Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#204
Pengumuman
Belum genap kedua telapak kaki menjejakkan kaki di lantai bawah rumah kakek Emi, sorak sorai dari keluarga Emi yang mendengar langkah kami menuruni anak tangga pun sudah mulai menyambut kami dengan riang. Tidak lupa terdengar sedikit canda khas ala rakyat Indonesia ketika merespon orang yang sedang kasmaran, yaitu ‘Ciyeee~’di sela-sela sorak sorai mereka.

Sebenarnya gue males juga dengar candaan begitu. Kekanakan banget dan agak annoyingjuga sih bagi gue. Nggak banyak loh orang yang nyaman dapet candaan demikian. Apalagi kalau orangnya termasuk orang introvert, kayak Emi begini. Dia pasti juga lebih annoyed dan ngerasa nggak nyaman dapat candaan begitu. Well, karena udah terjadi, mau nggak mau gue pun merespon dengan senyum template yang penuh ketampanan. Gue nggak mau memberikan senyum yang terkesan awkward. Gue harus kasih senyum terbaik gue.

Gue dan Emi kembali salim ke beberapa saudara dia yang belum sempat kami sapa sebelumnya. Ruang keluarga dan ruang tamu di lantai bawah tersebut kini sudah dipenuhi orang. Keluarga Emi dari Papanya ini memang merupakan keluarga besar, sama seperti keluarga gue dari Papa. Lagipula ini bukan kali pertama gue dipertemukan dengan keluarga besar mereka. Ini udah kesekian kalinya gue bertemu mereka, bedanya ya kali ini gue dan Emi menjadi pusat perhatiannya.

Kalian nggak salah baca. Gue memang lebih mengenal keluarga besar dari pihak Papanya dibandingnya keluarga dari Mamanya Emi. Gue hanya sesekali mendengar cerita mengenai keluarga Mamanya dan ikut ke rumah saudara Emi dari pihak Mamanya. Praktis, gue nggak pernah tahu bagaimana keluarga besar ibunya atau dimana keberadaan mereka saat ini. Satu yang gue tahu, Emi sangat dekat dengan neneknya (ibu dari Mamanya). Neneknya ini pun sempat tinggal bersama ketika Emi kecil, di rumah yang sekarang mereka tinggali. Hanya saja, neneknya harus meninggalkan mereka lebih dulu ketika Emi duduk di bangku SMA.

Ya, Emi sudah tidak memiliki kakek dan nenek. Sedangkan seorang Emi adalah cucu kesayangan kakek nenek baik dari pihak Papa maupun Mamanya. Kebayang, kan, gimana gejolak hati dan mental Emi saat ini ketika dia harus mempersiapkan segalanya tanpa kakek dan nenek dia?

Sebelum kami to the point ke rencana pernikahan kami, kami diminta untuk menunggu sesaat sambil menunggu seluruh anggota keluarga Emi ini lengkap. Terutama paman, bibi, om, dan tantenya. Mungkin ada beberapa sepupu dia juga ikut diminta hadir di sini. Walaupun gue juga nggak memaksa mereka hadir, tetapi orang tua mereka masing-masing yang memaksa mereka. Not my fault. Hehehe. Sambil menunggu, gue mempelajari keadaan yang ada di sekeliling gue ini.

Satu kata yang bisa gue ungkapkan, nyaman.

Gue sangat menemukan kenyamanan di sini. Bukan karena bagaimana keadaan rumah mereka. Kalau boleh dibilang, rumah kakek Emi ini tidak sampai 30% luasnya dari rumah kakek guedi Timur Pulau Jawa. Bahkan ketika kumpul keluarga ini, keluarga Emi harus memarkirkan kendaraan mereka di pinggir jalan karena rumah kakeknya ini tidak memiliki lahan parkir.

Hanya dari bagaimana cara mereka bersikap dan berpakaian, gue pun bisa menilai bahwa kemampuan finansial masing-masing keluarga dari paman, bibi, om, dan tante dia ini tidak merata. Gue tidak bermaksud menjatuhkan atau bagaimanapun, tetapi itu yang terlihat di hadapan gue saat itu. Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh keluarga besar gue. Paman, bibi, om, dan tante gue. Tetapi apa keluarga ini mempermasalahkan hal tersebut? Nope. Mereka berstatus yang sama di rumah ini, anak dari kakek dan neneknya Emi.

Bukan juga karena bagaimana mereka selalu memuji gue. Dipuji demikian bukan membuat gue bangga, tapi malah menjadi beban di diri gue. Mengapa demikian? Karena berarti ekspektasi mereka tinggi terhadap gue. What if, amit-amit ya, suatu saat nanti ada menantu yang lebih hebat dari gue, jabatannya lebih tinggi dari gue, lebih tampan dari gue, dan lebih-lebih segalanya dari gue? Apa mereka nggak melihat gue nothing setelahnya? Apa mereka nggak menjadi membandingkan keluarga gue dan Emi dengan siapapun itu? Berat. Maka, kenyamanan yang gue rasanya bukan karena hal tersebut.

Kekompakan mereka.

Kekompakan atau keguyuban keluarga ini sangat patut diacungi jempol. Kalau tangan gue punya jempol lebih dari dua, mungkin gue sudah ikut menghitung jempol tambahan gue tersebut.

LUAR BIASA!

ASLI! Gue yakin, gue nggak 100% diterima dari atas-bawah, luar-dalam, ataupun sikap maupun sifat gue. Gue pasti banyak punya banyak kekurangan di mata mereka, di luar segala pujian yang mereka lontarkan kepada gue.

Namun, apa pernah mereka menghina gue? Merendahkan gue? Tidak menganggap keberadaan gue? Atau malah tidak menerima gue sama sekali? TIDAK PERNAH. Walaupun gue belum menjadi bagian dari keluarga ini secara official tetapi gue sudah selalu nongol hampir di setiap kesempatan yang ada, mereka tetap menerima gue dengan baik. Sangat baik kalau bisa dibilang. Semuanya di sambut sangat hangat.

Gue berada di persimpangan, antara bahagia dan miris. Bahagia karena keluarga Emi dan miris karena keadaan keluarga gue sendiri. Miris pun, gue antara miris sedih dan rindu. Ya, gue sangat merindukan keadaan seperti ini. Kehangatan dan kenyamanan seperti ini.

Pada dasarnya, keluarga dari Papa itu semuanya juga hangat. Namun, sepertinya mereka nggak menyadari kalau nggak semua keadaan saudara kami itu sama. Terutama di bidang finansial. Memang sih, di keluarga besar Papa juga sangat jarang menyentil soal isu finansial. Jarang, bukan berarti tidak pernah disentil.

Memang menurut kalian, Adit (suami Dania) dan Emi yang berasal dari keluarga sederhana pernah disapa oleh Tante Dona yang tajir itu? Dilirik saja nggak sudi mungkin beliau. Apalagi ketika beliau tahu kalau Adit dan Emi bukan anak dari keluarga konglomerat serta tidak setampan ataupun secantik para selebgram yang berseliweran di media sosial. Walaupun memang, tidak semua keluarga bersikap seperti Tante Dona. Tetapi gue yakin, Adit dan Emi tidak sebodoh itu untuk tidak menyadarinya.

Oke lah kalau misalnya ada pembenaran kalau Adit dan Emi begitu karena mereka bukan bagian dari keluarga inti. Walaupun bagi gue, no excuse untuk hal tersebut. Bagaimana dengan kasus gue yang selalu diperlakukan berbeda dengan Emir. Padahal gue juga bisa melakukan apa yang Emir lakukan, bahkan mungkin gue bisa lebih dan… Ah ya sudahlah.

Terkadang kalau gue sedang merasa kurang dihargai di keluarga Papa, gue sangat rindu dengan keberadaan Papa. Sepertinya dari dulu Papa sudah sadar kalau keluarga kecilnya ini memang tidak selalu menjadi pusat perhatian di kala banyak sekali prestasi yang sudah gue dan Dania hasilkan. Namun, karena ini HANYA PRESTASI KECIL seorang Ija dan Dania (bagi mereka), jadi kami hanya menjadi komoditi minor untuk diperbincangkan.

Hal tersebut sangat berbeda ketika dibandingkan dengan Emir yang hanya ‘punya pacar baru dari kalangan selebritis dan ada salah satu anggota keluarga yang nggak sengaja ketemu dengan mereka di mal’ kemudian menjadi perbincangan hangat dan tidak pernah luput untuk terus dibahas. Hingga bertahun-tahun setelahnya. Ya karena ini urusan yang terkait dengan Emir, bukan gue maupun Dania.

Emi sudah selalu mengingatkan gue untuk tidak membandingkan diri gue dengan Emir karena itu hanya menyakiti diri gue sendiri. Lagipula Emir itu sepupu gue. Semakin gue membandingkan diri gue, semakin menunjukkan kalau diri ini iri pada Emir. Sedangkan iri itu tanda tak mampu. Gue sadar kalau gue ini mampu, jadi lebih baik gue tidak iri pada Emir. Titik. Pakai ‘k’, bukan ‘t’. Intinya, di keluarga Papa urusan penghargaan terhadap orang lain yang masih satu darah dengan mereka perlu sekali di perbaiki.

Obrolan-obrolan awal alias basa basi pun mulai dilakukan. Pada awalnya masih banyak yang belum terfokus dengan gue dan Emi sampai pada akhirnya Om Asep, om-nya Emi, mempersilahkan gue untuk membuka bahasan.

“Assalamualaikum Om, Tante, sepupu-sepupu semuanya. Mungkin hampir semuanya udah kenal saya…”

“Udah kenal dong, tapi belum launching nih kapan official-nya… Hihihi.” sahut salah satu tantenya.

Gue menjawabnya dengan tersenyum. “Saya Firzy, atau bisa dipanggil juga Ija. Punten acaranya saya ganggu sebentar. Saya mau minta waktunya Om, Tante, dan sepupu yang lain buat nyampein satu dan lain hal...” Gue mulai berbicara dengan nada sedang dan terukur.

“Kayaknya ada kabar baik ini ya, Ji.” ujar salah seorang tante Emi, sambil menyeruput secangkir kopi hitam-nya.

“Amiiin… Hehehe. Mudah-mudahan apa yang ingin saya sampaikan ini adalah kabar baik buat keluarga ini.” Gue menjeda sejenak untuk menarik napas sembari meminta perhatian dari seluruh keluarga Emi. “Saya langsung to the point aja semuanya ya Om, Tante, dan sepupu semuanya. Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu saya mengajak Emi untuk meresmikan hubungan kami yang sudah berjalan kurang lebih tiga tahun ini di sebuah ikatan pernikahan. Singkatnya, saya ingin meminang Emi menjadi istri saya.” Ujar gue mantap, tanpa terbata-bata dan banyak jeda lagi.

“Alhamdulillah…” Jawab seluruh keluarga Emi hampir serempak.

Gue menunggu hingga mereka selesai melakukan selebrasi dengan bertepuk tangan dan merangkul Emi yang ada di samping gue. “Saya udah menyampaikan niat baik kami ini ke Om Dedi. Awalnya sih saya dan Emi rencananya mau langsung acara lamaran di awal tahun depan. Tapi Om Dedi mintanya kita ngadain perkenalan keluarga dulu. Baru setelahnya dilanjut acara lamaran dan akad nikah.”

“Baiknya emang begitu sih.” Sahut Om Yandi, adik laki-laki Papanya Emi yang lain. “Biar kita kenal keluarga kamu dulu. Nggak baru pertama kali ketemu di acara lamaran aja… Paling nanti di acara perkenalan keluarga nggak usah rame-rame dulu. Beberapa orang aja atuh ngawakilkeun ka buminya A Dedi…”

“Kapan rencananya perkenalan keluarga kamu teh, Ji?” tanya Om Asep.

Emi menahan tangan gue, mengisyaratkan gue untuk berhenti. “Hmm. Om Asep punten…” Emi membuat seluruh perhatian keluarga kami beralih padanya. Entah kenapa dia yang sedari tadi hanya diam saja mendadak mulai mau bicara. “Emi teh diminta sama Papa buat minta tolong kesediaan dari keluarga semua buat ngebantu di persiapan perkenalan keluarga nanti…”

“Bantu persiapan perkenalan keluarga teh maksudnya kumaha, Mi? ‘Modal’-nya atau tenaga untuk persiapannya? Hahaha.” Gue pikir kalau ngebahas urusan uang begitu, bakalan jadi awkward moment. Tapi ternyata tidak. Mereka malah menertawakan pertanyaan salah satu Tante Emi tersebut.

“Bukan kok, Bi. InsyaAllah modal perkenalan mah udah disiapin sama Emi. Tapi karena Emi kerja dan kondisi Mama begitu, jadi Emi mungkin butuh bantuan tenaga buat persiapannya. Sekalian bisa kenalan langsung sama keluarga intinya Firzy.”

“Keluarga besar kamu emang dateng semua, Ji?” Tanya Wa Tati, anak pertama di keluarga Papanya Emi. Kakak dari Papanya Emi.

“Nggak juga sih, Wa. InsyaAllah nanti yang dateng keluarga Om saya, adik dari ibu saya, ibu saya sendiri, sama keluarga adik saya. Sepertinya kalau untuk keluarga besar…” Gue melirik ke Emi. Sepertinya dia paham apa yang mau gue bahas. “Datengnya nanti aja kali ya, Mi? Pas lamaran aja ya?”

“Baiknya sih begitu…”

“Makanya Om tanya. Kamu teh kapan rencananya perkenalan keluarga kamu?” tanya Om Asep lagi.

Gue menatap sekeliling gue. Mereka terlihat antusias menunggu jawaban gue. Seumur-umur, baru kali ini gue ngerasa jadi center of attention di acara keluarga. Rada nervous juga gue. Utamanya sih karena ini bukan di keluarga gue sendiri. Pokoknya degdegannya itu buat gue merasa ingin langsung Ijab Qabul aja. Hahaha.

“InsyaAllah kalau dari keluarga saya sih hari Minggu depan.” Gue menjeda kalimat gue sesaat. “Mohon maaf kalau kesannya dadakan banget baru kasih tau ke semuanya. Soalnya saya juga cari waktu kosong dari keluarga Om dan ibu saya di bulan ini. Dan setelah diomongin, bisa diusahakan Minggu depan. Atau mungkin ya 3 minggu lagi. Begitu… Saya dan pastinya Emi juga akan sangat berbahagia kalau saudara-saudara disini semua bisa menyempatkan diri untuk hadir di acara tersebut.”

“Nggak cuma untuk bantu persiapan acaranya aja kok. Tapi sekalian mengenal keluarga inti dari Firzy.” Emi menambahkan.

Emi mengajak gue yang sedari tadi berdiri di depan bangku gue untuk duduk kembali sembari menunggu hasil keputusan dari keluarga besar dia. Terdengar suara-suara pelan pertanda saudara-saudara Emi sedang berdiskusi terkait rencana perkenalan keluarga.

Gue nggak berharap banyak mereka semua dapat hadir di acara tersebut mengingat jarak tempuh rumah mereka ke rumah Emi yang sangat jauh, dan juga mungkin ada urusan-urusan lain yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Ya resikonya, kami akan disibukkan berdua untuk segala persiapannya.

Gue melihat ke arah Emi. Entah kenapa dia terlihat tidak setegas biasanya. Tidak sepercaya diri biasanya. Emi terlihat ragu dan bimbang. Emi tidak seperti biasanya. Ketika gue akan menanyakan keadaan dia… “Mi, ka—“

“InsyaAllah kami bisa kok, Ji…” Om Asep memotong omongan gue. Gue dan Emi langsung fokus kembali ke paman Emi ini. “Ya tapi mungkin nggak bisa hadir semuanya. Kayak Om Asep mah hapunten pisan, nggak bisa hadir karena itu jadwalnya Om Asep jaga di rumah sakit. Tapi Bibi Emi sama Paman yang lain mah bisa diusahakan tah untuk hadir ke rumah Emi. Adik Papanya Emi kan banyak. InsyaAllah mah bisa ngebantu persiapan sekaligus mewakilkan keluarga untuk ketemu keluarganya Pirji. Gimana, Ceu?”

“Uwa mah di Jakarta. InsyaAllah bisa hadir buat kamu.”

“Jadi kira-kira Emi sekalian ngerepotin untuk persiapannya kayak masak-masak di rumah gitu teh nggak apa-apa?” Emi menanyakan kembali ke keluarga. Memastikan keputusan akhirnya.

“Udah Mi. kamu tenang-tenang aja. Kami semua siap bantuin kok. Kita kan semua juga tau keadaan Papa sama Mama kamu. Mama kamu lagi sakit, Papa kamu ge ngurusin Mama kamu sendirian. Kamunya harus kerja sampe hari Sabtu. Jauh juga kerjanya. Da nggak mungkin kamu ngurus sendirian. Tapi kamu masih punya keluarga. Ada Uwa, Mamang, sama Bibi kamu di sini yang insyaAllah bisa bantuin kamu. Nanti kira-kira mau dibantu apa aja, bilang weh di grup atau ke siapa kek nanti. Ke Papa kamu juga nggak apa-apa. Nggak usah itung-itungan sama saudara mah. Kalau bisa dibantuin mah kita bantuin, kalau nggak bis amah kita juga nggak akan maksain.”

Emi dirangkul sama salah satu Bibi dia. “Pas Bi Uci kecil, Bi Ika, Om Asep dijagain semua sama Papa kamu. Nah pas kamu lahir, Bi Uci gentian bantu ngejagain kamu dari kamu kecil. Om Asep juga sama. Jadi nggak usah nggak enakan sama kita. Rasanya diminta bantuan begini tuh kayak ngurusin buat anak sendiri. Persiapan melepas anak sendiri untuk hidup mandiri…”

“………” Emi nggak bisa menjawab apapun. Gue yakin banget dia mau nangis denger omongan Bibinya tersebut. Emi itu orang yang nggak enakan dan gampang banget terharu. “Makasih, Bi… Makasih semuanya.”

“Nah, Pirji…” Kali ini Mang Yani merangkul gue. “Sekarang tinggal siapin mental kamu aja yah. Emi juga. Kita semua doain, niat baik kalian ini semoga jadi berkah buat kalian dan dilancarkan segala urusan kita nanti…”

Sedetik kemudian terdengar suara ‘amin’ panjang berbarengan yang berasal dari orang-orang di ruangan tersebut. Gue hanya bisa bersyukur ternyata bisa selancar ini. Ketegangan di awal tadi sudah benar-benar hilang menjadi sebuah keluwesan. Fokus gue berikutnya adalah, bagaimana gue membawa Emi ke tengah-tengah keluarga gue.
kaduruk
jiyanq
caporangtua259
caporangtua259 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.