Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#132
Impian_Part 7
Gue juga heran, kalau lo se-asik ini, kenapa lo bisa dibully ya? Lo padahal punya Lili, Amelia, sama Riri. Lo bahkan punya Fazli juga. Tapi kenapa lo tetep bisa dibully begitu?”

“Lili itu lebih sering jahat sama gue daripada baiknya… Gue juga bingung kenapa gue bisa-bisanya nurut sama dia dulu. Mungkin karena dia lebih tua dari gue kali ya? Makanya gue, Amelia, sama Riri nurut-nurut aja sama dia.”

“Terus Lili gitu yang manas-manasin temen satu komplek lo buat ikutan ngebully lo?”

“Bukan… Sebenarnya ini juga nggak sepenuhnya salah Lili. Tapi salah orangtua dari teman-teman gue yang ada di komplek rumah gue. Kalau Lili ngebully gue, mungkin jadi bagian dari mereka juga. Plusnya, dia punya teman-teman yang mau aja nurut sama dia. Ngerti nggak maksud gue?”

“………”

“Dulu warga di komplek ini tuh belum sebanyak sekarang. Alhasil, umur anak-anak mereka rata-rata nggak terlalu beda jauh. Banyak yang seumuran. Informasi sekolah juga masih terbatas. Jadinya, ya kita semua sekolah di hampir sekolah-sekolah yang sama. Walaupun nggak selalu sama persis banget sih. Nah, efeknya kan setiap perkembangan anak mereka pun jadi terbandingkan secara nggak langsung antara anak satu sama anak lain yang ada di komplek gue. Terus nggak bijaknya, para orangtua mereka pun bikin statement sendiri atas dasar pemikiran mereka sendiri. Statementnya begini ‘Noh liat si Emi! Bisa pintar di sekolah, suka dipanggil pas upacara bendera. Kenapa coba? Soalnya dia nggak susah diatur. Kerjaannya nggak main melulu kayak kamu! Makanya kamu nggak pernah jadi juara kayak dia! Belajar sonoh sama Emi!’… Sederhana kan kedengerannya? Tapi efek di tiap anak nggak begitu.”

“………” Gue membiarkan dia menyelesaikan cerita dia dulu. Baru setelahnya gue ikut komen cerita dia ini.

“Mereka jadi benci sama gue. Apalagi kalau gue nggak ikut main karena alasannya gue harus les atau mau belajar karena ada PR / mau ulangan. Gue langsung diteriakin sama mereka dari luar rumah. Apalagi pas tau kalau gue sendirian di rumah sepanjang hari, tanpa kedua orangtua gue. Makin-makin deh pokoknya ledekannya… Bisa bikin gue nangis ketakutan sendiri di rumah gue. Alhasil ya gue jadi nggak pernah berani keluar buat nerima tamu SIAPAPUN itu sampe sekarang. Gue lebih sering ngintip dan nunggu salah satu orang di rumah gue untuk nerima tamu itu… Serius, efeknya sampe separah itu loh…”

“Emang ya… Semuanya nggak melulu salah anak mereka yang ngejahatin lo. Orangtua mereka juga ikut andil jadi penyebab anak-anaknya begitu… Ya orangtuanya kerjaannya ngebanding-bandingin anak-anak mereka sendiri. Jadinya, secara nggak langsung ngejatuhin mental anak mereka sendiri. DAN, ngerusak nama baik lo juga dalam jalan yang baik, dengan pujian… Orangtua mereka berharap, kalau dibandingin begitu, mereka jadinya terpacu buat ngejar lo. TAPI, karena teman-teman lo sadar kalau mereka sebenarnya nggak mampu menyaingi lo makanya mereka memilih buat ngebully lo. Toh lo kan nggak bisa ngebalas mereka karena lo kalah jumlah sama mereka, makanya jadinya gitu deh. Tapi liat sekarang. Ada dimana lo, dan jadi apa mereka sekarang?”

“Gue nggak mau jadi ngebandingin diri gue juga sama mereka, Zy. Gue cuma bersyukur dengan apa yang gue punya dan capai saat ini. Mungkin bagi sebagian orang, apa yang gue punya dan capai itu HAL BIASA. Tapi gue tetap bersyukur sama semuanya. Karena mungkin di luar sana ada yang belum beruntung belum bisa ngedapetin apa yang gue punya dan apa yang udah gue capai ini.”

“Selain itu, jeleknya itu lo jadi orang yang nggak pernah pede ama kemampuan lo, lo punya segudang ide hebat tapi lo nggak pernah berani speak up, kadang lo bahkan nggak berani ungkapin perasaan lo. Itu semua karena masa lalu lo yang begitu. Dan semuanya nggak pernah lo ceritain ke kedua orangtua lo sampe detik ini kan?”

“Apa mereka punya waktu buat dengerin cerita gue ini? Gue khawatir juga sih, nantinya mereka salah tangkap bin salah paham. Jadinya malah berabe dan panjang. Udah mana gue dianggap tukang ngadu, terus gue juga jadi punya catatan kasus perundungan di kepolisian nanti. Hehehe.”

Kita berdua tersenyum dan tertawa dengan pernyataan dia itu. Cewek yang duduk di hadapan gue ini adalah cewek hebat yang seharusnya mendapatkan hidup yang lebih baik dari apa yang dia dapet selama ini.

Dia harus lebih diapresiasi. Dia harus lebih disayang dan dihargai. Dia harus lebih dikenal dan dicintai sama lebih banyak orang. Dan gue sadar kalau gue adalah cowok bodoh yang selama ini banyak menyia-nyiakan dia.

“Pokoknya sekarang, lo nggak boleh terus-terusan nggak pede ya, Mi. Pikiran lo itu jauh lebih visioner daripada gue. Itu juga terbukti kan dari diarylo itu. Lo udah mikir jauh kedepan melampaui teman-teman seusia lo waktu itu. Pada akhirnya mereka nggak bisa ngejar lo sama sekali. Makanya mereka merasa nggak sefrekuensi sama lo. Tapi di rumahnya, mereka dituntut untuk bisa menyaingi lo atau menjadikan lo contoh. Ya nggak apple to apple sebenarnya. Gue juga baru ngeh jadinya, kalau lo itu jadi pribadi yang nggak bisa speak up karena ini. Penghargaan terhadap segala yang udah lo capai itu nggak pernah ada, dan orangtua lo sendiri yang membuat lo jadi kayak gini. Itu ya karena image yang ingin mereka liat, yaitu Emi yang berprestasi, nurut, dan nggak macam-macam. Tapi kenyataannya berbeda sama yang lo rasain. Itu juga yang bikin lo jadi ada pelarian buat berontak. Jadilah lo yang suka menulis, lo yang suka kumpul sama orang random yang akhirnya malah membentuk sebuah komunitas online di kumpulan hobi lo dan hebatnya udah sampai skala internasional levelnya, ditambah lo juga jadinya dengerin musik-musik yang merangsang untuk melepas amarah lo yang selama ini tertahan…”

“Jadi menurut lo, wajar ya kalau gue jadi orang yang suka nggak enakan, suka ngalah, dan suka peduli berlebihan sama orang lain?”

Gue terdiam sebentar. Gue harus memilih kata-kata yang tepat buat menyampaikan ke dia. “Bisa wajar, bisa nggak, tergantung sama keadaan. Lo nggak bisa ngalah terus-terusan dan tetep peduli ke orang-orang yang cuma manfaatin lo kayak temen-temen Crocodile bangs*t itu. Bagi beberapa orang, lo adalah sasaran empuk untuk dimanfaatin demi keuntungan mereka. Tapi kalau lo mengalah untuk tujuan tertentu dimana itu adalah jalan satu-satunya untuk nyelesein masalah. Ya nggak apa-apa. Even, rasa nggak enakan itu nggak bisa selalu diaplikasikan loh. Ada beberapa hal yang harus tetep dilakuin, enak atau nggak enak dijalaninnya…”

Gue melihat dia kayaknya kurang suka sama jawaban gue. Gue nggak mau dia malah insecure cerita sama gue kedepannya. Dia sangat butuh orang untuk diajak cerita. Dia nggak boleh selalu memendam apapun sendiri lagi, terutama kalau itu tentang gue. Gue nggak mau nambah beban hidup dia.

“Tapi karena sekarang udah ada gue… Gue juga bakalan bantu lo buat jadi lebih baik, sama kayak lo janji buat bantu gue untuk jadi Firzy yang lebih baik.”

“EDIYAAAAN!” Jawab dia sambil nyodorin gue french fries yang gue anggurin selama dengerin cerita dia.

“Seriusan ini, bangs*t! Haha.”

“Haha. Becanda sih! Ayo terusin lagi…”

Gue sempetin nunjukin muka manyun gue ke dia. “Iya, lo kan selalu sabar kalau menghadapi segala macam masalah yang hampir selalu gue timbulkan di hubungan kita. Selalu lo yang akhirnya bisa mengakhiri masalah dengan happy ending buat kita berdua. Kuncinya ya karena kesabaran lo yang unlimited itu. Sifat nggak enakan lo sama rasa peduli lo buat orang lain itu juga yang bisa menyelamatkan hubungan kita selama ini, Mi. Kalau atribut lo nggak kayak gitu, kita udah bubar dari kapan-kapan tau, Mi. Dan mungkin gue masih jadi Ija nggak jelas yang udah nyari cewek baru terus tiap harinya. Di umur gue yang segini, yang gue pikirin paling masih cewek aja buat senang-senang, Mi. Entah gimana kerjaan dan kuliah S2 gue nantinya. Gimana band gue juga ya. Gue nggak kebayang gimana hidup gue nantinya. Maafin gue ya, Mi….”

“Udah. Kok malahan jadi nyalah-nyalahin diri sendiri gini sih, Zy.”

“Ya gue jadinya ngerasa bersalah banget sama lo, Mi. Lo itu udah menghadapi kehidupan yang sulit selama ini yang gue nggak pernah rasakan. Masalahya, kesulitan yang lo hadapin itu bukan kesulitan uang, tapi kesulitan secara mental. Mental lo udah diuji sedari kecil. Nggak cuma dari keluarga lo sendiri, tapi dari semua teman-teman lo. Baik teman dari masa kecil sampe teman-teman di masa sekarang setelah lo ketemu sama gue. Gue takjub, kagum, bangga ngeliat lo masih bisa tersenyum dan berdiri gagah di hadapan gue. Di luar sana, mungkin udah banyak ABG labil yang milih kabur atau bunuh diri paling kalau ngerasain kayak lo gitu. Apalagi pas ujung-ujungnya kenal sama cowok kayak gue…” Jujur aja gue nggak kuat sebenarnya menahan haru setelah baca diary Emi.

Dia terdiam sesaat… Kemudian… “Kok jadi mellow gini sih? Kita nikah apa nggak nih jadinya?” Tanya dia memecah keheningan di antara kami.

“Lah? Kok yang begitu malah ditanyain sih? Ya jadi lah! Gimana sih? Ini kan gue lagi ngerasa banyak banget salahnya sama lo. Bukan malah mau ninggalin lo kayak teman-teman lo itu! Gue nggak akan pernah ninggalin lo lagi, Mi!”

Dia tersenyum mendengar ucapan gue. “Gue nggak tau harus 100% percaya sama lo… Tapi untuk saat ini, gue cuma bisa aminin semua omongan lo ini.”

“Terserah lo… Biar nanti gue yang buktiin sendiri. Gue mau berusaha ngedapetin kepercayaan lo jadi 100% lagi…”

Malam itu, selain kami habiskan untuk ngebahas gimana masa lalu Emi, kami juga berujung ngebahas apa aja yang akan kami lakuin menuju pernikahan. Tapi, sebelum kami ngebahas step-by-step urusan pernikahan, gue sempetin menyampaikan ke Emi rencana pernikahan impian gue. Emi pribadi sih setuju sama ide gue itu.

Tapi…

“Zy… Tapi gue harus nikah di kampung halaman gue. Di desa tempat Aki dan Nini dimakamin…”

“Itu bahkan nggak di Jabodetabek, Mi! Terus gimana kita ngurusnya? Kapan punya waktu buat ngurusnya?”

“Sebelum meninggal… Nini gue bilang ke Papa Mama plus Aki, kalau beliau minta gue nanti nikah di sana. Terserah mau Akad Nikah doang atau Resepsi sekalian, yang pasti Nini gue minta ijab kabulnya diadain di sana… Ini harus dilakuin soalnya amanah dari Nini yang udah meninggal. Jadi, mau nggak mau harus gue lakuin, Zy…”

Gue tarik napas dalam-dalam. Entah apa keluarga gue bisa nerima ini semua apa nggak. Kampung halamannya keluarga Emi itu sangat jauh. Ya walaupun nggak sejauh tempat kakek nenek gue sih, tapi untuk mengurus sebuah pernikahan yang notabenenya kedua mempelai nggak tinggal di sana, kayaknya bisa jadi cukup ngerepotin.

“Gue khawatir kalau itu nggak lo sanggupin, lamaran lo bakalan berat diterima sama keluarga gue, Zy…”

“Loh kok jadi begitu sih? Perkara Akad Nikah doang loh. Kenapa jadi bisa ngebatalin keseluruhan pernikahan sih? Heran gue.”

“Ini amanah dari ibunya bokap gue dan semua keluarga gue udah tau itu. Nini nggak minta mahar emas 24 karat, nggak minta resepsi pernikahan mewah, nggak minta ngundang ratusan ribu orang. Nini cuman minta Akad Nikahnya di sana. Sesederhana itu.”

“Biar gue pikirin dulu gimana nyampeinnya ke keluarga gue ya. Tapi lo setuju dengan nggak ada resepsi pernikahan? Cuman syukuran keluarga aja?”

“Sebenernya gue malah mikirnya abis Akad ya syukuran makan-makan di taman gitu, Zy. Tapi ngundangnya cuman keluarga sama sohib-sohib kita aja… Nggak lebih. Paling gue pingin make dresscode buat lucu-lucuan gitu. Misalnya dress kita berdua warna hitam, semua tamu wajib make dresscode warna putih gitu. Boleh?”

“Boleh banget. Pokoknya gue nggak mau bermewah-mewahan sambil ngasih makan mereka yang nggak gue kenal sama sekali. Dan gue nggak mau kesusahan banyak hutang setelah nikah nanti. Gue mau nikmatin hari-hari indah sama lo, berdua. Bertiga atau berempat deh nanti kalau kita udah punya anak. Haha.” Tapi untuk masalah Akad Nikah, itu harus gue bahas baik-baik sama keluarga gue.

“Masih jaooooh itu Bijiiii….”

“Kan namanya juga impian… Haha.”

“Oh iya… Ngomong-ngomong tentang impian…” Emi kembali mengeluarkan buku kecil lainnya dari dalam tas dia. Gue nggak ngeh dia bawa buku lain lagi. “Di sini gue nulis impian-impian sederhana hingga impian masa depan gue. Semuanya gue tulis sama, pas gue masih SD juga. Ada beberapa mimpi yang gue tulis karena gue emang pingin banget, tapi ada juga yang kadang masih gue anggap mustahil atau mungkin bisa berubah di masa depan.”

Gue membuka buku dia itu. Memang isinya simpel. Isinya ada checklist yang harus dia lakukan hari ini, minggu ini, atau di Semester ini. Ada juga checklist kaset yang harus dia punya, lagu yang harus dia download, atau buku di Perpustakaan yang harus dia baca. Hal-hal sederhana. Ya, namanya juga mimpi anak kecil.

Sampe gue berhenti di satu halaman yang isinya cukup berat… Kayaknya ini ditulis pas Emi udah SMP atau SMA. Atau mungkin kuliah. Soalnya kayaknya nggak mungkin aja mimpi-mimpi ini ditulis sama anak SD. Intinya ini adalah checklist mimpi dia di saat dewasa nanti yang artinya itu mimpi untuk 5-10 tahun kedepan.

Di sana dia nulis pingin jadi dokter, biar dia nggak sedih lagi ditinggalin sama kakek nenek dia karena dia sayang banget kakek nenek dia. Bahkan dia nggak nulis cita-cita dia buat kedua orangtua dia, tapi buat kakek nenek dia. Dan ini jadi salah satu impian yang nggak bisa dia capai karena dia ternyata nggak jadi dokter plus semua kakek nenek dia udah nggak ada saat ini.

Di sana juga dia nulis pingin coba kerja di perusahaan kecil hingga perusahaan besar. Biar dia bisa punya pengalaman di keduanya dan suatu saat nanti dia bisa bikin perusahaan dia sendiri berdasarkan pengalaman di sana.

Ini adalah salah satu impian yang tercapai. Bekerja di sebuah startup yang pada saat Emi masuk baru ada 2 orang staf rekrutan termasuk Emi tapi sekarang sangat berkembang pesat dan saat ini masuk dalam kandidat unicorn baru negeri ini, kemudian berlanjut ke perusahaan properti di utara ibukota yang merupakan perusahaan besar dan sangat bonafid di negeri ini dimana orang-orang banyak sekali yang bermimpi untuk menjadi bagian dari perusahaan tersebut.

Banyak hal lain juga yang sudah dia capai, sampai gue terhenti di dua impian terakhir dia. Menikah di umur 23 tahun dan punya anak di umur 25 tahun. Saat ini, Emi sudah 23 tahun. Seharusnya Emi sudah menikah saat ini. Bukan malah masih nyusun ini itu sama gue.

“Iya… Itu salah satu impian gue meleset, selain urusan kerjaan gue ya.” Dia udah kayak cenayang aja, bisa tau apa yang gue lagi pikirkan saat itu.

“Belum melesetlah! Ini belum tercapai…”

“Kita pasti nikah taun depan, Zy. Itu artinya gue udah jalan 24 tahun. Atau mungkin nikahnya bisa aja pas gue udah 24 tahun kan? Itu namanya meleset.”

“Masih kisaran segitu lah—”

“Kalau berjalan lancar dan nggak tarik ulur kan?”

“Kenapa lo mikir gitu sih?”

“Gue nggak tau, apa nikahan kita bakalan berjalan mulus. Toh tanggal aja belum ada yang kita tentuin kan?”

“Gue bakalan wujudin impian lo itu! Nikah di kampung lo sono, nikah di 23 tahun, dan punya anak di 25 tahun! InsyaAllah, kalau rejeki semuanya pasti bisa kita capai! Bantu gue, kuatin gue, dampingin gue, Mi!” Dia yang punya impian, eh gue yang sangat antusias membantu mewujudkan impian dia. Gue nggak tau kenapa mendadak jadi excited banget buat mewujudkan impian dia itu. Mungkin karena impian dia yang ini sangat berhubungan sama gue.

Tapi secara keseluruhan, dia ini adalah cewek beruntung dan pekerja keras. Dia adalah orang yang fokus dan disiplin untuk mencapai semua mimpinya. Bahkan sebelum 25 tahun, hampir semua mimpinya di masa kecil udah tercapai semua. Gue kagum banget sama dia.

“Sekarang… Gue mau nulis impian kita barengan untuk 5 sampai 10 tahun kedepan. Gue nggak mau lagi nulis impian gue sendiri. Tapi gue maunya nulis impian kita. Cuma, karena lo kepala keluarganya, jadi lo yang nentuin semua impian-impian yang pingin lo capai. Eh kita capai maksudnya setelah kita nikah nanti.”

Dia pun memancing dan membimbing gue untuk menulis semua impian-impian gue dan impian kita bersama selama 5 hingga 10 tahun kedepan. Di sana gue tulis juga dengan detail gimana pernikahan yang akan kami laksanakan plus gimana gambar impian kehidupan pernikahan kami nanti. Nggak cuma pernikahan, pekerjaan dan band pun masuk ke dalam list impian-impian gue.

Jujur, gue nggak pernah begitu percaya dengan urusan kayak begini. Kalau kita menulis impian tapi kita nggak beruntung atau cuma modal doa saja, kayaknya itu adalah hal yang mustahil kita capai bukan? Sama kayak gimana gue melihat orang-orang yang berebutan mendatangi para motivator, biar hidup mereka berubah.

Look! hidup lo nggak akan berubah cuma karena lo dengerin para motivator yang selalu menutup kelas mereka dengan ucapaan “Semua kembali pada diri sendiri…”. Ya karena diri lo sendiri yang bisa merubah jalan hidup lo. Bukan para motivator itu! Kalau lo cuma mengandalkan omongan para motivator tapi tanpa usaha, semuanya nggak akan ada perubahan dan cuma jadi sia-sia.

Terus kenapa gue mau menuliskan impian-impian gue dan percaya sama omongan Emi? Ya karena ada Emi. Gue yakin Emi nggak akan pernah pergi ninggalin gue, Emi pasti akan selalu ingetin gue, Emi pasti akan selalu ngedampingin gue perlahan, dan Emi pasti akan selalu bersabar nemenin gue di tiap tahapnya. Jadi gue yakin kalau gue bisa mewujudkan semua impian gue selama ada Emi di sisi gue.

Dan cuman Emi yang bisa ngelakuin itu semua. “Asal lo tau, Mi. Ada lo di sisi gue sepanjang hidup gue adalah impian terbesar gue yang nggak gue tulis di sana. Tapi gue tulis di hati dan pikiran gue… Selamanya.” Ucap gue dalam hati.
khodzimzz
jiyanq
caporangtua259
caporangtua259 dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.