Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#179
Kehendak Tuhan_Part 2
Gue nggak berniat untuk menyakiti Emi. Gue melakukan ini semua di belakang Emi bukan untuk kembali membohongi dan mengkhianati dia, tapi gue hanya tidak ingin ada yang terluka dan sedih. Utamanya, gue nggak mau Emi yang pada dasarnya baperan menjadi kepikiran dan berujung berpikir untuk meninggalkan gue untuk kedua kalinya. Amit-amit kalau itu harus sampai terjadi.

Gue nggak mau dianggap sombong dengan tidak merespon mereka dan gue nggak mau membuat mereka sedih hanya karena rasa suka mereka tidak tersampaikan atau merasa kesepian yang berujung menjauhi gue hanya karena mereka tau gue sudah ada yang punya. Walaupun pada akhirnya nanti gue harus jujur pada mereka dan harus mengakhiri segalanya.

Semoga kali ini gue bisa benar-benar mengakhiri semuanya tanpa menyakiti siapapun. Terutama Emi.

Belum dan tidak akan terlepas di dalam pikiran gue tentang janji gue pada Emi berdasarkan pilihan yang telah gue ambil. Gue akan berubah. Gue harus berubah. Gue harus jujur pada Emi dan menceritakan segalanya. Tapi percayalah, perubahan itu nggak bisa instan. Pikiran gue sudah menginginkan untuk segera melakukan perubahan tetapi hati gue terus menolak dan meminta untuk perlahan. Kemudian gue teringat salah satu kutipan yang pernah gue baca :

“Tidak ada pohon yang langsung berbuah lebat tanpa kita memiih bibit yang bagus, memupuknya, merawatnya hingga tumbuh besar. Semuanya butuh proses. Tidak ada yang serba instan.”

Iya, tidak ada kebahagiaan yang bisa ditemukan dengan sesuatu yang kita lakukan secara instan. Semuanya butuh proses. Seperti apa yang Emi selalu bilang, butuh kesabaran dan disiplin untuk memperjuangkan sesuatu. Semuanya butuh proses agar hasilnya sesuai yang kita inginkan. Biar bisa mendapatkan kebahagiaan yang kita cari itu.

Begitupun dengan gue. Gue juga butuh proses. Gue nggak mau jadinya kambuhan. Gue nggak mau menolak untuk bersilaturahmi sama orang lain hanya karena gue sudah janji dengan Emi. Gue nggak mau menolak semuanya saat ini dan jadinya gue kambuh lagi di masa depan menjadi yang dikenal dengan nama Masa Puber Kedua ketika kita sudah menikah nanti.

Gue nggak mau…

Sekali lagi gue janji pada diri gue, gue nggak akan menyakiti Emi seperti sebelumnya. Gue hanya akan meladeni mereka seperlunya dan jika mereka pada akhirnya tau hubungan gue dan Emi, so be it. Biarkan saja. Kalau mereka mau pergi silahkan, tapi kalau mereka mau tetap menjaga silaturahmi dengan gue ya silahkan. Begitupun dengan Emi. Kalau ternyata Emi pada akhirnya tau dan melarang gue untuk menjaga silaturahmi, gue nurut. Tapi kalau Emi nanti pada akhirnya tidak tau sama sekali… Hmm. Itu sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi sepertinya. Emi itu FBI, suatu saat nanti dia pasti tau semuanya.

Gue hanya bisa berharap, Emi tau semua ini setelah gue berhasil menyudahi segalanya. “Maaf aku masih nakal sayang… Tapi lebih baik aku nakal sekarang daripada aku nakal nanti saat kita sudah menikah.” Kata gue dalam hati sambil melihat Emi yang kini sedang packinguntuk persiapan kami berangkat dini hari nanti.

“Kamu itu udah dikasih kesempatan loh, masa nggak mau ngambil?” Tanya Emi, membuyarkan lamunan gue. Gue dan Emi terlibat dalam sebuah perbincangan untuk membahas masalah kuliah gue, dan juga gue menceritakan bagaimana gue ditawarkan untuk bergabung secara permanen di kantor. Padahal gue sudah menjelaskan semuanya di chat sebelumnya hari itu. Tetapi ini Emi, kalau nggak didebat langsung, dia nggak akan puas. Haha.

“Masalahnya aku masih mau fokus untuk kuliah, siapin nikahan dan sebagainya. Kalo aku gabung sekarang, aku nggak akan bisa seleluasa sekarang waktunya. Apalagi aku juga masih ngeband kan?” Jawab gue tegas.

“Ngeband kok kamu pikirin. Itu kan sebenernya cuma selingan aja. Ngapain jadi ada perhitungan porsi yang penting sih? Terus kan kalo misalnya tesis kamu itu, bisa aku bantu. Toh brainstorming terus kita. Sebagian ide dari tesis kamu juga asalnya dari aku. Jadi ya pede aja semuanya bisa dilewatin, Zy.”

“Iya, aku ngerti kok. makanya itu aku mau coba buat pertimbangin tawaran mereka. Tapi kayaknya nggak sekarang. Hmm.. Aku juga bingung sih. Sebentar lagi kan waktu aku tesis habis, bisa kena denda. Dan kamu tau sendiri, semakin lama penyelesaian, dendanya bakalan makin gede kayak utang di rentenir. Kalo aku nggak gabung, aku bingung juga sih bayar pake apaan.”

Emi nengok ke arah gue. “Kamu masih nggak pede nyelesaiin tesis kamu tepat waktu tanpa harus bayar denda karena lewat waktu?”

“Sekarang gini deh. Pikiran aku terbagi jadi tiga bagian : nikah, kuliah, kerja. Semuanya butuh fokusnya masing-masing biar OPTIMAL hasilnya. Karena kamu juga selalu bilang sama aku kan, yang bagus itu hasilnya OPTIMAL bukan cuman MAKSIMAL. Iya kan? Aku orangnya nggak bisa kayak kamu yang bisa banget multitasking. Aku harus fokus sama satu urusan baru bisa kasih hasil yang OPTIMAL seperti apa yang kamu maksud. Kalo kuliah aku nggak buru-buru diselesein, aku pasti kena denda. Jadi mau nggak mau, aku harus fokus kuliah biar cepet selesainya biar aku nggak kena denda. TETAPI, kalau aku fokus kuliah, aku bakalan menunda menerima tawaran jadi karyawan tetap di kantor. Kenapa? Karena aku bakalan harus fokus di sana. Aku nggak bisa meluangkan waktu aku banyak buat ngurus kuliah atau ijin sana sini untuk menyelesaikan tesis aku. Jadi aku harus milih kan, mau prioritasin pekerjaan dulu atau kuliah dulu. TETAPI (LAGI), di sisi lain untuk pernikahan dan kuliah ini, aku juga butuh uang. Mau nggak mau LAGI, aku harus nerima tawaran jadi karyawan tetap. Otomatis kuliah aku bakalan selesai lama. Opportunity cost-nya ya biaya pernikahan kita yang terancam karena uang kerja aku terbagi untuk bayar denda kuliah. Seru juga mikir kayak begitu…”

“………” Emi terdiam mendengar penjelasan gue.

Ketika Emi akan bicara, gue langsung potong omongan dia. “Jangan pernah lo mikir buat batalin rencana pernikahan kita.”

“Tapi itu bisa ngurangin beban pikiran lo kan, Zy?”

“Kalau kita batalin pernikahan kita, itu malah nambah beban pikiran gue. Gimana sih lo mikirnya? Heran gue. Ada ya orang yang nggak mau dinikahin buru-buru.”

“Ada, kalau ternyata lo aja kebingungan nentuin gimana masalah hidup lo sebelum pernikahan, gimana nanti lo ngadepin masalah di rumah tangga?”

“Maksudnya? Lo ngeraguin kredibilitas gue sebagai kepala keluarga gitu maksudnya?”

“Bukan. Maksud gue prioritas, Zy. Lo harusnya sekarang udah bisa nentuin yang mana prioritas lo, yang mana cara terbaik untuk nyelesein semua masalah lo, dan gimana kira-kira plus minus di setiap keputusan lo nanti. Bukan malah bingung terus lo ketawain masalah lo tanpa nyari solusi. Dan berujung lo ngandelin emosi lo doang buat bikin keputusan. Dewasa itu nggak begitu. Lagipula, gue juga nggak mau kalo kepala keluarga gue nantinya bikin keputusan cuman dari emosi doang.”

Emi, the wised girl i’ve ever met. Bahkan gue merasa umur dia masih jauh lebih tua dari gue setiap kali dia bisa menasehati gue begini.

“Bikin skala prioritas lo. Kalau menurut lo, nikah itu jadi prioritas lo. Pikirin, apa ada plus minusnya ketika lo prioritasin nikah untuk diselesaikan dulu? Kalo nggak ada. Lanjut ke mana? Kerja atau tesis?”

“Tesis. Kayaknya gue tunda dulu tawaran kerja ke kantor.”

“………”

“Kalau emang rejeki gue, gue pasti bisa dapet lagi tawaran jadi karyawan tetap kan?”

“Tapi lo keitungnya nolak rejeki nggak sih, Zy?”

“Nggak tau. Tapi semakin lama gue nunda tesis gue, semakin gede denda yang bakalan gue tanggung. Sedangkan tawaran kerja insya Allah bisa dateng lagi. Atau ya kalau ternyata gue siap, kapanpun gue bisa coba ngajuin diri gue jadi karyawan tetap di kantor. Ya, mudah-mudahan Mas Yogi sama Pak Yudi tetap percaya sama gue sih kayak gimana selama ini mereka bilang ke gue…”

“Yakin itu keputusan lo?” Tanya Emi kembali. Memastikan jawaban gue.

“Iya. Nikah dulu, tesis kedua, baru nanti gue urus kerjaan gue. Gue juga sadar, Mi. Gue nggak bisa ngidupin lo dan calon anak gue kalau gue kerjanya juga masih nggak jelas. Walaupun gaji pokok lo itu lebih gede daripada gaji gue yang nggak jelas. Tapi bukan berarti lo sebagai istri yang harus nanggung semua keperluan rumah tangga kita. Lo kerja untuk diri lo sendiri, bukan buat ngidupin keluarga kita. Nafkahin keluarga itu tetep tugas gue, either gue sebagai freelancer atau sebagai karyawan tetap. Itu udah menjadi tanggung jawab gue. Jadi, gue pasti mikirin ini serius banget, Mi. Gue nggak akan main-main buat urusan ini.”

Emi mendekati gue dan tarik napas dalam-dalam. “Gue di sini calon partner hidup lo. Semuanya jangan ditanggung sendiri. Urusan nikahan kita urus berdua. Tesis pun begitu. Toh idenya juga dateng dari gue kan? Nanti kita berdua kerjain bareng semuanya dan kita tanggung semuanya barengan. Kalau nunda terima tawaran di kantor adalah keputusan lo, gue dukung. Asal itu nggak jadi beban di hidup lo. Asal lo tau, apa aja yang bakalan lo hadapin berdasarkan keputusan lo itu. Gue ada di sini kok, Zy… Gue selalu ada di sini buat bantu lo. Lo nggak sendirian… Sharing semuanya sama gue. Jangan lagi nanggung beban sendiri. Oke?”

Di situ gue ngerasa berdosa dengan keputusan gue. Tetapi entah kenapa gue merasa kalau gue nggak bisa semudah itu merubah kembali keputusan gue untuk mendadak menjauhi cewek-cewek itu. Gue juga nggak bisa mendadak jujur sama Emi tentang keberadaan mereka. Untuk saat ini, gue coba menjalani semuanya dan mencari waktu yang tepat untuk menyudahi semuanya.

Hidup gue sudah terasa sempurna hanya dengan adanya sosok Emi yang akan mendampingi gue selama sisa hidup gue. Dia dengan segala pemikiran kreatifnya dan kemampuan sebagai penasehat ulung membuat diri gue sangat percaya diri. Halauan dan hambatan di pekerjaan pun rasa-rasanya seperti lebih mudah jika dilalui bersama Emi. Gue yakin gue nggak butuh yang lain.

“Mi, maafin aku… Maaf kamu masih harus mendampingi aku dengan segala kelemahan yang masih belum bisa aku kendaliin sebelum menikah nanti.” Ucap gue dalam hati sambil mengecup bibirnya. “Love you.”
khodzimzz
jiyanq
caporangtua259
caporangtua259 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.