Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#203
Perjalanan Menengangkan_Part 3
Perjalanan kami menemukan akhir. Kami sudah tiba di kampung halaman keluarga Papanya Emi. Sebelumnya gue sudah beberapa kali kesini. Hmm. Bahkan ketika umur pacaran kami masih seumur jagung, gue sudah mulai menginjakkan kaki di sini.

Di sini lah gue mulai membiasakan diri dipanggil Pirji dibandingkan Firzy. Walaupun mereka tau gue biasa dipanggil Ija, mereka lebih senang (atau karena mereka lupa panggilan gue makanya mereka) memanggil gue Pirji. Sambutan keluarga Emi di sini selalu baik, tidak pernah mengecewakan. Ya, setidaknya gue dipandang baik oleh keluarga di sini. Itu yang utama.

Cuaca yang sejuk sepanjang hari ini, bahkan sepanjang perjalanan kami, benar-benar memanjakan tubuh gue yang sudah mulai lelah. Gue nggak bisa merasakan nikmatnya menghirup udara segar seperti ini di ibu kota. Sejuknya angin semilir yang keluar masuk dari setiap jendela membuat gue ingin segera merebahkan diri di empuknya kasur. Sayangnya, tidak semudah itu gue mendapatkan apa yang gue inginkan.

Hari ini adalah pertemuan keluarga besar Emi. Beberapa jam lagi, seluruh keluarga besar mereka berkumpul di rumah dua lantai dengan lantai kayu yang mirip konstruksinya dengan rumah di film-film Hollywood. Klasik banget rumah ini. Duh, kemana-mana gue ngomongnya. Intinya, gue nggak bisa langsung tidur begitu saja.

“Nanti kamu bareng aja sama Emi di kamar lantai atas yang belakang ya, Ji.” Ujar Mang Asep, Om-nya Emi yang paling akrab dengan keluarganya Emi dan gue pribadi.

Di rumah kakek Emi ini, kamar yang ada benar-benar terbatas. Ada rasanya gue ingin mengajak Emi untuk menginap di hotel ketimbang harus bejubel ria di dalam rumah kakek mereka ini. Tapi sebagai calon mantu di keluarga mereka (terlepas dari fakta kalau gue sudah mengenal keluarga mereka selama beberapa tahun) dan kami juga akan meminta bantuan dari keluarga besarnya Emi, kayaknya nggak etis banget aja. Kesannya kayak minta sama orang lain. Bukan sama keluarga sendiri.

Gue pribadi sebenarnya juga tidak ada masalah dengan menginap di rumah kakeknya ini. Gue hanya merasa kurang nyaman dengan fakta kalau kami harus tidur di kamar lantai dua dimana di depannya adalah ruang keluarga berbentuk rooftopdengan atap fiberglass. Di sini biasanya dipakai oleh para sepupu laki-laki Emi dan para om tante dia untuk mengobrol sambil merokok.

Gue bisa asma hanya karena asap rokok mereka masuk dengan lancar ke dalam kamar yang kami pakai. Well, nggak kami pakai bersama sih. Hanya dipakai Emi dan barang-barang kami. Gue tetap akan tidur di salah satu sofa yang ada di rumah ini. Sofa di sini bukan hanya sofa ruang tamu, tapi sofa yang ada di ruang keluarga mereka. Percayalah, ruang keluarga di rumah ini terhitung banyak juga. Ada 4 ruang keluarga. Salah satunya ya yang di rooftop ini. Kalau terpaksa, pasti ada yang tidur di atas sini. Walaupun dijamin akan enter wind. Hahaha.

“Wah saya di sofa aja, Mang. Lagian nggak enak juga kan masa udah se-kamar. Nanti aja kalau udah nikah, baru deh enak mau se-kamar kek. Mau ngapain juga enak… Hehe.” kata gue membalas. Mencoba mengakrabkan diri dengan beliau.

“Haha. Bisa aja kamu, Ji. Kalau udah nikah mah, makan sepiring berdua terus tidur di sofa berduaan juga nikmat yak? Yang penting ada yang ngelonin kan? Haha.” Ingin rasanya gue nimpalin omongan beliau, tapi gue takut kebablasan. “Ya udah kalau gitu. Terserah kamu aja. Atau nggak di depan TV situ juga nggak apa-apa. Ya kayak biasa aja lah… Paling cepet-cepetan aja. Ini mah Mang Asep bilang begitu teh biar kamu tidurnya nggak di luar. Karunya, dingin kamu-nya nanti. Toh A Dedi nggak ikut. Emi sendirian ini.” A Dedi di sini adalah nama Papa-nya Emi.

“Kalo nggak saya di sofa yang situ aja…”, kata gue sembari menunjuk ke sofa ruang tamu mereka. Tepat di samping pintu masuk utama rumah ini.

“Emi di lantai atas loh, Ji. Masa kamu di sini? Lagian teh suka pada ngerokok di dieu. Kamu di atas aja. Di sofa ruang keluarga boleh… Atau kamu atur sendiri lah dimana. Di sini mah ada tempat dipake tidur, ya atuh pake tidur bae. Haha.” Beliau menutup dengan ketawa template khas ala bapack-bapack. Kemudian beliau pergi meninggalkan kami.

Gue ikut di belakang Emi menuju lantai atas rumah mereka. Tak lupa gue salim dan menyapa semua orang yang sudah datang lebih dulu sembari tersenyum penuh kharisma. Di sini, gue merasa jadi pemeran utama di film Terlalu Tampan. Gue tak henti-hentinya mendapat sapaan ‘Eh Emi, dateng berdua sama pacarnya yang ganteng…’. Haha. Bahagia itu sederhana. Se-sederhana dapet compliment begini.

Gue menaruh barang-barang di kamar tempat Emi nanti akan tidur. Dalam hati gue juga cukup berdebar karena malam nanti, atau mungkin siang ini ketika seluruh keluarga mereka sudah berkumpul, gue akan mengumumkan rencana gue dan Emi di depan keluarga besarnya. Tanpa didampngi oleh Papa dan Mama-nya Emi. Padahal keluarga gue sendiri belum semua saudara mengetahui tentang rencana gue dan Emi ini. Sungguh suatu hal yang sangat besar dalam hidup gue. Rasanya tuh kayak gue sudah akan mengikrarkan janji suci kami di hadapan mereka.

Saking degdegannya ada kekhawatiran di diri gue, “Jangan sampe lo keceplosan bilang ‘Saya terima nikah dan kimpoinya…’ di depan mereka, Ja! Awas jangan gobl*k lo!”

Mumpung keluarganya belum pada datang dan kebanyakan berkumpul di lantai bawah, gue sempatkan diri gue untuk rebahan di kasur yang ada di kamar Emi. Emi pun mengikuti gue. Kami tidur bersebalahan sambil fokus pada HP kami masing-masing.

Fakta kalau ibu gue ternyata (terkesan) tidak terlalu peduli dengan pernikahan gue dan gue yang khawatir Emi akan mengetahui kehadiran cewek-cewek itu membuat [I[mood[/I] gue turun drastis. Kayaknya, gue nggak bisa menutupi ekspresi gue yang sedang nggak mood tersebut sampai Emi menanyakan kepada gue kalau gue masih terjaga atau nggak. Dia sadar, gue terlihat ogah-ogahan.

“Emang gue harus ikut?” Hanya pertanyaan itu yang keluar dari bibir gue.

“Ya haruslah! Gimana dah? Kan kita yang mau ngomong sama orang-orang kalau kita berdua mau nikah. Kita mau sekalian minta tolong mereka buat bantu persiapan acara kenalan keluarganya di rumah.” Iya juga sih. Bener banget omongan dia ini. Tapi gimana ya. Gue nggak mau terkesan sombong atau senyum terpaksa kalau gue sampai harus ketemu sama keluarganya Emi.

Gue membuka handphone gue. “Seminggu lagi waktunya. Cukup kali ya?” gumam gue. Entah Emi mendengar dengan jelas atau nggak gumaman gue tersebut.

((MAMA CHAT))
Quote:


“Zy… Ayo!” ajak Emi. Membuyarkan fokus gue ketika gue akan membalas chat ibu gue tersebut. Gue bahkan belum sempat membalas chat dari Arasti dan Edna juga.

“Bentar, aku balesin chat nyokap dulu.”

“Mang Asep duluan ke bawah ya? Nanti nyusul terus cerita ya?” kata om dia sambil menutup pintu kamar kami.

“Iya, Mang…” Emi mengantarkan om nya keluar kamar.

((MAMA CHAT))
Quote:


Padahal gue hanya nanya begitu, gue udah super degdegan. Segitu gue chat sama ibu gue sendiri loh. Belum sama keluarga besarnya Emi. Tapi entah kenapa menunggu kepastian ibu gue saja, rasanya sudah meningkatkan adrenalin gue.

Walaupun sebenarnya, bisa atau tidaknya ibu gue, gue akan tetap berangkat dengan Om Dani ke perkenalan keluarga nanti. Mungkin terdengar kurang etis ya sampai ibu kandung yang jelas-jelas masih hidup malah tidak diikutsertakan pada perkenalan keluarga kami. Tapi mau bagaimana? Gue sudah maksa sekalipun, ibu gue selalu punya alasan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ketika gue membuka Line gue, ingin membalas chat Arasti, Hana baru saja mengirim chat dia. Untuk saat ini memang ngobrol dengan Hana jadi lebih menarik karena dia sama dengan Emi, sama-sama suka jejepangan dan (sepertinya) dia masih update segala informasi mengenai jejepangan. Walaupun memang, nggak se-expertEmi sih. Tapi setidaknya ada bahasan lain selain harus fokus membahas gue.

((HANA CHAT))
Quote:


“Lagi curhat sama nyokap?” tanya Emi. Gue tau, ini sindiran buat gue.

“Kok curhat? Ini aku bilang ke nyokap kalau aku mau mulai acara di rumah kakek kamu. Kenapa sih? Curiga amat aku chat sama siapa? Emang sekarang aku harus selalu bilang dulu sama kamu kalau aku mau chat sama siapapun even sama nyokap atau adik aku?” Gue switch app dari Line ke Whatsapp.

Gue tunjukin kalau gue memang sedang membuka Whatsapp ibu gue. Tentunya gue nggak menunjukan chat gue dengan Edna yang kini sudah berpindah dari Messenger ke Whatsapp. Tapi sepertinya sang FBI sudah mulai mencium kebohongan gue, dia langsung keluar kamar membawa HP dia. Entah dia langsung ketemu keluarga dia atau nggak.

Gue kembali ke aplikasi Line gue untuk membalas chat dari Arasti.

((ARASTI CHAT))
Quote:


((HANA CHAT))
Quote:


Kayaknya Hana ini tipikal Zoomers (Generasi Z) yang hidupnya di HP saja. Kerjaannya megang HP terus. Setiap kali gue buka chat dan membuka chat dia, pasti chat gue itu langsung dia jawab. Kayaknya nggak ada kerjaan lain selain mantengin chat orang. Haha.

Dan tidak lupa gue kembali membuka Whatsapp. Gue lupa membalas chat Ana.

((ANA CHAT))
Quote:


((EDNA CHAT))
Quote:


Cukup segini dulu membalas semua chat cewek-cewek itu. Bingung banget chat sama banyak cewek sekaligus begitu. Apalagi ketika gue juga di dalam kondisi sedang bersama calon istri gue. Padahal dulu semuanya bisa gue handle dengan baik untuk urusan chat-chat sekaligus dengan beberapa orang cewek.

Gue terdengar seperti cowok brengs*k yang nggak ngehargai perasaan calon istri banget. Gue sadar kok ini salah. Perlu berapa kali lagi gue ulang itu? Gue juga janji akan menyudahi semuanya. Tapi untuk saat ini, biar gue cari waktu yang tepat. Gue nggak mau mereka jadi anarkis atau malah Emi disakiti oleh mereka. Gue nggak mau.

Ting. Masuklah chat yang gue tunggu-tunggu.

((MAMA CHAT))
Quote:


Gue senang bukan kepalang. Apa yang gue tunggu-tunggu langsung dijawab oleh Tuhan! Ibu gue mau ngeluangin waktunya buat gue. Ini udah fix, nggak perlu ragu lagi! Kan enak kalau begini, gue jadi nggak perlu ragu mau ketemu keluarganya Emi.

Gue segera keluar dari kamar yang gue pakai tadi, menuju dimana Emi berada. Gue mengintip sebentar ke tangga untuk melihat, apa Emi sudah ada di lantai bawah atau belum. Tapi ternyata Emi belum ada di sana. Gue kembali ke lantai atas, menuju ruang keluarga mereka yang lain.

Benar saja. Emi sedang duduk di salah satu sofa di ruang keluarga lantai bawah. “Ayo aku udah siap…” kata gue tegas.

“Lo yakin, Zy? Lo yakin udah siap dan nggak mau mikir lagi?”

“Mikir apa lagi sih? Kenapa lagi ini?” Gue mohon banget, jangan rusak mood gue yang lagi naik ini. “Halah, udahlah!” Gue tarik tangan Emi agar dia ikut dengan gue ke lantai bawah. Ini saatnya. Biar gue nggak terus menerus ragu atau malah putar balik lagi. There’s no turn back!
Diubah oleh yanagi92055 07-12-2020 17:35
kaduruk
jiyanq
caporangtua259
caporangtua259 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.