Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175K
3K
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#103
Impian_Part 3
Kalau dibilang, gue bukan cowok yang nggak pernah mau ataupun nggak pernah bisa serius sama satu orang cewek. Gue bisa kok cinta sama satu orang cewek. Gue juga bisa kok ngajak cewek yang gue cinta itu ke jenjang lebih serius lagi, lebih dari sekedar kekasih doang. Buktinya? Ya cinta gue sama Emi ini. Sejauh apapun hati ini mampir ke beberapa pintu hati lain, tapi hati gue tau dimana ‘rumah’ dia yang sebenarnya. Hati gue tau dimana harus bermuara. Dimana lagi kalau bukan hati Emi?

Kalau gue adalah cowok nggak benar yang hidupnya cuma ngerjain cewek aja, mungkin gue males banget harus seriusin satu cewek. Gila kali, di saat gue (insyaAllah yakin kalau gue) bisa mendapatkan cewek yang gue mau? Kenapa gue harus bertahan sama Emi seumur hidup gue?

TAPI NGGAK GITU CERITANYA!

Sebenarnya sebelum ketemu Emi pun (saat itu gue masih menjalin hubungan dengan Dee), sudah terlintas didalam pikiran gue kalau suatu saat nanti gue akan mengajak seorang cewek untuk melangkah ke jenjang lebih serius dan kemudian akan gue nikahi. Bahkan gue sempat menulis opini gue tentang bagaimana pernikahan itu bagi gue di forum Kaskus ini. Tapi entah kenapa, setelah sekian lama gue nggak buka Kaskus lagi setelah itu, trit gue itu hilang. Ya, orang seperti gue bisa kok membahas pernikahan. Utamanya sih bagaimana opini gue tentang resepsi pernikahan itu sendiri. Disana juga gue menjelaskan bagaimana gambaran akad nikah yang akan gue laksanakan suatu saat nanti. Akad nikah, bukan resepsi pernikahannya ya. Terus, kalau gue bisa beropini begitu logikanya ya gue pasti bisa juga kan ngejalanin opini gue itu bukan?

Bagi gue, pernikahan itu harus untuk dilakukan oleh dua orang insan yang saling mencintai dan memutuskan untuk berkomitmen menjalani sisa hidupnya bersama. Pernikahan ini nantinya ya bertujuan juga untuk memperpanjang garis keturunan mereka karena (insyaAllah) di masa depan nanti mereka akan punya anak, cucu, cicit, dan seterusnya.

Untuk menikah pun yang dibutuhkan hanya : pasangan, restu, mahar, penghulu, dan wali. Seharusnya gue nggak perlu mikirin yang lain lagi kayak gedung mewah mana yang bisa menampung ratusan tamu undangan dari relasi kedua orangtua gue; makanan catering mana yang rasanya enak, harganya sesuai budget, dan porsinya pas untuk para tamu; berapa pasang baju resepsi yang bakalan gue dan pasangan gue pake di hari H resepsi nanti; souvenir apa yang bakalan bikin para tamu terkesan oleh resepsi pernikahan gue; undangan menarik yang gimana biar mereka pun jadi penasaran dan pasti menyempatkan hadir ke resepsi pernikahan gue; dan berujung BERAPA UANG YANG PERLU GUE SIAPKAN UNTUK RESEPSI PERNIKAHAN GUE ITU.

Yang merancang itu semua siapa? Kedua orangtua. Yang nyari duit untuk merealisasikan rancangan mereka tentang resepsi pernikahannya siapa? Ya anaknyalah, SIAPA LAGI? Benar nggak yang gue bilang? Okelah, mungkin di luar sana ada juga ada orang-orang yang beruntung, yang nggak mikirin duit sepeserpun karena semuanya sudah disiapkan oleh kedua orangtua mereka. Tapi faktanya (berdasarkan pengalaman keluarga dan kerabat gue), mereka yang harus menanggung cicilan dari pinjaman untuk biaya pernikahan mereka itu. Karena gue sudah mendengar pengalaman mereka, sudah melihat bagaimana mereka berjuang untuk membayar hutang resepsi pernikahan yang berlangsung beberapa jam saja itu, dan sudah membaca beberapa pengalaman orang yang lalu lalang di media sosial, gue kurang setuju kalau gue harus melaksanakan sebuah resepsi di pernikahan gue nanti. Cukup akad nikah saja, nggak perlu ada resepsi pernikahan. Kecuali gue dapat uang tak terduga sehingga gue bisa melaksanakan resepsi itu atau orangtua gue sudah kebanyakan uang sampai mereka akhirnya mendepositkan uang khusus untuk pernikahan gue biar uang mereka cepet habis. Kalau misalnya tetep gue yang harus mikirin biayanya, gue sangat amat tidak setuju.

Ada hal lain yang membuat gue kurang setuju dengan adanya resepsi pernikahan ini. Karena gue pribadi agak aneh dengan cara atau aturan resepsi pernikahan itu sendiri. Kenapa? Begini. Rata-rata di dalam resepsi itu, tamu undangan yang hadir bukanlah tamu undangan si kedua mempelai. Benar nggak? Hampir 75% hingga 90% tamu undangan adalah kolega kedua orangtua mereka. Pertanyaannya, ini kan acara buat mereka yang sedang berbahagia. Lalu kenapa mereka harus merayakan bersama-sama orang yang nggak mereka kenal? Misalnya saja, acara ulang tahun. Kita itu pasti hanya mengundang orang-orang terdekat atau minimal kenal dengan kita di acara ulang tahun kita bukan? Sangat jarang kita mengundang orang nggak dikenal bukan? Kecuali emang mentalnya mental filantropis.

“Tau darimana lo, Ja? Kan lo belum pernah nikah. Jangan asumsi tanpa bukti.” Gue beropini berdasarkan fakta yang gue temui puluhan kali di lapangan. Masa iya temen gue yang nikah itu tamunya bapak-bapak dan ibu-ibu seumuran kedua orangtua mereka bahkan ada juga kakek-nenek yang sudah berumur?

“Kan bisa aja itu guru dia pas jaman mereka sekolah dulu.” Doi segitu terkenalnya emang sampe ngundang seluruh guru di sekolah-sekolah dimana dia pernah menimba ilmu? Tajir amat. Nggak guru-guru yang ngajar doi doang? “Atau mungkin keluarga dia yang lain?” Udahlah, ini opini gue berdasarkan pengalaman mereka yang gue kenal. Jadi, gue juga nggak peduli di setiap pernikahan itu ngundang siapa saja. Pokoknya biasanya itu, kerabat si kedua mempelai itu sendiri nggak mendominasi tamu undangan yang ada di pernikahan mereka.

Kemudian, kedua mempelai akan dipajang selama 2 hingga 3 jam, bahkan ada yang sampai satu hari pernuh (mungkin karena resepsi pernikahan diadakan di rumah mempelai wanita) untuk menerima ucapan selamat dari mereka yang sebagian besar tidak mereka kenal. Ini sih gue terima aja. Kenapa? Karena menerima ucapan dan doa dari para tamu itu sama aja kayak menerima ucapan dan doa dari kerabat via media sosial. Ini hal yang baik, jadi nggak gue komen ya.

Setelahnya, para tamu akan diarahkan untuk menyantap makanan catering yang telah disediakan oleh kedua mempelai. Di sini masalah utamanya. Kenapa? Karena disini porsi biaya paling besar dibandingkan biaya gedung, souvenir,make-up, undangan, dan baju resepsi. Gue nggak sekali, nggak dua kali, tetapi banyak banget nemuin mereka yang jadi tamu undangan itu menggunjing makanan catering yang mereka makan secara GRATIS di resepsi pernikahan orang. Bahkan setelah resepsi pernikahan itu sudah lewat.

Gue pingin bilang. “NGGAK TAU BERSYUKUR BANGET! Udah dikasih makan gratis, masih juga ngegosipin orang. Blok!”

Tapi biasanya tetap ada pembenaran tuh. “Lho! Gue kan ngamplop juga! Gue rela nyempetin dateng ke undangan lo loh! Gue dandan, gue ngongkos kemari, terus masa gue dapet makanan nggak enak nggak boleh protes?” Ada yang begini? Ada. Banyak. Banget. Coba tanya ke emak-emak yang hobinya nyelak alias anti mengantri kalau lagi ambil makanan di resepsi. Mereka dijamin suka ikut komen gimana rasa hidangan yang disediakan itu setelah resepsi pernikahan.

Beban di kedua mempelai pasca resepsi pernikahan itu jadi banyak, nggak cuman gimana mereka menjalani pernikahan itu sendiri, tetapi apa mereka sudah berhasil mengundang mereka yang dianggap (atau menganggap diri mereka) penting bagi kedua mempelai, apa para tamu undangan puas dengan jalannya acara resepsi pernikahan, dan apa para tamu undangan suka dengan makanan yang mereka hidangkan. Kalau kurang atau biasa aja, siap-siap jadi bahan omongan dan akan selalu diingat oleh para tamu undangan. Jeleknya, bakalan membentuk standar tersendiri.

Contohnya begini “Awas ini zuppa soup-nya rasanya hambar terus encer gitu kayak di nikahannya si A kemaren. Udah capek-capek ngantri eh rasanya air hambar gitu doang. Males banget! Mending dateng ke nikahannya si B deh. Walaupun ngantri panjang-panjang, tapi itu rasa kambing gulingnya bikin meninggal!” Pernah denger? Bohong kalau nggak pernah dengar gunjingan sampah macam ini.

Jadi, secara garis besar opini gue adalah “Buat apa kita bersusah-susah payah dan berdarah-darah di kemudian hari untuk ngasih makan orang nggak dikenal?”. Udah gitu, setelah dikasih makan gratis, eh digosipin pula kalau mereka nggak puas. Nikmatnya mengadakan resepsi pernikahan mewah apa kalau bukan hanya sekedar mengejar prestise belaka? Sekarang dikembalikan lagi, resepsi pernikahan ini jadinya ego dari kedua orangtua mereka atau ego dari kedua mempelai itu sendiri.

“Tapi kan mengadakan resepsi pernikahan yang dirayakan begitu nggak salah dong? Pernikahan itu hanya sekali seumur hidup.” Gue nggak bilang kalau mengadakan resepsi pernikahan itu adalah hal yang salah lho. Gue nggak bilang begitu. Gue hanya kurang setuju kalau konsepnya bergeser jadi menyusahkan si kedua mempelai di kemudian hari padahal mereka nggak begitu menikmati jalannya resepsi pernikahan karena mereka nggak bisa mengundang banyak kerabat yang mereka kenal sendiri. Hanya itu. Kalaupun ternyata resepsi pernikahannya diadakan sesuai kemampuan dan tidak berhutang, gue setuju dan sangat mendukung. Walaupun itu jarang terjadi, tetapi bukannya tidak mungkin terjadi.

Mereka yang menikah itu akan menghadapi kehidupan baru, keluarga baru, adaptasi baru, dan segala hal serba baru bagi mereka. Akan lebih baik jika kita tidak membebankan mereka pikiran mengenai hutang piutang untuk acara resepsi pernikahan mereka bukan? Karena nggak sedikit dari mereka yang pada akhirnya bercerai hanya karena merasa hutang resepsi pernikahan mereka tak kunjung lunas dan mereka merasa belum memiliki apapun setelah satu hingga lima tahun pernikahan. Pernikahan mereka hanya sesaat. Percuma kan jadinya resepsi bagus-bagus kalau ujung-ujungnya bubar? Demi membela sesuatu yang kurang penting bagi rumah tangga, malah mengorbankan rumah tangganya itu sendiri.

Kalau sudah demikian, apa kedua orangtua mereka, keluarga mereka, dan para tamu undangan itu mau ikut bertanggungjawab? Apa mereka semua mau memberikan bantuan secara moril dan materi kepada kedua mempelai? “Ya, nggak lah! SIAPA SURUH NGADAIN RESEPSI KALAU NGGAK MAMPU!” kata mereka, yang ngegosipin kualitas makanan catering yang dihidangkan oleh si kedua mempelai. “Lagian itu kan urusan keluarga mereka, nggak mau ikut campur deh gue! Kalau belum kuat mentalnya, mending jangan nikah dulu deh!”

Nggak nikah, SALAH. Nikah tapi nggak resepsi, SALAH. Nikah dan resepsi tapi makanannya kurang sempurna, SALAH. Terus yang BENAR apa? Nikah sama orang kaya, ala FTV dan Drakor. ANJ*NG EMANG!

Gue nggak mau pernikahan gue berakhir seperti itu. Gue mau berkomitmen sama satu orang cewek seumur hidup gue. Gue juga mau kok ngerasain up-and-down-nya pernikahan sama dia yang gue nikahin. Dalam kasus ini, Emi yang gue bahas. Gue nggak mau lagi ngebayangin kalau gue akan menikahi cewek lain, selain Emi. Tapi gue nggak mau terseok-seok, habis tenaga, upaya, dan harta benda hanya untuk sebatas mengadakan resepsi pernikahan. Gue hanya mau mengadakan akad nikah dan acara syukuran yang dihadiri oleh mereka yang gue anggap penting di hidup gue. Jadi kurang lebih 30-50 orang paling total tamu undangan di syukuran pernikahan gue nanti. Itu sudah dari kedua keluarga gue dan keluarga Emi.

Kenapa gue berpikir demikian? Mama itu sudah tidak bekerja. Papa juga udah nggak ada dan tidak meninggalkan apapun untuk gue pasca perampokan besar-besaran oleh manusia-manusia bajingan yang dulu pernah ditolong kemudian jadi kepercayaannya. Pasca pernikahan adik gue, kayaknya adik gue pun masih menyisakan hutang yang entah masih seberapa banyak saat ini. Yang pasti adik gue dapat bantuan dari keluarga besar gue dan sisanya ditanggung oleh dia. Entah berapa yang adik gue tanggung. Jadi, gue nggak tau apa gue bisa mendapatkan bantuan lagi kalau kali ini keluarga gue mengadakan pernikahan untuk gue. Gue pun tidak mengharapkan bantuan itu. Jadi, hal-hal tersebut sangat mendukung keputusan gue untuk tidak mengadakan resepsi pernikahan nanti.

Kemudian kemampuan dari keluarga Emi sendiri menjadi bahan pertimbangan gue. Oke memang keluarga Emi berasal dari keluarga besar yang memang tidak bisa dibilang keluarga elit berlimpah harta. Mereka keluarga besar dengan segala kesederhanaannya. Tapi fokus gue ke keluarga kecil Emi. Bapak dan ibu Emi sudah tidak bekerja lagi. Ibunya seharusnya sesekali masih harus ke kantor. Tetapi semenjak ibunya sakit stroke, sudah tidak mungkin beliau berangkat ke kantor.

Bersyukur kantornya masih mau memperkerjakan ibunya Emi dalam kondisi demikian. Karena ibu Emi masih bisa working remotely dalam kondisinya tersebut. Bukan keluarga Emi yang masih memaksakan ibu Emi untuk terus bekerja. Tetapi kantornya yang masih mempercayakan ibunya Emi untuk menjaga berkas atas aset-aset yang masih dimiliki oleh kantornya tersebut.

Walaupun gaji Emi besar, tetapi tidak mungkin dia menabungkan seluruh gajinya hanya untuk menyicil biaya resepsi pernikahan kami. Dan kami hidup berdua dari insentif freelancer gue. Biaya resepsi pernikahan ini akan sangat membebankan keluarga Emi. Apalagi Emi adalah mempelai wanita, yang paling dibebankan dalam hal biaya resepsi pernikahan. Gue nggak mau menambah pikiran keluarga Emi juga. Jadi gue akan diskusikan dengan Emi mengenai hal ini.

Gue bertekad untuk hanya mengadakan akad nikah di pernikahan kami nanti. Dan gue sangat amat yakin, Emi pun setuju akan usulan gue ini.

Gue sudah membayangkan kalau akad nikah gue nantinya akan diadakan di KUA atau di masjid tertentu yang nantikan akan dilanjutkan ke acara syukuran seperti yang gue jelaskan sebelumnya.

Bukan, gue bukan mau pelit dan jadi sosok Ija yang nggak mau ribet seperti apa yang Emi bilang berulang kali. Tapi di sini, gue coba melihat sisi logis dan juga keadaan yang ada. Semoga aja Bapak dan Ibunya Emi mau mengerti usulan ini. Utamanya Bapaknya Emi sih karena beliau ini kan salah satu generasi boomer yang pikirannya masih agak kolot. Jadi agak sulit juga untuk memberikan pengertian tentang hal ini. Jangankan gue, Emi aja omongannya jarang sekali didengar.

Tetapi dibandingkan Papa, Bapaknya Emi masih terlihat jauh lebih kolot entah kenapa. Padahal Papa umurnya lebih tua 10 tahun dibandingkan Bapaknya Emi. Sayang, untuk hal seperti ini gue nggak punya kesempatan untuk berdiskusi dengan Papa. Gue yakin Papa setuju dengan pendapat gue. Bersyukurlah buat kalian cowok-cowok yang masih memiliki sosok Papa di hidup kalian. Jaga dan sayangi beliau. Dan jangan lupa banyak belajar dari beliau, terutama tentang arti kehidupan itu sendiri.
Shi15
khodzimzz
caporangtua259
caporangtua259 dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.