aku kalau aku boong.” Gue sudah sangat serius untuk ini.

“Oke kalau gitu. Jadi, pas nanti gue di Bali, lo bisa kan jaga hati lo pas kita lagi jauh?”

“Bali? KAMU MAU KE BALI? LO MAU PINDAH KE BALI???” Apa-apaan ini??? Lagi nanyain urusan mundur apa nggak. Kenapa mendadak jadi ngebahas mau ke Bali segala sih? Ini maksudnya Emi mau pindah ke Bali apa gimana?

Terlihat senyum simpul dari sudut bibirnya Emi. “Bloon! Kenapa sih ekspresi kamu begitu? Aku tuh benci ya kalau lagi marah sama kamu terus kamunya keliataan kaget kayak begitu! Aku benci! Soalnya bikin aku mau ketawa mulu! Ih sebel!” Tawa pun pecah dari bibirnya. Hal yang sangat gue tunggu.

“Ya iyalah gue kaget! Maksudnya apaan dulu nih? Kenapa jadi urusan ke Bali segala?”

Emi menyeruput habis kopinya. “Sebenarnya yang mau aku omongin sama kamu tuh ya urusan ini. Bukan urusan kemarin. Hmm. Urusan kemarin juga mau aku bahas sih, buat bahan evaluasi kita karena entah kenapa aku yakin, kamu masih mau lanjut no matter what. Even MUNGKIN, kalau aku nolak melanjutkan, kamu akan melakukan segala cara untuk membuat pernikahan ini tetap berlangsung. Kecuali kimpoi lari. Ogah gue.”

“Gue kejar lo pasti, Mi! Sampe ke Ujung Kulon pun gue tetep kejar entar. Nggak usah khawatir dah! Tapi ini maksudnya apaan? Lo lagi becanda bukan? Pingin gue kena serangan fajar hah?”

“Serangan jantung bangs*t! Bukan serangan fajar!”

“Iye iye serangan jantung, elah. Ribet! Buru, maksud lo apaan? Lo berapa lama di Bali emang?” Gue bingung, harus seneng atau sedih.

Jangan suudzon dulu sama gue. Gue bukan senang Emi pergi ke Bali karena gue bisa ketemu sama Arasti atau Ana. Bodo amat sama mereka. Gue senang karena berarti Emi bisa ke luar pulau untuk pertama kalinya! Hahaha. Becanda, Emi sudah pernah merasakan naik kapal feri dari Merak – Bakauheni. Tetapi dia belum pernah ke luar Pulau Jawa naik pesawat. Kalau dia harus pergi ke Bali, dia SEHARUSNYA naik pesawat dong? Mau berapa hari dia kalau ke Bali lewat darat dan dilanjut naik kapal feri Ketapang – Gilimanuk? Mau ditinggal berapa lama nanti gue?

Sedihnya gue ada di titik itu. Komitmen gue sudah pasti, hanya untuk Emi. Walaupun Ara, Dee, atau Keket menyapa kembali di hidup gue, komitmen gue untuk menikahi Emi tidak akan goyah. Tetapi saat ini, gue sedang sangat membutuhkan Emi yang asik. Emi yang setiap hari ada di sisi gue, bukan Emi yang biasanya. Emi ini keliatan ragu dan penuh asumsi. Ya gue bilang, ini Emi yang nggak asik. Emi yang ini menjadi salah satu penyebab gue masih mencari hiburan dan teman ngobrol ke cewek-cewek itu. Gue khawatir, kalau Emi lama meninggalkan gue, gue bisa lebih nakal lagi dari ini.

Bukan nakal dengan mempermainkan komitmen gue. Tetapi ‘nakal’ dengan cewek-cewek itu. Godaan mereka sungguh ganas. Mindset gue ‘Lebih baik gue nakal sekarang daripada gue nakal nanti saat kita sudah menikah’ kadang cukup mengganggu iman gue. Kadang ada rasa ingin meladeni cewek-cewek itu karena mereka selalu menggoda gue ketika Emi jauh. Apalagi gue harus ditinggal oleh Emi dimana jarak dan waktu pun tidak bisa terjangkau oleh Emi. Gue khawatir akan kekuatan iman (dan ‘imron’ gue).

Karena deep down my heart, gue nggak mau mengecewakan Emi (lagi dan lagi). Tapi kadang gue berpikir, setiap rintangan dan hambatan yang gue rasakan selama persiapan pernikahan dan semenjak gue mengenal cewek-cewek itu apakah akibat ketidakikhlasan Emi ya? Apa ini semacam karma di hidup gue?

“Gue pergi Sabtu ini, Zy… Sabtu jam 08.00, paling Minggu malem juga udah di Jakarta lagi.” jawab dia sembari menarik gelas Ice Crème Brulee gue yang masih banyak isinya. Sudah jelas, dia pergi naik pesawat. Soalnya nggak mungkin dia pergi secepat itu kalau lewat jalur darat dan laut.

“Sepanjang weekend?”

Emi menatap gue bingung. “Iyaa weekend, kenapa emang? Seneng ya, kamu jadi bisa ketemu sama pacar kamu mumpung aku nggak ada?”

“Enak aja! Sempak juga lo! Terus aja bilang kalo gue punya pacar lagi. Ta*. Orang gue cuman nanya begitu doang.”

“Terus kenapa?”

“Kenapa harus di akhir tahun begini sih? Lagi mahal-mahalnya tiket pesawatnya.”

“Lah ini kan urusan kerjaan, mana peduli kantor gue sama akhir tahun atau awal tahun. Mereka taunya, gue harus pergi ya langsunglah dibeliin tiket pesawatnya. Udah begitu doang. Gue aja nggak tau berapa harga tiket pesawat gue.”

Gue berpikir sesaat. Ingin rasanya gue ikut ke Bali sama dia dengan menambah 2 hari cuti di hari Senin dan Selasa sebelum kami pulang ke Jakarta. Tapi sayang uangnya. Kami harus pintar-pintar mengatur keuangan bersama kami. Bukan pelit ya, tapi kebutuhan untuk pernikahan kami di depan nanti pasti cukup menguras kantong kami yang sedang nge-pas ini. Jalan-jalan yang cukup pricey ke Bali kayaknya not necessary untuk saat ini. Dan kayaknya, Bali juga tidak menjadi destinasi bulan madu kami nanti.

lagipula, Emi berangkat ke Bali bukan untuk jalan-jalan melainkan ada pekerjaan yang harus diselesaikan disana Bersama timnya. Pak Edward sudah menugaskan mereka semua untuk berangkat. Tentunya beserta drama-drama yang ternyata berasal dari Debby, cewek yang selalu jadi drama queen beberapa tahun terakhir semenjak pertama kali gue mengenal Emi. Debby sudah menjelek-jelekkan Pak Edward dengan terang-terangan, bekerja dengan tidak maksimal dan cenderung asal-asalan, sekarang pun posisinya sudah tidak berada di tim Pak Edward, masa bikin drama seolah dia ditinggalkan serta tidak di pedulikan oleh Pak Edward? Rasa-rasanya orang waras manapun akan berpikir ‘ya iyalah lo di tinggal, kelakuan lo kayak ta* gitu ke Pak Edward’. Playing victim as always.

“Jadi gimana? Mau ikut nggak? Entar gue tanyain gue naik apa dan jam berapa ke General Affair.” tanya dia lagi.

“Hmm. Sayang uangnya, Mi. Kita lagi butuh uang. Pesawat ke Bali itu nggak cuma ngabisin 300 atau 500 ribu, tapi bisa jutaan. Aku ada sih uangnya segitu. Tapi apa nggak sayang dipake buat acara kita nanti?”

Emi terdiam. Semoga dia nggak ngerasa ini jadi excuse buat gue menolak untuk pergi dengan dia. “Tapi kan… Ini pertama kali aku naik pesawat. Aku pingin bareng sama kamu.”

Benar kan apa gue bilang? Dia naik pesawat. And it’s her first time. “Lain kali ya, Mi… InsyaAllah, lain kali kita punya kesempatan naik pesawat bareng. Nggak cuma ke Bali deh. Ke luar negeri sekalian. Kalau ada rejeki mah mau ke Perancis atau Jepang pun bisa. Mau ke New Zealand pun bisa. Tapi nggak sekarang. Kalau nikahan kita udah ada jaminan ada yang ngebiayain, gue langsung booking tiket dah. Langsung ambil cuti demi ikut kamu. Anggap aja bulan madu yang keduluan. Hahaha. Tapi sekarang kondisinya nggak bisa. Ingat, BUKAN AKU YANG NGGAK MAU. Keuangannya yang mepet banget. Ada opportunity cost-nya, Mi.”

“………” Emi nggak bergeming. Gue harus menyemangati dia.

“Aku bisa aja booking tiket sekarang. Gampang tinggal beli doang. Tapi nih ya… Kamu mau kita undur Lamaran dan Akad Nikah kita kalau nanti uang kita nggak cukup?”

“Kok gitu?”

“Emang ada yang ngejamin kamu kalau SELURUH biaya pernikahan kita berdua nanti ada yang bantuin? Kamu sendiri loh yang bilang sama aku kalau kita mesti patungan buat nyiapin semua biayanya sendiri sampai seluruh rangkaian pernikahan kita selesai. Kamu sendiri yang bilang kalau Papa kamu cuma minta bantuan TENAGA dan kehadiran dari keluarga besar kamu di acara kamu, bukan bantuan biaya. Tapi masih nggak masuk ke logika aku, kenapa mereka bisa gitu terang-terangan nggak mau ngebantu keluarganya yang lagi butuh biaya begini? Heran aku. Ya udahlah nggak usah dibawa pusing. Intinya, nggak ada jaminan pasti kan kita bisa dapet bantuan berupa materi?”

Emi menjawab dengan menganggukkan kepala dia.

“Makanya, kita sendiri yang hemat. Kita sendiri yang harus pintar ngatur keuangan dan bisa memilah pengeluaran sembari terima opportunity cost yang harus kita tanggung nantinya. Kita bukan anak sultan yang bisa seenaknya nunjuk apapun yang mereka mau.”

“Jadi, kamu nggak bisa ikut ya?”

Berat banget ngelepas kepergian dia ini. Nggak hanya terkait keselamatan ya. SETIAP HARI, melepas dia pergi ke Utara ibu kota pun gue sudah berat. Dia setiap hari bangun selepas ibadah Subuh naik beragam jenis transportasi dan berjalan di antara truk tronton saja sudah membuat gue khawatir. Apalagi ini, dia akan pergi ke luar pulau naik pesawat (yang belum pernah dia naiki sama sekali)? Tetapi ada hal yang kami perjuangkan di sini. Emi pun paham apa yang gue maksud di atas. Gue yakin itu.

“Nanti kapan-kapan kita naik pesawat bareng ya? Aku anterin dan jemput kamu weekend nanti. Tapi aku nggak bisa ikut ke Bali nanti. Eh iya, kalau sempet kamu ketemu sama sodara kamu yang tinggal di Denpasar aja. Bisa kan tuh.”

“Nggak tau deh. Perjalanan aku kan udah diatur sama klien. Entah bisa apa nggak buat kesana sini sendiri. Lagian, waktunya juga sempit.”

“Iya juga sih…”

“Hmm. Zy… Jadi, gimana? Pas nanti gue di Bali, lo bisa kan jaga hati lu pas kita lagi jauh?” Tergambar kekhawatiran lagi di wajahnya.

“Pastilah, Mi. Emang kenapa sih nanya begitu mulu? Kamu lagi mikir apa lagi emang?”

Ini jangan-jangan ada cewek yang ngehubungin dia nih. Kayaknya kalau Edna atau Hana nggak mungkin deh. Apalagi Ana, itu lebih nggak mungkin lagi. Soalnya kalau Ana tau gue sudah punya Emi, kayaknya Ana nggak mungkin menawarkan fisiknya kayak siang tadi.

Apa Arasti ya? Apa dia sudah tau tentang hubungan gue dengan Arasti atau malah Arasti yang menghubungi dia lebih dulu makanya Arasti bawaannya khawatir terus sama gue? Gue berusaha membaca ekspresi wajah Emi. Nothing. Gue memang nggak pernah bisa menebak dia, apakah benar-benar tidak tahu atau dia hanya pura-pura bodoh.

“Nggak apa-apa… Aku takut kamu nggak kangen aku.”

“Kalau aku nggak kangen kamu, aku pasti males ketemu kamu terus setiap hari. Ini udah tahun ke berapa aku hampir ketemu kamu setiap hari coba? Ya nggak setiap hari banget, tapi rutin kan? Coba? Masa masih mikir aku nggak pernah kangen sama kamu? Aku kangen banget malah sama kamu. Makanya aku pingin cepet-cepet nikah, biar bisa ketemu kamu 24 jam!” Serius, ini nggak bohong. Ini bukan gombalan gue. Karena gue memang tidak jago gombalin cewek.

“Halah, tytyd!” jawaban yang bakalan keluar dari bibir Emi. Sudah gue duga pasti dia akan berkata seperti ini. Hahaha.

“Ya udah kalo nggak percaya. Terserah. Gue sih udah jujur itu. Katanya mau gue jujur bukan?”

“Aku takut aja pas lagi jauh, kamu nggak kuat hati…”

“Kuat, Mi. Hati aku cuma buat kamu kok… Eaaa. Bangs*t banget gue ngomong begitu. Hahaha.”

“Bener ya? Jangan malah balik ke mantan kamu lagi pas aku lagi jauh?”

“Yaelah, 2 hari doang ini. Hari Sabtu paginya lo masih ketemu gue kali, Mi. Minggu malemnya udah dijemput gue lagi. Lama darimananya? Hahaha. Nanti video call aja kalo lo nggak percaya. Hahaha.”

“………” Emi terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikiran dia.

Mendadak gue ada ide brilian. “Ya udah kalo masih nggak percaya, besok Kamis lo ambil off deh.”

“Buat apa?”

“Kita nginep dulu mau nggak? Sebelum kamu berangkat? Biar kita bisa quality time sebelum kamu pergi?” Gue pribadi juga mau menumpahkan rindu gue ke Emi sebelum nanti cuma bisa komunikasi via video atau text doang.

“Hmm. Kamis ya? Boleh aja sih. Dimana emang maunya?”

“Entar aku coba cari info dulu ya. Yang asik buat kita.”

“Oke…” Senyum sumringah kembali terpancar dari bibir mungilnya. Gue suka Emi yang begini. Dan gue rasa, gue dan Emi memang sesekali butuh benar-benar quality time. Biar kami bisa sama-sama mencurahkan seluruh perasaan kami tanpa gangguan apapun dan siapapun. Dan pastinya, gue harus menghindarkan cewek-cewek itu selama sehari nanti.

Yang pasti, sekarang hati gue sudah sangat lega. Sedikit lega ketika tahu kalau hal utama yang Emi ingin bicarakan malam itu bukan tentang batalnya pernikahan kami. Jauh dari itu. Emi masih berpikir positive dan optimis atas rencana pernikahan kami. Tapi dia ingin membahas kepergian ke Bali. Sedih rasanya gue tidak bisa turut serta dengan dia pergi ke Pulau Dewata tersebut. Namun, apa daya? Seperti yang gue jabarkan tadi, ada opportunity cost yang harus kami bayarkan untuk kedepannya. Emi pasti paham urusan ini.

Malam ini, gue akhirnya tahu kalau keluarga Emi cukup kecewa dengan acara Perkenalan Keluarga kami kemarin. Sesuai prediksi gue. Ya kalau begitu cara Mama bersikap selama acara kemarin, siapa yang tidak kecewa? Keluarga Ara sekalipun akan kecewa kalau diperlakukan seperti bagaimana jalannya acara kemarin. Masih untung mereka cuma cukup kecewa dan ended up kasih keputusan akhir ke Emi, dimana untungnya (lagi) Emi masih mau melanjutkan pernikahan kami.

Bagaimana kalau Emi memilih mundur atau worst, keluarganya menolak untuk melanjutkan? Amit-amit dah! Dan kalau emang beneran kejadian, gue beneran kabur deh dari rumah. Dimana lagi gue akan menemukan cewek sesabar Emi yang mampu ‘meng-handle’ gue? Siapa lagi yang bisa mencintai dan percaya sama gue kayak Emi? Lagipula emang ada cewek yang kayak Emi lagi? Gue ragu.

Kalau gue nggak menikah sama dia, mending gue jadi abdi istana aja dah. I mean it.
Diubah oleh yanagi92055 22-01-2021 16:00
kaduruk
panda2703
caporangtua259
caporangtua259 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.