Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#216
Hari Besar_Part 1
“Kamu udah telepon Tante-mu, Kak? Takutnya Tante kamu nyiapin ini itu juga. Entar lebih repot Tante kamu lagi daripada kita. Kan nggak enak. Yang punya hajat siapa, yang repot siapa.” Kata Mama, TAPI tanpa melihat ke arah gue. Matanya masih terpaku pada HP beliau, entah apa yang sedang menjadi fokusnya saat itu.

“Iya, Ija udah bilang ke Tante Ida kok. Nggak usah banyak bawa-bawaan--”

“Iya tapi kamunya juga ada usahanya dong. Siapin ini itu gitu.” Beliau langsung memotong omongan gue.

Gue yang pada saat itu sedang mencoba konfirmasi toko kue yang gue pesan pun terdiam. Gue sudah memesan kue dari toko kue asal Belanda favorit Mamanya Emi dari jauh-jauh hari. Inisiatif gue sendiri, tanpa pinta atau perintah Emi sama sekali. Saat ini komunikasi gue sedang tidak lancar dengan Emi. Jadi gue mengambil inisiatif sendiri.

((TANTE IDA CHAT))
Quote:


“Mobilnya udah dicek? Mau siapa yang nyetir? Mama nggak mau Adit yang nyetir, belum lancar dia nyetir. Kita bawa Dian soalnya. Bahaya bawa anak masih kecil begitu tapi yang nyetirnya masih belum bener.” Mama kembali nyerocos sendiri dengan memotong omongan gue.

“Sekalian suruh Dania siapin apa aja yang mau dibawa besok. Jangan lupa bawa stok ASI buat Dian, Pampers-nya jangan lupa, tas GabaG-nya dicek lagi, tisu basah, tisu kering. Apa lagi ya, Kak? Duuh… Ma—”
Kring. Kring. Kring. HP Mama berbunyi.

“Kan besok acaranya Ija, Ma. Kenapa Ija malah ribet ngecek kebutuhan Dian sih? Bapaknya nanti malem sampe loh, Ma. Dania juga bisa kali ngecek dan nyiapin sendiri. Kenapa harus Ija sih?”

Mama melihat ke arah gue. “Kamu itu dimintain tolong perhitungan banget sih, Kak? Mama itu nggak pernah-pernah nya loh ngitung-ngitung kamu atau Dania pernah minta tolong apa aja ke Mama? Kasian dikit kek sama Dania—”

Kring. Kring. Kring. HP Mama yang sebelumnya sempat berhenti berbunyi, kali ini kembali berbunyi. Menghilangkan fokus pembicaraan gue dan Mama.

“Tapi besok itu acaranya Ija, Ma. Mama nggak tanya Ija gimana kabarnya? Ija gimana persiapannya? Ija udah ngobrol apa aja sama keluarganya Emi? Ija sama Emi gimana rencananya nanti? Nggak mau tanya begitu? Mama cuman mikirin orang lain, selain Ija. Besok acaranya Ija, Mama malah sibuk mikirin Dian. Kapan Mama sempet mikirin Ija sebentar aja? Kenapa? Karena Ija anak yang gagal bagi Mama makanya dibiarin aja? Iya gitu? Biar abis ini Ija nikah terus Mama bisa bebas ngelepas anak gagal Mama? Biar Mama nggak punya tanggung jawab lagi atas Ija? Begitu, Ma?”

“………” Mama hanya menatap gue kosong. Entah beliau kaget dengan ucapan gue atau beliau tersadar karenanya, walaupun itu sangat gue ragukan sih.

“Padahal Ija masih punya bakti ke Mama seumur idup Ija, walaupun Ija udah punya Emi dan anak-anak Ija loh, Ma. Hubungan Mama sama Ija nggak akan pernah terputus loh walaupun nanti Ija udah nikah, itu bakti anak laki-laki pada ibunya. Bagi Mama, Ija emang anak yang gagal. Tapi Ija tetep sadar semua itu, Ma.” kata gue sembari membuka pintu kamar gue.

“Kamu kenapa sih, Kak? Mama itu banyak yang diurusin. Makanya Mama minta tolong kamu buat bantu adik kamu—”

“Bantu Dania?” Gue mendengus kesal. “Aku harus ya bantu Dania? Tapi kenapa Mama nggak minta Dania gantian buat bantu aku persiapan aku besok?” tanya gue tanpa menoleh ke arah Mama.

“Emangnya kamu belum siap buat besok? Tadi kamu bilang—”

“Ija tanya sekali lagi.” Gue memotong omongan Mama. “Emang Mama nanya sama Ija gimana persiapan Ija buat besok?”

“………” Skakmat. Mama diam, kayaknya nggak tau mau jawab apa lagi.

Kring. Kring. Kring. Untuk jutaan kalinya itu HP Mama nggak berenti berdering selama perdebatan kami ini. Sumpah, kalau gue nggak bisa nahan emosi gue, udah gue injak-injak itu HP Mama. Kesel juga ke-distractmulu lama-lama. Anj*ng.

“Udah Mama ngurus urusan Mama aja. Nggak usah mikirin Ija. Ija harusnya bersyukur Mama MASIH PUNYA WAKTU buat dateng ke acaranya Ija. HARUSNYA… Ija nggak usah ngarep lebih dari itu.” Tutup gue, sembari menutup pintu kamar gue.

Gue mengurung diri di dalam kamar gue yang sengaja gue buat gelap, tanpa cahaya sedikitpun. Tidak ada jawaban lagi dari Mama. Tidak lama kemudian, gue mendengar suara mobil Mama yang pergi. Gue tidak berniat kasar pada Mama atau membuat Mama sakit hati. Tetapi kali ini, gue hanya meminta perhatian dan waktu Mama sedikit saja, nggak lebih.

Di saat seperti ini, gue sangat membutuhkan Emi. Baik untuk menenangkan diri gue, ataupun untuk membantu gue untuk mengatur segala yang gue perlukan. Tetapi Emi sama sekali tidak menghubungi gue terkait kesiapan gue besok. Mungkin karena dia sibuk, dia sedang menguji kesiapan gue, atau dia memang masih sedikit merasa kesal sama gue pasca debat kami beberapa hari yang lalu. Gue sama sekali nggak bisa fokus lagi saat ini. Gue mencoba menenangkan diri gue.

Gue pribadi sangat menyayangi keponakan gue, Dian. Kalau bisa dibilang, waktu gue dengan Dian jauh lebih banyak dibandingkan waktu Adit dengan Dian. Ikatan gue dengan Dian lebih erat daripada dengan ayahnya sendiri. Tetapi hanya karena Mama sibuk mengurus dan fokus dengan Dian terus menerus, gue malah jadi kesal sendiri dengan Dian, anak yang masih sangat innocent ini.

…gue sangat membenci fakta tersebut.

--

Sebentar lagi, gue akan menginjak tahap pertama menuju kemandirian. Sejarah akan terukir dalam perjalanan kehidupan gue. Gue akan melakukan perkenalan keluarga kedua mempelai. Orang tua gue akan mendatangi orang tua Emi untuk menyampaikan niat baik kami meminang anak semata wayang mereka, Emilya Riva Oktariani.

Walaupun ini hanya sebuah Perkenalan, yang mana masih tahapan awal dan masih ada tahapan lain yang lebih penting dari ini, tetapi gue tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang sekunder. Menurut gue, ini adalah awal dari sebuah hubungan yang diresmikan. Awal sebuah ikatan. Jadi ya bagi gue, tetap punya porsi pentingnya sendiri.

Emi dan gue sudah menetapkan bahwa kami akan melakukan perkenalan keluarga sekitar pukul 10.00 pagi. Pagi banget ya? Emi dan gue sengaja menentukan waktu demikian karena kami pikir agar acara selesai setelah Dzuhur, sekitar pukul 12.00. Soalnya biasanya di musim hujan saat itu, setelah pukul 13.00 biasanya akan turun hujan. Emi memikirkan bagaimana Dania dan keluarganya akan kerepotan membawa Dian turun naik mobil.

So typical Emi, terlalu mikirin orang lain yang jelas tidak pernah memikirkan dia.

Tanpa alarm dari Emi, gue sengaja tidak tidur kembali pasca menunaikan ibadah Subuh. Gue mempersiapkan kebutuhan gue hari itu, sendiri. Semua yang harus dibawa untuk bawa-bawaan ke rumah Emi pun sudah gue ambil kemarin malam, agar gue tidak repot di pagi hari karena harus ambil dulu ke toko. Gue habiskan waktu gue dengan membaca buku, agar pikiran gue tenang tanpa rasa nervous sama sekali.

Gue mengharapkan ketenangan pagi itu, tetapi gue hanya mendapatkannya sekitar 45 menit. Mentari pagi baru saja menyambut carport dan teras rumah gue, ketenangan yang gue dapatkan sebelumnya rusak karena kehebohan dadakan yang terjadi di rumah gue pagi itu.

“Kamu gimana sih, A? Di sini itu rumah kamu juga. Kamar kamu juga. Masa nggak tau dimana simpen barang kayak begitu? Selama ini pikiran kamu kemana aja???” bentak Dania ke Adit.

Adit baru saja datang semalam dari Bandung. Ya, seperti gue ceritakan sebelumnya. Mereka MASIH menjalani LDM (Long Distance Marriage). Sepengetahuan gue, Adit tidak pernah diikutsertakan dalam persiapan keberangkatan kami ke rumah Emi hari ini. Adit hanya tahu, “Hari Minggu kita mau ke rumah Emi.” Hanya sebatas itu. Tidak lebih. Tetapi pagi ini, Adit dibombardir Dania dan Mama tentang banyak hal.

Pertanyaan gue, kenapa harus Adit yang tidak tahu apa-apa dan kemudian disalahkan? Kenapa Mama tidak menyalahkan Dania yang SETIAP HARI ADA DI RUMAH (karena masih menjalani maternity leave dari kantornya)? Kenapa harus Adit?

Dania baru saja kemarin membeli diaper bag merk Anello untuk membawa perlengkapan Dian, tanpa bilang pada Adit. Dania pun baru saja awal minggu ini membeli lemari khusus untuk Dian dan menyimpan segala kebutuhan Dian di lemari itu, tanpa bilang pada Adit juga. Lalu logikanya, BAGAIMANA ADIT BISA TAHU DIMANA BARANG INI ITU KALAU DANIA TIDAK BILANG DULU SEBELUMNYA? Oh rasanya gue ingin berteriak pada Dania kalau dia tidak bisa bersikap begitu pada Adit.

Tapi itu di luar tanggung jawab gue.

Di sisi lain, kenapa Mama malah terus membela Dania dan ikut menyalahkan Adit? Kenapa Mama juga jadi emosi dengan apapun yang dilakukan Adit? Mana Adit yang selama ini dibelain mereka berdua? Mana Adit yang dibanggakan oleh mereka bahkan sampai mereka rela membandingkan gue dengan Adit pada Emi, hingga Emi akhirnya meninggalkan gue? Mana?

Walaupun gue juga paham sih, Mama jadi emosian begitu karena omongan hasutan dari Dania yang bermula dari “Ma, Dania mau curhat. Tentang Adit.”

“Nanti gue mandi jam 6.30 aja.” Ucap gue dalam hati sembari melirik jam dinding yang ada di ruang tamu rumah gue. Toh orang rumah semuanya sudah mandi.

Gue membuka HP gue, seperti biasa ada beberapa chat dari cewek-cewek itu. Mereka berharap punya waktu banyak ngobrol sama gue di weekend ini. Mungkin karena gue banyak meluangkan waktu untuk mereka sepanjang minggu ini karena gue yang diabaikan oleh Emi. Gue membalas chat cewek-cewek itu sekedar memberi kabar kalau gue sudah bangun dan sedang menikmati pagi gue. Soalnya kemungkin gue tidak bisa merespon mereka ketika gue sedang di rumah Emi nanti.

Gue mau fokus hanya untuk Emi.

((HANA CHAT))
Quote:


((EDNA CHAT))
Quote:


((ARASTI CHAT))
Quote:


Gue pada akhirnya lebih memilih untuk memeriksa chat dari Emi paling terakhir. Mungkin karena chat dia yang akhir-akhir ini selalu penuh prasangka buruk sama gue, makanya gue pun males membuka chat dia. Gue nggak mau mood gue rusak karena baca chat dia.

((EMI CHAT))
Quote:


Tapi, cuma dia yang paling mengerti gue.

“Kamu tuh gimana sih, A, kan tadi udah disuruh siapin semua. Masa gitu aja lupa naruhnya dimana?” pekik Dania ke suaminya. Dia keluar dari kamar sambil membanting pintu kamar mereka. Gue yang sedang santai-santai duduk di ruang tamu pun kaget karenanya.

“Iya sabar, aku lagi inget-inget dulu.” balas Adit dengan nada datar dan logat sunda yang sangat kental.

“Inget-inget dulu kayak gitu, keburu siang dong. Itu tuh kamu butuh banget loh. Nanti dari sana kita mau pergi dulu baru kamu pulang, kalau HP kamu mati nanti gimana? Aku nggak mau charger aku dibawa sama kamu, nanti aku nge-chargegimana? Besok aku di kantor gimana?”

“Ya, makanya sabar dulu, biar cepet.”

“Kamu tuh kebiasaan deh, naro apa-apa sembarangan. Terus kalo udah begini malah jadi lupa. Sekarang udah ribet kayak gini gimana coba?”

Adit adalah orang yang punya kesabaran super kelewatan. Dania yang segitu emosiannya aja selalu bisa dia handle sendiri, walaupun di belakang Dania tidak henti-hentinya meremehkan dan menghina suaminya itu. Gue yakin, Adit tidak buta dan tuli. Adit tidak bodoh sehingga dia sama sekali tidak tahu kalau istrinya sendiri menghina dia. Mungkin memang tidak menghina dia di depan teman-teman Dania atau Adit, tapi menghina dia di depan Ibu Mertua dan Kakak Ipar sendiri, itu sama saja mengumbar aib loh. Dan itu tindakan yang tidak baik menurut gue.

Gue perhatikan ekspresi Adit, dia benar-benar terlihat no clue. Dia benar-benar tidak mengingat dimana dia menyimpan charger plus powerbank yang ia punya. Benar kata Dania, itu barang yang menjadi kebutuhan penting. Adit sangat membutuhkannya karena nanti Adit akan lanjut pulang ke Bandung sepulang dari rumah Emi. Bisa berabe kalau baterai HP Adit habis dan dia sudah terlalu malam sampai di Bandung. Dia tidak dapat memesan ojek online maupun menghubungi keluarganya. Karena di daerah dia, kalau malam hari sudah jarang angkutan umum.

Melihat Adit yang seperti itu, gue jadi mengingat Emi. Adit yang pelupa ini, sepertinya mengidap penyakit yang sama dengan Emi. Apa gue sudah pernah bilang kalau Emi punya penyakit short term memory loss? Penyakit itu sendiri adalah penyakit yang terjadi ketika seseorang lupa apa yang didengar, dilihat, atau dilakukan beberapa saat sebelumnya. Emi begitu karena dia terlalu sering multitasking.

Kadang, hal itu pun terjadi ketika dia sedang menjelaskan sesuatu dan kita tanpa sengaja memotong penjelasan dia. Dia akan lupa kelanjutan dari penjelasan dia. Dia juga bisa lupa mendadak akan sesuatu yang sering dia lakukan. Tetapi itu tidak terjadi dalam jangka waktu yang lama, hanya sebentar walaupun terjadi lebih dari dua atau tiga kali.

Gue pikir, Adit mengidap penyakit yang sama dengan Emi. Walaupun gue juga agak ragu kalau dia mengidap penyakit tersebut akibat multitasking seperti Emi. Mungkin dia terkena kurang tidur atau depresi karena penuh tekanan dari keluarga besan dia? Gue juga nggak paham.

Tetapi kalau Adit memang mengidap penyakit tersebut, seharusnya Dania tidak malah menjadi marah dan menghina dia. Dania seharusnya membantu dia. Adit butuh pendampingan dan dukungan. Sementara Adit yang sepertinya tidak disadari oleh dirinya sendiri kalau punya penyakit ini, malah selalu dapat omelan ketika dia menyatakan lupa melakukan sesuatu atau menyimpan sesuatu. Mama dan Dania hanya menganggap kalau lupa adalah kebiasaan Adit, bukan penyakit. Mereka menganggap semua orang pernah lupa, tetapi Adit tingkat lupanya lebih sering.

Gue tidak tahu, apa Dania akan menerima penjelasan gue ini atau tidak. Apalagi ketika gue membandingkan Adit dengan Emi. Kenapa demikian? Jelaslah dia bisa saja tidak menerima, dia saja sudah membandingkan Adit dengan kakaknya sendiri. Dia jelas-jelas menghina gue di depan Emi. Dia membanggakan Adit yang superior ini, jauh lebih hebat dibandingkan kakaknya yang dia kenal seumur hidupnya.

Jadi gue memilih untuk diam saja.

“Kamu juga jangan nyalahin Adit terus dong, Bun. Bantuin!” Bentak Mama sembari menggendong Dian yang menangis tak kunjung berhenti. Mood bayi saja rusak karena melihat ayah ibunya bertengkar, apalagi mood orang lain?

“Adit yang salah, kenapa aku juga yang disuruh bantuin? Biarin aja kalau nggak ketemu. Yang pasti aku nggak mau pinjemin punya aku. Ribet di aku dong nanti?” Dia menoleh ke arah Dian. “Duuh. Berisik banget sih kamu. Sini, Ma. Aku aja yang gendong.” Dania mengambil Dian dari pelukan Mama dan masuk ke dalam kamar. Tidak lupa dengan kembali membanting pintu kamar dia.

Teriakan demi teriakan terdengar bersahut-sahutan di pagi yang cerah itu. Semua persiapan untuk perkenalan gue seperti nggak diurus sama sekali oleh mereka. Bahkan mereka tidak menanyakan ke gue, bagaimana persiapan gue pagi itu. Gue mempersiapkan ini semua sendiri. Cek semua sendiri. Beli pakai uang sendiri, jalan sendiri, milih sendiri tanpa sugesti apapun, dan sekarang gue yang harusnya jadi pusat perhatian untuk minimal di cek kelengkapannya, malah tidak diperhatikan sama sekali. Untungnya gue sudah membuat list yang terbiasa di lakukan oleh Emi.

“Udah nanti Mama bantu cariin barang kamu itu. Itu tasnya Dian dicek lagi aja isinya. Dicek kayak tisu, baju ganti, popok, minyak telon dan kawan-kawannya. Udah lengkap belum? Di rumah Emi pasti nggak ada yang kayak begitu. Jadi nggak bisa minjem. Kitanya yang jangan sampe ketinggalan ya, Dit. Breastpump-nya udah discharge belum itu si Dania?”

“Sebentar saya cek dulu, Ma.” Adit jalan ke arah kamar dia.

((HANA CHAT))
Quote:


Hana chat di waktu yang tidak tepat banget. Hana mengirimkan foto dimana dia sedang menggunakan baju cosplay Miku Hatsune dari Vocaloid dengan pengambilan gambar dari atas. Gue juga nggak paham dia sedang di acara apa saat itu. Dia melepas kerudungnya dan menggunakan baju seksi tersebut hanya untuk cosplay mirip Miku Hatsune tersebut.

AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


“Kok ke kamar sih, Dit? Tasnya udah ada di ruang tamu loh itu. Noh di samping si Kakak…”

((HANA CHAT))
Quote:


Tetapi ketika gue akan membalas chat gue tersebut, Mama mengaburkan fokus gue.

“Kok kamu diem aja sih, Kak? Kenapa kamu nggak bantuin sedikit kek rumah lagi ribet begini?”

“………” Gue diam saja, tidak bergeming. Gue malah kembali melanjutkan chat gue dengan Hana.

((HANA CHAT))
Quote:


“Ini Mama mau siapin bubur buat Dian dulu. Mama juga lagi masak air panas buat termos kecil dia. Lagi ribet banget. Kamu ngapain duduk sendirian di situ?” Mama malah ikutan nyemprot gue.

“………” Gue tidak menjawab satupun pertanyaan Mama. Gue hanya diam sembari mengambil handuk gue.

Lebih baik gue mandi dan mengurung diri di kamar sampai semua kekacauan ini selesai. Mama hanya menatap gue penuh kekesalan. Gue pun tidak lagi menggubris semua chat yang masuk ke HP gue, moodgue super rusak.

Sebenarnya ini acara siapa sih, Dian atau gue? Gue bukannya iri dengan perhatian yang dicurahkan keluarga kecil ini ke keponakan gue, TETAPI harusnya porsi perhatian untuk hari ini saja, diarahkan ke gue. Ini adalah hajat besar gue. Sebuah awal yang menjadi pintu gerbang terbukanya silaturahmi dua keluarga besar yang kedepannya akan menjadi satu.

Tentunya hal ini tidak bisa di anggap remeh begitu saja. Tidak ada kamusnya itu yang namanya ‘cuma perkenalan keluarga doang’. Semua harus dipikirkan dan dipersiapkan dengan matang. Itu semua butuh fokus. Semua yang terlibat harusnya bisa fokus untuk hal ini. namun sepertinya hal ini tidak berlaku untuk kehidupan gue
jiyanq
Shi15
caporangtua259
caporangtua259 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.